makalah tentang islam wetu telu dan wetu limo



BUDAYA SASAK LOMBOK



Oleh Kelompok XIII
BAMBANG HARIANTO                                                            1510300045

Dosen Pengampu
PUJI KURNIAWAN,MA.Hk



HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANG SIDIMPUAN

2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ilahi rabbi atas segala limpahan Rahmat, kasih sayang dan nikmat yang tiada tara sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda nabi besar Muhammad SAW semoga kita semua bisa mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak.amiin.
Kami berharap Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam menjalani kehidupan sosial saat ini dan Kami berharap pula semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini supaya kedepannya dapat lebih baik.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun ke arah yang lebih sempurna.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 3
A.    Latar Belakang............................................................................................................. 3
B.     Rumusan Masalah........................................................................................................ 3
C.     Tujuan........................................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 4
1.      Sejarah........................................................................................................................... 4
2.      Perkembangan Islam Wetu Telu dan waktu lima..................................................... 7
a.       ajaran pokok................................................................................................................. 10
b.      keberdaan islam wetu telu di tengah masyarakat sasak........................................... 10
c.       kontak dengan dunia luar dan pengaruhnya............................................................ 11
BAB III
KESIMPULAN ........................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA         


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam di Asia Tenggara khususnya Indonesia, sejak lama oleh kalangan Islam Timur Tengah serta oleh para Islamolog dianggap Islam pinggiran yang tidak murni lagi.Streotipe semacam itu misalnya dilakukan oleh Antropolog seperti Clifford Geertz dalam studinya mengenai Islam di Jawa. Menurutnya ada tiga variasi Islam di Jawa, yaitu Islam Santri, Priyayi dan Abangan. Islam Santri adalah tipikal dari Grea Tradition, sedangkan Islam Priyayi dan Abangan merupakan bagian dari Litle Tradition yang memiliki banyak unsur distorsif dari Islam pada umumnya.[1] Kategorisasi di atas menciptakan atmosfir ketegangan yang tidak ada habisnya antara Islam dan lokalitas di Indonesia yang notabene memiliki keragaman kultural dan etnik, ketegangan antara Islam dan lokalitas tersebut muncul dari yang paling lunak sampai paling vulgar.
Islam di Nusantara memiliki keunikan tersendiri karena beragamnya manifestasi keislaman. Unsur lokalitas memiliki ruang yang sama luasnya dengan unsur Islam sehingga keduanya membentuk bangunan tersendiri melalui proses akulturasi yang rumit. Di sinilah, kemudian muncul beragam manifestasi keislaman yang sifatnya lebih sinkretis, seperti Islam Jawa, Islam Ara di Sulawesi Selatan, Islam Wetu Telu di Nusa Tenggara Barat, dan sebagainya. Selama ini, para Islamolog, birokrasi negara dan kalangan Islam mayoritas (Islam murni) masih melihat fenomena Islam lokal dari kacamata modern sehingga Islam lokal dianggap sebagai fenomena keagamaan yang menyimpang. Hal ini disebabkan karena secara paradigmatis Modernisme melihat kebenaran sebagai sesuatu yang tunggal, utuh dan universal, sedangkan eksistensi di luarnya adalah fakta yang distorsif dan karenanya perlu distandarisasi dengan ukuran-ukuran modern. Oleh sebab itu, tulisan ini selanjutnya akan menganalisis fenomena Islam lokal di atas, dengan menghampirkan Islam Wetu Telu di Bayan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Islam Wetu Telu dan Wetu Limo?
2.      Bagaimana Ritual Islam Wetu Telu dan Wetu Limo?
3.      Bagaimana Pandangan Islam terhadap Wetu Telu dan Wetu Limo?
C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk megetahui Sejarah Islam Wetu Telu dan wetu limo.
  1. Untuk mengetahui  hal apasaja yang ada diIslam Wetu Telu dan wetu limo.
  2. Untuk mengetahui sejauh mana Pengaruh Islam Wetu Telu dan wetu limo terhadap Masyarakat sasak yang ada dilombok


BAB II

PEMBAHASAN


A.      Sejarah singkat tentang Islam Wetu Telu dan Islam Wetu Limo

 Penelitian sosiologis ilmuwan Barat abad ke-20, seperti Van Eerde dan Professor Bousquet, menunjukkan bahwa di kalangan masharà'at Sasak terdapat tiga kelompok keagamaan; Sasak Boda, Waktu Lima dan Wetu Telu. Sasak Boda disebut-sebut sebagai agama asli masharà'at Lombok. Kendati dari penyebutannya mirip dengan kata Budha, mereka bukanlah penganut Budhisme, karena mereka tidak mengakui Sidharta Gautama sebagai figur utama pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya.[2] Menurut Erni Budiwanti, agama Boda ditandai oleh animisme[3] dan panteisme[4]. Pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dari berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek Sasak Boda.
Penganut Boda merupakan komunitas kecil dan masih ditemukan pada awal abad ke-20, tinggal di bagian utara Gunung Rinjani [Kecamatan Bayan dan Tanjung] dan di beberapa desa di sebelah selatan Gunung Rinjani. Diduga, dulunya mereka berasal dari bagian tengah pulau Lombok dan mengungsi ke wilayah pegunungan untuk menghindari proses islamisasi.
Sementara penganut Wetu Telu diidentikkan dengan mereka yang dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat kuat berpegang kepada adat-istiadat nenek moyang mereka. Dalam ajaran Wetu Telu, terdapat banyak nuansa Islam di dalamnya. Namun demikian, artikulasinya lebih dimaknakan dalam idiom adat. Di sini warna agama bercampur dengan adat, padahal adat sendiri tidak selalu sejalan dengan agama. Pencampuran praktek-praktek agama ke dalam adat ini menyebabkan watak Wetu Telu menjadi sangat sinkretik.
Beberapa kalangan melihat fenomena Wetu Telu dalam makna yang sama dengan penganut Islam abangan atau Islam Jawa di Jawa, sebagaimana trikotomi yang diajukan Geertz, dan ditulis oleh Mark Woodward. Namun penyebutan Islam Wetu Telu ini disangkal oleh Raden Gedarip, seorang pemangku adat Karangsalah. Menurutnya, Islam hanya satu, tidak ada polarisasi antara waktu tiga [Wetu Telu] dan Waktu Lima. “Sebenarnya Wetu Telu bukan agama, tetapi adat”, ucapnya.[5] Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa masharà'at adat Wetu Telu ini mengakui dua kalimah syahadat, “Tuhan kami yang kuasa dan nabi Muhammad sebagai utusan Allah”. Dua kalimat syahadat pun diucapkan oleh penganut Wetu Telu ini, Setelah diucapkan dalam bahasa Arab, kata Gedarip, diteruskan dalam bahasa Sasak, misalnya: Asyhadu Ingsun sinuru anak sinu. Anging stoken ngaraning pangeran. Anging Allah pangeran. Ka sebenere lan ingsun anguruhi. Setukhune nabi Muhammad utusan demi Allah. Allahhuma shali Allah sayidina Muhammad”. Artinya: “Kami berjanji [bersaksi] bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan kami percaya bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Disebut “berjanji” karena diakui sudah menerima agama Islam.
Selanjutnya ia mensinyalir bahwa lahirnya istilah Islam Wetu Telu ini berasal dari zaman penjajahan Belanda yang menjalankan politik devide et et impera untuk memecah belah kekuatan Islam dengan melakukan dikotomi Islam Wetu Telu versus Islam Waktu Lima.
Bagi komunitas Wetu Telu di Bayan, salah satu daerah konsentrasi penganut Wetu Telu, paling tidak ada empat konsepsi mengenai Wetu Telu. Walau berbeda-beda, keempatnya merupakan satu kesatuan pengertian, karena masing-masing tokoh yang diwawancarai mengakui konsepsi yang dikemukakan oleh tokoh Wetu Telu lainnya.
Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa Wetu Telu berarti tiga sistem reproduksi, dengan asumsi kata Wetu berasal dari kata Metu, yang berarti muncul atau datang dari, sedangkan Telu berarti tiga. Secara simbolis hal ini mengungkapkan bahwa semua makhluk hidup muncul [metu] melalui tiga macam sistem reproduksi: 1] melahirkan [menganak], seperti manusia dan mamalia; 2] bertelur [menteluk], seperti burung; dan 3] berkembang biak dari benih atau buah [mentiuk], seperti biji-bijian, sayuran, buah-buahan, pepohonan dan tetumbuhan lainnya. Tetapi fokus kepercayaan Wetu Telu tidak terbatas hanya pada sistem reproduksi, melainkan juga menunjuk pada Kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk hidup untuk hidup dan mengembangbiakkan diri melalui mekanisme reproduksi tersebut.[6]
Kedua, persepsi yang mengatakan bahwa Wetu Telu melambangkan ketergantungan makhluk hidup satu sama lain. Menurut konsepsi ini, wilayah kosmologis itu terbagi menjadi jagad kecil dan jagad besar. Jagad kecil disebut alam raya atau maya pada yang terdiri atas dunia, matahari, bulan, bintang dan planet lain, sedangkan manusia dan makhluk lainnya merupakan jagad kecil yang selaku makhluk sepenuhnya tergantung pada alam semesta.
Ketiga, konsepsi yang menyatakan bahwa Wetu Telu sebagai sebuah sistem agama termanifestasi dalam kepercayaan bahwa semua makhluk melewati tiga tahap rangkaian siklus; dilahirkan [menganak] hidup [urip] dan mati [mate].
Kegiatan ritual sangat terfokus pada rangkaian siklus ini. Setiap tahap, yang selalu diiringi upacara, merepresentasikan transisi dan transformasi status seseorang menuju status selanjutnya; juga mencerminkan kewajiban seseorang terhadap dunia roh.
Keempat, konsepsi yang menyatakan bahwa pusat kepercayaan Wetu Telu adalah iman kepada Allah, Adam dan Hawa. Konsep ini dari pandangan bahwa unsur-unsur penting yang tertanam dalam ajaran Wetu Telu adalah:
1. Rahasia atau Asma yang mewujud dalam panca indera tubuh manusia.
2. Simpanan Ujud Allah yang termanifestasikan dalam Adam dan Hawa. Secara simbolis Adam merepresentasikan garis ayah atau laki-laki, sementara Hawa merepresentasikan garis ibu atau perempuan. Masing-masing menyebarkan empat organ pada tubuh manusia.
3. Kodrat Allah adalah kombinasi 5 indera [berasal dari Allah] dan 8 organ yang diwarisi dari Adam [garis laki-laki] dan Hawa [garis perempuan]. Masing-masing kodrat Allah bisa ditemukan dalam setiap lubang yang ada di tubuh manusia-dari mata hingga anus.[7]
B. Ritual-Ritual Islam Wetu Telu dan Wetu Limo
Sehubungan dengan kepercayaan ini, penganut Wetu Telu mengadakan ritual-ritual yang terkait dengan siklus tersebut. Adapun ritual-ritual [upacara] yang terkait dengan kehidupan dinamakan gawe urip, yang mencakup seluruh tahapan hidup manusia semenjak dilahirkan hingga menikah. Yang termasuk dalam gawe urip, antara lain:[8]
1. Buang Au [Upacara Kelahiran], merupakan upacara pembuangan abu dari arang yang dibakar dukun beranak [belian] setelah membantu persalinan. Upacara ini dilaksanakan kira-kira satu minggu setelah melahirkan. Pada saat itu pula orang tua mengumumkan nama anaknya setelah berkonsultasi dengan pemangku atau kyai mengenai nama yang cocok untuk anaknya.
2. Ngurisang [Pemotongan Rambut], merupakan upacara pemotongan rambut yang dilakukan setelah buang au. Upacara ini diadakan untuk seorang anak yang sudah mencapai usia antara 1 sampai 7 tahun. Ngurisang dianggap penting karena setelah ini anak yang menjalaninya disebut selam [Muslim] sebagai lawan dari Boda, artinya orang yang belum di-Islam-kan.
3. Ngitanang [Khitanan], yang dilakukan saat anak berusia antara 3 hingga 10 tahun. Seperti buang au dan ngurisang, ngitanang juga dipandang sebagai simbol peng-Islam-an. Seorang anak masih tetap Boda sampai ia dikhitan.
4. Merosok [Meratakan Gigi], merupakan upacara yang menandai peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Dalam upacara ini pemangku atau kyai menghaluskan gigi bagian depan anak laki-laki dan gadis remaja yang berbaring di berugak.[9]
5. Merari/Mulang [“mencuri” Gadis] dan Metikah [Perkawinan]
Sedangkan ritual-ritual yang dilaksanakan berkaitan dengan kematian disebut gawe pati [ritual kematian dan pasca kematian]. Upacara ini dilaksanakan mulai dari hari penguburan [nusur tanah], hari ketiga [nelung], hari ketujuh [mituk], hari kesembilan [nyiwak], hari keempat puluh [matang puluh], keseratus [nyatus] hingga hari keseribu [nyiu].
Upacara-upacara ini bertujuan untuk menggabungkan arwah si mati dengan dunia leluhur. Hal ini terkait erat dengan persepsi penganut Wetu Telu bahwa kematian adalah suatu tahap untuk menjamin tahapan yang lebih tinggi, yakni keluhuran [lingkaran leluhur] dan ritual-ritual untuk menjamin tercapainya tahapan ini. Melalui do’a yang dibaca pada saat upacara diyakini bahwa arwah si mati dipertemukan dengan para leluhurnya. Dari keempat konsep yang saling mengaitkan dan merupakan satu kesatuan diatas ,warna Islam memang ada dalam kepercayaan wetu telu. Warna islam juga dapat ditemukan dalam ritual-ritual yang berkaitan dengan hari besar islam seperti:[10]

1. Rowah Wulan dan Sampet Jum’at
Kedua upacara ini dimaksudkan untuk menyambut tibanya bulan puasa [Ramadlan]. Rowah Wulan diselenggarakan pada hari pertama bulan Sya’ban, sedangkan Sampet Jum’at dilaksanakan pada jum’at terakhir bulan Sya’ban. Tujuannya adalah sebagai upacara pembersihan diri menyambut bulan puasa, saat mereka diminta untuk menahan diri dari perbuatan yang dilarang guna menjaga kesucian bulan puasa.
Upacara-upacara ini tergolong unik, karena masharà'at Wetu Telu sendiri tidak melakukan puasa. Yang melaksanakan hanyalah para Kiai, itupun tidak sama dengan tata cara berpuasa yang dilakukan oleh penganut Waktu Lima.
2. Maleman Qunut dan Maleman Likuran
Maleman Qunut merupakan peringatan yang menandai keberhasilan melewati separuh bulan puasa. Upacara ini dilaksanakan pada malam keenam belas dari bulan puasa. Bila dibandingkan dengan Waktu Lima, pada malam keenam belas dalam pelaksanaan rakaat terakhir shalat witir setelah shalat tarawih disisipkan qunut. Barangkali atas dasar ini kemudian Wetu Telu menyelenggarakan Maleman Qunut.
Sedangkan Maleman Likuran merupakan upacara yang dilaksanakan pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan puasa. Perayaan tersebut dinamakan maleman selikur, maleman telu likur, maleman selae, maleman pitu likur, dan maleman siwak likur. Pada malam ini masharà'at Wetu Telu secara bergiliran menghidangkan makanan untuk para kyai yang melaksanakan shalat tarawih di masjid kuno. Adapun pada malam ke-22, 24, 26, dan 28 dirayakan dengan makan bersama oleh para kyai. Perayaan ini disebut sedekah maleman likuran.
3. Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi
Maleman Pitrah identik dengan saat membayar zakat fitrah dikalangan wetu limo. Hanya saja dalam tradisi Wetu Telu terdapat sejumlah perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya dengan wetu limo. Dalam tradisi Wetu Telu, maleman Pitrah merupakan saat dimana masing-masing anggota masyarakat mengumpulkan pitrah kepada para kyai yang melaksanakan puasa dan hanya dibagikan di antara para kyai saja. Bentuk pitrah pun berbeda. Dalam ajaran waktu limo, yang menditradisi di kalangan islam pada umummya, zakat pitrah hanya berupa bahan makanan dengan jumlah tertentu dan hanya dikeluarkan untuk orang-orang yang hidup. Dalam tradisi Wetu Telu, Pitrahnya berupa makanan, hasil pertanian, maupun uang, termasuk uang kuno, dan berlaku baik untuk yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Untuk yang masih hidup Pitrah itu disebut Pitrah Urip, sedangkan untuk yang sudah meninggal disebut Pitrah Pati.
Sedangkan Lebaran Tinggi identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Fitri bagi penganut Waktu Lima. Bedanya, dalam upacara Lebaran Tinggi diadakan acara makan bersama antara pemuka agama dan pemuka adat, serta masharà'at penganut Wetu Telu.
4. Lebaran Topat
Lebaran Topat diadakan seminggu setelah upacara Lebaran Tinggi. Dalam perayaan ini, seluruh Kyai dipimpin Penghulu melakukan Sembahyang Qulhu Sataq atau shalat empat rakaat yang menandai pembacaan surat Al-Ikhlas masing-masing seratus kali. Lebaran Topat berakhir dengan makan bersama di antara para kyai. Dalam perayaan ini, ketupat menjadi santapan ritual utama.
5. Lebaran Pendek
Lebaran Pendek identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Adha di kalangan Waktu Lima. Pelaksanaannya dilakukan dua bulan setelah lebaran topat. Dimulai dengan shalat berjamaah di antara para Kyai disusul acara makan bersama dan setelah itu dilanjutkan dengan pemotongan kambing berwarna hitam.
6. Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang
Upacara Selametan Bubur puteq dan bubur abang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram dan 8 Safar menurut penanggalan Wetu Telu. Upacara ini untuk memperingati munculnya umat manusia dan beranak pinaknya melalui ikatan perkawinan. Bubur puteq [bubur putih] dan bubur abang [bubur merah] merupakan hidangan ritual utama yang dikonsumsi dalam upacara ini. Bubur putih melambangkan air mani yang merepresentasikan laki-laki, sedangkan bubur merah melambangkan darah haid yang merepresentasikan perempuan.
7. Maulud
Dari penyebutannya, terkesan bahwa upacara ini terkait dengan upacara peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dilaksanakan oleh Waktu Lima. Kendati waktu pelaksanaannya sama, yakni pada bulan Rabi’ul Awal, Wetu Telu merayakannya untuk memperingati perkawinan Adam dan Hawa. Seperti upacara-upacara lainnya, berdo’a dan makan bersama ditemukan dalam upacara ini.
Sedangkan kepercayaan lainnya adalah kepercayaan akan roh leluhur dan makhluk halus yang menempati benda-benda mati yang disebut penunggu [penjaga]. Roh leluhur dianggap penting dalam kepercayaan Wetu Telu, sebagai bukti bahwa antara mereka yang hidup saat ini memiliki keterkaitan dengan serta kewajiban atas mereka yang sudah meninggal dunia. Oleh karena itu, setiap upacara, apapun namanya, selalu diawali dengan upacara pembersihan makam dan meletakkan benda-benda untuk diinapkan di makam leluhur sebelum semua upacara dilaksanakan. Ini dimaksudkan untuk meminta izin sekaligus memberitahu para leluhurnya bahwa mereka mengadakan suatu upacara. Waktu Lima Kendati waktu pelaksanaannya sama, yakni pada bulan Rabi’ul Awal, Wetu Telu merayakannya untuk memperingati perkawinan Adam dan Hawa. Seperti upacara-upacara lainnya, berdo’a dan makan bersama ditemukan dalam upacara ini.
Sedangkan kepercayaan lainnya adalah kepercayaan akan roh leluhur dan makhluk halus yang menempati benda-benda mati yang disebut penunggu [penjaga]. Roh leluhur dianggap penting dalam kepercayaan Wetu Telu, sebagai bukti bahwa antara mereka yang hidup saat ini memiliki keterkaitan dengan serta kewajiban atas mereka yang sudah meninggal dunia. Oleh karena itu, setiap upacara, apapun namanya, selalu diawali dengan upacara pembersihan makam dan meletakkan benda-benda untuk diinapkan di makam leluhur sebelum semua upacara dilaksanakan. Ini dimaksudkan untuk meminta izin sekaligus memberitahu para leluhurnya bahwa mereka mengadakan suatu upacara.
C. Pandangan Islam terhadap Wetu Telu dan Wetu Limo
Wilayah-wilayah nusantara yang pertama tertarik masuk Islam adalah pusat-pusat perdagangan di kota-kota besar di daerah pesisir. Islam ortodok dapat masuk secara mendalam di kepaulauan luar Jawa, yang memiliki hanya sedikit pengaruh Hindu dan Budha. Sementara itu di Jawa, agama Islam mengahadapi resistensi dari Hinduisme dan Budhisme yang telah mapan. Dalam proses seperti ini, Islam tidak saja harus menjinakkan sasarannya, tapi juga harus memperjinak diri.[11] Benturan dan resistensi dengan kebudayaan-kebudayaan setempat memaksa Islam untuk mendapatkan simbol yang selaras dengan kemampuan penangkapan kultural dari masharà'at setempat.
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masharà'at. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarak-jarak kultural.
Seperti telah diketahui bahwa Islam disebarkan ke nusantara sebagai kaedah normatif di samping aspek seni budaya. Sementara itu, masharà'at dan budaya di mana Islam itu disosialisasikan adalah sebuah alam empiris. Dalam konteks ini, sebagai makhluk berakal, manusia pada dasarnya beragama dan dengan akalnya pula mereka paling mengetahui dunianya sendiri. Pada alur logika inilah manusia, melalui perilaku budayanya senantiasa meningkatkan aktualisasi diri. Karena itu, dalam setiap akulturasi budaya, manusia membentuk, memanfaatkan , mengubah hal-hal paling sesuai dengan kebutuhannya.[12]
Sebagai pranata lokal, hukum Islam bagi komunitas Islam Waktu Lima di Bayan maupun kaum Muslim pada umumnya di pulau Lombok tidak dapat lepas dari hukum adat, karena jauh sebelum Islam masuk ke Lombok, adat atau hukum adat telah bersemi sebagai perwujudan budaya lokal suku Sasak. Kemudian adat memperoleh kesahihannya setelah Islam menjadi keyakinan mayoritas suku bangsa ini, dan dalam pengertian pengertian ini dapat dikatakan bahwa adat dan ajaran Islam merupakan satu kesatuan sebagai tata nilai tunggal yang dirumuskan dalam terminologi “adatgama”. Artinya ada suatu dialektika antara hukum adat dan hukum Islam, dan pada gilirannya merasuki hampir semua aspek komunitas, memberikan batasan-batasan mana yang boleh dan mana yang dilarang. Apabila terdapat perbedaan adat dengan nilai-nilai Islam, seperti praktek dan ritual adat Wetu Telu, maka yang berlaku adalah prinsip-prinsip kebenaran mutlak dari agama Islam yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah.
Pemahaman ini memberikan pengertian bahwa apabila prinsip-prinsip adat ingin tetap dipertahankan, maka ia harus menyesuaikan diri dengan ajaran agama, dan konsep inilah menurut paham suku Sasak disebut sebagai adat luir gama, bahwa adat dapat berlaku dan dijadikan pedoman dalam kehidupan bila sudah bersandar kepada agama, atau senada dengan falsafah adat Minangkabau, yang menyatakan: “Adat basandi sharà' dan syara basandi kitabullah”.[13]


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pandangan komunitas Wetu Telu di Lombok, secara substansial Wetu Telu merupakan sistem norma yang mengikat dan sebagai pedoman dasar masharà'at dalam berinteraksi sehari-hari sesama warga, maka ia disebut “adat”, maupun dalam rangka persembahan kepada leluhur, maka ia disebut “kepercayaan Wetu Telu”. Berdasarkan rumusan ini untuk mengetahui secara aktual berlakunya adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan atau “hukum adat”, tercermin melalui aktivitas individu warga, baik berupa ide-ide tindakan-tindakan, gagasan-gagasan, persepsi-persepsi, maupun keputusan-keputusan dari ototritas hukum yang legitimit. Demikian juga dengan norma-norma yang bersumber dari “kepercayaan Wetu Telu”, dapat didentifikasi melalui ritus-ritus sakral yang disampaikan melalui penuturan yang bersifat lisan maupun tertulis dari berbagai kalangan, atau dari pengamatan lapangan atas upacara-upacara singkat keagamaan yang dilakukan oleh komunitas masharà'at tersebut. Perilaku aktual dari Wetu Telu ini dapat berupa pembacaan do’a secara bersama-sama berupa sanjungan kepada leluhur yang diidentifikasi sebagai roh yang mempunyai kekuatan ghaib, atau dapat berupa upacara sembahyang di masjid kuno Bayan dengan ritus-ritus bernuansa magis, di bawah pimpinan Kiai dan para santrinya, selaku imam dan pelaksanaan ibadah Islam Wetu Telu.
Dialektika adat dan kepercayaan Islam Wetu Telu melahirkan sifat-sifat majemuk dari suatu kehidupan sosial di mana warga masharà'at berada dan tunduk pada berbagai aturan pluralistik. Dari heterogenitas budaya ini, melahirkan perilaku masharà'at untuk selalu memberikan hormat kepada warga yang lebih tua, seperti para tetua adat, kepada pimpinan agama mereka [Kiai] selaku pemegang otoritas tradisional yang berpengaruh. Fenomena itu, membentuk kecenderungan kepada cara pandang masharà'at bahwa dalam konteks budaya mereka kedudukan pejabat informal lebih penting dari pejabat formal. Asumsi ini berakar pada keyakinan bahwa orang-orang yang mengemban jabatan-jabatan informal sebagai manifestasi dari pemegang otoritas tradisional, adalah keturunan dari leluhur mereka “pendiri desa Bayan” atau orang-orang selaku panutan dalam konteks ibadah.
Serangkaian nilai-nilai budaya lokal suku Sasak di Bayan Lombok berupa sistem adat dan kepercayaan lokal sekaligus “agama”, yakni “adat” dan “kepercayaan Wetu Telu”, pada hakekatnya dalam bahasa Koentjaraningrat,
sebagaimana dikutip dalam disertasi Idrus Abdullah,[14] merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karya, atau merupakan pengalaman masharà'at tersebut, menghasilkan sistem nilai tertentu sebagai budaya bersama milik bersama suku Sasak di wilayah ini, yakni tentang apa yang dianggap buruk –dan karenanya harus dihindari—dan apa yang dianggap baik harus dipelihara, sekaligus dipertahankan.
B. Saran
1.      Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat membedakan antara Islam Wetu Telu dan Wetu Limo  serta dapat melihat sisi baik dan buruknya.
2.      Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat memahami pandangan islam terhadap kebudayaan sasak
3   Diharapkan kepada pembaca memberikan saran dan kritikan yang membangun


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Idrus, Penyelesaian Sengketa Melalui Mekanisme Pranata Lokal di Kabupaten Lombok Barat, Jakarta: Program Pasca Sarjana UI, 2000.
Ambary, Hasan Muarif, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Jakarta: Logos, 2001
Budiwanti, Erni, Islam Sasak, Yogyakarta: LKiS, 2000
Dahlan, Abdul Aziz, [ed.], Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Geertz,  Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981.


[1] Lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981).

[2]Erni Budiwanti, Islam Sasak, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm.8.
[3] Animisme adalah kepercayaan kepada roh-roh yang di anggap mendiami benda [pohon, batu, sungai,, gunung dan sebagainya].
[4] Panteisme 1] ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta; 2] penyembahan /pemujaan kepada semua Dewa dari berbagai kepercayaan.
[5] Masjid Kuno dan Wetu Telu di Bayan Lombok”, tanggal 14 Januari 2004, dalam http://www.lomboknews.com di akses pada tanggal 25 november 2016
[6]Erni Budiwanti, Op. Cit., hlm. 136.
[7] Ibid., hlm. 139.
[8] Ibid., hlm. 184-191.
[9] Berugak adalah sebutan untuk bangunan sederhana berbentuk bale-bale yang terbuat dari kayu dengan empat buah tiang dan beratapkan rumbai sebagai tempat menerima tamu dan beristirahat
[10] Erni Budiwati, Op. Cit., hlm. 156-182
[11] Taufik Abdullah, Sejarah dan Masharà'at: Lintasan Historis Islam di Indoensia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 3.
[12] Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia (Jakarta: Logos, 2001), hlm. 251.
[13] Abdul Aziz Dahlan, [ed.], Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 21.
[14] Idrus Abdullah,  Penyelesaian Sengketa Melalui Mekanisme Pranata Lokal di Kabupaten Lombok Barat, Jakarta: Program Pasca Sarjana UI, 2000.