filsafat hukum islam tentang kaidah-kaidah hukum islam


FALSAFAH HUKUM ISLAM
Tentang :
KAIDAH – KAIDAH HUKUM ISLAM
Kaidah menurut Dr. Ahmad Muhammad Asy- Syafi’i dalam buku Ushul Fiqh Islami adalah:“Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan satuanhukum juz’i yang banyak”.
Kaidah Fiqh Asasi adalah kaidah fiqh yang tingkatkesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum Islam. KaidahFiqh tersebut adalah sebagai berikut :Perbuatan atau perkara itu bergantung pada niatnya.Keyakinan tidak hilang dengan keraguan.Kesulitan mendatangkan kemudahan.Kesulitan harus 
dihilangkan.Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan danmenerapkan hukum.
QAIDAH PERTAMA اَلْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ باِلشَّكِّ
“Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan adanya sesuatu keraguan”
Jadi maksud qaidah ini ialah apabila seseorang telah meyakini suatu perkara, maka yang telah yakin ini tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Berdasarkan qaidah ini, manakala seseorang menjumpai suatu keraguan mengenai hukum suatu perkara, maka diperlakukan hukum yang telah ada atau yang ditetapkan pada masa yang telah lewat, sampai ada hukum lain yang merubahnya, karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini.
Qaidah ini disimpulkan berdasarkan hadits:
“Jika salah seorang diantara kamu ragu-ragu dalam mengerjakan sholat dan tidak tahu berapa rakaat ia telah sholat. Apakah telah mengerjakan tiga atau empat rakaat, maka hendaklah menghilangkan keraguan itu dan hendaknya menetapkan dengan apa yang diyakininya”. (HR.Muslim)
Cabang-cabangnya

1.            Qaidah pertama “Yang menjadi dasar adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa yang telah ada” Contohnya: Seseorang yang makan sahur di akhir malam dengan dicekam rasa ragu-ragu, jangan-janga waktu fajar sudah tiba. Maka puasa orang tadi tetap sah, sebab menurut dasar yang asli diberlakukan keadaan waktunya masih malam, dan bukan waktu fajar.
2.            kaidah keduaاَلْأَصْلُ بَرَاءَةُالذِّمَةِ. “Asal itu bebas dari tanggungan”
Contohnya: Jika ada dua orang bertengkar tentang harga barang yang dirusakkan, maka dimenangkan oleh orang yang merasa dirugikan. Sebab menurut asalnya ia tidak dibebani tanggungan tambahan.
3.            Kiadah Ketiga:اَلْأَصْلُ الْعَدَ مَ. “Asal dari sesuatu adalah kebolehan”
Contohnya: Seorang pemakan harta milik orang lain bertengkar dengan pemilik. Pemakan harta mengatakan bahwa orang yang memiliki sudah mengizinkannya. Sedang pemiliknya tidak merasa telah memberikan izin bahkan mengingkarinya.
Penyelesaian pertengkaran ini sudah barang tentu harus ddimenangkan oleh pemilik harta, karena menurut asalnya memakan harta milik orang lain itu tidak dibenarkan.
4.            Kaidah Keempat: اَلْأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ اَلْإِبَا حَةُ حَتَّى يَدُ لَّ الدَّ لِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ.
“Asal dari dalam kemubahan adalah keharaman” Contohnya: Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan keharamannya lantaran tidak didapatkan sifat-sifatnya ciri-ciri yang dapat diklasifikasikan kepada haram, maka halal dimakan. Seperti binatang Jerapah merupakan binatang yang halal dimakan, karena tidak memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang mengharamkannya (bertaring lagi buas).
5.            Qaidah kelima “Asal dari ucapan adalah hakikat ucapan tersebut” Contoh aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari :
a.    Apabila seorang sedang melakukan shalat Ashar, kemudian dia ragu apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah yang lebih yakin, yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum salam disunnahkan sujud sahwi dua kali.
b.    Seorang musafir yang membaca takbiratul Ihram (bermakmum) dibelakang orang yang tidak diketahui apakah dia seorang musafir atau bukan, maka qasharnya tidak memenuhi syarat.
c.    Seorang yang dalam perjalanan, kemudian ragu apakah sudah sampai di negerinya atau belum, maka tidak boleh mengambil rukhshah.
QAIDAH KEDUA.
ا لضر ر يزا ل( KEMUDHARATAN ITU HARUS DIHILANGKAN )
Redaksi kata-kata dalam qaidah ini, menunjukkan bahwa kemudhoratan yang telah terjadi wajib dihilangkan. Sedangkan arena daripada qaidah ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari masalah-masalah fiqh. Diantaranya ia mengembalikan barang telah dibeli, karena adanya cacat, disyari’atkannya berbagai macam khiyar, syuf’ah dan hudud.
Pengembalian sesuatu barang yang telah dibeli karena terdapat cacat, diadakan khiar dalam jual-beli karena adanya perbedaan sifat-sifat yang telah disepakatinya, adanya perwalian bagi orang-orang yang tidak cakap mentransaksikan harta milik, adanya hak syuf’ah (jual-beli utama) bagi seorang tetangga dan lain sebagainya adalah sekian contoh-contoh untuk menghindarkan kemudharatan para pihak yang mengadakan mu’amalat bersama. Syara’ mengadakan hukuman qishash, hudud, kafarat, ganti rugi, menghalalkan kepada penguasa untuk memerangi kaum pemberontak dan lain sebagainya untuk membuat kemaslahatan bersama dan menghindari kemudharatan. Qaidah ini berasal dari hadits:
لا ضرر ولاضرار (اخر جه ابن ماجة عن بن عبا س) “Tidak boleh membuat kemudharatan dan membalas dengan kemudharatan”. (HR. Ibnu Majah).
Cabang-cabangnya:
1.    Qaidah pertama“Kemudharotan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharotan yang sebanding”.Orang yang di landa bahaya kelaparan di perkenankan makan binatang tanpa di sembelih atau makan binatang yang di haramkan, misalnya : babi dan anjing.
2.    Qaidah kedua“Keadaan dharurat itu membolehkan larangan-larangan”.Contoh :Seorang dokter laki-laki yang karena darurat harus mengobati sebagian anggota seorang wanita tidak diperkenankan meneliti anggota lain yang tidak perlu diobati.
3.    Qaidah ketiga“Menolak kemafsadatan didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan”Contoh aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari:

a.    Dua orang terapung-apung di atas lautan akibat kapal yang mereka tumpangi pecah. Salah seorang dari mereka mendapatkan sekeping papan untuk mengapung di atas air sekedar bertahan sampai ada team penolong datang. Tetapi kawannya juga ingin sekali menyelamatkan jiwanya dari bahaya maut merebut papan tersebut dan karena papan itu tidak dapat menampung dua orang ia harus mengorbankan kawannya yang sudah berada di atas papan. Tindakan orang yang merebut karena darurat terhadap sesuatu yang dianggap darurat pula oleh kawan yang direbutnya tidak dibenarkan oleh syari’at.
b.    Diperbolehkan membongkar kuburan untuk memandikan atau menghadapkan kiblat mayat yang berada di dalamnya yang ketika di kubur belum di mandikan atau belum di hadapkan kiblat.
QAIDAH KETIGA.
ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ ﺘﺟﻟﺏ ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ “KESUKARAN ITU MENDATANGKAN KEMUDAHAN”
Qaidah di atas memberikan arti bahwa setiap kesepitan yang dihadapi oleh seseorang atau masyarakat harus diperlonggar sedemikian rupa, sehingga benar-benar akan terasa adanya kebahagiaan dengan datangnya syari’at Islam.Makna kaidah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran. Jadi dengan kaidah ini diharapkan agar syari’at Islam dapat dilaksanakan oleh hambaNya / mukallaf kapan saja dan dimana saja yakni dengan memberikan kelonggaran atau keringanan disaat seseorang hamba menjumpai kesukaran dan kesempitan.
Sedangkan mengenai kadar yang harus dipakai untuk menghilangkan kesempitan ini syari’at Islam telah meletakkan aturan-aturannya yang difahami dari qidah-qaidah berikut.
Qaidah ini berdasarkan kepada : . . .
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ . . .
“ . . . dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan . . . ”(TQS al-Hajj : 78) “ . . . Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu . . . .”(TQS al-Baqarah : 185)
“ . . . tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya . . . ” (TQS al-Baqarah : 173)
Cabang-cabangnya :
1. Qaidah pertama
“Suatu perkara apabila sempit menjadi luas”.
2. Qaidah kedua
“ Rukhsah –rukhsah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”
3. Qaidah ketiga
“ Rukhsah –rukhsah itu tidak boleh dihubungkan dengan keraguan.”
Contoh aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari :
1. Dalam keadaan musafir, dibolehkan mengqashar shalat, dari empat rakaat menjadi dua rakaat.
2. Dibolehkan tidak ada wajib qobil dalam jual barang-barang yang tidak berharga.
3. Tidak ada kelonggaran untuk melaksanakan maksiat apapun alasannya, tapi diharuskan untuk menghindarinya.
Kesulitan Apa Saja yang Mendatangkan Kemudahan?

1.    Sakit: ada keringanan untuk tidak puasa.
2.    Safar: menyebabkan bolehnya mengqoshor shalat (mengerjakan shalat 4 raka’at menjadi 2 raka’at).
3.    Naqsh (kekurangan): orang yang gila dan anak kecil ada keringanan dalam beberapa hukum syari’at yang tidak diwajibkan bagi mereka; wanita haidh gugur dalam melaksanakan shalat dan thowaf wada’.
4.    Karena tidak tahu, dipaksa, keliru, maka dimaafkan.Bukan Menyusahkan Diri
Perlu
dipahami bahwa syari’at tidaklah memaksudkan kita bersusah-susah dalam ibadah. Jadi janganlah kesusahan itu yang dicari. Kalau bisa mudah dilakukan, janganlah dipersulit. Misalnya jika ada yang ingin berhaji dengan berjalan kaki dari negerinya, maka ini tidak dituntut oleh syari’at karena ada sarana yang mudah yang bisa ditempuh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pahala yang engkau peroleh sesuai kadar kesusahanmu.” (Muttafaqun ‘alaih). Yang dimaksud di sini, kita harus mencari kepayahan dalam beribadah. Yang mendapatkan pahala adalah kecapekan yang dihasilkan dari ibadah yang tidak dicari-cari oleh hamba. Cara Syari’at Memberi Kemudahan
Syari’at dalam memberi kemudahan menempuh beberapa cara, di antaranya:
• Menggugurkan suatu yang wajib. Contoh: Gugurnya shalat bagi wanita haidh.
• Mengurangi suatu yang wajib. Contoh: Shalat bagi musafir dengan cara diqoshor.
• Mengganti wajib dengan yang lain. Contoh: Tayamum sebagai ganti dari wudhu.
• Mendahulukan yang wajib. Contoh: Mendahulukan zakat (sedekah wajib), mendahulukan shalat Jama’ah.
• Mengakhirkan yang wajib. Contoh: Musafir mengqodho’ puasa setelah Ramadhan.
Advertisements