makalah tentang bughat ( pemberontak)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum Islam berintikan aturan-aturan yang bernuansakan sebuah hiasan hidup yang ditetapkan Allah sebagai suatu bentuk cinta dan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya, agar tercipta hidup yang penuh keindahan, kadamaian, dan ketentraman bagi manusia, sebagai khalifah di muka bumi yang harus senantiasa menjaga, memelihara, dan menghindari segala bentuk perbuatan jahat yang berdampak pada kerusakan. Dalam hal ini, diantara aturan-aturan itu adalah terkait hukuman bagi segala macam pelanggaran, lebih khususnya adalah tentang tindak pelanggaran yang berupa pemberontakan (bughat), dengan beberapa pembahasan yang mungkin belum banyak diketahui ataupun dipahami oleh karenanya, dirasa begitu penting dibahas, guna menjadi bagian dari usaha memberikan kajian ilmu pengetahuan agama bagi mereka yang membutuhkan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Bughat?
2.      Apa Saja Unsur-unsur Bughat?
3.      Apa Dasar Hukum Bughat?
4.      Bagaimana sanksi Perlakuan Terhadap pelaku Bughat?
5.      Bagaimana Pertanggungjawaban Tindak Pidana Bughat?
6.      Apa Tujuan Hukuman Bughat?

C.    Tujuan Makalah
1.      Mengetahui Pengertian Bughat.
2.      Mengetahui Unsur-unsur Bughat.
3.      Mengetahui Dasar Hukum Bughat.
4.      Mengetahui Perlakuan Terhadap pelaku Bughat.
5.      Mengetahui Pertanggungjawaban Tindak Pidana Bughat.
6.      Mengetahui Tujuan Hukuman Bughat.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bughat
Secara etimologi, kata bughat berasal dari bahasa Arab بَغَى yang memiliki arti yang sama dengan kata ظَلَمَ yaitu berlaku zalim, menindas.[1] Pendapat lain menyebutkan bahwa kata bughat berasal dari kata  yang berarti menginginkan sesuatu.[2]Sebagaimana dalam firman Allah SWT surat Al-Kahfi ayat 64:
قَالَ ذَٰلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ ۚ فَارْتَدَّا عَلَىٰ آثَارِهِمَا قَصَصًا [١٨:٦٤]
 “Musa berkata: Itulah (tempat) yang kita cari.” (QS. Al-Kahfi: 64 Dalam ‘urf, kata al-baghyu diartikan meminta sesuatu yang tidak halal atau melanggar hak. Sedangkan secara terminologi, terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam mendefinisikan tindak pidana baghat, antara lain:
1. Ulama Malikiyyah, mendefinisikan bughat sebagai tindakan menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (ta’wil). Dengan kata lain, bughat adalah sekelompok orang muslim yang berseberangan dengan imam (kepala negara) atau wakilnya, dengan menolak hak dan kewajiban atau maksud menggulingkannya.
2. Ulama Hanafilah, bughat adalah keluar dari ketaatan kepada imam (kepala negara) yang sah dengan cara dan alasan yang benar.
3. Ulama Syafi’iyyah mendefinisikannya dengan orang-orang Islam yang tidak patuh dan tunduk kepada pemimpin tertinggi negara dan melakukan suatu gerakan massa yang didukung oleh suatu kekuatan dengan alasanalasan mereka sendiri.
4. Ulama Hanabilah mendefinisikannya dengan menyatakan ketidakpatuhan terhadap pemimpin negara sekalipun pemimpin itu tidak adil dengan menggunakan suatu kekuatan dengan alasan-alasan sendiri.4 Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberontakan adalah pembangkangan terhadap kepala negara (imam) dengan menggunakan kekuatan berdasarkan argumentasi atau alasan (ta’wil).[3] Pendapat lain mengatakan bahwa al-baghyu adalah bergeraknya sekelompok orang bersenjata yang terorganisir melawan pemegang otoritas. Hukum yang legal menurut syara’ dengan tujuan mencopotnya dari jabatannya dengan dasar prinsip pemahaman yang mereka pegangi. Bughat memiliki kesamaan dengan hirobah (perampokan), yakni sama-sama mengadakan kekacauan dengan dalam sebuah negara. Namun jika dilihat dari motif yang melatarinya, keduanya sangat berbeda. Hirobah hanya bertujuan mengadakan kekacauan dan mengganggu keamanan di muka bumi tanpa menggunakan alasan (ta’wil), sedangkan bughat menggunakan alasan (ta’wil) politis. Tegasnya, bughat merupakan tindakan yang dilakukan bukan hanya sekedar mengadakan kekacauan dan mengganggu keamanan, melainkan tindakan yang targetnya adalah mengambil alih kekuasaan atau menjatuhkan pemerintahan yang sah.[4]
B.     Dasar Hukum
Terdapat beberapa ayat al-Quran dan hadits yang membicarakan persoalan bughat, antara lain;
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
 “Dan apabila ada dua golongan dari orang-orang yang beriman berperang maka damaikanlah keduanya. Apabila salah satu dari keduanya itu berbuat aniaya terhadap golongan lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali(kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”(QS. Al Hujuraat :9)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
 Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujuraat: 10)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul- Nya dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat, tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul-Nya (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa:59)
Dalam sebuah hadits dinyatakan:
عن ابن عمر ر.ع. عن النبى ص.م. قال: السمع والطاعة على المرء المسلم فيما احب او كرها مالم يؤمرو بمعصية فلا سمع ولا طاعة (رواه البخارى ومسلم)
Artinya:” dari ibnu umar r.a. dari nabi SAW beliau bersabda: mendengar dan menaati terhadap imam yang adil merupakan kewajiban orang muslim, baik yang ia sukai maupun yang ia benci selama ia tidak diperintah melakukan maksiat, tidaklah boleh didengar dan ditaati”. (H.R. Bukhori dan Muslim)[5]
C.    Unsur-Unsur Bughat
Setidaknya, terdapat tiga unsur di dalam jarimah bughat, yaitu:[6]
1.      Pembangkangan terhadap kepala negara (imam), Pembangkangan di sini dalam artian menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Menurut empat mazhab dan Syi’ah Zaidiyah, haram hukumnya keluar (membangkang) dari imam yang ada walau dia berlaku fasik atau tidak adil, walau pembangkang tersebut bermaksud amar ma’ruf nahi munkar. Alasannya adalah pembangkangan terhadap imam justru akan mendatangkan akibat yang lebih munkar, yaitu timbulnya fitnah, pertumpahan darah, merebaknya kerusakan dan kekacauan dalam negara, serta terganggunya ketertiban dan keamanan. Akan tetapi menurut pendapat marjuh (lemah), apabila seorang imam itu fasik, zalim, dan mengabaikan hak-hak masyarakat maka ia harus diberhentikan dari jabatannya.
2.      Pembangkangan dilakukan dengan kekuatan, Pembangkangan di sini dalam artian menggunakan kekuatan yang berupa anggota, senjata, sejumlah logistik dan dana dalam rangka mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sebuah gerakan bisa dikatakan pemberontakan jika sudah menggunakan kekuatan secara nyata. Sehingga jika baru sebatas ide belum bisa dikatakan pemberontakan, tapi jika sudah tahap perhimpunan kekuatan dikategorikan sebagai ta’zir. Berbeda pendapat dengan Abu Hanifah yang sudah menganggap sebagai pemberontakan walau baru tahap berkumpul untuk menghimpun kekuatan untuk maksud berperang dan membangkang terhadap imam.
3.      Adanya niat yang melawan hukum (al-qasd al-jinaiy) Yang tergolong pemberontak adalah kelompok yang dengan sengaja berniat menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan imam maupun tidak menaatinya.
Dalam istilah ketatanegaraan, perbuatan pemberontakan dinamakan jarimah siasiyah (tindak pidana politik) Jarimah Siasiyah belum dinamakan tindak pidana politik yang sebenarnya, kecuali kalau memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Perbuatan itu ditunjukkan untuk menggulingkan negara dan semua badan eksekutif lainnya atau tidak mau lagi mematuhi pemerintah nya.
b.      Ada alasan yang mereka kemukakan, apa sebabnya mereka memberontak, walaupun alasan itu lemah sekali.
c.       Pemberontak telah mempunyai kekuatan dengan adanya orang yang mereka taati (pengatur pemberontakan) atau ada pimpinan nya.
d.      Telah terjadi pemberontakan yang merupakan perang saudara dalam negara, sesudah mereka mengadakan persiapan atau rencana.
Setelah diajak berunding dengan bijaksana sebagaimana yang telah dilakukan oleh khalifah ali ra terhadap ahli ramal dan shiffin. Keterangan tentang persoalan ini dapat dijumpai dalam sepucuk surat yang dikirim oleh khalifah ali kepada kaum Bughat
احدا فان فعلتم نفدت اليكم بالحرب (رواه احمد والحكم)
Dari Abdullah bin Syaddad ia berkata, berkata Ali R.A. kepada kaum khawarij, “kamu boleh berbuat sekehendak hatimu dan antara kami dan antara kamu hendaklah ada perjanjian, yaitu supaya kamu jangan menumpahkan darah yang diharamkan (membunuh). Jangan merampok di jalan, jangan menganiaya seseorang. Jika kamu berbuat itu, penyerangan akan diteruskan terhadap kamu sekalian (HR. Ahmad dan Hakim) Dengan keterangan ini, dapat ditegaskan bahwa gerombolan itu belum boleh diperangi begitu saja selagi mereka bersedia diajak berunding dan belum merusak.[7]

D.    Sanksi Bughat
Dalam menentukan sanksi bagi pelaku pidana bughat atau pemberontakan dibagi menjadi dua hal, yakni; Pertama, Tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan. Yang dimaksud tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan adalah berbagai tindak pidana yang muncul sebagai bentuk pemberontakan terhadap pemerintah, seperti perusakan fasilitas publik, pembunuhan, penganiayaan, penawanan dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensi dari berbagai kejahatan yang langsung berkaitan dengan pemberontakan tersebut, pelaku tidak mendapat jarimah biasa, akan tetapi mendapat hukuman mati. Akan tetapi, jika imam memberikan pengampuan (amnesti), maka pelaku pemberontakan akan mendapatkan hukuman ta’zir. Kedua, Tindak pidana yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan. Yang dimaksudkan dengan tindak pidana yang tidak berkaitan dengan pemberontakan adalah berbagai tindak kejahatan yang tidak ada korelasinya dengan pemberontakan, tapi dilakukan pada saat terjadinya pemberontakan atau peperangan. Beberapa kejahatan tersebut seperti minum minuman keras, zina atau perkosaan, pencurian, dan lain sebagainya.
Ketika beberapa perbuatan tersebut dilakukan, maka akan dihukumi dengan hukuman jarimah biasa dan akan mendapat hukuman hudud sesuai dengan jarimah yang dilakukan. Dalam persoalan perdata ada sedikit perbedaan pendapat ulama. Menurut Imam Abu Hanifah, para pemberontak yang merusak dan menghancurkan aset-aset negara dalam rangka melancarkan aksi tidak ada pertanggungjawabannya, kecuali jika perusakan dilakukan terhadap kekayaan individu, maka pelaku wajib mengganti dan mengembalikannya. Sedangkan sebagian penganut Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa pemberontak harus bertanggung jawab atas semua barang yang dihancurkannya, baik ada kaitannya dengan pemberontakan atau tidak, karena perbuatan itu mereka lakukan dengan melawan hukum.[8]
Secara umum, pada hakikatnya hukuman bagi pelaklu pemberotakan adalah hukuman mati. Hal tersebut dikarenakan pemberontakan merupakan kejahatan yang akan menimbulkan kekacauan, ketidaktenangan dan pada akhirnya akan mendatangkan kemunduran dalam suatu masyarakat (negara).9 Walau jarimah pemberontakan adalah hukuman mati atau ditumpas pada saat terjadinya perang, tapi para ulama mazhab sepakat harus adanya proses dialog terlebih dahulu sebelum hukuman mati dieksekusi. Proses dialog dalam rangka menemukan faktor yang mengakibatkan para pembangkang melakukan pemberontakan. Jika mereka menyebut beberapa kezaliman atau penyelewengan yang dilakukan oleh imam dan mereka memiliki fakta-fakta yang benar maka imam harus berupaya menghentikan kezaliman dan penyelewengan tersebut. Upaya berikutnya adalah mengajak para pemberontak diajak kembali tunduk dan patuh kepada imam atau kepala negara. Apabila mereka bertaubat dan mau kembali patuh maka mereka dilindungi.Sabaliknya, jika mereka menolak untuk kembali, barulah diperbolehkan untuk memerangi dan membunuh mereka. Hal tersebut berdasarkan surat al-Hujjarat ayat 9:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
 “Dan jika ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.” (QS. Al-Hujurat: 9)
Strategi islah dengan cara dialog sebagai tindakan awal untuk menyelesaikan pemberontakan tersirat dalam ayat di atas. Hal ini juga beberapa kali pernah dilakukan oleh Ali bin Abu Thalib saat menjadi Khalifah. Misalnya ketika muncul kaum Khawarij, yakni segolongan kaum muslimin yang berlainan faham politik, menentang kebijakan serta menyatakan keluar dari pemerintah. Menurut riwayat, jumlah kaum Khawarij pada waktu itu diperkirakan 8000 orang. Khalifah Ali mengutus Ibnu Abbas kepada untuk mendekati dan dialog kepada mereka agar kembali patuh kepada imam. Setelah berunding dan bertukar pikiran, 4000 orang diantara mereka kembali masuk ke dalam pemerintahan, sedang 4000 lainnya tetap menjadi gerombolan. Sisanya tersebutlah yang kemudian boleh diperangi. Sebelum terjadinya perang Jamal (Unta), Khalifah Ali juga pernah mengirimkan utusan untuk melakukan pendekatan dialoh dan ajakan untuk patuh pada imam kepada penduduk Basrah. Bahakan Khalifah Ali menekankan kepada para sahabat untuk tidak memulai pertempuran. Pendekatan dialog serta ajakan untuk kembali patuh kepada imam sebelum melakukan perang bagi pemberontak, menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran cinta damai, mengajarkan kasih sayang dan menjadi rahmat untuk alam semesta “rahmatan lil alamin”. Perimbangan lain, pertempuran dalam bentuk apapun hanya akan menimbulkan kerugian kepada kedua belah pihak. Untuk menentukan hukum dalam Islam, selain pertimbangan nash juga ada kaidah fiqh yang bisa menjadi pedoman. Salah satu kaidah fiqh tersebut adalah maslahat mursalah, yakni menetapkan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam al-quran maupun al-sunnah, dengan pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang bersendikan pada asas menarik manfaat dan menghindari kerusakan.[9]
E.     Gerakan Terorisme sebagai Bughat
Secara etimologi, terorisme memiliki kata dasar terror. Ia berasal dari bahasa Latin terrorem yang berarti rasa takut yang luar biasa. Bila merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), teror dimaknai sebagai usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. W.J.S. Poerwadarminta (2006) mengartikan terorisme sebagai praktekpraktek tindakan terror; penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama politik).[10] Senada dengan Poerwadarminta, B.N. Marbun dalam Kamus Politik mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan kekerasan yang ditujukan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai satu tujuan (terutama tujuan-tujuan politik). Tujuannya, untuk mempromosikan kepentingan politiknya, sehingga dunia internasional tahu apa yang mereka perjuangkan.[11] Cara memerangi bughat hendaklah dengan cara membela diri, sebagaimana yang telah dijelaskan. Berarti dengan tertib dari yang seringan-ringan nya, karena yang dimaksud adalah supaya mereka kembali taat kepada imam dan melenyapkan kejahatan mereka.[12] Kaum bughat yang tertawan hendaklah diperlakukan;
a)      Kalau ada yang luka jangan ada yang menambah lukanya, seperti memukul dan sebagainya.
b)      Tidak boleh dibunuh.
c)      Mereka yang lari tidak perlu di cari, kecuali bila ia mengganggu keamanan.
d)      Harta bendanya tidak boleh dijadikan rampasan.
Hadits Rasulullah SAW. Menyebutkan:
عن ابن عمر ر ع. قال: قال رسو ل الله ص م, هل تدرى كيف حكم الله فيمن بغى من هذه الامة قال الله ورسوله اعلم قال : لا يجهر على جريحها ولا يقتل اسير ولا يطلب هاربها ولا يقسم فيئها (رواه البخارى والحكم)
Dari Ibnu Umar R.A. ia berkata “Telah bersabda Rasulullah SAW. Tahukah engkau bagai mana hukum Allah dalam perkara orang-orang yang telah jadi kaum bughat dari umat ini? Seorang dari sahabat berkata, Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu, Rasulullah bersabda “tidak boleh ditambah lukanya, tidak boleh dibunuh tawanan nya, tidak perlu dicari mereka yang lari, dan tidak boleh dibagi-bagi rampasan nya. (HR. Al-Bazzar dan Hakim)[13]
Penyelesaian terhadap bughot tertera dalam Allah berfirman:
ف وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikan lah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali pada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikan lah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah (Al-Hujarat:9)
Harus diakui bahwa kaum bughat itu berbahaya menurut hukum negara. Oleh karena itu, mereka harus ditumpas dan diselesaikan perkaranya. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a)  Diperangi lebih dahulu sebagai langkah utama
b)  Di adili di muka pengadilan sebagai langkah terakhir
Dalam ayat di atas dinyatakan kalimat “dua golongan dari orang-orang mu’min” yang mengandung satu pengertian , bahwa “satu golongan “ itu, mu’min bukan pemerintah dan mungkin pula yang satu golongan pemerintah. Adapun dalam kalimat  “ maka damaikan lah olehmu” pertama kali ayat tersebut disebut sebelum perintah perang dan keduanya disebutkan setelah perintah berperang. Adapun perintah mendamaikan ditunjukkan kepada orang yang berwenang untuk mendamaikan, dalam hal ini adalah wewenang penguasa negara. Apabila pemberontakan telah terjadi, langkah pertama ialah mengajak kedua golongan itu untuk berdamai saja, yaitu antara golongan yang menyerang dan diserang, terutama tokoh-tokoh pemimpinnya. Apabila diantara kedua golongan itu tidak mau berdamai melainkan terus menerus memberontak, ada satu peraturan yang berupa maklumat perang dari allah terhadap golongan yang memberontak itu.
Menurut As-Syafi’i, kata “kembali” yang dinyatakan dalam ayat diatas mengandung pengertian:
a.      Si pemberontak itu lagi
b.     Si pemberontak itu meletakkan senjata.
Akan tetapi yang jelas bahwa yang dimaksud dengan kembali ialah kembali pada pengakuan negara di bawah pimpinan imam yang adil yang menjalankan syariat islam.
Hanya cara mereka itu, adakalanya dengan kesadaran sendiri, maupun kekerasan, mereka harus di bawa ke muka pengadilan untuk di selesaikan perkara mereka, dan membuat perdamaian menurut yang seadil adilnya.
Sesungguhnya kaum pemberontak terhadap negara yang menjalankan hukum syariat islam, dapat dikatakan penyamun besar terhadap allah dan rasulnya, serta membuat kekacauan dan kerusakan di muka bumi. Ini lebih besar dari pada kerusakan yang ditimbulkan oleh penyamun biasa. Oleh sebab itu, hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka yang telah kembali kepada pengakuan negara yang adil itu adalah hukuman si penyamun atau si perampok, yang terbagi atas dua bagian, yaitu;
a.      Hukuman terhadap mereka yang kembali setelah ditangkap atau diperangi lebih dulu.
b.     Hukuman terhadap mereka yang tobat (kembali) sebelum ditangkap atau diperangi.[14]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Bughat adalah segolongan kaum muslimin yang menentang imam (pemerintah yang adil) dengan menyerang, serta tidak mau mengikutinya atau tidak memberikan hak imam yang menjadi kewajibannya, dan mempunyai alasan yang kuat untuk memberontak, serta ada seseorang pemimpin yang mereka taati. Bila pemberontak itu sudah di berikan nasehat oleh imam secara baik-baik dan telah ditempuh cara-cara lain yang baik agar mereka bersedia mengikuti motiv yang mendorong mereka bersikap keras tidak mau tunduk kepada imam yang adil, tidak bersedia sadar diri dan bertobat, mereka masih bersikeras membangkang ,maka sang imam baru dibolehkan memberi tahu, bahwa mereka akan di bunuh sebagai langkah yang terakhir.
B.     Saran
Demikianlah makalah yang saya susun. Saya  yakin dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat. Amiin.



DAFTAR PUSTAKA

Farih,  Amin, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, Semarang: Walisongo Press,  2006.
Marbun,  B.N., Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003
Mas’ud,  Drs. Ibnul, Drs Zainul Arifin.  Fiqih Madzab Syafi’i, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Muslich,  Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Muthohar,  Ali, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta: PT Mizan Publika, 2005.
Poerwadarminta,  W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia,  Jakarta: Balai Pustaka, 2006
Umar , Drs. Imron Abu,  Terjemah Fathul Qorib Juz 2, Kudus: Menara Kudus, 1983.
Yunus,  Mahmud, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1989.



[1] Ali Muthohar, Kamus Arab – Indonesia, ( Jakarta: PT Mizan Publika, 2005), hlm. 228.
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989), hlm. 69.
[3] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 111.
[4] ibid.,.
[5] Drs. Ibnul Mas’ud. Drs Zainul Arifin. Fiqih Madzab Syafi’i, (Bandung: Pustaka Setia, 2000). hlm. 539.
[6] Op. cit., hlm, 111
[7] Drs. Imron Abu Umar. Terjemah Fathul Qorib Juz 2.( Kudus: Menara Kudus, 1983). hlm. 159.

[8] Ahmad Wardi Muslich, ibid., hlm. 118.
[9] Amin Farih, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang: Walisongo Press, hlm. 17.
[10] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 2006), hlm. 1263
[11] B.N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), hlm. 530.
[12]  Drs. Imron Abu Umar. Terjemah Fathul Qorib Juz 2. (Kudus: Menara Kudus, 1983). hlm. 159
[13] Ibid.,
[14] Drs. Ibnul Mas’ud. Drs Zainul Arifin. Fiqih Madzab Syafi’i. (Bandung: Pustaka Setia, 2000). hlm. 538