LARANGAN BERTENGKAR DALAM PERANG
Oleh
Kelompok III
BAMBANG
HARIANTO 1510300045
Dosen
Pengampu
NURSANIAH
LUBIS, SH.I, MH.I
HUKUM
TATA NEGARA
FAKULTAS
SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI PADANG SIDIMPUAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat ilahi rabbi atas segala limpahan Rahmat, kasih
sayang dan nikmat yang tiada tara sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada baginda nabi besar Muhammad SAW semoga kita semua
bisa mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak.amiin.
Kami berharap Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam menjalani
kehidupan sosial saat ini dan Kami berharap pula semoga makalah ini membantu
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini supaya kedepannya dapat lebih baik.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna sehingga kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
yang sifatnya membangun ke arah yang lebih sempurna.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR
ISI
A. Pendahuluan………………………………………………………………...1
B. Ayat Utama………………………………………….....................................3
C.
Kosa
kata………………………………………………….………………...3
D.
Hadist
Utama………………………………………………………………..4
E.
Kosa Kata…………………………………………………………………...5
F.
Hadist
Pendukung…………………………………………………………..5
G. Takhrij Hadist………………………………………………………………6
H.
I’tibar
Hadits………………………………………………………………..9
I.
Penjelasan Hadist…………………………………………………………...9
KESIMPULAN
........................................................................................................... 12
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Pendahuluan
Allah
Swt berfirman:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang
yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk... Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang
jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat."
(QS. Ali Imran: 103 dan 105)
Persatuan dan perselisihan merupakan perintah ilahi yang disebutkan
banyak dalam ayat al-Quran, sekaligus memperingatkan dampak berbahaya dari
perselisihan. Pada surat Ali Imran, ayat 103 dan 105 disebutkan tentang
orang-orang yang berselisih bahwa ada azab yang berat menanti mereka. Ungkapan
ini menunjukkan peringatan langsung mengenai akibat dari perpecahan dan
perselisihan. Tapi perlu diperhatikan bahwa azab yang akan ditimpakan kepada
mereka tidak hanya azab akhirat, tapi selama di dunia juga mereka menyaksikan
kerugian yang alami masyarakat akibat perselisihan.
Dari sini, Allah Swt berusaha mencegah umat Islam dari
perpecahan, perselisihan dan bersitegang dalam urusan agama dan dunia. Allah
mengajak mereka semua untuk berpegangan teguh dengan tali Allah agar dapat
terjauh dari perselisihan.[1]
Selain dua ayat ini, dalam ayat-ayat lain juga memperingatkan fitnah sosial dan
politik yang menimpa masyarakat akibat perselisihan. Bahkan dalam sebuah ayat
disebutkan bahwa perselisihan disebut sebagai azab dan disandingkan dengan azab
ilahi yang lain.
Allah Swt berfirman, "Katakanlah, "Dialah yang
berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu
atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan)
dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain.
Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih
berganti agar mereka memahami(nya)." (QS. al-An'am: 65)
Atau dalam ayat lain, setelah memperingatkan umat Islam akan
konflik di antara mereka, disebutkan juga bahwa konflik di antara mereka
menjadi sumber kelemahan dan akan menghilangkan kewibawaan dan keberanian
mereka.
Allah Swt berfirman, "Dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi
gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar." (QS. al-Anfal: 46)
Lebih dari semua itu, dalam surat ar-Rum, Allah Swt ketika
memperingatkan umat Islam dari syirik, ciri khas pertama yang disebutkan untuk
orang-orang Musyrik adalah perpecahan dan perselisihan mereka dalam agamanya.
Allah berfirman, "Dengan kembali bertaubat kepada-Nya
dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah salat dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah
agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa
bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (QS. ar-Rum: 31-32)
Namun perlu juga diketahui bahwa perpecahan dan perselisihan
dalam agama pada dasarnya bersumber dari sikap mereka yang mengikuti hawa
nafsunya.[2]
Dengan mencermati semua ayat-ayat terkait masalah ini dengan jelas dipahami
betapa Allah Swt memperingatkan keras umat Islam dari segala bentuk
perselisihan, sekaligus mengingatkan mereka akan dampak buruk dari sikap mereka
ini. Allah tidak lupa menyebutkan nasib umat-umat terdahulu yang terjebak dalam
fitnah perselisihan ini. Untuk itu Allah meminta umat Islam agar berusaha
mencegah terjadinya perselisihan dan mengajak mereka bersatu di bawah agama
Allah.
Tak syak, upaya bersatu di bawah
agama Allah merupakan faktor paling baik untuk menciptakan persatuan. Karena
agama Allah lebih baik ketimbang etnis, bahasa, kebangsaan dan kepentingan
ekonomi. Agama Allah dengan sendirinya menciptakan persahabatan dan kedekatan
antara mereka yang beragama. Bila mereka mengamalkan agamanya, maka persatuan
tidak akan pernah hilang dari diri mereka dan persatuannya akan terus langgeng.
Demikianlah, pada
pembahasan ini selain dikupas melalui perspektif hadits, juga akan dilihat
melalui kacamata undang-undang sehingga hasilnya akan lebih obyektif selaras
dengan perkembangan zaman saat ini.
B.
Ayat
Utama
Al
qur’an yang menjelaskan tentang larangan bertengkar dalam perang jumlahnya sangat banyak.
Adapun ayat Al quran utama
ini merupakan sentral yang akan menjadi fondasi awal pada pembahasan ini.
Sedangkan secara terperinci akan dijelaskan pada penjelasan hadits.
Ayat
utama
pada pembahasan ini adalah QS. al-Anfal: 46, yang berbunyi:
واطيعوا
الله ورسوله ولاتنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم واصبروا ان الله مع الصابرين
“Dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi
gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar”.
C.
Kosa
kata
Kalimat ولاتنازعوا
memiliki arti لاتختلفوا artinya
janganlah kalian berselisih. Dan kalimat فتفشلوا
bermakna تجبنوا artinya adalah
gemetar atau kecut. Gentar atau kecut merupakan perasaan ragu-ragu dan bimbang
yang disertai rasa takut akan kalah sewaktu perang.
Kalimat ريح
memiliki arti kekuatan, pada mulanya mempunyai arti angin. Maknanya kemudian
beralih menjadi “kekuatan atau kejayaan”, karena angin berfungsi menggerakkan
bahkan menghempaskan dan mencabut dengan keras apa yang menghadang lajunya.
Penjelasan esensi interpretasi ayat
ialah Surah al-Anfal secara keseluruhan turun ketika terjadi perang Badar
Kubra, yaitu pada tahun ke-2 hijriyah yang mana perang ini merupakan perang
yang sangat bersejarah sepanjang perjuangan umat islam melawan orang-orang kafir
quraisy mekkah. Dalam perang ini umat islam meraih kemenangan yang sangat
gemilang dengan pasukan kecil dan persenjataan yang sederhana mereka dapat
mengalahkan kekuatan yang begitu besar dari pihak musuh. Kemenangan mereka tak
lepas dari pengawasan Allah yang selalu memberikan bimbingan lewat
ayat-ayat-Nya agar mereka bersabar dan berteguh hati dalam melawan musuh yang
tak sebanding.
Dalam ayat ini Allah selalu
mengingatkan akan pentingnya menggalang persatuan dan kekompakan agar
kemenangan yang dicita-citakan dapat tercapai yang diantaranya adalah dengan
selalu patuh dan taat terhadap perintah Allah dan rasul-Nya, ketaatan kepada
Allah dan rasul adalah agar kaum mukminin terjun ke medan perang dengan
menyerahkan diri secara total kepada Allah. Sehingga, lenyaplah hal-hal yang
menyebabkan pertentangan dan perselisihan, yang merupakan kelanjutan dari
perintah taat, yaitu ”janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu
menjadi gentar dan hilang kekuatanmu”. Perintah taat kepada Allah dan rasulnya
juga merupakan konsekuensi logis agar umat islam tidak mengikuti kemauan hawa
nafsu masing-masing yang pada akhirnya menyebabkan mereka berbantah-bantahan
dan menyebabkan kocar-kacirnya barisan barisan islam.
Ayat ini juga berkorelasi dengan
ayat sebelumnya yang berisi perintah berteguh hati dan banyak mengingat Allah
ketika bertemu musuh. Perintah berdzikir menyebut nama Allah dalam ayat ini
mencakup perintah menyebut-Nya dengan lidah dan mengingat-Nya dengan hati. Jika
seorang sedang mengalami kesulitan hidup dan menyebut nama Allah, maka tentu
sifat Allah yang paling diingatnya ketika itu Dia yang Maha Kaya atau Maha
Kuasa. Nah !ketika seorang diperintah untuk banyak mneyebut nama Allah dalam
menghadapi perang maka sifat Allah yang diingatnya pada waktu itu adalah Dunia
yang menganugerahkan kemenangan.
D.
Hadist
Utama
Hadist yang menjelaskan
tentang larangan bertengkar
jumlahnya
sangat banyak. Adapun Hadist utama
ini merupakan sentral yang akan menjadi fondasi awal pada pembahasan ini ialah
tentang larangan bertengkar dalam perang. Sedangkan secara terperinci akan
dijelaskan pada penjelasan hadits.
Hadist
utama
pada pembahasan ini adalah, yang berbunyi:
عن سعيد بن أبي بردةعن أبيه عن جده : أن النبي صلى الله عليه وسلم بعث معاذاوأباموسى إلى اليمن قال ( يسرا ولاتعسراوبشراولاتنفر
اوتطاوعا ولاتختلفا
“Dari Sa’id bin Abi Burdah dari ayahnya, dari kakeknya, dan dia
berkata; sesungguhnya nabi mengirim Mu’az (bin Jabal) dan Abu Musa ke Yaman.
Beliau bersabda (kepada dua orang utusan ini); permudahkanlah dan janganlah
mempersulit, berilah berita gembira dan janganlah membuat mereka lari, bercita
kasihlah dan janganlah berselisih”(HR Bukhari)
E.
Kosa Kata
يسرا
=Permudah
لاتعسر
=jangan dipersulit
بشر ا
=kabar gembira
ولاتنفر
=dan jangan membuat mereka berlari
تطاوعا
=cita kasih
F.
Hadist
Pendukung
Hadist pendukung adalah hadits-hadits yang
mempunyai kesamaan, baik maksud maupun redaksinya. Hadits-hadits pendukung ini
dapat berfungsi sebagai penjelas dan penguat hadits utama. Berikut ini adalah hadits-hadits
pendukung yang dimaksud:
1. HR.Ibnu Majah
` Dari
Auf bin Malik Radhiyallahu anhu , dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Orang-orang Yahudi telah bercerai-berai menjadi 71
kelompok, satu di dalam sorga, 70 di dalam neraka. Orang-orang Nashoro telah
bercerai-berai menjadi 72 kelompok, 71 di dalam neraka, satu di dalam sorga.
Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad di tanganNya, umatku benar-benar akan
bercerai-berai menjadi 73 kelompok, satu di dalam sorga, 72 di dalam neraka”. Beliau
ditanya: “Wahai Rasûlullâh! siapa mereka itu?”, beliau menjawab, “ahlul sunah wal-Jama’ah”
G. Takhrij Hadist
Takhrij
atau juga dikenal dengan istilah istikhraj,[3]
merupakan suatu langkah yang sistematis untuk mengetahui ketersambungan sanad,
keadilan dan kedhabitan rawi sehingga akan diketahui status hadits tersebut
yang pada akhirnya bisa digunakan sebagai hujjah.
Berikut ini adalah biografi singkat para
perawi hadits utama:
1.
Imam Bukhari
Riwayat: Nama
lengkapnya adalah
Muhammmad
bin Ismail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi, beliau digelari Al Imam Al Hafizh, dan lebih dikenal dengan
sebutan Al Imam Al Bukhari.
Ia lahir di Bukhara pada bulan Syawal tahun 194 H. dan wafat pada tahun 256 H.
Ia lahir di Bukhara pada bulan Syawal tahun 194 H. dan wafat pada tahun 256 H.
Guru : Di antara
mereka yang sangat terkenal adalah Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin
Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa, Abu Al Mughirah, ‘Abdan bin ‘Utsman, ‘Ali bin Al
Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin Al Fadhl, Abdurrahman bin Hammad Asy-Syu’aisi,
Muhammad bin ‘Ar’arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir, Abdullah bin
Raja’, Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam, Abdurrahman Al Muqri’, Khallad
bin Yahya, Abdul ‘Azizi Al Uwaisi, Abu Al Yaman, ‘Ali bin Al Madini, Ishaq bin
Rahawaih, Nu’aim bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan
ulama ahlul hadits lainnya.
Murid: Murid-murid
beliau tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Al
Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi, penyusun kitab Shahih Muslim.
Kredibilitas : Al Imam Al Bukhari sangat terkenal
kecerdasannya dan kekuatan hafalannya. Beliau pernah berkata, “Saya hafal
seratus ribu hadits shahih, dan saya juga hafal dua ratus ribu hadits yang
tidak shahih”. Pada kesempatan yang lain beliau berkata, “Setiap hadits yang
saya hafal, pasti dapat saya sebutkan sanad (rangkaian perawi-perawi)-nya.
2. Sa’id
bin Jubair
Riwayat:
Nama aslinya ialah Sa’id bin Jubair bin Hisyam al Asadi al Walabi, beliau
termasuk orang yang hidup pada masa pertengahan Tabi’in, wafat tahun 95 H
Guru: Anas
bin Malik, Ad Dlahak bin Qais Al Fahri, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin
Abbas, Abi Hurairah, ’Aisyah, dll
Murid:
Ja’far bin Abi Mughirah, Habib bin Abi Tsabit, Salamah bin Kuhail, dll
Kredibilitas:
menurut Ibnu HAjar derajatnya tsiqqah tsubut faqih, sedangkan
menurut Ad-Dzahabi beliau termasuk salah satu orang yang ‘alim.
3.
Abi Burdah[4]
Riwayat: Nama lengkapnya adalah Abu Burdah bin Abi Musa al-Asy’ariy
Guru : al-Aswad bin Yazid an-Nakhiy, al-Aghriy
al-Mazaniy, Khadzifah bin Al-Yaman, Abdullah bin Yazid al-Anshoriy al-Khutmiy,
ayah Abi Musa al-Asy’ariy, dan Abu pada Abu Hurairah.
Murid: Ibrahim bin Abdurahman as-Sakhsakhy,
Ibnu Ibnu Abu Burdah Yazid bin Abdullah bin Abi Burdah bin abi Musa al-Asyariy,
Bisyri bin Qurrah, Bakir bin Abdullah bin al-Asyj, anaknya Bilal bin Abi Burdah
bin Abi Musa al-Asyariy.
Kredibilitas : Ahmad bin ‘Abdulllah al’ijly berkata
“orangnya patuh dan tsiqah” Abdurrahman binYusufbinKharasyberkata“shaduq”
4.
Abu Musa al-Asy`ari
Nama aslinya adalah Abdullah bin
Qais bin Sulaim bin Hadhdhar bin Harb bin Amir bin `Atr bin Bakar bin Amir bin
`Azr bin Wail bin Najih bin al-Jumahir bin al-Asy`ar, atau lebih dikenal dengan
Abu Musa al-Asy`ari. Dikabarkan bahwa Abu Musa pergi ke Makkah sebelum Hijrah,
lalu ia masuk Islam dan ikut hijrah ke kota Habasyah.
Beliau meriwayatkan hadis dari Nabi Saw, Abu
Bakar, Umar, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka`ab, Ammar bin Yasir,
Mu`az bin Jabal. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah
Ibrahim, Abu Bakar, Abu Burdah, Musa, mereka adalah anak-anaknya, Ummu
Abdullah, Anas bin Malik, Abu Sa`id al-Khudri, Thariq bin Syihab, Abu Abd
ar-Rahman as-Sulami, Zur bin Hubais, Zaid bin Wahb, Ubaid bin Umair, Auf bin
Malik, Abu al-Aswad ad-Daili, Sa`id bin Musayyab, Abu Usman an-Nahdi, Qais bin
Abi Hazim, Abu Rafi` ash-Shani`, Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas`ud, Masruq
bin Aus, Huzail bin Syurahbil, Murrah bin Syarahil, al-Aswad bin Yazid
an-Nakh`i, Abd ar-Rahman bin Yazid an-Nakh`i, Hiththan bin Abdullah ar-Raqasyi,
Rabi`i bin Harasy, Zahdam bin Mudharrib, Abu Wail, Shafwan bin Muhriz, dll.
Pada zaman kepemimpinan Umar bin Khathab, Abu Musa ditugaskan memimpin di
Bashrah, dan pada masa kepemimpinan Usman, beliau ditugaskan di Kufah.
Asy-Sya`bi berkata, “Ambillah ilmu pada enam orang, salah satunya adalah Abu
Musa al-Asy`ari.” Ibnu al-Madini berkata, “Qadhi umat Islam ada empat: Umar,
Ali, Abu Musa, dan Zaid bin Tsabit.”
Ulama berbeda pendapat tentang tahun
meninggalnya Abu Musa al-Asy`ari. Abu Ubaidah mengatakan bahwa ia meninggal
tahun 42 Hijriah, Abu Nuaim mengatakan pada tahun 44 H. Menurut al-Haitsam bin
`Adi ia meninggal dunia pada tahun 50 H, namun ada pendapat yang mengatakan
pada tahun 51 H, dan 53 H. Umurnya persis umur Rasul 63 tahun, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah.
عن سعيد بن أبي بردةعن أبيه عن جده : أن النبي صلى الله عليه وسلم بعث معاذاوأباموسى إلى اليمن قال ( يسرا ولاتعسراوبشراولاتنفر
اوتطاوعا ولاتختل
Abu Musa
al-Asy`ari
Abi Burdah
Sa’id bin Jubair
H.
I’tibar
Hadits
Berdasarkan data di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa hadits utama tersebut telah memenuhi asas ketersambungan sanad
tanpa mengalami keterputusan perawi. Karena para perawi yang meriwayatkan
memiliki hubungan guru dan keluarga, yaitu: Sa’id bin Jubair adalah putra dari Abi
Burdah. Sedangkan Abi
Burdah adalah putra
dari Abu Musa
al-Asy`ari yang Pada zaman
kepemimpinan Umar bin Khathab, Abu Musa ditugaskan memimpin di Bashrah, dan
pada masa kepemimpinan Usman, beliau ditugaskan di Kufah. Abu musa sendiri mendengar langsung dari Nabi SAW.
Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa hadits utama tersebut
merupakan hadits Masyhur Shahih dari segi sanad, sehingga dapat
dijadikan hujjah.
I.
Penjelasan Hadist
Semua takdir Allâh Azza wa Jalla pasti mengandung hikmah,
karena Allâh Azza wa Jalla adalah al-Hakîm (Yang Maha Bijaksana). Allâh
Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan kepada kita tentang hikmah penciptaan
dalam beberapa ayat al-Qur’ân, diantaranya adalah:
Maha suci Allâh yang di
tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang
lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (al-Mulk/67: 1-2)
Juga
firman-Nya yang artinya, “Dia-lah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum
itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik
amalnya.” (Hûd/11: 7)
Juga
firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah
menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka
siapakah di antara mereka yang lebih baik perbuatannya. (al-Kahfi/18: 7)
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa diantara hikmah Allâh Azza
wa Jalla menciptakan makhluk ini adalah sebagai ujian bagi manusia, agar tampak
siapakah di antara mereka yang lebih baik perbuatannya. Termasuk adanya
perselisihan bahkan perpecahan diantara manusia atau bahkan di antara kaum
muslimin, adalah sebagai ujian siapa di antara mereka yang paling baik
perbuatannya.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata,
“Yaitu agar Allâh Azza wa Jalla menguji kamu. Karena Dia telah menciptakan apa
saja yang ada di langit dan di bumi dengan disertai perintah-Nya dan
laranganNya, lalu Dia akan melihat siapa diantara kamu yang paling baik
perbuatannya. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, ‘Yang paling ikhlas dan
paling shawab (benar)’. Beliau ditanya, ‘Hai Abu ‘Ali, apakah (yang dimaksud
dengan) ‘yang paling ikhlas dan paling shawab (benar)?’ Beliau menjawab,
‘Sesungguhnya amalan itu jika ikhlas, tetapi tidak benar, tidak akan diterima.
Dan jika benar, tetapi tidak ikhlas, tidak akan diterima. Amal akan diterima
jika ikhlas dan benar. Ikhlas maksudnya amalan itu untuk wajah Allâh dan benar
maksudnya amalan itu mengikuti syari’at dan sunnah”. [5]
Kewajiban seorang Muslim adalah berpegang teguh dengan
al-Qur’ân dan as-Sunnah, dan bersikap adil dalam hukum dan perkataan. Bersikap
adil dalam menghukumi antara orang Muslim dengan orang kafir, antara Ahlus
Sunnah dengan ahlul bid’ah, antara orang yang taat dengan orang yang
bermaksiat, dengan menerima kebenaran dari orang yang membawanya, jika telah
nyata kebenarannya.
Tidak
boleh fanatik kepada pendapat pribadinya, atau pendapat gurunya, atau pendapat
siapapun yang menyelisihi al-Qur’ân dan as-Sunnah.
Dan
kewajiban semua orang Muslim untuk mengembalikan permasalahan yang
diperselisihkan kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah. Allâh Azza wa Jalla berfirman,
yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah
Rasul-Nya, dan ulil amri (ulama dan umaro’) di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh
(al-Qur’ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh
dan hari kemudian.” (an-Nisâ’/4:59)
J.
Pandangan ulama
Imam
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,[6]
“Allâh Azza wa Jalla perintahkan manusia
agar mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’alamengulangi
kata kerja (yakni: ta’atilah !) dalam rangka memberitahukan bahwa mentaati
Rasul-Nya wajib secara otonomi, dengan tanpa meninjau ulang perintah beliau
dengan al-Qur’an. Jika beliau memerintah, maka wajib ditaati secara mutlak,
baik perintah beliau itu ada dalam al-Qur’ân atau tidak ada. Karena sesungguhnya
beliau n diberi al-Kitab dan yang semisalnya.”
Beliau rahimahullah juga berkata, “Kemudian Allâh
memerintahkan orang-orang yang beriman agar mengembalikan apa yang mereka
perselisihkan kepada kepada Allâh dan Rasul-Nya, jika mereka orang-orang yang
beriman. Dan Allâh Azza wa Jalla memberitakan kepada mereka, bahwa itu lebih
utama bagi mereka di dunia ini, dan lebih baik akibatnya di akhirnya. Ini
memuat beberapa perkara :
a).
Orang-orang yang beriman terkadang berselisih pada sebagian hukum. Perselisihan
ini tidak menyebabkan mereka keluar dari iman, selama mereka mengembalikan apa
yang mereka perselisihkan itu kepada Allâh (al-Qur’an) dan Rasul-Nya,
sebagaimana yang disyaratkan oleh Allâh Azza wa Jalla . Dan sudah tidak
diragukan lagi bahwa (jika) sebuah hukum ditetapkan dengan sebuah syarat
(tertentu), maka hukum itu akan hilang seiring dengan hilangnya syarat.
b).
Firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu,” mencakup seluruh masalah agama yang diperselisihkan oleh kaum
Muslimin, baik yang kecil maupun yang besar, yang tampak jelas maupun yang
masih samar.
c).
Seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa mengembalikan kepada Allâh maksdunya adalah
mengembalikan kepada kitab-Nya; mengembalikan kepada Rasul-Nya (maksudnya)
adalah mengembalikan kepada diri beliau di saat hidup beliau, dan kepada Sunnah
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafat beliau.
d). Allâh Azza wa Jalla menjadikan
keharusan mengembalikan seluruh perkara yang diperselisihkan kepada Allâh dan
Rasul-Nya sebagai kewajiban dan konsekwensi iman. Jika ini tidak ada, maka iman
hilang.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan,
A. Qadir. Ilmu Musthalah Hadits.
Bandung: CV Diponegoro, 2007
Abdillah
Muhammad, Abu bin Ismail bn Ibrahim al Mughiroh bin Bardizbah al ju’fiy, FathulBary
(DarulFikr: Beirut) juz XIII
Al-Mizan, jilid 16
Qoyyim rahimahullah, Imam Ibnul, I’lâmul Muwaqqi’in , (Kairo: Darul
Hadits , 2002
Tafsir Nemouneh, jilid 3
Taisîr Karîmir Rahmân