makalah filsafat ilmu: penemuan kebenaran



PENEMUAN KEBENARAN


Oleh Kelompok VII
BAMBANG HARIANTO                                                            1510300045

Dosen Pengampu
AHMAD SAINUL, M.A.



HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANG SIDIMPUAN

2017



KATA PENGANTAR


            Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul "Penemuan Kebenaran" dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas kami, serta pada anggota tim kelompok 7 yang selalu kompak dan konsisten dalam penyelesaian tugas ini.
            Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Filsafat Ilmu dan dipresentasikan dalam pembelajaran di kelas. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Teori-teori kebenaran Filsafat. Makalah ini dianjurkan untuk dibaca oleh semua mahasiswa pada umumnya sebagai penambah pengetahuan dan pemahaman tentang  kebenaran dalam berfilsafat.
Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim penulis khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.


DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 3
A.    Latar Belakang Masalah.............................................................................................. 3
B.     Rumusan Masalah........................................................................................................ 3
C.     Tujuan Penulisan Masalah.......................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 4
1.      Defenisi Kebenaran...................................................................................................... 4
2.      Cara Penemuan Kebenaran........................................................................................ 7
a.       Jenis-Jenis Kebenaran................................................................................................. 10
b.      Sifat Kebenaran............................................................................................................ 10
c.      Teori Kebenaran dan Khilafan ................................................................................... 11
BAB III
KESIMPULAN ........................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang Masalah
Segala kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan, dan juga dibenarkan; kebenaran itu sendiri tidak memerlukan hal itu, karena dia lah yang menunjukan apa yang diakui benar dan harus berlaku
(Paul Natorp)
Ungkapan diatas sengaja dikutip untuk menunjukkan bahwa esensi perjalanan pemikiran filsafat pada dasarnya hanya untuk mencari kebenaran, sebuah usaha yang selalu membawa klaim-klaim dari para pembawanya untuk menjadi valid dan dipakai setiap zaman. Namun, hal itu tentu saja melalui berbagai pertarungan yang melampaui dimensi waktu dan tempat serta lokalitas pemikiran para filsuf. Oleh karena itu, kebenaran akan selalu menjadi kebenaran sementara (hypo-knowledge) yang suatu saat akan terfalsifikasi dalam bentuk yang beragam rupa sesuai dengan parameter dan indikator yang mengiringinya, baik yang bersifat aksidensial, lokalitas, kontekstual, maupun karena sudah melemahnya jari-jari kebenaran tersebut mencekram zaman. Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.
2.    Rumusan Masalah
1.      Apa itu Kebenaran ?
2.      Bagaimana cara menemukan Kebenaran?
3.      Apa saja sifat-sifat  kebenaran?
4.      Apa saja jenis-jenis kebenaran?
5.      Jelaskan teori kebenaran dan kekhilafan?
3.      Tujuan Penulisan Makalah
1.      Agar mahasiswa mampu mengetahui pengertian dan tingkatan-tingkatan kebenaran ilmu pengetahuan.
2.      Untuk mengetahui cara menemukan kebenaran.
3.      Untuk melengkapi tugas makalah filsafat ilmu.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Defenisi Kebenaran

Kebenaran tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dianggap benar, misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filasafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan/atau masyarakat pengenal. Sebagai landasan penemuan defenisi kebenaran ini adalah kesimpulan umum bahwa pengetahuan itu bersifat logis dan/atau rasional yang mengantarkan kepada tujuan berupa kebenaran. Ahmad Tafsir mengungkapkan dalam kerangka berfikir sebagai berikut:
“Yang logis ialah yang masuk akal. Yang logis itu mencakup yang rasional dan supra-rasional. Yang rasional ialah yang masuk akal dan sesuai dengan hukum alam. Yang supra-rasional ialah yang masuk akal sekalipun tidak sesuai dengan hukum alam”. Istilah logis boleh dipakai dalam pengertian rasional.[1]
Dengan menggunakan istilah logis[2] dan rasional sebagai bahan dasar dari kebenaran dalam pengetahuan, maka kriteria kebenaran tidak dapat berdiri sendiri sebagai hasil disiplin ilmu, akan tetapi sangat erat kaitannya dengan permasalahan yang akan diselesaikan manusia dalam kehidupannya, baik masih berupa hipotesa (dugaan kebenaran sementara) sehingga menghasilkan teori yang bisa menjadi hukum.
Secara garis besar Ahmad Tafsir menggambarkan bahwa ketika ada masalahsebagai  manusia yang serba ingin tahu akar masalah maka  ada dugaan. Berangkat dari dugaan, ada anggapan sementara yang kita sebut hipotesa. Hipotesa ini merupakan anggapan kebenaran sementara yang belum teruji secara teoritis.[3] Hipotesa ini ada karena adanya sebab akibat yang dapat dibenarkan secara rasional. Hipotesa yang sudah diuji kebenaran dan terbukti kebenarannya akan menjadi teori, selanjutnya suatu teori yang selalu benar secara empiris.[4]maka naik tingkatannya menjadi aksioma[5] atau hukum.
Kedalam kata benar itu bermacam pengertian dimasukkan orang. Keberagamannya menjadi jelas, manakala kata itu hadapkan pada lawannya dan kita susulkan artinya:[6]
1.      Benar lawan khilaf.
2.      Benar lawan seolah-olah rupanya.
3.      Benar lawan dibikin-bikin.
4.      Benar dalam arti sungguh-sungguh, lawan kemungkinan atau rupanya.
5.      Benar dalam arti asli, lawan tidak cocok atau palsu.
6.      Benar dalam arti tepat, lawan tidak dapat terjabarkan dari bahan yang diberikan.
7.      Benar dalam arti kepastian, lawan tidak mengandung daya meyakinkan.

Betrand Russell berpendapat bahwa kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan yang diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran merupakan suatu hubungan tertentu antara kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di luar kepercayaan itu. Bila hubungan ini tidak ada maka kebenaran itu salah.[7] Sidi Gazalba memberikan keterangan tentang  kebenaran yang merupakan hubungan antara pengetahuan dan apa yang menjadi objeknya. Apabila terdapat kesesuaian dalam hubungan objek dan pengetahuan kita tentang objek, itulah yang dimaksud dengan kebenaran.[8] Adapun definisi kebenaran itu dapat kita kaji bersama dari beberapa sumber, antara lain, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap yang disusun oleh Daryanto, di dalamnya dijelaskan bahwa kebenaran memiliki arti seperti: keadaan yang cocok dengan keadaan sesungguhnya; sesuatu yang sunguh-sungguh ada; kelurusan hati; izin; persetujuan; perkenan; dan kebetulan.
Jadi, Kebenaran merupakan soal hubungan antara pengetahuan dan apa yang jadi objeknya, yaitu apabila terdapat persesuaian  dalam hubungan antara objek dan pengetahuan kita tentang objek itu.
Dengan demikian masalah kebenaran adalah hubungan ide kita dengan dunia realitas.[9]

B.  Cara Penemuan Kebenaran
Cara untuk menemukan kebenaran berbeda-beda. Dari berbagai cara untuk  menemukan kebenaran dapat dilihat cara yang ilmiah dan yang nonilmiah. Cara untuk menemukan kebenaran sebagaimana diuraikan oleh Hartono Kasmadi, dkk., sebagai berikut.[10]
1.      Penemuan secara Kebetulan
Penemuan kebenaran secara kebetulan adalah penemuan yang berlangsung tanpa disengaja. Cara ini tidak dapat diterima dalam metode keilmuan untuk menggali pengetahuan atau ilmu.
2.      Penemuan ‘Coba dan Ralat’ (Trial and Eror)
Penemuan coba dan ralat terjadi tanpa adanya kepastian akan berhasil atau tidak berhasil kebenaran yang dicari. Penemuan ini mengandung unsur spekulatif atau ‘untung-untungan’. Cara coba dan ralat ini pun tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam usaha untuk mengungkapkan kebenaran.
3.      Penemuan Melalui Otoritas atau Kewibawaan
Pendapat orang-orang yang memiliki kewibawaan, misalnya orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran meskipun pendapat itu tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah.
4.      Penemuan Kebenaran Lewat Cara Berpikir Kritis dan Rasional
Dalam menghadapi masalah, manusia berusaha menganalisisnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki untuk sampai pada pemecahan yang tepat.
5.      Penemuan Kebenaran melalui Penelitian Ilmiah
Cara mencari kebenaran yang dipandang ilmiah ialah yang dilakukan melalui penelitian. Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin tahu pada manusia dalam taraf keilmuan.
C.  Jenis – jenis Kebenaran
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebenaran. Berikut ini menurut A.M.W  Pranarka (1978 ), ada beberapa jenis - jenis tentang kebenaran:[11]
1.      Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)
Kebenaran epistimologi adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia.
2.      Kebenaran ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)
Kebenaran dalam arti ontoligi adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Sifat dasar ini ada dalam objek pengetahuan.
3.      Kebenaran semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)
Kebenaran semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran semantis disebut juga kebenaran moral.
Surajiyo lebih lanjut menguraikan bahwa apabila epistemologi terletak didalam adanya kemanunggalan yang sesuai, serasi,terpadu antara yang dinyatakan oleh proses  intelektual manusia dengan apa yang sesungguhnya ada didalam objek, apakah itu konkret atau abstrak, maka implikasinya adalah bahwa didalam tersebut memang terkandung sifat intelligibilitas (dapat diketahui kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang melekat didalam objek,didalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitive intelektual manusia itulah yang disebut kebenaran yang ontological, ialah sifat benar yang melekat dialam objek.

D.  Sifat Kebenaran
Menurut Abbas Hamami Mintaredja (1983) kata ‘kebenaran’ dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak. Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya proposisi yang benar. Proposisi maksudnya makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Hal yang demikian karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan dan nilai itu sendiri.
Berbagai kebenaran dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (1996) dibedakan menjadi tiga hal, yakni sebagai berikut:
Kebenaran yang pertama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui suatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya pengetahuan itu meliputi: pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan agama.
Kebenaran pengetahuan yang kedua berkaitan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah membangunnya dengan penginderaan atau akal pikirnya, atau rasio, intuisi, atau keyakinan.
Kebenaran pengetahuan yang ketiga adalah nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antar subjek dan objek, manakah yang lebih dominan untuk membangun pengetahuan, subjekkah atau objek.[12]

E.  Teori Kebenaran dan Khilafan
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Plato melalui metode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan penyempurnaan sampai kini.
Untuk mengetahui apakah pengetahuan kita mempunyai nilai kebenaran atau tidak. Hal ini berhubungan erat dengan sikap, bagaimana cara memperoleh pengetahuan? Apakah hanya kegiatan dan kemampuan akal pikir ataukah melalui kegiatan indera? Yang jelas, bagi seorang skeptik pengetahuan tidaklah mempunyai nilai kebenaran, karena semua diragukan atau keraguan itulah yang merupakan kebenaran.
Secara tradisional, teori-teori kebenaran itu antara lain sebagai berikut:
1.                Teori Korespodensi
Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.[13]
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut .[14] Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.

2.                Teori Koherensi
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.[15]
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut.[16] Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.
3.                    Teori Pragmatisme
Menurut teori ini, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Elemennya adalah pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu khususnya dalam realitas kehidupan, artinya suatu penyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.[17]
Menurut William James, ide yang benar ialah ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah ialah ide yang tidak dapat diserasikan, tidak dapat diumumkan, tidak dapat diperiksa dan tidak dapat dijadikan penguatan.[18] Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada hanya kebenaran-kebenran, yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus. Nilai tergantung pada akibatnya dan pada kerjanya, artinya pada keberhasilan perbuatan.
Kriteria pragmatisme ini juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah dilihat dalam perspektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar, mungkin pada satu masa atau waktu tidak demikian. Dalam menghadapi masalah seperti ini maka para ilmuawan bersikap pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan memilki kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar. Sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian disebababkan perkembangan ilmu pengetahuan maka pernyataan itu akan ditinggalkan.
Masalah yang akan timbul dari teori ini adalah penentuan sebatas mana perbuatan itu dianggap keberhasilan dan eksistensi kebenaran yang dinyatakan dihadapkan pada situasi dinamis dengan perubahannya. Selain itu, pragmatisme juga tidak dapat mengantarkan kita pada hakikat kebenaran itu sendiri karena cenderung menghalalkan segala cara untuk memperoleh hasil dari penerapannya yang pada akhirnya akan menimbulkan pertentangan dengan norma-norma yang ada.
Inilah beberapa teori kebenaran yang menjadi mayoritas pilihan para ilmuwan, walaupun masih banyak teori-teori kebenaran lainnya dan akan berkembang sesuai dengan potensi akal budi, misalnya teori ilmu hudhuri atau iluminasi, performatif, proposisi, dan wahyu (agama).
Dari berbagai macam teori kebenaran itu yang dianggap sebagai kriteria atau ukuran kebenaran ilmiah (ilmu pengetahuan), teori koherensi berdasarkan logika deduktif atau silogisme yang menarik kesimpulan khusus dari hal yang umum dengan akal sebagai sarana utamanya merupakan teori kebanaran ilmiah. Selain itu teori korespondensi dengan logika induktif atau empiris yang menarik kesimpulan umum dari hal yang khusus dengan pancaindra dan pengalaman sebagai sarana utamanya, juga merupakan satu dari teori yang benar tentang kebenaran. Ini dua hal yang urgen ketika melihat keadaan atau menjawab keragu-raguan.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia. Teori Kebenaran mempunyai Kelebihan Kekurangan Korespondensi sesuai dengan fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat rasional dan Positivistik Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis fungsional-praktis tidak ada kebenaran mutlak Performatif Bila pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak kreatif, inovatif dan kurang inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan masyarakat ilmiah Perlu waktu lama untuk menemukan kebenaran.
Dari berbagai teori kebenaran, dalam filsafat ilmu ditemukan dua teori yang dijadikan kriteria atau ukuran kebenaran ilmiah (ilmu pengetahuan), yaitu teori koherensi dan teori korespondensi, karena keduanya berdasarkan logika. Teori koherensi menyimpulkan kebenaran pernyataannya terdapat bersifat koherensi atau konsistensi dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar, sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang unsur-unsurnya berhubungan secara logis. Sedangkan teori korespondensi menyimpulkan pernyataan benar jika materi yang dikandung pada pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Kebenaran terdapat fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya, selaras dengan realitas, serasi dengan situasi aktual.
Dalam menanggapi persoalan kebenaran ini perlu diajukan teori kebenaran baru menurut wahyu atau agama, di dalamnya didapati keyakinan dan keimanan yang tidak dapat diberikan oleh teori ilmiah ketika menjelaskan hakikat manusia dan penciptanya. Teori kebenaran wahyu dengan senjata keyakinan dan/atau keimanan mampu memenjadikan manusia lebih sadar akan dirinya, dan menyadarkan akan penciptanya, sehingga berimbas pada kehidupan yang terkendali menuju lebih baik.



B. Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.




DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Surabaya: Apollo, 1997.
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, cet. II
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, cet. V
Hadiwijno, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Sumiasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990.
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu,  Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
Titus, Harold H, dkk. Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.





[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), cet. IV, hlm. 17
[2] Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Surabaya: Apollo, 1997), hlm. 406.
[3] Daryanto, Kamus, hlm. 603
[4] Empiris: teori yang berpendapat bahwa segala pengetahuan manusia didapat dari pengalaman dan pengamatan. Ibid…, hlm. 191.
[5] Aksioma: pernyataan yang bisa diterima meskipun sebagai kebenaran meskipun tanpa dibuktikan
[6] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), cet. II, hlm. 137.
[7] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Persepektif, (Jakarta: Gramedia, 1978), hlm. 76.
[8] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), cet. V, hlm. 30.
[9] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), cet. II, hlm. 137
[10] Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010). Hlm. 100-101.

[11] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), cet. Ke-5, hlm. 102.
[12] Surajiyo. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, ( Jakarta:  PT Bumi Aksara, 2007). Hlm. 104.
[13]Harold H Titus, dkk. Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987). Hlm.237.
[14] Jujun S. Sumiasumantri. Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990). Hlm.57.
[15] Jujun S. Sumiasumantri. Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990). Hlm.55
[16] Harold H Titus, dkk. Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987). Hlm.239.

[17] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 118-119.
[18] Harun Hadiwijno, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1981), hlm. 131