makalah Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Larat Belakang
Sebelum kita mengetahui atau mengkaji mengenai pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan alangkah baiknya kita mengetahui lebih dulu apa sih yang dinamakan Undang-Undang Perkawinan itu ?. Undang-Undang Perkawinan adalah segala sesuatu dalam bentuk aturan yang dapat dan dijadikan petunjuk oleh umat Islam dalam hal perkawinan dan dijadikan pedoman hakim di lembaga peradilan agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara perkawinan, baik secara resmi dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan negara atau tidak.[1]
Penjelasan diatas sudah memberikan pemahaman bagi kita mengenai apa yang dimaksud dengan Undang-Undang perkawinan itu. Berbicara mengenai Pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pasti sangatlah menarik di kupas sedalam-dalamnya, karena dalam pembahasan ini tersimpan sejarah lahirnya Undang-Undang tersebut, yang di dalamnya sangat banyak para tokoh-tokoh negara serta para ulama untuk mewujudkan Undang-Undang tersebut. Usaha kearah pembentukan Undang-Undang Perkawinan telah dimulai semenjak tahun 1950 dengan Surat Putusan Menteri Agama No. B/2/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dengan membentuk panitia penyelidik peraturan hukum perkawinan, talak dan rujuk yang diketuai Mr. Teuku Mohammad Hassan. Setelah mengalami beberapa kali perubahan personalia, maka tanggal 1 April 1961 dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. H. Moh. Noer Poerwosoetjipto.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Politik Hukum Sekitar Pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
1.      Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara RI tanggal 02 Januari 1974 untuk sebagian besar telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah dikumandangkan sejak Kongres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928 yang kemudian dikedepankan dalam kesempatan-kesempatan lainnya, berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dalam perkawinan. Perbaikan yang didambakan itu terutama bagi golongan “Indonesia Asli” yang beragama Islam di mana hak dan kewajibannya dalam perkawinan tidak diatur dalam hukum yang tertulis. Hukum perkawinan orang Indonesia asli yang beragama Islam yang tercantum dalam kitab-kitab fiqh, menurut sistem hukum Indonesia tidaklah dapat digolongkan dalam kategori hukum tertulis, karena tidak tertulis dalam Peraturan Pemerintah.[2]
Masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian pergerakan wanita waktu itu adalah masalah:
1.      Perkawinan Paksa
2.      Poligami
3.      Talak yang sewenang-wenang[3]
Setelah Indonesia merdeka langkah-langkah perbaikan diadakan oleh pemerintah antara lain dengan mengeluarkan Undang-Undang tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk Tahun 1946. Setelah itu diusul dengan Peraturan Menteri Agama mengenai wali hakim dan tata cara pemeriksaan perkara pasif nikah, talak, dan rujuk di Pengadilan Agama. Namun demikian, perbaikan yang dituntut belumlah dipenuhi karena undang-undang dan peraturan-peraturan itu hanyalah mengenai formil belaka, tidak mengenai hukum materiilnya yakni undang-undang yang mengatur perkawinan itu sendiri.
Usaha kearah pembentukan Undang-Undang Perkawinan telah dimulai semenjak tahun 1950 dengan Surat Putusan Menteri Agama No. B/2/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dengan membentuk panitia penyelidik peraturan hukum perkawinan, talak dan rujuk yang diketuai Mr. Teuku Mohammad Hassan. Setelah mengalami beberapa kali perubahan personalia, maka tanggal 1 April 1961 dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. H. Moh Noer Poerwosoetjipto. Panitia ini diberi tugas untuk meninjau kembali segala peraturan mengenai perkawinan dan menyusun rancangan undang-undang yang selaras dengan perkembangan dan dinamika masyarakat. Panitia ini berhasil menyelesaikan dua rancangan undang-undang perkawinan yang telah diajukan dalam GPRGR. Satu diantaranya berupa rancangan undang-undang pokok perkawinan, yang dijadikan hukum umum bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memperhatikan kepercayaan agama dan kesukuannya.
Rancangan ini diselesaikan pada tahun 1952, rancangan lainnya adalah rancangan undang-undang pernikahan umat Islam, sebuah draf hukum perkawinan bagi umat Islam yang diselesaikan pada tahun 1954. Kedua rancangan itu didasarkan atas mazhab pemikiran yang berkembang di Indonesia yang menghormati perbedaan hukum-hukum perkawinan sesuai dengan beragamnya masyarakat Indonesia. Namun, sebaliknya, para penyusun RUUP 1973 itu, secara terang-terangan bertolak dari komsep unifikasi hukum sebagai satu syarat mendasar bagi modernisasi yang sah.
Secara kronologis, undang-undang ini merupakan follow up dari peraturan-peraturan perkawinan sebelumnya (pra dan pasca kemerdekaan). Proses unifikasi hukum nasional ini mengundang kontroversi dalam menentukan konsiderannya, mengingat heterogennya bangsa Indonesia. Sebagai kelanjutannya disusun panitia penyelidik peratutaran dan hukum perkawinan. Namun sayangnya, tim ini teralalu lambat system kerjanya, sehingga atas desakan masyarakat dibentuk panitia yang baru pada 1 April 1961.

Sebagai langkah awal kerja dari panitia yang baru dibentuk ini, diadakan konferensi BP-4 tahun 1962 yang diselenggarakan oleh Departemen Agama dan seminar LPHN (sekarang BPHN) bersama Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI) tahun 1963. Semenjak tahun 1963 LPHN meninjau kembali masalah Undang-undang perkawinan. Tahun 1966 Depkeh telah menugaskan kembali LPHN mengenai penyusunan Rancangan Undang-undang yang bersifat nasional dengan landasan jiwa pancasila. Pada 22 Mei 1967 pemerintah telah menyampaikan rancangan tentang Pernikahan Ummat Islam, yang kemudian disusul Undang-undang tentang Ketentuan Pokok Perkawinan pada bulan Oktober 1968. Kedua Rancangan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh DPRGR bersama-sama pemerintah.[4]
Pada 31 Juli 1973, Presiden telah menyampaikan kepada DPR RI Rancangan Undang-undang tentang Perkawinan dan menarik kembali Rancangan Undang-undang Ketentuan Pokok Perkawinan. Satu tahun kemudian, 30 Agustus 1973 menteri Kehakiman atas nama pemerintah menyampaikan keterangan-keterangan pemerintah dan disusul dengan pemandangan umum fraksi-fraksi tanggal 17 dan 18 September 1973.
Betapa menariknya Rancangan-rancangan undang-undangan setelah diajukan pemerintah 16 Agustus 1973. Sebelum RUUP itu diajukan, timbul reaksi keras dan pro kontra dari segala lapisan masyarakat muslim. Khutbah di mesjid-mesjid, ceramah, pengajian, tulisan di massa media, demonstrasi dan berbagai pernyataan ormas Islam yang pada intinya menolak Rancangan Undang-undang itu karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Kamal Hassan menggambarkan, bahwa semua ulama, baik dari kalangan tradisional maupun reformis, sejak dari Aceh, di Sumatera Utara hingga Surabaya Jawa Timur . Protes-protes dari seluruh tanah air memuncak pada bulan September 1973 ketika 335 orang dating dan masuk ke dalam ruang sidang DPR dan mengacaukan jalannya sidang serta menguasai perdebatan. Jalan penyelesaiannya yang dicapai adalah suatu kompromi undang-undang yang kemudian diterima DPR pada 22b Desember 1973.
Reaksi keras Umat Islam, di samping karena RUU tersebut menurut Abdul Aziz Thaba bersinggungan dengan masalah aqidah, juga dilatarbelakangi oleh situasi perkembangan politik pada saat itu.
Parpol Islam baru saja kalah dalam Pemilu 1971 dan gejala depolitisasi Islam sudah mulai tampak sehingga kalangan Islam sangat mengkhwatirkan keberadaan mereka. Apalagi pada saat itu pemerintah mengimbau untuk tidak menggunakan kata Islam dalam PPP hasil Pusi.
Umat Islam sangat cemas dengan isu Kristinesasi yang mulai ramai sejak tahun 1970-an. Banyak yang menuduh di balik Rancangan Undang-undang Perkawinan itu ada tendensi terselubung yakni usaha untuk mempermudah upaya kristenisasi di Indonesia.
Rancangan Undang-undang Perkawinan itu sendiri terdiri atas 15 bab dan terbagi dalam 73 pasal. Dari isi pasal-pasalnya terkesan bahwa RUU ini sejiwa dengan RUU yang pernah diajukan oleh Ny. Sumari Cs. RUU ini sama sekali tidak menyebut masalah agama atau hukum agama, bahkan pada pasal 11 ditegaskan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama/kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan. Beberapa bagian, seperti bab IX, rumusannya merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek dan Huwelijkssordonantie Christen Indonesiers pada zaman Belanda dahulu. Oleh sebab itu RUU ini kurang menempatkan lembaga perkawinan sesuai dengan kesadaran rakyat yang menganggap “masalah perkawinan itu merupakan urusan agama dan pelaksanaannya adalah termasuk ibadah kepada Allah.”  Rancangan Undang-undang perkawinan ini juga tidak menyebut kedudukan peradilan agama, yang diakui hanya peradilan umum.[5]

Terhadap persoalan ini Prof. Dr. Mr. Hazairin menyikapinya dengan sangat keras, sebagaimana ia tulis dalam sebuah media sebagai berikut:
“ Jika Rancangan itu dimaksudkan sebagai rancangan Undang-undang untuk berlaku bagi setiap warga negara RI maka rancangan itu terhadap orang Islam bertentangan dengan pasal 29 ayat 1 UUD 1945, karena:
a.      Peradilan agama Islam, dibidang hukum perkawinan dan kewarisan, sebagai yang telah ada sekarang ini dan terjamin perkembangannya dalam pasal 10 Undang-undang Pokok Kehakiman Nomor 14 tahun 1970, tampaknya mau dirongrong atau ditiadakan sama sekali. Sikap tersebut lebih dari tujuannya dari theorie Receptie dalam Indische Staatsregeling pemerintah kolonial Belanda yang hendak memperlemah kedudukan Islam di Indonesia, teori mana beserta konstitusi. Kolonial tersebut sesuai dengan tujuan revolusi kemerdekaan bangsa Indonesia telah di tumbangkan oleh UUD 1945. Hendaknya negara pancasila yang rakyatnya terutama terdiri dari umat Islam, di bidang hukum agamanya lebih cemerlang tujuannya dari Indische Staatsregeling, Constitutie  kenegaraan Hindia Belanda itu. Tujuan Revolusi Bangsa Indonesia seperti dipaparkan dalam Mukaddimah UUD 1945, adalah antara lain hendak menjamin tercapainya cita-cita setiap agama yang berketuhanan Yang Maha Esa di Indonesia ini untuk mencapai dan menyempurnakan aspirasi imannya dalam rangka Pancasila.[6]
b.      Perkawinan antar agama yang disinggung dalam pasal 11 ayat 2 Rancangan tersebut, seperti antara laki-laki Islam atau wanita Islam disatu pihak dengan wanita bukan Islam atau laki-laki bukan Islam di lain pihak, adalah haram (terlarang) menurut ketetapan Tuhan Yang Maha Esa dalam Al-Qur’an 2:221. Segala pihak yang bukan Islam dinamakan oleh allah dalam ayat tersebut dengan istilah  musyrik dan musyirkah. Lain istilah yang dipergunakan dalam Al-Qur’an terhadap pihak yang bukan Islam ialah kufur dan kawafir seperti dalam Al-Qur’an 60 ayat 10. Maka istilah kafir dan musyrik atau kawafir dan musyrikah adalah “setali tiga uang”. Dalam Al-Qur’an 60:10 itu dengan tegas dinyatakan bahwa perempuan Islam tidak boleh dikawinkan dengan laki-laki kafir, demikian pula tidak boleh laki-laki Islam mengawini perempuan yang kafir, malahan seorang laki-laki yang memasuki agama Islam sedangkan isterinya tetap mau tinggal pada agama asalnya (yaitu agama kafir) wajib menceraikan isterinya yang kafir itu. Tetapi kemudian Allah memberi kelonggaran terhadap laki-laki yang memasuki agama Islam sedangkan isterinya yang kafir kitab Yahudi atau Nasrani/Kristen ingin mempertahankan agama asalnya yaitu agama Yahudi atau Nasrani, kelonggaran yang diberikan itu ialah bahwa laki-laki yang memasuki agama Islam itu diperbolehkan melanjutkan perkawinannya dengan isterinya yang berthan kepada agama asalnya yaitu agama Yahudi atau Kristen. Kelonggaran-kelonggaran ini dapat dijumpai dalam Al-Qur’an surat 5 ayat 5.[7]
Selain dari kalangan intelektual sebagaimana Hazairin, Buya Hamka  dengan lantangnya menyuarakan penolakannya, seperti ungkapannya:
“Pada saat-saat golongan-golongan lain melihat kulit luar, kaum Muslimin sedang lemah, dapat dikutak-katikkan, di saat itulah  ditonjolkan orang suatu RUU Perkawinan yang pada pokok, asas, dan prinsipnya ialah jalan memaksa kaum Muslimin, golongan mayoritas dalam negeri ini, meninggalkan syari’at agamanya sendiri tentang perkawinan supaya menggantinya dengan suatu peraturan perundang-undangan lain yang maksudnya menghancurkan azas Islam sama sekali, karena kalau RUU semacam itu hendak digolkan orang di DPR, semata-mata karena mengandalkan kekuatan pungutan suara, kegagah perkasaan mayoritas, dengan segala kerendahan hati inginlah kami memperingatkan kaum Muslim tidak akan memberontak, tidak akan melawan, karena mereka terang-terangan lemah. Tetapi demi kesadaran beragama undang-undang itu tidak akan diterima, tidak akan dijalankan. Malahan ulama-ulama yamg merasakan dirinya sebagai pewaris nabi-nabi akan mengeluarkan fatwa haram nikah kawin Islam berdasarkan undang-undang tersebut dan hanya wajib berkawin secara Islam. Dan barangsiapa kaum Muslim yang menjalankan juga undang-undang itu sebagai ganti rugi peraturan syari’at Islam tentang perkawinan, berarti mereka mengakui lagi satu peraturan yang lebih baik dari peraturan Allah dan Rasul. Kalau ada pengakuan demikian “kafirlah hukumnya”.
            Sikap dan reaksi keras Buya Hamka ini mewakili pendapat tokoh-tokoh Islam pada saat itu, seperti Syarifuddin Prawiranegara, A.H. Nasution, dan Mohammad Hatta. Sebagian lainnya turun ke jalan, terutama dipelopori oleh generasi muda Islam. Puncaknya pada tanggal 27 September 1973 keyika sekitar 500 pemuda Muslim yang berstatus “peninjau” sidang DPR menghentikan jalannya persidangan pada saat pemerintah, lewat Menteri Agama Prof. Dr. Mukti Ali. Memberikan jawaban terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi di DPR.[8]
            Sementara juga protes datang dari kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Persatuan Pembangunan. Fraksi Persatuan Pembangunan melalui pemandangan umumnya, misalnya dikemukakan ada 11 point yang dianggap menyalahi prinsip ajaran Islam, yakni:
1.      Sahnya perkawinan di hadapan pejabat
2.      Tidak ada batas jumlah isteri yang diizinkan untuk kawin
3.      Usia untuk perkawinan
4.      Larangan kawin antara orang tua angkat dengan anak angkat
5.      Larangan kawin antara suami isteri yang telah bercerai dua kali
6.      Perkawinan antar agama
7.      Masa iddah (tunggu) 306 hari
8.      Masalah pertunangan
9.      Harta bersama dan akibatnya dalam perceraian
10.  Kewajiban bekas suami untuk memberi biaya hidup bekas isteri
11.  Masalah pengangkatan anak dan akibat-akibatnya
Rancangan Undang-undang Perkawinan yang diajukan pemerintah terdapat klausul yang dapat mengancam eksistensi peradilan agama sekaligus keberadaan hukum Islam. Rancangan tersebut banyak mereduksi pengadilan agama. Selama ini yurisdiksi pengadilan dalam hal perkawinan tergantung pada agama seseorang, sementara itu rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah adalah undang-undang yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa memeperhatikan agama dan hanya dilaksanakan oleh pengadilan negeri.
Secara yuridis juga diajukan keberatan karena RUU Perkawinan banyak merujuk kepada hukum perkawinan BW dan H.O.C.I yang sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropa, Oranh Timur Asing, dan orang Kristen. Dalam pemandangan umum yang menjadi perdebatan karena dinilai:
1)      RUU Perkawinan tidak sesuai dengan pancasila
2)      RUU tersebut bertentangan dengan norma-norma kehidupan kerohanian atau ajaran agama  yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Oleh karena itu bertentangan pula dengan jiwa dan semangat UUD 1945, khususnya pasal 29 ayat 2,
3)      RUU tersebut tidak memiliki norma yuridis, norma sosiologis, maupun norma filosofis.
Namun dari kalangan Islam sendiri tidak semuanya yang sepakat dengan beberapa keberatan dan protes terhadap Rancangan Undang-undang Perkawinan yang diajukan pemerintah. Dari fraksi Karya Pembangunan misalnya dengan juru bicara K.H. Kodratullah mempertahankan Rancangan tersebut. Fraksi ini menilai, Rancangan Undang-undang Perkawinan tersbut merupakan suatu prestasi yang pantas dipuji sebagai usaha pemerintah dalam mengatasi kesatuan hukum masyarakat. Dalam argumentasinya, K.H. Kodratullah  juga mengutip beberapa ayat Al-Qur’an yang menjustifikasi pendapat fraksinya FKP menyimpulkan bahwa RUU tersebut dapat diteruskan pembahasannya dan tidak sepakat dengan Fraksi Persatuan Pembangunan yang mengatakan bahwa bertentangan dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2.

Menurut pemerintah, RUU tersebut akan tetap dipertahankan dan menolak keberatan FPP  terhadap pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Mukti Ali yang intelektual Islam ini, juga mengutip banyak ayat Al-Qur’an untuk mendukung pendapatnya. Akan tetapi, sebelum penjelasan pemerintah selesai disampaikan, dari balkon sidang DPR terdengar yel-yel protes pemuda Muslim. Mereka memasang poster sehingga mengganggu jalannya sidang. Isi poster itu antara lain: Sekularisme dan Komunisme adalah Musuh Agama dan Pancasila, RUU Perkawinan adalah Konsepsi Kafir, Manusia yang Menyetujui RUU Perkawinan Tidak Bermoral. Menyaksikan reaksi keras umat Islam yang demikian meluas, dan pembicaraan di parlemen seakan buntu, maka terjadi lobbying antar fraksi PPP fraksi ABRI. Seteleh beberapa kali mengadakan pertemuan, tercapai konsensus yang berintikan:
1.      Hukum Agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau diubah.
2.      Sebagai konsekuensi dari butir (1) di atas, maka alat-alat pelaksanaannya juga tidak akan dikurangi atau diubah.
3.      Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dalam RUU ini supaya didrop atau dihilangkan.
4.      Pasal (2) ayat 1 RUU itu disetujui dengan runusan, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Tiap-tiap perkawinan dicatat demi kepentingan administrasi negara.
5.      Perkawinan dan perceraian serta poligami, perlu diatur untuk mencegah kesewenang-wenangan.[9]
Kegalauan tersebut baru dapat terkendali dan menjadi tenang setelah beberapa hal yang bertentang dengan substansi hukum Islam dapat dikompromikan. Akhirnya RUU itu diputuskan oleh lembaga legislative dengan tetap memberikan kewenangan perkawinan dalam wewenang peradilan agama.
Dengan diterbitkannya UU tersebut membuktikan bahwa wewenang yurisdiksi pengadilan agama menjadi luas melalui dua cara:
1.      Pengadilan agama mendapat wewenang yang lebih besar dalam menangani wilayah-wilayah yang sebelumnya ditetapkan UU ini hanya mempunyai kompetensi yang sangat terbatas, seperti hanya masalah perkawinan dan perceraian.
2.      Kewenangan pengadilan agama mencakup wilayah-wilayah penting yang tidak berada pada wewenang pengadilan agama sebelumnya. Kewenangan tersebut menyangkut pembagian harta perkawinan, pemberian nafkah bagi pasangan suami isteri, dan tanggung jawab anak. Setelah mengalami proses lebih kurang selama 15 bulan, semenjak diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 1974, pada 1 April 1975 telah diundangkan pila peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Nomor 1 tahun 1974.




                                 












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Faktor yang melatar belakangai terbentuknya UU Perkawinan adanya tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah dikumandangkan sejak Kongres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928 yang kemudian dikedepankan dalam kesempatan-kesempatan lainnya, berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dalam perkawinan. Perbaikan yang didambakan itu terutama bagi golongan “Indonesia Asli” yang beragama Islam di mana hak dan kewajibannya dalam perkawinan tidak diatur dalam hukum yang tertulis. Hukum perkawinan orang Indonesia asli yang beragama Islam yang tercantum dalam kitab-kitab fiqh, menurut system hukum Indonesia tidaklah dapat digolongkan dalam kategori hukum tertulis, karena tidak tertulis dalam Peraturan Pemerintah
B.     Saran
Dalam penyusunan makalah ini, masih banyak yang perlu diperbaiki, serta masih banyak yang perlu di analisa tentang penulisan maupun isi yang di cantumkan. Untuk itu pemakalah perlu kritik maupun saran untuk mendukung perbaikan dari makalah ini. Pemakalah berharap makalah ini sekiranya dibaca dan di pelajari, jangan hanya untuk pengisi lemari, tapi jadikanlah ia sebagai wadah untuk mencari ilmu yang bermanfaat.






DAFTAR PUSTAKA
 Abdul H. Alim, 2005, Politik Hukum Islam di Indonesia, Ciputat Press
Ahmad Rofiq, 1995, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Basiq A. Djalil, 2006, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana
Halim Abdul, 2000, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Starifuddin Amir, 2006, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana






























[1] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana , 2009), hlm. 20
[2] A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 85-86
[3] Ma’shum Ahmad,” Politik Hukum Pidana,” el Qanuniy, vol 5, No, 2, Juli 2013: 307
[4] H. Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, (Ciputat Press, 2005), hlm. 135
[5] Ibid, hlm. 137
[6] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 55
[7] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT  RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 121-124
[8] Ibid, hlm. 125
[9] Op-cit hlm. 145-146