BAB I
PENDAHULUAN
A.
Larat
Belakang
Sebelum kita
mengetahui atau mengkaji mengenai pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan alangkah baiknya kita mengetahui lebih dulu apa sih yang
dinamakan Undang-Undang Perkawinan itu ?. Undang-Undang Perkawinan adalah
segala sesuatu dalam bentuk aturan yang dapat dan dijadikan petunjuk oleh umat
Islam dalam hal perkawinan dan dijadikan pedoman hakim di lembaga peradilan
agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara perkawinan, baik secara resmi
dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan negara atau tidak.[1]
Penjelasan
diatas sudah memberikan pemahaman bagi kita mengenai apa yang dimaksud dengan
Undang-Undang perkawinan itu. Berbicara mengenai Pembentukan Undang-Undang No.
1 Tahun 1974, pasti sangatlah menarik di kupas sedalam-dalamnya, karena dalam
pembahasan ini tersimpan sejarah lahirnya Undang-Undang tersebut, yang di
dalamnya sangat banyak para tokoh-tokoh negara serta para ulama untuk
mewujudkan Undang-Undang tersebut. Usaha kearah pembentukan Undang-Undang
Perkawinan telah dimulai semenjak tahun 1950 dengan Surat Putusan Menteri Agama
No. B/2/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dengan membentuk panitia penyelidik
peraturan hukum perkawinan, talak dan rujuk yang diketuai Mr. Teuku Mohammad
Hassan. Setelah mengalami beberapa kali perubahan personalia, maka tanggal 1
April 1961 dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. H. Moh. Noer Poerwosoetjipto.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Politik
Hukum Sekitar Pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
1.
Lahirnya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
berlaku bagi semua warga negara RI tanggal 02 Januari 1974 untuk sebagian besar
telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah dikumandangkan
sejak Kongres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928 yang kemudian dikedepankan
dalam kesempatan-kesempatan lainnya, berupa harapan perbaikan kedudukan wanita
dalam perkawinan. Perbaikan yang didambakan itu terutama bagi golongan
“Indonesia Asli” yang beragama Islam di mana hak dan kewajibannya dalam
perkawinan tidak diatur dalam hukum yang tertulis. Hukum perkawinan orang
Indonesia asli yang beragama Islam yang tercantum dalam kitab-kitab fiqh,
menurut sistem hukum Indonesia tidaklah dapat digolongkan dalam kategori
hukum tertulis, karena tidak tertulis dalam Peraturan Pemerintah.[2]
Masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian pergerakan wanita
waktu itu adalah masalah:
1.
Perkawinan
Paksa
2.
Poligami
3.
Talak
yang sewenang-wenang[3]
Setelah
Indonesia merdeka langkah-langkah perbaikan diadakan oleh pemerintah antara
lain dengan mengeluarkan Undang-Undang tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk
Tahun 1946. Setelah itu diusul dengan Peraturan Menteri Agama mengenai wali
hakim dan tata cara pemeriksaan perkara pasif nikah, talak, dan rujuk di
Pengadilan Agama. Namun demikian, perbaikan yang dituntut belumlah dipenuhi
karena undang-undang dan peraturan-peraturan itu hanyalah mengenai formil belaka,
tidak mengenai hukum materiilnya yakni undang-undang yang mengatur perkawinan
itu sendiri.
Usaha kearah
pembentukan Undang-Undang Perkawinan telah dimulai semenjak tahun 1950 dengan
Surat Putusan Menteri Agama No.
B/2/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dengan membentuk panitia penyelidik peraturan
hukum
perkawinan, talak dan rujuk yang diketuai Mr. Teuku Mohammad Hassan. Setelah
mengalami beberapa kali perubahan personalia, maka tanggal 1 April 1961
dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. H. Moh Noer Poerwosoetjipto. Panitia
ini diberi tugas untuk meninjau kembali segala peraturan mengenai perkawinan
dan menyusun rancangan undang-undang yang selaras dengan perkembangan dan
dinamika masyarakat. Panitia ini berhasil menyelesaikan dua rancangan
undang-undang perkawinan yang telah diajukan dalam GPRGR. Satu diantaranya
berupa rancangan undang-undang pokok perkawinan, yang dijadikan hukum umum bagi
seluruh rakyat Indonesia tanpa memperhatikan kepercayaan agama dan
kesukuannya.
Rancangan ini
diselesaikan pada tahun 1952, rancangan lainnya adalah rancangan undang-undang
pernikahan
umat Islam, sebuah draf hukum perkawinan bagi umat Islam yang diselesaikan pada
tahun 1954. Kedua rancangan itu didasarkan atas mazhab pemikiran
yang berkembang di Indonesia yang menghormati perbedaan hukum-hukum perkawinan
sesuai dengan beragamnya masyarakat Indonesia. Namun, sebaliknya, para penyusun
RUUP 1973 itu, secara terang-terangan bertolak dari komsep unifikasi hukum
sebagai satu syarat mendasar bagi modernisasi yang sah.
Secara kronologis,
undang-undang ini merupakan follow up dari peraturan-peraturan perkawinan
sebelumnya (pra dan pasca kemerdekaan). Proses unifikasi hukum nasional ini
mengundang kontroversi dalam menentukan konsiderannya, mengingat heterogennya
bangsa Indonesia. Sebagai kelanjutannya disusun panitia penyelidik peratutaran
dan hukum perkawinan. Namun sayangnya, tim ini teralalu lambat system kerjanya,
sehingga atas desakan masyarakat dibentuk panitia yang baru pada 1 April 1961.
Sebagai langkah
awal kerja dari panitia yang baru dibentuk ini, diadakan konferensi BP-4 tahun
1962 yang diselenggarakan oleh Departemen Agama dan seminar LPHN (sekarang
BPHN) bersama Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI) tahun 1963. Semenjak
tahun 1963 LPHN meninjau kembali masalah Undang-undang perkawinan. Tahun 1966
Depkeh telah menugaskan kembali LPHN mengenai penyusunan Rancangan
Undang-undang yang bersifat nasional dengan landasan jiwa pancasila. Pada 22
Mei 1967 pemerintah telah menyampaikan rancangan tentang Pernikahan Ummat
Islam, yang kemudian disusul Undang-undang tentang Ketentuan Pokok Perkawinan
pada bulan Oktober 1968. Kedua Rancangan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh
DPRGR bersama-sama pemerintah.[4]
Pada 31 Juli
1973, Presiden telah menyampaikan kepada DPR RI Rancangan Undang-undang tentang
Perkawinan dan menarik kembali Rancangan Undang-undang Ketentuan Pokok
Perkawinan. Satu tahun kemudian, 30 Agustus 1973 menteri Kehakiman atas nama
pemerintah menyampaikan keterangan-keterangan pemerintah dan disusul dengan
pemandangan umum fraksi-fraksi tanggal 17 dan 18 September 1973.
Betapa
menariknya Rancangan-rancangan undang-undangan setelah diajukan pemerintah 16
Agustus 1973. Sebelum RUUP itu diajukan, timbul reaksi keras dan pro kontra
dari segala lapisan masyarakat muslim. Khutbah di mesjid-mesjid, ceramah,
pengajian, tulisan di massa media, demonstrasi dan berbagai pernyataan ormas
Islam yang pada intinya menolak Rancangan Undang-undang itu karena dianggap
bertentangan dengan ajaran Islam. Kamal Hassan menggambarkan, bahwa semua
ulama, baik dari kalangan tradisional maupun reformis, sejak dari Aceh, di
Sumatera Utara hingga Surabaya Jawa Timur . Protes-protes dari seluruh tanah
air memuncak pada bulan September 1973 ketika 335 orang dating dan masuk ke
dalam ruang sidang DPR dan mengacaukan jalannya sidang serta menguasai
perdebatan. Jalan penyelesaiannya yang dicapai adalah suatu kompromi
undang-undang yang kemudian diterima DPR pada 22b Desember 1973.
Reaksi keras
Umat Islam, di samping karena RUU tersebut menurut Abdul Aziz Thaba
bersinggungan dengan masalah aqidah, juga dilatarbelakangi oleh situasi
perkembangan politik pada saat itu.
Parpol Islam
baru saja kalah dalam Pemilu 1971 dan gejala depolitisasi Islam sudah mulai
tampak sehingga kalangan Islam sangat mengkhwatirkan keberadaan mereka. Apalagi
pada saat itu pemerintah mengimbau untuk tidak menggunakan kata Islam dalam PPP
hasil Pusi.
Umat Islam
sangat cemas dengan isu Kristinesasi yang mulai ramai sejak tahun 1970-an.
Banyak yang menuduh di balik Rancangan Undang-undang Perkawinan itu ada
tendensi terselubung yakni usaha untuk mempermudah upaya kristenisasi di
Indonesia.
Rancangan
Undang-undang Perkawinan itu sendiri terdiri atas 15 bab dan terbagi dalam 73
pasal. Dari isi pasal-pasalnya terkesan bahwa RUU ini sejiwa dengan RUU yang
pernah diajukan oleh Ny. Sumari Cs. RUU ini sama sekali tidak menyebut masalah
agama atau hukum agama, bahkan pada pasal 11 ditegaskan karena kebangsaan, suku
bangsa, negara asal, tempat asal, agama/kepercayaan dan keturunan tidak
merupakan penghalang perkawinan. Beberapa bagian, seperti bab IX, rumusannya
merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek dan Huwelijkssordonantie Christen
Indonesiers pada zaman Belanda dahulu. Oleh sebab itu RUU ini kurang
menempatkan lembaga perkawinan sesuai dengan kesadaran rakyat yang menganggap
“masalah perkawinan itu merupakan urusan agama dan pelaksanaannya adalah
termasuk ibadah kepada Allah.” Rancangan
Undang-undang perkawinan ini juga tidak menyebut kedudukan peradilan agama,
yang diakui hanya peradilan umum.[5]
Terhadap
persoalan ini Prof. Dr. Mr. Hazairin menyikapinya dengan sangat keras,
sebagaimana ia tulis dalam sebuah media sebagai berikut:
“
Jika Rancangan itu dimaksudkan sebagai rancangan Undang-undang untuk berlaku
bagi setiap warga negara RI maka rancangan itu terhadap orang Islam
bertentangan dengan pasal 29 ayat 1 UUD 1945, karena:
a.
Peradilan
agama Islam, dibidang hukum
perkawinan dan kewarisan, sebagai yang telah ada sekarang ini dan terjamin
perkembangannya dalam pasal 10 Undang-undang Pokok Kehakiman Nomor 14 tahun
1970, tampaknya mau dirongrong atau ditiadakan sama sekali. Sikap tersebut
lebih dari tujuannya dari theorie Receptie dalam Indische
Staatsregeling pemerintah kolonial Belanda
yang hendak memperlemah kedudukan Islam di Indonesia, teori mana beserta
konstitusi. Kolonial tersebut sesuai dengan tujuan revolusi kemerdekaan bangsa
Indonesia telah di tumbangkan oleh UUD 1945. Hendaknya negara pancasila yang
rakyatnya terutama terdiri dari umat Islam, di bidang hukum agamanya lebih
cemerlang tujuannya dari Indische Staatsregeling, Constitutie kenegaraan Hindia Belanda itu. Tujuan
Revolusi Bangsa Indonesia seperti dipaparkan dalam Mukaddimah UUD 1945, adalah
antara lain hendak menjamin tercapainya cita-cita setiap agama yang
berketuhanan Yang Maha Esa di Indonesia ini untuk mencapai dan menyempurnakan
aspirasi imannya dalam rangka Pancasila.[6]
b.
Perkawinan
antar agama yang disinggung dalam pasal 11 ayat 2 Rancangan tersebut, seperti
antara laki-laki Islam atau wanita Islam disatu pihak dengan wanita bukan Islam
atau laki-laki bukan Islam di lain pihak, adalah haram (terlarang)
menurut ketetapan Tuhan Yang Maha Esa dalam Al-Qur’an 2:221. Segala pihak yang
bukan Islam dinamakan oleh allah dalam ayat tersebut dengan istilah musyrik dan musyirkah. Lain
istilah yang dipergunakan dalam Al-Qur’an terhadap pihak yang bukan Islam ialah
kufur dan kawafir seperti dalam Al-Qur’an 60 ayat 10. Maka istilah kafir dan
musyrik atau kawafir dan musyrikah adalah “setali tiga uang”. Dalam Al-Qur’an
60:10 itu dengan tegas dinyatakan bahwa perempuan Islam tidak boleh dikawinkan
dengan laki-laki kafir, demikian pula tidak boleh laki-laki Islam mengawini
perempuan yang kafir, malahan seorang laki-laki yang memasuki agama Islam
sedangkan isterinya tetap mau tinggal pada agama asalnya (yaitu agama kafir)
wajib menceraikan isterinya yang kafir itu. Tetapi kemudian Allah memberi
kelonggaran terhadap laki-laki yang memasuki agama Islam sedangkan isterinya
yang kafir kitab Yahudi atau Nasrani/Kristen ingin mempertahankan agama asalnya
yaitu agama Yahudi atau Nasrani, kelonggaran yang diberikan itu ialah bahwa
laki-laki yang memasuki agama Islam itu diperbolehkan melanjutkan perkawinannya
dengan isterinya yang berthan kepada agama asalnya yaitu agama Yahudi atau
Kristen. Kelonggaran-kelonggaran ini dapat dijumpai dalam Al-Qur’an surat 5
ayat 5.[7]
Selain dari
kalangan intelektual sebagaimana Hazairin, Buya Hamka dengan lantangnya menyuarakan penolakannya,
seperti ungkapannya:
“Pada saat-saat golongan-golongan
lain melihat kulit luar, kaum Muslimin sedang lemah, dapat dikutak-katikkan, di
saat itulah ditonjolkan orang suatu RUU
Perkawinan yang pada pokok, asas, dan prinsipnya ialah jalan memaksa kaum
Muslimin, golongan mayoritas dalam negeri ini, meninggalkan syari’at agamanya
sendiri tentang perkawinan supaya menggantinya dengan suatu peraturan
perundang-undangan lain yang maksudnya menghancurkan azas Islam sama sekali,
karena kalau RUU semacam itu hendak digolkan orang di DPR, semata-mata karena
mengandalkan kekuatan pungutan suara, kegagah perkasaan mayoritas, dengan
segala kerendahan hati inginlah kami memperingatkan kaum Muslim tidak akan
memberontak, tidak
akan melawan, karena mereka terang-terangan lemah. Tetapi demi kesadaran
beragama undang-undang itu tidak akan diterima, tidak akan dijalankan. Malahan
ulama-ulama yamg merasakan dirinya sebagai pewaris nabi-nabi akan mengeluarkan
fatwa haram nikah kawin Islam berdasarkan undang-undang tersebut dan hanya
wajib berkawin secara Islam. Dan barangsiapa kaum Muslim yang menjalankan juga
undang-undang itu sebagai ganti rugi peraturan syari’at Islam tentang
perkawinan, berarti mereka mengakui lagi satu peraturan yang lebih baik dari
peraturan Allah dan Rasul. Kalau ada pengakuan demikian “kafirlah hukumnya”.
Sikap
dan reaksi keras Buya Hamka ini mewakili pendapat tokoh-tokoh Islam pada saat
itu, seperti Syarifuddin Prawiranegara, A.H. Nasution, dan Mohammad Hatta.
Sebagian lainnya turun ke jalan, terutama dipelopori oleh generasi muda Islam.
Puncaknya pada tanggal 27 September 1973 keyika sekitar 500 pemuda Muslim yang
berstatus “peninjau” sidang DPR menghentikan jalannya persidangan pada saat
pemerintah, lewat Menteri Agama Prof. Dr. Mukti Ali. Memberikan jawaban
terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi di DPR.[8]
Sementara
juga protes datang dari kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi
Persatuan Pembangunan. Fraksi Persatuan Pembangunan melalui pemandangan
umumnya, misalnya dikemukakan ada 11 point yang dianggap menyalahi prinsip
ajaran Islam, yakni:
1. Sahnya perkawinan di hadapan pejabat
2. Tidak ada batas jumlah isteri yang diizinkan untuk kawin
3. Usia untuk perkawinan
4. Larangan kawin antara orang tua angkat dengan anak angkat
5. Larangan kawin antara suami isteri yang telah bercerai dua kali
6. Perkawinan antar agama
7. Masa iddah (tunggu) 306 hari
8. Masalah pertunangan
9. Harta bersama dan akibatnya dalam perceraian
10. Kewajiban bekas suami untuk memberi
biaya hidup bekas isteri
11. Masalah pengangkatan anak dan
akibat-akibatnya
Rancangan
Undang-undang Perkawinan yang diajukan
pemerintah terdapat klausul yang dapat mengancam eksistensi peradilan agama
sekaligus keberadaan hukum Islam. Rancangan tersebut banyak mereduksi
pengadilan agama. Selama ini yurisdiksi pengadilan dalam hal perkawinan
tergantung pada agama seseorang, sementara itu rancangan undang-undang yang
diajukan pemerintah adalah undang-undang yang berlaku untuk seluruh rakyat
Indonesia tanpa memeperhatikan agama dan hanya dilaksanakan oleh pengadilan
negeri.
Secara yuridis
juga diajukan keberatan karena RUU Perkawinan banyak merujuk kepada hukum
perkawinan BW dan H.O.C.I yang sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropa,
Oranh Timur Asing, dan orang Kristen. Dalam pemandangan umum yang menjadi
perdebatan karena dinilai:
1)
RUU
Perkawinan tidak sesuai dengan pancasila
2)
RUU
tersebut bertentangan dengan norma-norma kehidupan kerohanian atau ajaran agama
yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu bertentangan pula dengan jiwa dan
semangat UUD 1945, khususnya pasal 29 ayat 2,
3)
RUU
tersebut tidak memiliki norma yuridis, norma sosiologis, maupun norma
filosofis.
Namun dari kalangan
Islam sendiri tidak semuanya yang sepakat dengan beberapa keberatan dan protes
terhadap Rancangan Undang-undang Perkawinan yang diajukan pemerintah. Dari
fraksi Karya Pembangunan misalnya dengan juru bicara K.H. Kodratullah
mempertahankan Rancangan tersebut. Fraksi ini menilai, Rancangan Undang-undang
Perkawinan tersbut merupakan suatu prestasi yang pantas dipuji sebagai usaha
pemerintah dalam mengatasi kesatuan hukum masyarakat. Dalam argumentasinya,
K.H. Kodratullah juga mengutip beberapa
ayat Al-Qur’an yang menjustifikasi pendapat fraksinya FKP menyimpulkan bahwa
RUU tersebut dapat diteruskan pembahasannya dan tidak sepakat dengan Fraksi
Persatuan Pembangunan yang mengatakan bahwa bertentangan dengan UUD 1945 pasal
29 ayat 2.
Menurut
pemerintah, RUU tersebut akan tetap dipertahankan dan menolak keberatan
FPP terhadap pasal-pasal yang dianggap bertentangan
dengan ajaran Islam. Mukti Ali yang intelektual Islam ini, juga mengutip banyak
ayat Al-Qur’an untuk mendukung pendapatnya. Akan tetapi, sebelum penjelasan
pemerintah selesai disampaikan, dari balkon sidang DPR terdengar yel-yel protes
pemuda Muslim. Mereka memasang poster sehingga mengganggu jalannya sidang. Isi
poster itu antara lain: Sekularisme dan Komunisme adalah Musuh Agama dan
Pancasila, RUU Perkawinan adalah Konsepsi Kafir, Manusia yang Menyetujui
RUU Perkawinan Tidak Bermoral. Menyaksikan reaksi keras umat Islam yang
demikian meluas, dan pembicaraan di parlemen seakan buntu, maka terjadi
lobbying antar fraksi PPP fraksi ABRI. Seteleh beberapa kali mengadakan
pertemuan, tercapai konsensus yang
berintikan:
1.
Hukum
Agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau diubah.
2.
Sebagai
konsekuensi dari butir (1) di atas, maka alat-alat pelaksanaannya juga tidak
akan dikurangi atau diubah.
3.
Hal-hal
yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dalam RUU
ini supaya didrop atau dihilangkan.
4.
Pasal
(2) ayat 1 RUU itu disetujui dengan runusan, “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum agama masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Tiap-tiap perkawinan dicatat demi kepentingan administrasi negara.
5.
Perkawinan
dan perceraian serta poligami, perlu diatur untuk mencegah kesewenang-wenangan.[9]
Kegalauan
tersebut baru dapat terkendali dan menjadi tenang setelah beberapa hal yang
bertentang dengan substansi hukum Islam dapat dikompromikan. Akhirnya RUU itu
diputuskan oleh lembaga legislative dengan tetap memberikan kewenangan
perkawinan dalam wewenang peradilan agama.
Dengan
diterbitkannya UU tersebut membuktikan bahwa wewenang yurisdiksi pengadilan
agama menjadi luas melalui dua cara:
1.
Pengadilan
agama mendapat wewenang yang lebih besar dalam menangani wilayah-wilayah yang
sebelumnya ditetapkan UU ini hanya mempunyai kompetensi yang sangat terbatas,
seperti hanya masalah perkawinan dan perceraian.
2.
Kewenangan
pengadilan agama mencakup wilayah-wilayah penting yang tidak berada pada
wewenang pengadilan agama sebelumnya. Kewenangan tersebut menyangkut pembagian
harta perkawinan, pemberian nafkah bagi pasangan suami isteri, dan tanggung
jawab anak. Setelah mengalami proses lebih kurang selama 15 bulan, semenjak
diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 1974, pada 1 April 1975 telah diundangkan pila
peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Nomor 1 tahun
1974.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Faktor yang
melatar belakangai terbentuknya UU Perkawinan adanya tuntutan masyarakat
Indonesia. Tuntutan ini sudah dikumandangkan sejak Kongres Perempuan Indonesia
pertama tahun 1928 yang kemudian dikedepankan dalam kesempatan-kesempatan
lainnya, berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dalam perkawinan. Perbaikan
yang didambakan itu terutama bagi golongan “Indonesia Asli” yang beragama Islam
di mana hak dan kewajibannya dalam perkawinan tidak diatur dalam hukum yang
tertulis. Hukum perkawinan orang Indonesia asli yang beragama Islam yang
tercantum dalam kitab-kitab fiqh, menurut system hukum Indonesia tidaklah dapat
digolongkan dalam kategori hukum tertulis, karena tidak tertulis dalam
Peraturan Pemerintah
B.
Saran
Dalam
penyusunan makalah ini, masih banyak yang perlu diperbaiki, serta masih banyak
yang perlu di analisa tentang penulisan maupun isi yang di cantumkan.
Untuk itu pemakalah perlu kritik maupun saran untuk mendukung perbaikan dari makalah
ini. Pemakalah berharap makalah ini sekiranya dibaca dan di pelajari, jangan
hanya untuk pengisi lemari, tapi jadikanlah ia sebagai wadah untuk mencari ilmu
yang bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul H. Alim, 2005, Politik Hukum Islam di
Indonesia, Ciputat Press
Ahmad Rofiq, 1995, Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Basiq A.
Djalil, 2006, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana
Halim Abdul,
2000, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada
Starifuddin Amir, 2006, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
[1]
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
, 2009), hlm. 20
[2] A.
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),
hlm. 85-86
[3]
Ma’shum Ahmad,” Politik Hukum Pidana,” el Qanuniy, vol 5, No, 2, Juli
2013: 307
[4] H.
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, (Ciputat Press, 2005),
hlm. 135
[5] Ibid,
hlm. 137
[6]
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1995), hlm. 55
[7]
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2000), hlm.
121-124
[9] Op-cit
hlm. 145-146