makalah ushul fiqh: hukum wadhi



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan dari hal kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci. Pada dasarnya hukum syara’ ditetapkan Allah adalah sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya. Rahmat Allah itu merata diberikan tanpa terkecuali. Karena itu pada aslnya hukum itu ditujukan kepada semua manusia mukallaf tanpa terkecuali. Disamping itu hukum Allah mengandung pembatasan-pembatasan, perintah-perintah, dan larangan-larangan yang pada dasarnya masih dalam batas-batas kemampuan mukallaf untuk melaksanakanya, kareana Allah tidak memberati seseorang kecuali dalam batas kemampuanya.[1]
Melihat semakin kompleksnya masalah-masalah yang dihadapi manusia pada era perkembangan zaman, ushul fiqh muncul dengan beberapa hukum syara’ menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Dalam makalah ini akan menjelaskan tentang hukum wadh’I beserta macam-macamnya. Untuk memahami hal tersebut kami memiliki beberapa penjelasan mengenai hukum wadh’i yang tersusun dalam makalah ini.

B.       Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1.        Apakah pengertian dari hukum wadh’i ?
2.        Apa pembagian hukum wadh’i ?

C.     Tujuan makalah
1.        Agar mengetahui pengertian hukum wadh’i itu sendiri.
2.        Agar mengetahui apa yang menjadi suatu sebab, syarat, penghalang, atau menjadikan keringanan sebagai ganti dari hukum asal, dan sah atau tidak sah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Wadh’i

Yang dimaksud dengan hukum Wadh’I  adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (man’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut.[2]

B.     Pembagian Hukum Wadh’i

Hukum wadh’i terbagi menjadi lima bagian, berdasarakan penelitian diperoleh ketetapan, bahwasannya hukum wadh’i ada kalanya menghendaki untuk menjadi suatu sebab, syarat, penghalang, atau menjadikan keringanan sebagai ganti dari hukum asal, dan sah atau tidak sah.[3]
1.        Sebab
a)      Pengertian sebab
Sebab menurut bahasa berarti sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain. Yang dimaksud dengan sebab disini adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’I sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum.[4] Misalnya, tindakan perzinaan menjadi sebab ( alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada pembibingnya. Adanya sesuatu yang menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya hukum.
b)      Pembagian sebab
Para jumhur ulama ushul fiqh membagi sebab kepada dua macam:[5]
1)        Sebab yang diluar kemampuan mukalaf, namun demikian,sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang mukalaf. Misalnya, tergelincirnya matahari menjadi sebab ( alasan) bagi datangnya waktu shalat zuhur, masuknya bulan ramadhan menjadi sebab ( alasan ) bagi kewajiban melakukan puasa ramadhan, dan keadaan terdesak menjadi sebab bagi bolehnya sesorang memakan sesuatu yang diharamkan.
2)        Sebab yang berada dalam batas kemampuannya mukalaf. Misalnya, perjalanan menjadi sebab bagi bolehya berbuka puasa di siang hari ramadhan, pembunuhan disengaja menjadi sebab bagi dikenakan hukum qisas atas pelakunya, dan akad transaksi jual beli  menjadi sebab bagi perpindahan milik dari pihak penjual kepada pihak pembeli.

2.        syarat
a)      pengertian syarat
menurut bahasa kata syarat berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai tanda. Namun yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan berada diluar dari hakikat sesuatu itu.[6] Misalnya, wudhu adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti adanya shalat tergantung kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan merupakan bagian sholat.
b)      Pembagian syarat
Para ulama membagi syarat menjadi beberapa bagian:
1.        Syarat hakiki ( syar’i) syarat yang datang langsung dari syariat sendiri. Misalnya, keadaan  rusyid ( kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubazir) bagi seorang anak yatim di jadikan oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya sebagaimana firman allah:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا [٤:٦]
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS.An-Nisa:6).

2.        Syarat ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemampuan orang mukalaf itu sendiri. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya “ jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talakmu satu” dan seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk membayarkan utang si pulan dengan syarat si pulan itu tidak mampu membayar utangnya itu.

3.        Mani’
a)      Pengertian mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti penghalang dari sesuatu. Namun secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh abdul karim zaidan,[7]
ما رَتَّبَ الشَّارِعُ عَلَى وُجُوْدِهِ عَدَمُ وُجَوْدِالحُكْمَ أَوْعَدَمُ السَّبَبَ اَيْ بُطْلَانُهُ
 mani’ yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Misalnya: hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan (waris-mewarisi ). Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan bagian warisan dari harta ayah atau suami yang wafat sesuai dengan bagian masing-masing akan tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah tersebut. Jadi, yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan warisan itu karena membunuh orang yang mewarisi.[8]
b)      Pembagian mani’
Para ulama Ushul fiqh membagi mani’ menjadi dua macam:[9]
1)        mani’ al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hokum. Misalnya, keadaan haid bagi wanita ditetapkan Allah sebagai mani’ (penghalang) bagi kecakapan wanita itu untuk melakukan sholat, dan oleh karena itu sholat tidak wajib dilakukan saat haid.
2)        mani’ al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak tidak lagi mempunyai akibat hokum. Contohnya, bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun, jika pemilik harta itu dalam keadaan berhutang dimana hutang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fiqih keadaan berhutang itu menjadi mani’ (penghalang) bagi wajib zakat pada harta yang dimilikinya itu, telah menghilangkan predikatnya sebagai orang kaya sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta.
            Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani’ sangat erat. Penghalang itu ada bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syari’ menetapkan bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang (mani’) dalam melaksanakannya. Sebaliknya, hukum tidak ada apabila sebab dan syarat-syaratnya tidak ada, atau adanya halangan untuk mengerjakannya.
4.        Rukhshah dan Azimah
Rukhshah merupakan hukum tambahan bukan hukum asli. Rukhshah adalah keringanan hukum yang telah disyariatkan oleh Allah atas mukallaf dalam keadaan tertentu yang sesuai dengan keringanan tersebut. Atau sesuatu yang disyariatkan karena ada uzur yang memberatkan dalam keadaan tertentu. Atau diperbolehkannya sesuatu yang dilarang dengan suatu alasan, meskipun larangan itu tetap berlaku.[10]
Maka hendaknya setiap mukallaf memilih mana yang meringankannya yang dapat melepaskannya dari kesukaran dan kesulitan. Sedang kesukaran itu sendiri dari segi berat ringannya antara seorang dengan orang lain selalu berbeda sesuai dengan perbedaan tekad dan cita-citanya, setiap manusia tidak sama menilai sesuatu perbuatan apakah berat atau ringan, karena itu batasan yang lebih konkrit tentang keringanan itu tidak ditemukan. Syara’ hanya meletakkan dasarnya dalam rangka dugaan seperti dalam perjalanan dianggap syara’ sebagai kesukaran karena biasanya memang terdapat kesukaran dan selain itu diserahkan kepada ijtihad para mukallaf.[11]
Macam-macam rukhshah antara lain:[12]
1)      Diperbolehkannya suatu larangan ketika keadaan darurat atau menurut kebutuhan. Jika ada seseorang yang dipaksa mengucapkan kata-kata kafir, maka ia boleh mengucapkannya dengan tetap tidak senang mengucapkannyadan hatinya tetap dalam keadaan iman.
2)      Kebolehan seorang mukallaf meninggalkan kewajiban ketika terdapat uzur kesulitan menunaikannya. Barang siapa yang sakit  di siang hari bulan Ramadhan atau sedang bepergian, maka ia boleh terbuka.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُالْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [٢:١٨٥]
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

3)      Sahnya sebagian akad yang bersifat pengecualian yang tidak memenuhi syarat umum sebagian sahnya akad tersebut, namun hal itu berlaku dala muamalah umat manusia dan menjadi kebutuhan mereka.
4)      Menghapus hukum-hukum yang oleh Allah SWT telah diangkat dari kita. Sedangkan hukum itu adalah termasuk beban yang berat atas umat sebelum kita.
Dari macam-macam Rukhshah ini, jelaslah bahwa keringanan yang diberikan kepada mukallaf oleh syari’kadang-kadang berupa diperbolehkannya sesuatu yang haram karena darurat, diperbolehkannya kewajiban karena uzur, atau dikecualikannya akad diantara hukum global karena adanya kebutuhan.
‘azimah merupakan hukum-hukum yang telah disyariatkan oleh Allah secara umum sejak semula yang tidak terbatas pada keadaan tertentu dan pada perorangan (mukallaf) tertentu. Umpamanya sholat lima waktu diwajibkan kepada setiap orang, diwajibkan pada semua keadaan asal saja mukallaf dipandang cakap melakukannya.
Yang dimaksud ‘azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan terdiri atas hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu berlaku bagi setiap mukallaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat atau pertimbangan lain) dan sebelum peraturan tersebut belum ada peraturan lain yang medahuluinya. Misalnya, bangkai menurut hukum asalnya adalah haramdimakan oleh semua orang. Ketentuan itu disebut juga ketentuan pokok.[13]
5.        Sah dan batal
Sah secara harfiah berarti “lepas tanggung jawab” atau “gugur kewajiban dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat”. Umpamanya shalat yang dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’, jadi sah juga berarti suatu perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf sudah ditetapkan rukun dan syaratnya dan perbuatan itu harus disesuaikan dengan perintah Allah dan tidak dilanggar.[14]
Batal merupakan kebalikan dari sah, yang dapat diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia, dan di akhirat pun tidak memperoleh pahala. Setiap perbuatan yang kurang rukun dan syaratnya serta bertentangan dengan ketentuan syara’ dinamakan batal.[15]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan yang telah dijelaskan di atas maka dapat disimpulkan bahwa : Hukum wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu. Adapun yang menjadi bagian dari hukum wadh’i ada 5 yaitu, sebab, syarat, mani’, Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad, ‘Azimah dan rukhsah.
a.       Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan mengkaitkan keberadaan musabab, dengan ketiadaannya.
Contoh: perbuatan zina menyebabkan seseorang dikenai hukuman dera 100 kali
b.      Syarat ialah sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaannya hukum syara’ bergantung kepadanya.
c.       Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keberadaannya menjadi ketiadaan hukum atau ketiadaan sebab, maksudnya batalnya sebab itu.
d.      As-shihah yaitu tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya ada, syarat terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu, sedangkan bathl berarti rusak dan gugur hukumnya dan fasad yaitu perubahan sesuatu dari keadaan yang semestinya (sehat).
e.       ‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah kepada seluruh hambanya sejak semula, sedagkan rukhsah yaitu keringanan melakukan sesuatu dlam keadaan tertentu.
Jadi jelaslah bahwa kita harus mengetahui dalil hukum yang harus kita lakukan dan menjadi pedoman dalam melakukan sesuatu agar tidak menyalhi aturan yang sudah ditetapkan oleh syara’.
B.     Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA


\               Khallaf,  Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Effendi, Satria, Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Group, 2005.
Karim, Syafe’i, Fiqih-Ushul fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 1997.
Koto, Alaidin, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Syafe’I, Rachmat, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta; Logos Wacana Ilmu


[1] Amir Syarifudin. Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 1997). Cet 1. Hlm 320.
[2] Alaidin koto, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh. ( Jakarta: Rajawali Pers, 2011). Hlm.49.
[3] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005). Hlm. 141.
[4]Alaidin koto, op.cit. hlm. 49
[5] Satria effendi, Ushul Fiqh. (Jakarta: Prenada Group, 2005). Hlm. 62-63.
[6] Ibid, hlm 64
[7] Ibid, hlm 66
[8] Rachmat Syafe’i, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm. 314
[9] Satria effendi, op. cit. hlm.67
[10] Alaidin koto, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh. ( Jakarta: Rajawali Pers, 2011). Hlm.55.
[11] Syafe’i Karim, Fiqih-Ushul fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), hlm. 123
[12] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 167
[13] Ibid. hlm,55.
[14] Alaidin koto, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh. ( Jakarta: Rajawali Pers, 2011). Hlm.53.
[15] Alaidin koto,op cit…53.