makalah wacana islam kontemporer



WACANA ISLAM KONTEMPORER


Oleh Kelompok XIII
ALVIN RAMADHY SIREGAR                                                 1510300034
BAMBANG HARIANTO                                                            1510300045

Dosen Pengampu
PUJI KURNIAWAN,MA.Hk



HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANG SIDIMPUAN

2016




KATA PENGANTAR


Alhamdulillahi Rabbil’alamin, marilah kita panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala dimana kita masih diberikan nikmat kesehatan, kesempatan serta hidayah dan taufik, suatu nikmat yg begitu banyak dan besar sehingga makalah ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya. Shalawat serta salam tak lupa pula kita kirimkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, sahabat serta keluarganya sebab jasa beliaulah yang membawa umat manusia ke jalan yang diridhai Allah SWT. 

 Kita menyadari bahwa makalah Metodologi Studi Islam ini masih banyak terdapat kekurangan dari segala aspek olehnya itu, kami sangat membutuhkan masukan dan arahan agar sekiranya kami dapat membenahinya dalam penulisan selanjutnya, dan kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah memberikan sumbangsi pemikirannya, semoga Allah SWT memberkahi kita semua, amiin.

DAFTAR ISI
                                                                                                                         Halaman
KATA PENGANTAR......................................................................................       i
DAFTAR ISI......................................................................................................       ii
BAB  I  PENDAHULUAN ..............................................................................       1
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................       2
A.    Pengertian Islam ............................................................................       2
B.     Islam dan HAM .............................................................................       2
C.     Islam dan Pluralisme ......................................................................       2
D.    Islam dan Gender ..........................................................................       3
E.     Islam dan Demokrasi .....................................................................       6
BAB III KESIMPULAN .................................................................................       11
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................       12



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
   Sebagai agama terakhir,islam diketahui memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan agama-agama yang datang sebelumnya. Melalui berbagai literatur yang membicarakan tentang pandangan islam terhadap HAM, Pluralisme, Gender  dan demokrasi. Dalam upaya memahami ajaran Islam,berbagai aspek yang berkenaan dengan islam perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat dihasilkan pemahaman islam yang komprehensif. Hal ini perlu dilakukan, karena kualitas pemahaman keislaman seseorang akan dipengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan keislaman yang bersangkutan. Kita barangkali sepakat terhadap kualitas keislaman seseorang yang benar-benar komprehensif dan berkualitas. Untuk itu uraian penjelasan pada makalah ini diarahkan untuk mendapatkan hasil pemahaman tentang islam yang demikian itu.

B. Rumusan Masalah
a.       Bagaimana pandangan islam terhadap HAM?
b.      Bagaimana pandangan islam terhadap  Pluralisme?
c.       Bagaimana pandangan islam terhadap  Gender?
d.      Bagaimana pandangan islam terhadap  Demokrasi?

C. Tujuan Penulisan
a.       Agar kita dapat mengetahui bagaimana cara pandang islam terhadap HAM
b.      Agar kita dapat mengetahui bagaimana cara berdemokrasi dalam Islam
c.       Sebagai  memenuhi tugas makalah metodologi studi islam
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Islam
    Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian islam,yaitu dari segi bahasa dan peristilahan.kedua sisi pengertian tentang islam dapat dijelaskan sebagai berikut.
   Dari segi bahasa Islam berasal dari bahasa  arab,yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat,sentosa,dan damai.dari kata salima selanjutnya berubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.[1]
  Senada dengan pendapat diatas, sumber lain mengatakan bahwa islam berasal dari bahasa arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa.dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang berarti  melihara dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula menyaerahkan diri, tunduk, patuh dan taat.kata aslama.kata aslama itulah yang menjadi kata islam yang mengandung arti segala arti yang terkandung dalam arti pokoknya.oleh sebab itu,orang yang  berserah diri, patuh, dan taat disebut sebagai orang muslim.orang yang demikian berarti telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, dan patuh kepada allah Swt.orang tersebut selanjutnya akan dijamin keselamatannya di  dunia dan akhirat.[2]
  Adapun pengertian islam menurut istilah yaitu:
  Harun nasution mengatakan bahwa islam menurut istilah(islam sebagai agama),adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan tuhan kepada masyarakat manusia melalui nabi Muhammad Saw.sebagai rasul.Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan  hanya mengenal satu segi, tetapi mengenai  berbagai segi dari kehidupan manusia.[3]
  Nurcholis Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan merupakan hakikat dari pengertian Islam. Sikap ini tidak saja merupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya, tetapi ia diajarkan oleh-Nya dengan disangkutkan kepada alam manusia, sehingga pertumbuhan perwujudannya pada manusia selalu bersifat dari alam, tidak tumbuh, apalagi dipaksakan dari luar, karena cara yang demikian menyebabkan Islam tidak otentik, karena kehilangan dimensinya yang paling mendasar dan mendalam, yaitu kemurnian dan keikhlasan.[4]
Sementara itu maulana muhammad ali mengatakan bahwa islam adalah agama perdamaian ;dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan allah dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata, bahwa agama islam itu selaras benar dengan namanya. Islam bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh nabi allah, melainkan pula pada segala sesuatu yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya kepada undang-undang allah, yang kita saksikan pada alam semesta.[5]
  Dengan demikian, secara istilah islam adalah nama bagi suatu agama yang berasal dari allah swt. Nama islam demikian itu memiliki perbedaan yang luar biasa dengan nama agama  lainnya. Kata islam tidak mempunyai hubungan dengan orang tertentu atau dari golongan manusia atau dari suatu negeri. Kata islam adalah nama yang diberikan oleh tuhan sendiri. Hal demikan dapat dipahami dari petunjuk ayat-ayat alquran yang diturunkan oleh allah swt.
B. Islam dan HAM
Bicara HAM maka tidak terlepas dari pandangan hukum pidana Islam. Karena, hukum pidana Islam oleh kalangan para ilmuan hingga saat ini masih dianggap sebagai konsep perundang-undangan Islam yang melanggar HAM. Hukum pidana Islam, atau dalam istilah fiqih disebut dengan fiqih jinayah, merupakan bagian dari fiqih Islam yang mengatur tentang hukum-hukum kriminalitas. Tindakan kriminalitas tersebut dikenal dengan istilah jarimah, sehingga kadang tindakan pidana dalam Islam di sebut juga dengan jarimah atau jinayah. Secara struktural, hukum pidana Islam diderivasi dari sumber hukum Islam, yaitu al-Qur‟an dan Hadis. Nas-nas (ayat-ayat) al-Qur‟an dan Hadis-hadis Nabi menjadi guide line dalam pengembangan wilayah kajian atau muatan hukum pidana Islam ini, khususnya ketentuan hukuman mati.[6]
Hak Asasi Manusia (HAM), dipercaya memiliki nilai universal. Nilai universal berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu.[7]
Sementara itu, Islam yang merupakan agama wahyu, dimana seluruh aspek kehidupan diatur secara sempurna dalam syariat Islam, telah mengenal dan memberlakukan HAM ala Islam dengan sebaik-baiknya. Dalam Islam dikenal istilah, “Maqashid as-Syariah  atau tujuan utama pemberlakuan syariat Islam, yang apabila aturan-aturan tersebut di terapkan secara murni dan konsekuen, maka HAM setiap manusia di seluruh muka bumi ini akan terjamin. Tegasnya perbedaan antara Islam dan Barat dalam memandang konsep HAM, yang pertama lebih bersifat religius (ketuhanan), sedangkan Barat lebih bersifat sekuler. Dunia barat berorientasi hanya kepada manusia (pribadi), maka pertanggungjawabannya juga kepada manusia semata. Sedangkan Islam, orientasinya kepada Tuhan, maka pertanggung-jawabannya selain kepada manusia juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.[8]
Dari perbedaan cara pandang antara Islam dan Barat terhadap pemaknaan konsep HAM, hal ini berimplikasi terhadap perbedaan cara pandang dalam menyikapi makna hak untuk hidup (rights to live) itu sendiri, khusunya terkait hukuman mati dan perbedaan tersebut berdampak luas kepada kritikan dan tuduhan negatif terhadap hukum pidana Islam, yang mana hukum pidana Islam sendiri yang bersumber dari Tuhan atau al- Quran dan Hadis yang jelas membolehkan atau mengesahkan terhadap hukuman mati terhadap manusia. Hukuman mati inilah yang menjadi perdebatan, disatu sisi hukuman mati dianggap sebagai salah satu instrumen untuk menimbulkan efek jera dan pembalasan.
Namun, di sisi lain hukuman mati dianggap sebagai pidana yang paling kejam dan tidak manusiawi bahkan secara ekstrim dianggap sebagai pidana yang menyebabkan hilangnya hak asasi manusia (HAM) yang paling pokok bagi manusia yakni hak untuk hidup. Pro dan kontra terhadap hukuman mati di sebabkan cara pandang konsep HAM yang berbeda. Barat memaknai konsep HAM dalam hal ini hak untuk hidup manusia semata-mata hanya bersifat antroposentris (hak sepenuhnya milik manusia) dimana manusia merupakan ukuran terhadap segala sesuatu atau mengenai nasib manusia. Sedangkan Islam memaknai konsep hak untuk hidup lebih bersifat theosentris (manusia dititipi hak oleh Tuhan).[9]dimana Tuhanlah yang maha tinggi dan manusia hanya ada untuk mengabdi kepada-Nya.dari pandangan theosentris ini mungkin akan terlihat bahwa manusia seolah-olah tidak mempunyai hak-hak dan mempunyai kewajiban manusia kepada allah mencakup kewajibannya kepada masyarakat dan kepada setiap individu lainnya.   Hal ini tentu wajar jika dikalangan umat muslim pada umumnya khususnya Islam radikal, mendambakan kebangkitan hukum syar‟ah yakni hukum pidana Islam sebagai hukum yang berlaku, yang tentunya memberlakukan kembali hukuman qisas yang dalam hal ini adalah hukuman mati. Hal ini semakin kuat anggapan bahwa hukuman mati adalah perintah Tuhan yang wajib untuk dijalankan, tanpa memandang kontekstualisasi ayat terhadap makna HAM dan keadilan.

C. Islam dan Pluralisme
Ada yang menganngap paham ini bermanfaat untuk meredam konflik antar-umat beragama, paham ini memang dapat diterima oleh kalangan masyarakat. Sebab, paham ini memang sangat laku diterima oleh lembaga masyatakat barat. Salah satunya program liberalisasi islam diindonesia, menurut Greg Barton adalah penyebaran pluralisme agama memang tidak bisa dipahami hanya mengatakan bahwa masyarakat kita(indonesia) majemuk, beraneka ragam, yang terdiri dari berbagai suku, dan agama. Pluralisme tidak hanya menyingkirkan fanatisme, namun harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam keadaan” bahkan pluralisme merupakan keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. 
Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalangan Muslim itu sendiri. Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ayat ini menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan dan keragaman suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain Islam (pluralitas), namun sama sekali tidak mengakui kebenaran agama-agama tersebut (pluralisme). Allah SWT juga berfirman:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah. Mereka tidak memiliki ilmu dan tidaklah orang-orang zalim itu mempunyai pembela (QS al-Hajj:67-71).
Ayat ini menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada selain Allah SWT. Lalu bagaimana bisa dinyatakan, bahwa Islam mengakui
ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya dan menyembah kepada Tuhan yang sama
Dalam ayat yang lain, Allah SWT menegaskan:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran [3]: 19).

Allah SWT pun menolak siapa saja yang memeluk agama selain Islam (QS Ali Imran [3]: 85); menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nasrani, ataupun agama-agama lainnya (QS at-Taubah [9]: 30, 31); serta memandang mereka sebagai orang-orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72).
Karena itu, yang perlu dilakukan umat Islam sesungguhnya bukan menyerukan pluralisme agama apalagi dialog antaragama untuk mencari titik temu dan kesamaan. Masalahnya, mana mungkin Islam yang mengajarkan tauhid (QS 5: 73-77; QS 19: 88-92; QS 112: 1-4) disamakan dengan Kristen yang mengakui Yesus sebagai anak Tuhan ataupun disamakan dengan agama Yahudi yang mengklaim Uzair juga sebagai anak Tuhan, Apalagi Islam disamaratakan dengan agama-agama lain? Benar, bahwa eksistensi agama-agama tersebut diakui, tetapi tidak berarti dianggap benar. Artinya, mereka dibiarkan hidup dan pemeluknya bebas beribadah, makan, berpakaian, dan menikah dengan tatacara agama mereka. Tetapi, tidak berarti diakui benar.
Karena itu, yang wajib dilakukan umat Islam tidak lain adalah terus-menerus menyeru para pemeluk agama lain untuk memeluk Islam dan hidup di bawah naungan Islam. Meski dengan catatan tetap tidak boleh ada pemaksaan.
Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga
     .(Fatwa MUI No. 7/ MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang Pluralisme dan Sekularis Agama)[10]
Fatwa MUI ini mendapat kecaman keras dari mereka pendukung paham Pluralisme, untuk lebih memahami bagaimana paham ini di mata pendukungnya, kita simak berbagai pernyataan mereka, berikut ini:
.Ada beberapa pendapat para tokoh tentang pluralisme:
a.    Nurcholis Majid, tokoh cendekiawan muslim
Dia menggambarkan agama-agama adalah roda, pusatnya adalah Tuhan, Nurcholis juga menulis,”jadi, pluralism sesungguhnya dialah sebuah aturan Tuhan (sunatullah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.[11]
b.    Sukidi, aktivis Muhammadiyah
Dia yang sangat aktif menyebarkan paham pluralism agama Menulis di Koran Jawa Pos (II/I/2004): “dan, konsekuensinya ada banyak kebenaran dalam tradisi dan agama-agama Sebagai penguat dari argumentasi di atas, kalangan pluralis menyatakan bahwa keberagaman agama-agama dalam ajaran islam telah nyata dan jelas dinyatakan di dalam Al-Qur’an.[12]

D. Islam dan Gender
Gender adalah pandangan atau keyakinan yang dibentuk masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan atau laki-laki bertingkah laku maupun berpikir. Misalnya pandangan bahwa seorang perempuan ideal harus pandai memasak, pandai merawat diri, lemah lembut atau keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk yang sensitif, emosional selalu memakai perasaan. Sebaliknya seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala rumahtangga, rasional dan tegas.
Konsep gender berpengaruh terhadap peranan laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat. Tetapi dari pengalaman diindonesia kita memperoleh pelajaran, bahwa perubahan dalam peranan perempuan maupun laki-laki dalam setting perubahan sosial, ternyata telah membawa pengaruh terhadap konsep kedudukan perempuan dan laki-laki.[13]
Dengan demikian keadilan gender adalah suatu kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat mengaktualisasikan dan mendedikasikan diri bagi pembangunan bangsa dan negara. Keadilan dan kesetaraan gender berlandaskan pada prinsip-prinsip yang memposisikan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Tuhan yakni :
-          Laki-laki dan perempuan akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya (An Nahl : 97)
-          Sebagai khalifah di bumi ( Al A Raaf :165)
-          Penerima perjanjian promordial (perjanjian dengan Tuhannya) (Al Araaf : 172)
-          Adam dan hawa dalam cerita terdahulunya ( Al A raaf : 22)
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan dan keadilan gender serta memberikan ketegasan bahwa prestasi individual baik dalam bidang spiritual maupun karir profesional. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama dalam meraih prestasi yang optimal. Namun dalam realitas masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya.
Dalam pandangan hukum Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat. Demikian halnya manusia, antara laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan anatomi antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an juga mengakui bahwa anggota masing-masing gender berfungsi dengan cara merefleksikan perbedaan yang telah dirumuskan dengan baik serta dipertahankan oleh budaya, baik dari kalangan kaum laki-laki maupun perempuan sendiri. Kodrat perempuan sering dijadikan alasan untuk mereduksi berbagai peran perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat, kaum laki-laki sering dianggap lebih dominan dalam memainkan berbagai peran, sementara perempuan memperoleh peran yang terbatas di sektor domestik.[14] Kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat pun memandang bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah, emosional, halus dan pemalu sementara laki-laki makhluk yang kuat, rasional, kasar serta pemberani. Anehnya perbedaan-perbedaan ini kemudian diyakini sebagai kodrat, sudah tetap yang merupakan pemberian Tuhan. Barang siapa berusaha merubahnya dianggap menyalahi kodrat bahkan menentang ketetapan Tuhan.
Berbeda dengan pandangan kaum feminis bahwa perilaku yang melekat pada laki-laki dan perempuan merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, sehingga ada kemungkinan untuk mengubah sesuai dengan konteksnya.[15] Secara jelas fakta sosial pun menunjukkan bahwa perilaku yang melekat itu dapat berubah menurut waktu, tempat, dan kelas sosial. Karena dalam pandangan feminis, gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Menurutnya konsep jenis kelamin terletak pada perbedaan laki-laki dan perempuan hanya dari segi biologis, misalnya perempuan mengandung, melahirkan, menyusui, menstruasi, dan mempunyai payudara. Sedangkan laki-laki mempunyai sperma dan penis. Islam melalui Al-Qur'an dan hadits pun mengesankan gambaran yang kontradiktif tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Di beberapa ayat Al-Qur'an menjelaskan bahwa posisi laki-laki dan perempuan adalah setara. Dapat dilihat bahwa Allah mengukur kemuliaan seorang hamba tidak dari jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan melainkan dari segi ketaqwaannya
”Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu ……” (Q.S. Al- Hujurat: 13)
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga dari mereka berdua berkembang keturunan di muka bumi.
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri keduanya berkembang laki-laki dan perempuan”. (QS. An Nisa’: 1) [16]
Namun pada ayat lainnya Al-Qur’an memberi kesan adanya subordinasi terhadap kaum perempuan. Artinya, Al Qur’an sebagai sumber dan pegangan hidup umatnya ternyata di dalamnya banyak mengandung ayat yang mengatur relasi antara perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang. Misalnya, tentang ayat yang menyebutkan bahwa harga kaum perempuan yang setengah dari kaum laki-laki dalam kesaksian, warisan, dan aqikah serta kepemimpinan yang dikhususkan kepada laki-laki.
Peran dan status perempuan dalam perspektif Islam selalu dikaitkan dengan keberadaan laki-laki. Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang keberadaannya sangat bergantung kepada laki-laki. Sebagai seorang anak, ia berada di bawah lindungan perwalian ayah dan saudara laki-laki, sebagai istri bergantung kepada suami.
Islam menetapkan perempuan sebagai penenang suami, sebagai ibu yang mengasuh dan mendidik anak dan menjaga harta benda serta membina etika keluarga di dalam pemerintahan terkecil.
Dalam konteks demikian, terlihat adanya struktur budaya patriarkhi, di mana status perempuan dan keluarga di dalam hukum keluarga Islam merupakan hasil kombinasi dari budaya Arab, yang harus menerima nasib bahwa mereka lahir untuk melayani kepentingan laki-laki dewasa yang berkuasa. Konstruk budaya patriarkhi yang mapan secara universal dan berlangsung selama berabad-abad tidak lagi dipandang sebagai ketimpangan, bahkan diklaim sebagai fakta ilmiah. Oleh karena itu, perjuangan untuk mencapai kesederajatan dengan kaum lelaki sebagaimana diajarkan Al-Qur'an masih panjang dan memerlukan dukungan dari semua pihak termasuk kaum laki-laki itu sendiri. Bagaimana pun juga masalah perempuan adalah masalah kemanusiaan, termasuk di dalamnya kaum lelaki sebagaimana disebut dalam Al-Qur'an, lelaki dan perempuan itu saling menolong, saling memuliakan dan saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Al-Qur'an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan perempuan mempunyai derajat yang sama, namun masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut. Kemunculan agama pada dasarnya merupakan jeda yang secara periodik berusaha mencairkan kekentalan budaya patriarkhi. Oleh sebab itu, kemunculan setiap agama selalu mendapatkan perlawanan dari mereka yang diuntungkan oleh budaya patriarkhi. Sikap perlawanan tersebut mengalami pasang surut dalam perkembangan sejarah manusia.

E. Islam dan Demokrasi
Ada beberapa ahli telah memberikan pengertian kepada demokrasi, antara lain sebagai berikut:[17]
1. Pendapat Joseph Schmeter
Demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai suatu putusan politik di mana para individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
2. Pendapat Sidney Hook
Yang dimaksud dengan demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana putusan-putusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
3. Pendapat Philippe C. Schmitter
Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintakan tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih
4. Pendapat Henry B. Mayo
Yang dimaksudkan dengan demokrasi adalah suatu sistem di mana kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Sehubungan dengan ini, adakah demokrasi dalam ajaran Islam? Dilihat dari landasan substansialnya, demokrasi dan Islam berbeda.[18] Demokrasi adalah hasil pemikiran manusia, sedangkan Islam bersumber pada kitab SuciAl-Qur'an. Agama berasal dari "yang Satu", sedangkan demokrasi dari "yang banyak" sehingga demokrasi bersifat relatif sedangkan Islam bersifat mutlak. demokrasi disandarkan pada paham kedaulatan rakyat yang merefleksikan kedaulatan manusia atas manusia, sedangkan legitimasi Islam adalah "kedaulatan ilahi" yang merefleksikan kedaulatan Tuhan atas manusia. Agama menuntut ketaatan penuh, sementara demokrasi menghendaki sikap kritis dan dialog.
Dalam Islam, demokrasi "diislamkan" dengan memberikan landasan substansial "kedaulatan ilahi" yang diamanahkan kepada rakyat.[19] Kebebasan, misalnya, dalam Islam diakui bahkan dijamin keberadaannya, akan tetapi kebebasan tersebut dijalankan dalam rangka mencari ridha Allah sehingga kebebasan itu dipagari oleh sistem nilai Islam. Begirupun dengan paham "kedaulatan rakyat". Rakyat tetap memegang "kekuasaan tertinggi" dalam suatu negara, akan tetapi hal tersebut merupakan amanah yang diberikan Allah kepadanya. Dengan demikian, pelaksanaan kedaulatan rakyat tersebut berada dalam pagar sistem nilai Islam. Persoalan berikutnya yang selalu diperdebatkan, mampukah Islam menjadi jembatan menuju demokrasi?
Pada umumnya, pertanyaan ini lahir karena realitas sistem politik pemerintahan negara-negara berpenduduk mayoritas Islam kurang demokratis. Selain itu, Sebelumnya telah disepakati bahwa dalam ajaran Islam tekandung nilai-nilai demokrasi. Demokrasi sendiri dapat berupa lembaga dan sistem nilai. Dengan kata lain, demokrasi adalah suatu konsep sistem politik. Berdasarkan hal ini, Islam sepatutnya berpihak pada konsep sistem politik atau konsep negara demokrasi. Sebab, setelah sistem nilai demokrasi "diislamkan", preferensi sistem politik yang semula kosong menjadi berisi. Islam dan demokrasi saling melengkapi. Islam mengisi preferensi nilai, sedangkan demokrasi memberikan konsep/bentuk sistem politik. Dengan demikian, demokratisasi bukan hal yang mustahil di negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Dengan kata lain, agama Islam mampu memberikan sumbangan untuk proses demokratisasi sepanjang yang dianut adalah Islam yang selalu berusaha "membebaskan". Dawam Rahardjo (1992) menyebutnya sebagai "agama pro-fetis", untuk membedakannya dengan "agama masjid" yang hanya mengurusi masalah ibadah. Hal ini sesuai pula dengan pemikiran Moeslim Abdurrahman dengan "teologi pembebasan"-nya. Mereka sepakat bahwa agama harus berperan aktif dalam transformasi sosial. Modernisasi, yang mau tidak mau harus berlangsung, tidak boleh meminggirkan peran agama sehingga agama terbatas hanya dalam masalah ritual. Agama perlu terlibat di dalam masalah sosial dan memecahkan berbagai problema masyarakat.[20]


BAB III
PENUTUP

A Kesimpulan
Dapat kita simpulkan bahwasannya Kata islam tidak mempunyai hubungan dengan orang tertentu atau dari golongan manusia atau dari suatu negeri. Kata islam adalah nama yang diberikan oleh tuhan sendiri. Hal demikan dapat dipahami dari petunjuk ayat-ayat alquran yang ditetapkan allah swt. Islam dan Barat dalam memandang konsep HAM, yang pertama lebih bersifat religius (ketuhanan), sedangkan Barat lebih bersifat sekuler. Dunia barat berorientasi hanya kepada manusia (pribadi), maka pertanggungjawabannya juga kepada manusia semata. Sedangkan Islam, orientasinya kepada Tuhan, maka pertanggung-jawabannya selain kepada manusia juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kemudian Islam mengakui keberadaan dan keragaman suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain Islam (pluralitas), namun sama sekali tidak mengakui kebenaran agama-agama tersebut (pluralisme). bahwa eksistensi agama-agama tersebut diakui, tetapi tidak berarti dianggap benar. Artinya, mereka dibiarkan hidup dan pemeluknya bebas beribadah, makan, berpakaian, dan menikah dengan tata cara agama mereka. Tetapi, tidak berarti diakui benar.
Karena itu, yang wajib dilakukan umat Islam tidak lain adalah terus-menerus menyeru para pemeluk agama lain untuk memeluk Islam dan hidup di bawah naungan Islam. Meski dengan catatan tetap tidak boleh ada pemaksaan. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Al-Qur'an menjelaskan bahwa posisi laki-laki dan perempuan adalah setara. Dapat dilihat bahwa Allah mengukur kemuliaan seorang hamba tidak dari jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan melainkan dari segi ketaqwaannya.
agama harus berperan aktif dalam transformasi sosial. Modernisasi, yang mau tidak mau harus berlangsung, tidak boleh meminggirkan peran agama sehingga agama terbatas hanya dalam masalah ritual. Agama perlu terlibat di dalam masalah sosial dan memecahkan berbagai problema masyarakat.
B. Saran
Mungkin makalah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memenuhi belajar  Mata Kuliah Metodologi Studi Islam, yang bertema konsep HAM, gender, pluralisme dan demokrasi,, karena perlu kita ketahui betapa pentingnya kita mengetahui tentang isu-isu aktual seperti “Pluralisme, Demokrasi, HAM, dan  Gender”  maka dari itu disusunlah makalah ini untuk mengetahui lebih luasnya tentang itu. Apabila ada kesalahan dalam penyusunan makalah ini harap dimaklumi karena kita masih dalam tahap belajar. Dan kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kedepannya.


DAFTAR PUSTAKA
           
Ahmad, Syahrudin, Mengungkapkan Kesatuan ruh Agama-agama, Palu; Lanti Palu 2004
Dkk, Mundzirin Yusuf,  Islam dan Budaya Lokal, Yogyakarta; Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Gaufar, Altaf, Tantangan Islam, Bandung:Pustaka, 1982.
Kosasih, Ahmad, HAM dalam Persepektif Islam: Menyikapi Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003.
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin & Peradaban,Jakarta; Paramadina,1995.
Muhammad Ali, Maulana, islamologi (dinul islam), Jakarta:Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1980.
Muhammad, Husain, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Najib, Muhammad, Agama, Demokrasi, dan Transformasi Sosial, Yogyakarta:LKPSM,1993.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid I, Jakarta:UI Press, 1979.
Rahardjo, Dawam, islam dan transformasi budaya, Yogyakarta:Pt.Dana Bakhti Prima Jaya, 2002.
Rakhmat, Jalaludin dalam “Islam dan Demokrasi”, Agama dan Demokrasi, dari Seminar Sehari Jakarta:P3M.1992.
Razak, Nasruddin, Dienul Islam, Bandung:Al-Ma’arif, 1997.
Ubaeidillah, A. dan Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: Kencana, 2008.
Umar, Nasarudin, Argumen kesetaraan gender perspektif Al-Qur'an, Jakarta: Paramadina, 2001.


[1] Maulana Muhammad Ali, islamologi (dinul islam) (jakarta:Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1980), hlm. .2.
[2] Nasruddin Razak, Dienul Islam,(Bandung:Al-Ma’arif, 1997), cet. II, hlm. 56.
[3] Harun Nasution,Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid I, (Jakarta:UI Press, 1979), hlm. 9.
[4] Nurcholis Madjid, Islam Dokrin dan Peradapan,  (Jakarta:Paramadina, 1992), cet. II, hlm. 426.
[5] Maulana Muhammad Ali,op.cit,. hlm. 2.
[6] Ali Sodiqin, Hukum Qisas: Dari Tradisi Arab Menuju Hukum Islam, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2010), hlm. 1.
[7] A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (Hakham), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm.78.
[8] Ahmad Kosasih, HAM dalam Persepektif Islam: Menyikapi Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), hlm.39.
[9] Altaf Gaufar, Tantangan Islam, (Bandung:Pustaka, 1982), hlm. 198.
[10]  Mundzirin Yusuf dkk Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta; Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 30.
[11] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin & Peradaban,(Jakarta; Paramadina,1995), hlm. 27.
[12] Syahrudin Ahmad, Mengungkapkan Kesatuan ruh Agama-agama, (Palu; Lanti Palu 2004),  hlm.  20.
[13] Dawam Rahardjo, islam dan transformasi budaya, (Yogyakarta:Pt.Dana Bakhti Prima Jaya, 2002), hlm. 188.
[14] Husain Muhammad, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 6.
[15] Nasarudin Umar, Argumen kesetaraan gender perspektif  Al-Qur'an,( Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 43.
[16]Ibid.  hlm. 173-179.
[17] A.Ubaeidillah dan Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 39
[18] Komaruddin Hidayat, “Pemikiran Islam tentang Demokrasi”, Panji Masyarakat, 1-10 November 1992, hlm.51-54
[19] Muhammad Najib, Agama, Demokrasi, dan Transformasi Sosial (Yogyakarta:LKPSM,1993), hlm.3-11.
[20] Jalaludin Rakhmat dalam “Islam dan Demokrasi”, Agama dan Demokrasi, dari Seminar Sehari (Jakarta:P3M.1992), hlm.39-44