PENEMUAN
KEBENARAN
Oleh
Kelompok VII
BAMBANG
HARIANTO
1510300045
SURYANI
EFENDI SIREGAR
1510300037
Dosen
Pengampu
AHMAD
SAINUL, M.A.
HUKUM
TATA NEGARA
FAKULTAS
SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI PADANG SIDIMPUAN
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan
makalah dengan judul "Penemuan Kebenaran" dengan tepat waktu. Tidak
lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan
terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang
selalu mendukung kelancaran tugas kami, serta pada anggota tim kelompok 7 yang
selalu kompak dan konsisten dalam penyelesaian tugas ini.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah
Filsafat Ilmu dan dipresentasikan dalam pembelajaran di kelas. Dalam makalah
ini akan dibahas mengenai Teori-teori kebenaran Filsafat. Makalah ini
dianjurkan untuk dibaca oleh semua mahasiswa pada umumnya sebagai penambah
pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran dalam berfilsafat.
Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya
terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi
tim penulis khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading
yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati,
saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para
pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu
mendatang.
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................................ 3
A.
Latar Belakang Masalah.............................................................................................. 3
B.
Rumusan Masalah........................................................................................................ 3
C.
Tujuan Penulisan Masalah.......................................................................................... 3
BAB
II PEMBAHASAN.............................................................................................. 4
1.
Defenisi Kebenaran...................................................................................................... 4
2.
Cara Penemuan Kebenaran........................................................................................ 7
a. Jenis-Jenis Kebenaran................................................................................................. 10
b. Sifat Kebenaran............................................................................................................ 10
c. Teori
Kebenaran dan Khilafan
................................................................................... 11
BAB
III
KESIMPULAN
........................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
“Segala kebenaran maunya diketahui
dan dinyatakan, dan juga dibenarkan; kebenaran itu sendiri tidak memerlukan hal
itu, karena dia lah yang menunjukan apa yang diakui benar dan harus berlaku”
(Paul Natorp)
Ungkapan diatas
sengaja dikutip untuk menunjukkan bahwa esensi perjalanan pemikiran filsafat
pada dasarnya hanya untuk mencari kebenaran, sebuah usaha yang selalu membawa
klaim-klaim dari para pembawanya untuk menjadi valid dan dipakai setiap zaman.
Namun, hal itu tentu saja melalui berbagai pertarungan yang melampaui dimensi
waktu dan tempat serta lokalitas pemikiran para filsuf. Oleh karena itu,
kebenaran akan selalu menjadi kebenaran sementara (hypo-knowledge) yang suatu saat akan terfalsifikasi dalam bentuk
yang beragam rupa sesuai dengan parameter dan indikator yang mengiringinya,
baik yang bersifat aksidensial, lokalitas, kontekstual, maupun karena sudah
melemahnya jari-jari kebenaran tersebut mencekram zaman. Manusia selalu berusaha menemukan
kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain
dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau
empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan
prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku
di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena
alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang
menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil
aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan
dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur
tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi
merupakan struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang
lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih
rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada
umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab
itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan
pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.
2. Rumusan Masalah
1. Apa
itu Kebenaran ?
2. Bagaimana
cara menemukan Kebenaran?
3. Apa
saja sifat-sifat kebenaran?
4. Apa
saja jenis-jenis kebenaran?
5. Jelaskan
teori kebenaran dan kekhilafan?
3. Tujuan Penulisan Makalah
1. Agar mahasiswa mampu mengetahui
pengertian dan tingkatan-tingkatan kebenaran ilmu pengetahuan.
2. Untuk
mengetahui cara menemukan kebenaran.
3. Untuk
melengkapi tugas makalah filsafat ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Defenisi
Kebenaran
Kebenaran tertuang dalam
ungkapan-ungkapan yang dianggap benar, misalnya hukum-hukum, teori-teori,
ataupun rumus-rumus filasafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan.
Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri
pengenal dan/atau masyarakat
pengenal. Sebagai
landasan penemuan defenisi kebenaran ini adalah kesimpulan umum bahwa pengetahuan itu bersifat logis dan/atau rasional yang mengantarkan kepada tujuan
berupa kebenaran. Ahmad Tafsir mengungkapkan dalam kerangka berfikir sebagai
berikut:
“Yang logis ialah yang masuk akal. Yang logis itu mencakup yang rasional
dan supra-rasional. Yang rasional ialah yang masuk akal dan sesuai dengan hukum
alam. Yang supra-rasional ialah yang masuk akal sekalipun tidak sesuai dengan
hukum alam”. Istilah logis boleh dipakai
dalam pengertian rasional.[1]
Dengan menggunakan istilah logis[2]
dan rasional sebagai bahan dasar dari kebenaran dalam pengetahuan, maka
kriteria kebenaran tidak dapat berdiri sendiri sebagai hasil disiplin ilmu,
akan tetapi sangat erat kaitannya dengan permasalahan yang akan diselesaikan
manusia dalam kehidupannya, baik masih berupa hipotesa (dugaan kebenaran
sementara) sehingga menghasilkan teori yang bisa menjadi hukum.
Secara garis besar Ahmad Tafsir
menggambarkan bahwa ketika ada
masalah –sebagai
manusia yang serba ingin tahu akar masalah– maka ada dugaan. Berangkat dari dugaan, ada anggapan
sementara yang kita sebut hipotesa. Hipotesa ini merupakan anggapan kebenaran
sementara yang belum teruji secara teoritis.[3] Hipotesa
ini ada karena adanya sebab akibat yang dapat dibenarkan secara rasional.
Hipotesa yang sudah diuji kebenaran dan terbukti kebenarannya akan menjadi
teori, selanjutnya suatu teori yang selalu benar secara empiris.[4]maka naik
tingkatannya menjadi aksioma[5]
atau hukum.
Kedalam kata benar itu bermacam pengertian dimasukkan orang.
Keberagamannya menjadi jelas, manakala kata itu hadapkan pada lawannya dan kita
susulkan artinya:[6]
1. Benar lawan khilaf.
2. Benar lawan seolah-olah rupanya.
3. Benar lawan dibikin-bikin.
4. Benar dalam arti sungguh-sungguh,
lawan kemungkinan atau rupanya.
5. Benar dalam arti asli, lawan tidak
cocok atau palsu.
6. Benar dalam arti tepat, lawan tidak
dapat terjabarkan dari bahan yang diberikan.
7. Benar dalam arti kepastian, lawan
tidak mengandung daya meyakinkan.
Betrand Russell berpendapat bahwa
kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan yang diturunkan dari kalimat yang
menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran merupakan suatu hubungan tertentu
antara kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di luar kepercayaan itu. Bila
hubungan ini tidak ada maka kebenaran itu salah.[7]
Sidi Gazalba
memberikan keterangan tentang
kebenaran yang merupakan hubungan antara
pengetahuan dan apa yang menjadi objeknya. Apabila terdapat kesesuaian dalam
hubungan objek dan pengetahuan kita tentang objek, itulah yang dimaksud dengan
kebenaran.[8]
Adapun definisi
kebenaran itu dapat kita kaji bersama dari beberapa sumber, antara lain, Kamus
Bahasa Indonesia Lengkap yang disusun oleh Daryanto, di dalamnya dijelaskan
bahwa kebenaran memiliki arti seperti: keadaan yang cocok dengan keadaan
sesungguhnya; sesuatu yang sunguh-sungguh ada; kelurusan hati; izin;
persetujuan; perkenan; dan kebetulan.
Jadi,
Kebenaran merupakan soal hubungan antara pengetahuan dan apa yang jadi
objeknya, yaitu apabila terdapat persesuaian
dalam hubungan antara objek dan pengetahuan kita tentang objek itu.
Dengan
demikian masalah kebenaran adalah hubungan ide kita dengan dunia realitas.[9]
B. Cara Penemuan Kebenaran
Cara untuk menemukan kebenaran
berbeda-beda. Dari berbagai cara untuk
menemukan kebenaran dapat dilihat cara yang ilmiah dan yang nonilmiah.
Cara untuk menemukan kebenaran sebagaimana diuraikan oleh Hartono Kasmadi,
dkk., sebagai berikut.[10]
1. Penemuan
secara Kebetulan
Penemuan kebenaran secara kebetulan
adalah penemuan yang berlangsung tanpa disengaja. Cara ini tidak dapat diterima
dalam metode keilmuan untuk menggali pengetahuan atau ilmu.
2. Penemuan
‘Coba dan Ralat’ (Trial and Eror)
Penemuan coba dan ralat terjadi tanpa
adanya kepastian akan berhasil atau tidak berhasil kebenaran yang dicari.
Penemuan ini mengandung unsur spekulatif atau ‘untung-untungan’. Cara coba dan
ralat ini pun tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam usaha untuk
mengungkapkan kebenaran.
3. Penemuan
Melalui Otoritas atau Kewibawaan
Pendapat orang-orang yang memiliki
kewibawaan, misalnya orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan sering
diterima sebagai kebenaran meskipun pendapat itu tidak didasarkan pada
pembuktian ilmiah.
4. Penemuan
Kebenaran Lewat Cara Berpikir Kritis dan Rasional
Dalam menghadapi masalah, manusia
berusaha menganalisisnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki
untuk sampai pada pemecahan yang tepat.
5. Penemuan Kebenaran
melalui Penelitian Ilmiah
Cara mencari
kebenaran yang dipandang ilmiah ialah yang dilakukan melalui penelitian.
Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin tahu pada manusia dalam taraf
keilmuan.
C. Jenis – jenis Kebenaran
Manusia selalu mencari kebenaran,
jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula
untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran, manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya
dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang
dimana selalu ditunjukkan oleh kebenaran. Berikut ini menurut A.M.W
Pranarka (1978 ), ada beberapa jenis - jenis tentang kebenaran:[11]
1.
Kebenaran
Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)
Kebenaran epistimologi adalah pengertian kebenaran dalam
hubungannya dengan pengetahuan manusia.
2.
Kebenaran
ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)
Kebenaran dalam arti ontoligi adalah kebenaran sebagai
sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Sifat
dasar ini ada dalam objek pengetahuan.
3.
Kebenaran
semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)
Kebenaran semantis adalah
kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran
semantis disebut juga
kebenaran moral.
Surajiyo lebih
lanjut menguraikan bahwa apabila epistemologi terletak didalam adanya
kemanunggalan yang sesuai, serasi,terpadu antara yang dinyatakan oleh proses intelektual manusia dengan apa yang
sesungguhnya ada didalam objek, apakah itu konkret atau abstrak, maka
implikasinya adalah bahwa didalam tersebut memang terkandung sifat
intelligibilitas (dapat diketahui kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas
sebagai kodrat yang melekat didalam objek,didalam benda, barang, makhluk dan
sebagainya sebagai objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitive
intelektual manusia itulah yang disebut kebenaran yang ontological, ialah sifat
benar yang melekat dialam objek.
D. Sifat
Kebenaran
Menurut Abbas Hamami Mintaredja (1983) kata
‘kebenaran’ dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun
abstrak. Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya proposisi yang benar.
Proposisi maksudnya makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement.
Hal yang demikian karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari
kualitas, sifat, hubungan dan nilai itu sendiri.
Berbagai kebenaran dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas
Filsafat UGM Yogyakarta (1996) dibedakan menjadi tiga hal, yakni sebagai
berikut:
Kebenaran yang pertama berkaitan dengan kualitas
pengetahuan. Artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh
seseorang yang mengetahui suatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang
dibangun. Maksudnya pengetahuan itu meliputi: pengetahuan biasa, pengetahuan
ilmiah, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan agama.
Kebenaran pengetahuan yang kedua berkaitan dengan sifat atau
karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun
pengetahuannya itu. Apakah membangunnya dengan penginderaan atau akal pikirnya,
atau rasio, intuisi, atau keyakinan.
Kebenaran pengetahuan yang ketiga adalah nilai kebenaran
pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu.
Artinya bagaimana relasi atau hubungan antar subjek dan objek, manakah yang
lebih dominan untuk membangun pengetahuan, subjekkah atau objek.[12]
E. Teori Kebenaran dan Khilafan
Dalam perkembangan pemikiran
filsafat perbincangan tentang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian
diteruskan oleh Aristoteles. Plato melalui metode dialog membangun teori
pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal.
Sejak itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan penyempurnaan
sampai kini.
Untuk mengetahui apakah pengetahuan kita mempunyai nilai
kebenaran atau tidak. Hal ini berhubungan erat dengan sikap, bagaimana cara
memperoleh pengetahuan? Apakah hanya kegiatan dan kemampuan akal pikir ataukah
melalui kegiatan indera? Yang jelas, bagi seorang skeptik pengetahuan tidaklah
mempunyai nilai kebenaran, karena semua diragukan atau keraguan itulah yang
merupakan kebenaran.
Secara tradisional, teori-teori
kebenaran itu antara lain sebagai berikut:
1.
Teori
Korespodensi
Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah
paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran
adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality).
Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu
sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu
berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan
pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.[13]
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang
dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan tersebut .[14]
Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau
Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang
bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau
Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di
pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat
obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual
“kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak
mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena
atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau
diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini
benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
2.
Teori Koherensi
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar artinya pertimbangan adalah benar jika
pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah
diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.[15]
Misalnya,
bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu
pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si
Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah
konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing menulis tentang teori
koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel
yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan
menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik,
dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan
timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan
pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa
melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap
kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern
seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi
dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap
sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan
realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut.[16]
Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi
faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi
lingkungan tertentu.
3.
Teori Pragmatisme
Menurut teori ini, kebenaran suatu
pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Elemennya adalah pembuktian
secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu
pernyataan tertentu khususnya dalam realitas kehidupan, artinya suatu penyataan
adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.[17]
Menurut William James, ide yang benar ialah ide yang dapat
kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa.
Sebaliknya ide yang salah ialah ide yang tidak dapat diserasikan, tidak dapat
diumumkan, tidak dapat diperiksa dan tidak dapat dijadikan penguatan.[18]
Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada hanya kebenaran-kebenran,
yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus. Nilai tergantung pada
akibatnya dan pada kerjanya, artinya pada keberhasilan perbuatan.
Kriteria
pragmatisme ini juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran
ilmiah dilihat dalam perspektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang
sekarang dianggap benar, mungkin pada satu masa atau waktu tidak demikian.
Dalam menghadapi masalah seperti ini maka para ilmuawan bersikap pragmatis
selama pernyataan itu fungsional dan memilki kegunaan maka pernyataan itu
dianggap benar. Sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian
disebababkan perkembangan ilmu pengetahuan maka pernyataan itu akan
ditinggalkan.
Masalah yang akan timbul dari teori ini adalah penentuan
sebatas mana perbuatan itu dianggap keberhasilan dan eksistensi kebenaran yang
dinyatakan dihadapkan pada situasi dinamis dengan perubahannya. Selain itu, pragmatisme juga tidak dapat mengantarkan
kita pada hakikat kebenaran itu sendiri karena cenderung menghalalkan segala
cara untuk memperoleh hasil dari penerapannya yang pada akhirnya akan
menimbulkan pertentangan dengan norma-norma yang ada.
Inilah beberapa teori kebenaran yang menjadi mayoritas
pilihan para ilmuwan, walaupun masih banyak teori-teori kebenaran lainnya dan
akan berkembang sesuai dengan potensi akal budi, misalnya teori ilmu hudhuri
atau iluminasi, performatif, proposisi, dan wahyu (agama).
Dari berbagai macam teori kebenaran itu yang dianggap
sebagai kriteria atau ukuran kebenaran ilmiah (ilmu pengetahuan), teori
koherensi berdasarkan logika deduktif atau silogisme yang menarik kesimpulan
khusus dari hal yang umum dengan akal sebagai sarana utamanya merupakan teori
kebanaran ilmiah. Selain itu teori korespondensi dengan logika induktif atau
empiris yang menarik kesimpulan umum dari hal yang khusus dengan pancaindra dan
pengalaman sebagai sarana utamanya, juga merupakan satu dari teori yang benar
tentang kebenaran. Ini dua hal yang urgen ketika melihat keadaan atau menjawab
keragu-raguan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di
dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam
kehidupan manusia. Teori Kebenaran mempunyai Kelebihan Kekurangan Korespondensi
sesuai dengan fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat
rasional dan Positivistik Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis
fungsional-praktis tidak ada kebenaran mutlak Performatif Bila pemegang
otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak kreatif, inovatif dan kurang
inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan masyarakat ilmiah Perlu waktu
lama untuk menemukan kebenaran.
Dari berbagai teori kebenaran, dalam filsafat ilmu ditemukan
dua teori yang dijadikan kriteria atau ukuran kebenaran ilmiah (ilmu
pengetahuan), yaitu teori koherensi dan teori korespondensi, karena keduanya
berdasarkan logika. Teori koherensi menyimpulkan kebenaran pernyataannya terdapat bersifat koherensi atau konsistensi dengan
pernyataan sebelumnya yang dianggap benar, sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang
unsur-unsurnya berhubungan secara logis. Sedangkan teori korespondensi menyimpulkan pernyataan benar
jika materi yang dikandung pada
pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan
tersebut. Kebenaran terdapat fakta yang
sesuai dan menyatakan apa adanya, selaras dengan realitas, serasi dengan
situasi aktual.
Dalam menanggapi persoalan kebenaran ini perlu diajukan
teori kebenaran baru menurut wahyu atau agama, di dalamnya didapati keyakinan
dan keimanan yang tidak dapat diberikan oleh teori ilmiah ketika menjelaskan
hakikat manusia dan penciptanya. Teori kebenaran wahyu dengan senjata keyakinan
dan/atau keimanan mampu memenjadikan manusia lebih sadar akan dirinya, dan
menyadarkan akan penciptanya, sehingga berimbas pada kehidupan yang terkendali
menuju lebih baik.
B. Saran
Dari
makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua
umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya
dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih
banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya
yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Surabaya:
Apollo, 1997.
Gazalba, Sidi, Sistematika
Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, cet. II
Gazalba, Sidi, Sistematika
Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, cet. V
Hadiwijno, Harun, Sari Sejarah
Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Sumiasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer,
Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990.
Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
Titus, Harold H, dkk. Living Issues in Philasophy, Terj. H. M.
Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
[4] Empiris: teori yang berpendapat bahwa segala pengetahuan
manusia didapat dari pengalaman dan pengamatan. Ibid…, hlm. 191.
[9]
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), cet. II, hlm. 137
[10]
Surajiyo. Filsafat Ilmu
dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010).
Hlm. 100-101.
[11]
Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010),
cet. Ke-5, hlm. 102.
[12] Surajiyo. Filsafat
Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, ( Jakarta: PT Bumi Aksara,
2007). Hlm. 104.
[13]Harold H Titus, dkk. Living
Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1987). Hlm.237.
[14] Jujun S. Sumiasumantri. Filsafat
Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990).
Hlm.57.
[15]
Jujun S. Sumiasumantri. Filsafat
Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990). Hlm.55
[16]
Harold H Titus, dkk. Living
Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1987). Hlm.239.