BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Ketika
kita berbicara mengenai menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum nasional,
maka diperlukan sistem kerja positivisasi hukum Islam yang dapat diterima
secara keilmuan dan dalam proses demokratisasi, bukan indoktrinasi. Strategi
positivisasi hukum Islam berbeda dengan konsep resepsi di masa yang lalu,
karena resepsi tidak mengenal usaha yang strategis dan demokratis, yang
disebabkan bahwa teori resepsi itu sendiri bagian dari perwujudan indoktrinasi
yang anti-Islam.
Sedangkan
positivisasi ini tetap melalui proses keilmuan dalam disiplin ilmu hukum (jurisprudence)
jika ditinjau dari aspek akademik, dan tetap dalam koridor demokratisasi jika
ditinjau dari segi sistem politik yang demokratis. Terdapat strategi dan
pendekatan yang lain yang biasanya dilaksanakan oleh pemerintah di negara yang
mengklaim sebagai negara yang menjalankan syariat Islam. Yaitu, dengan
menggunakan logika dan dasar bahwa setiap orang Islam harus menjalankan syariat
Islam: suatu pendekatan yang disebut dengan istilah normatif
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
positivisasi hukum Islam dalam pembinaan hukum Islam di Indonesia?
2.
Bagaimana
legislasi hukum Islam dalam pembinaan hukum Islam di Indonesia?
3.
Bagaimana
metode legislasi hukum Islam?
4.
Bagaimana
langkah-langkah positivisasi hukum Islam di Indonesia?
5.
Apa
saja peluang dan tantangan dan positivisasi hukum Islam?
C. Tujuan
makalah
1.
Untuk
mengetahui positivisasi hukum Islam dalam pembinaan hukum Islam di Indonesia.
2.
Untuk
mengetahui legislasi hukum Islam dalam pembinaan hukum Islam di Indonesia
3.
Untuk
mengetahui metode legislasi hukum Islam
4.
Untuk
mengetahui langkah-langkah positivisasi hukum Islam di Indonesia
5.
Untuk
mengetahui peluang dan tantangan dan positivisasi hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
- Positivisasi Hukum Islam dalam pembinaan Hukum Islam di Indonesia
Indonesia, seperti negara bekembang lainnya, selalu berusaha
menjalankan pembangunan hukum nasional, yang dalam praktik syarat dengan nuansa
dan pengaruh politik penguasa. Perubahan politik, memasuki era reformasi akan
mengalami perubahan yang cukup mendasar. Memasuki era reformasi arah dan
kebijakan hukum nasional yang juga sekaligus merupakan politik hukum nasional
harus berlandaskan pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999, yang
merupakan produk era reformasi.[1]
Menurut GBHN 1999, bahwa pembangunan hukum nasional secara
garis besar bersumber pada hukum adat, hukum agama, dan hukum dari luar,
khususnya dari dunia barat. Untuk membuat sebuah undang-undang, ada tiga bahan
baku yang kita gunakan, salah satunya adalah hukum Islam. Ketika kita berbicara
mengenai positivisasi hukum Islam, maka sasaran utamanya adalah menjadikan
hukum Islam sebagai sumber pembuatan undang-undang. Mencakup juga pengertian
lain yang lebih luas, termasuk putusan hakim, kebiasaan dan doktrin.[2]
Terdapat tiga bentuk dalam pembinaan hukum nasional, yaitu :
Pertama : menjadikan hukum
Islam sebagai hukum positif yang hanya berlaku bagi warga negara yang beragama
Islam.
Kedua : memfungsikan
hukum Islam dengan cara mengekspresikan materi hukum Islam atau prinsip-prinsip
dan moralitas untuk diintegrasikan ke dalam hukum nasional yang akan berlaku
bagi warga negara.
Ketiga : memfungsikan
hukum Islam dalam proses pengambilan kebijakan publik (Public Policy Making).[3]
- Legalisasi Hukum Islam dalam Hukum di Indonesia
Legislasi atau pengundangan diartikan sebagai prosedur yang
harus dilalui oleh suatu peraturan atau sistem hukum yang akan diberlakukan dan
mempunyai kekuatan mengikat umum. Proses legislasi ini merupakan kewenangan
lembaga legislatif dan eksekutif.[4]
Di beberapa negara telah diupayakan legislasi hukum Islam, memasukkan hukum
Islam ke dalam peraturan perundang-undangan. Di Indonesia implementasi syari’at
atau hukum Islam melalui kekuasaan negara melibatkan perdebatan yang panjang
dan pahit dalam indonesia modern. Masa-masa awal kemerdekaan, Islam berjuang
sekuat tenaga untuk memasukkan satu frase dalam pembukuan UUD 1945, yang
mewajibkan penduduk beragama Islam untuk senantiasa menjalankan kewajiban agama
mereka. Hal inilah yang dikenal Piagam Jakarta yang diyakini dapat memberi
dasar konstitusional bagi penerapan syariat atau hukum Islam di Indonesia.
Usaha tersebut berhasil karena resistensi yang kuat dari kalangan non muslim
dan nasionalis sekuler, yang mayoritas adalah kaum muslim juga. Pada awal masa
orde baru, perdebatan berlanjut ketika partai-partai Islam meminta pemerintah
untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta sebagai bagian integral dalam
pembukuan UUD 1945. Usaha ini kembali menemui jalan buntu karena militer tidak
mengizinkan isu tersebut didiskusikan pada sidang-sidang MPR R.I tahun
1966-1967.[5]
Meskipun Piagam Jakarta yang akan memberi status konstitusional pada syariat
tidak diakomodasi oleh pemerintahan masa Soeharto sebagai bagian dari UUD 1945,
beberapa aspek yang berkenaan dengan syariat telah dilegislasikan dalam sistem
hukum nasional. Paling sedikit ada lima aturan hukum yang secara kuat
dipengaruhi oleh syariat, telah dilegislasikan dalam hukum positif dimasa
Soeharto, yaitu: UU Perkawinan, Peraturan Wakaf, Peradilan Agama, Hukum yang
membolehkan beroperasinya perbankan Islam, dan Kompilasi hukum Islam yang
terkait deng kodifikasi hukum keluarga dalam Islam termasuk aturan waris. Dan
semasa pemerintahan Habibie (1998-1999) ada tambahan dua UU yang mencakup
penyelenggaraan haji dan pengelolaan zakat.[6]
D.
Metode
Legislasi Hukum Islam
Proses legislasi dalam pandangan hukum Islam adalah berarti
untuk menggali dan mengadopsi hukum Islam kemudian dijadikan sebagai
perundang-undangan untuk mengatur masyarakat atau negara. Namun sebelum jauh
membahas tentang proses legislasi tersebut, ada hal yang harus diperhatikan
menyangkut paradigma yang mendasari aspek legislasi hukum tersebut, yaitu :
- Pertama : bahwa hak untuk membuat hukum hanyalah milik Allah SWT, manusia tidak punya hak untuk membuat keputusan hukum. Dengan demikian keputusan hukum untuk memberikan penilaian baik buruknya sesuatu hanyalah hak Allah. Oleh karena itu syariat Islamlah yang mesti dijadikan sebagai patokan bagi perundang-undangan untuk mengatur masyarakat maupun negara.
- Kedua : setelah memahami bahwa hukum hanyalah hak Allah, maka selanjutnya dalam rangka menerapkan atau mengamalkan hukum tersebut.
Allah
SWT berfirman :
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya”. ( QS: Al-Isra’ : 36 )
Rasulullah
SAW juga bersabda :
إِذَا
حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا حَكَمَ
فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
“Jika seorang hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad
kemudian benar, maka baginya dua pahala, dan jika ia memutuskan perkara lalu
berijtihad kemudian salah maka baginya satu pahala”.
Ayat maupun Hadits di atas menegaskan bahwa ketika kita
mengamalkan atau memutuskan hukum dalam penyelesaian problem kehidupan, maka
haruslah merujuk pada petunjuk Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun
Hadits Rasulullah SAW. Proses penggalian dan pemahaman terhadap nash syara’
tersebut disebut sebagai proses ijtihad. Atas dasar itu metode legislasi
hukum Islam tentu didahului oleh proses ijtihad bagi orang-orang yang sudah
mampu kemudian hasil istimbathnya akan dijadikan sebagai hukum yang mengatur
kehidupan masyarakat maupun negara. Dengan kata lain konsepsi hukum yang telah
digali oleh seorang mujtahid akan menjadi perundang-undangan yang siap untuk
diterapkan.
E.
Langkah-Langkah
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Proses usaha yang ditempuh adalah dengan jalur sebagai
berikut:
- Melakukan pengkajian kitab-kitab fiqh
Ini dilakukan dengan mengumpulkan kitab-kitab hukum atau
kitab fiqh. Ketika pertama kali melakukan kodifikasi hukum Islam di Indonesia,
langkah ini menggunakan kitab sebanyak 38 buah kitab yang dimintakan kepada 7
IAIN yang dintunjuk untuk mengkaji dan diminta pendapatnya, disertai
argumentasi/dalil-dalil hukumnya. Selain dari pengkajian kitab-kitab tersebut,
juga diambil hasil-hasil fatwa yang berkembang di Indonesia, seperti Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Majelis Tarjih
Muhammadiyah, dan lain-lain.[7]
- Melakukan wawancara dengan para ulama
Teknis pelaksanaan wawancara ketika pertama kali melakukan
kodifikasi hukum Islam di Indonesia dulu, Bustanul Arifin mengatakan wawancara
ini bisa dilakukan melalui dua cara. Pertama, mempertemukan mereka untuk
diwawancarai bersama-sama, dan Kedua, dengan cara terpisah, apabila cara
pertama tidak mungkin dilaksanakan. Adapun penyeleksian tokoh ulama dilakukan
Panitia Pusat berkerjasama dengan Ketua Pengadilan Tinggi Agama setempat dengan
acuan: 1) semua unsur organisasi Islam yang ada diikut sertakan sebagai
komponen. 2) tokoh ulama yang berpengaruh di luar unsur organisasi yang ada,
dan diutamakan ulama yang mengasuh lembaga pesantren.
- Melakukan Yurispudensi Pengadilan Agama
Penggarapan jalur ini dilaksanakan oleh Direkorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam terhadap putusan Pengadilan Agama yang telah
dihimpun dalam 15 buku.
- Melakukan studi perbandingan hukum dengan negara lain
Jalur
ini dilaksanakan dengan mengunjungi dan melakukan studi banding di
negara-negara Muslim seperti Pakistan, Mesir dan Turki. Studi banding tersebut
meliputi:
- Sistem pendidikan
- Masuknya syari’ah law dalam hukum nasional
- Sumber hukum dan hukum materiil yang menjadi pegangan atau terapan hukum di bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) yang menyangkut kepentingan muslim.
- Melaksanakan lokakarya atau seminar materi hukum untuk Peradilan Agama
Beberapa organisasi Islam mengadakan seminar tentang
Kompilasi Hukum Islam, di antaranya diselenggarakan Majelis Tarjih Muhammadiyah
Yogyakarta, dihadiri Menteri Agama dan ketua MUI, Hasan Basri. Juga Syuriah NU
Jawa Timur, mengadakan bahsul masail tiga kali di tiga pondok pesantren, yaitu
Tambak Beras, Lumajang, dan Sidoarjo. Sebagai puncak kegiatan proses dan
perumusan kompilasi hukum Islam, setelah pengumpulan data, pengolahan, dan
penyusunan Draft oleh tim yang ditunjuk, diadakan Lokakarya Nasional dalam
rangka menyempurnakan kerja tim. Lokakarya ini dimaksudkan untuk menggalang
ijma (konsensus) ahli-ahli hukum Islam dan hukum umum di Indonesia.[8]
F.
Peluang
dan Tantangan dalam melegalisasikan hukum Islam di Indonesia
Ada
beberapa faktor pendukung bagi legislasi hukum Islam di Indonesia, yaitu:
- Mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam sehingga memperjuangkan hukum Islam dalam hukum nasional kemungkinan juga mendapat dukungan mayoritas rakyat.
- Pada tataran yuridis konstitusional, berdasarkan sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 1945, hukum Islam adalah bagian dari hukum nasional dan harus ditampung dalam pembinaan hukum nasional.
- Sistem politik Indonesia memberikan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya aspirasi politik Islam, termasuk aspirasi untuk melegislasikan hukum Islam.
- Hukum Islam sendiri memiliki elastisitas dalam batas-batas tertentu disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan umat Islam Indonesia.
Sebaliknya,
ada beberapa tantangan legislasi hukum Islam, yaitu:
- Perbedaan pendapat dikalangan muslim sendiri, ada yang mendukung gagasan legislasi hukum Islam dan ada yang menolaknya.
- Dikalangan muslim sendiri mengenai suatu masalah fiqih yang memang memungkinkan adanya perbedaan pendapat ketika akan diundangkan.
- Adanya resistensi dari kalangan non muslim yang menganggap legislasi hukum Islam di negara nasional akan menempatkan mereka seolah-olah sebagai warna negara kelas dua dan ini juga dipicu oleh sikap dan pernyataan sebagian gerakan Islam sendiri yang justru kontra produktif bagi perjuangan hukum Islam.
- Selama pandangan hidup, nilai-nilai budaya, dan apa yang ingin dipertahankan dan dicapai melalui legislasi beragam karena heterogenitas bangsa, selama itu pula legislasi hukum Islam lebih-lebih yang unikatif akan sulit dilakukan.
- Produk legislasi adalah produk politik sehingga untuk berhasil memperjuangkan legislasi hukum Islam harus mendapat dukungan suara mayoritas di lembaga pembentukan hukum, dan fakta politik menunjukkan bahwa aspirasi politik Islam bukan mayoritas di Indonesia, sebagaimana tampak dari hasil pemilihan umum yang pernah diselenggarakan.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Legislasi atau pengundangan diartikan sebagai prosedur yang
harus dilalui oleh suatu peraturan atau sistem hukum yang akan diberlakukan dan
mempunyai kekuatan mengikat umum. Arah dan kebijakan hukum nasional merupakan
politik hukum nasional harus berlandaskan pada Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) Tahun 1999. Menurut GBHN 1999, bahwa pembangunan hukum nasional secara
garis besar bersumber pada hukum adat, hukum agama, dan hukum dari luar,
khususnya dari dunia barat. Beberapa aspek yang berkenaan dengan syariat telah
dilegislasikan dalam sistem hukum nasional. Paling sedikit ada lima aturan
hukum yang secara kuat dipengaruhi oleh syariat, telah dilegislasikan dalam
hukum positif dimasa Soeharto, yaitu: UU Perkawinan, Peraturan Wakaf, Peradilan
Agama, Hukum yang membolehkan beroperasinya perbankan Islam, dan Kompilasi
hukum Islam yang terkait dengan kodifikasi hukum keluarga dalam Islam termasuk
aturan waris.
Metode legislasi hukum Islam didahului oleh proses ijtihad
kemudian hasil istimbathnya akan dijadikan sebagai hukum yang mengatur
kehidupan masyarakat maupun negara. Dengan kata lain konsepsi hukum yang telah
digali oleh seorang mujtahid akan menjadi perundang-undangan yang siap untuk
diterapkan. Langkah-langkah positivisasi hukum islam yaitu: melakukan
pengkajian kitab-kitab fiqh, melakukan wawancara dengan para ulama, melakukan
Yurispudensi Pengadilan Agama, melakukan studi perbandingan hukum dengan negara
lain, melaksanakan lokakarya atau seminar materi hukum untuk Peradilan Agama.
B.
Saran
Demikianlah makalah kami jika pembaca
menemukan banyak kesalahan konten maupun penulisan kami mohon maaf daripadanya,
karena yang baik datangnya dari Allah. Kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna kemajuan makalah kami kearah yang lebih baik. Semoga makalah
singkat ini dalam menambah khazanah kelimuan kita semua dalam memperluas ilmu
pengetahuan khususnya dalam Ilmu
politik.
C.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah,
Masyikuri, dkk, Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia Sebuah Pergulatan Yang Tak
Pernah Tuntas , Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005.
Azizy,
Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional
Kompotisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Cet. I; Yogyakarta : Gama Media, 2002.
Burhanuddin,
Syari’at Islam Pandangan Muslim Liberal
, Cet. I; Jakarta: The Asia Fondation, 2003.
Jazuni, legislasi Hukum Islam di Indonesia ,
Cet. I; Bandung: Citra Aditiya Bakti, 2005
Rofiq,
Ahmad, Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000
Sodiqin,
Ali,
Fiqh, Dan Usul Fiqh , Cet. II; Yogyakarta : Beranda Publishing,
2012.
[1] Qadri
Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Kompotisi Antara Hukum Islam dan Hukum
Umum (Cet. I; Yogyakarta : Gama Media, 2002). hlm. 174
[3] Masyikuri
Abdillah, dkk, Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia Sebuah Pergulatan
Yang Tak Pernah Tuntas (Cet. I; Renaisan, 2005). hlm. 326-328
[4] Ali Sodiqin, Fiqh,
Dan Usul Fiqh (Cet. II; Yogyakarta : Beranda Publishing, 2012). hlm. 285.
[5] Burhanuddin,
Syari’at Islam Pandangan Muslim Liberal (Cet. I; Jakarta: The Asia Fondation,
2003). hlm. 60
[9] Jazuni, legislasi
Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Bandung: Citra Aditiya Bakti, 2005), hlm.
489-490