Q.S AL-IMRAN AYAT 26
Oleh
Kelompok I
BAMBANG
HARIANTO
1510300045
Dosen
Pengampu
Dr.
Ali Sati, M. Ag
HUKUM
TATA NEGARA
FAKULTAS
SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI PADANG SIDIMPUAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat ilahi rabbi atas segala limpahan Rahmat, kasih
sayang dan nikmat yang tiada tara sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada baginda nabi besar Muhammad SAW semoga kita semua
bisa mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak.amiin.
Kami berharap Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam menjalani
kehidupan sosial saat ini dan Kami berharap pula semoga makalah ini membantu
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini supaya kedepannya dapat lebih baik.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna sehingga kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
yang sifatnya membangun ke arah yang lebih sempurna.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR
ISI
A. Pendahuluan………………………………………………………………...1
B. Ayat Utama……………………………………………………………….....1
C. Makna
Mofrodat………………………………………….………………...3
D.
Asbabun
Nuzul….…………………………………………………………..4
E.
Analisa
kandungan Ayat…………………………………………………...5
F. Sikap Muslim
terhadap Ketentuan dan Kuasa Allah.........................…..5
G. Hikmah Kandungan Ayat…………………………………….……………6
KESIMPULAN
……………………………………………………………………..12
DAFTAR
PUSTAKA
A. Pendahuluan
Al-Quran
tidak menyatakan secara eksplisit bagaimana sistem politik terwujud. Tetapi ia
menegaskan bahwa kekuasaan politik dijanjikan kepada orang-orang beriman dan
beramal sholeh. Ini berarti sistem politik terkait dengan kedua faktor
tersebut. Pada sisi lain keberadaan sebuah sistem politik terkait pula dengan
ruang dan waktu. Ini berarti ia adalah budaya manusia sehingga keberadaannya
tidak dapat dilepaskan dari dimensi kesejarahan. Karena itu lahirnya sistem
politik islam harus ditelusuri dari sebuah peristiwa sejarah.
Dalam
hal ini peristiwa yang dimaksud adalah baiat atau mubayaah keislaman, sebuah
perikatan berisi pengakuan dan penaklukan diri kepada islam sebagai agama.
Konsekuensi dari baiat tersebut adalah terwujudnya sebuah masyarakat muslim
yang yang dikendalikan oleh kekuasaan yang dipegang Rasulullah SAW.
Perkembangan
lebih lanjut dari sistem politik tersebut terjadi setelah Rasulullah hijrah ke
Madinah. Disini sistem politik tersebut memiliki supremasi atas kota Madinah
yang ditandai dengan keluarnya Piagam Madinah (1 H). Rasulullah menjalankan
sistem politik tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip al-Quran tentang politik.
Lalu bagaimanakah konsep dan prinsip politik islam dalam pandangan al-Quran?
B.
Ayat Utama
Negara
sebagai kekuatan dunia merupakan sesuatu yang mutlak bagi Al-Qur'an, sebab
hanya dengan itulah aturan-aturan dan ajaran-ajarannya dapat dilaksanakan dalam
kehidupan nyata. Islam mengatur hal-hal yang tidak berubah, termasuk pokok-
pokok mengatur masyarakat manusia, kepentingan dan keperluannya;
kepemimpinannya. Titel kepada negara, khalifah boleh, amirul mukminin boleh,
presiden boleh.[1]
Negara adalah sekumpulan manusia
yang secara tetap mendiami suatu wilayah tertentu dan memiliki institusi
abstraknya sendiri serta sistem yang dipatuhi dari para pemegang
kekuasaan yang ditaatinya serta memiliki kemerdekaan politik. Unsur yang harus
ada bagi wujudnya dan berdirinya sebuah negara adalah adanya bangsa yang
mendiami wilayah tertentu di belahan bumi ini, adanya institusi abstrak yang
diterima baik oleh bangsa tersebut dan direalisasikan oleh pemegang kekuasaan,
adanya sistem yang ditaati dan mengatur jenjang-jenjang kekuasaan serta kebebasan politik yang menjadi
identitas bangsa tersebut sehingga tidak mengekor kepada negara lain Jauh
sebelum Islam yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam datang, di
Barat maupun di Timur telah terdapat negara dalam pengertiannya yang umum
berupa kerajaan.[2]
1.
Surat Ali Imron
ayat 26.
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ
وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ
تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [٣:٢٦]
Katakanlah:
"Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang
yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.(QS.al-imran:26)[3]
C. Makna
Mofrodat
1.
Kata اللَّهُمَّ
(Allahumma) digunakan khusus untuk memohon doa kepada Allah yang berarti Ya
Allah bimbinglah kami dengan cara yang sebaik-baiknya.
2.
Kata ملك (Malik) yang
berarti raja, atau "Malik", yang artinya Pemilik atau mengandung
penguasaan terhadap sesuatu yang disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan
keshahihannya.
3.
Kata مَالِكَ الْمُلْكِ
(Malikul mulk) merupakan kata majemuk yang mempunyai makna kekuatan, dan
keshahihan yang pada awalnya diartikan sebagai ikatan dan penguatan. Allah
adalah Pemilik. Ayat ini mejelaskan bahwa yang dimiliki-Nya adalah al-mulk,
yakni kepemilikan.
4.
Kata تعزّ (Tu'izzu)
bermakna Engkau muliakan, pada hakikatnya kata ini berarti kekuatan yang
menjadikan pemiliknya dibutuhkan, sekaligus tidak terkalahkan.
5.
Kata تذلّ (Tudzillu)
bermakna Engkau hinakan. Yang hina selalu butuh kepada banyak pihak,
terkalahkan dan tidak berwibawa.
D.
Asbabun
Nuzul
Ulama tafsir
mengemukakan riwayat yang bersumber dan Ibn Abbas dan Anas Ibn Malik,bahwa
ketika nabi Muhammad SAW berhasil memasuki kota mekah dengan gemilang, beliau
menyampaikan bahwa sesuatu ketika imperium Romawi dan persia nakan takluk
kepada kekusaan islam. Orang – orang munafik yang mendengar informasi ini
tercengang, ragu, dan mengejek sambil berkata,”Apakah tidak cukup
buat muhammad mekah dan madinah?”. Menanggapi ejekan dan keraguan tersebut
Allah menurunkan ayat ini.[4]
Dan “Dikemukakan
oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari Qatadah. Qatadah berkata: “Diterangkan
kepada kami, bahwa Rasulullah SAW pernah memohon kepada Tuhannya (Allah) supaya
Raja Rum dan Raja Persia umatnya(Nabi SAW). Maka Allah SWT menurunkan ayat
ini”:[5]
E.
Analisa
kandungan Ayat
Dalam
QS. Al-imran:26 ditegaskan bahwa manusia wajib mengakui kemahakuasaan Allah dan
tunduk kepada-Nya. Dialah yang dapat memerikan kekusaan kepada seseorang atau
mencabut kekuasaan itu. Dia juga yang menguasai segala bentuk kebaikan secara
mutlak. Disini terkandung pengertian bahwa ketika berdoa, sesorang harus
bersikap tawadhu agar apa yang dimohonkan dapat segera terealisasi.
Allah
malik al mulk adalah dia sumber
kepemilikan. Dia yang terlaksana kehendaknya dalam wilayah dalam wilayah
kekusaannya, sedangkan wilayah kekuasaannya adalah seluruh wujud ini. Itu dia
laksanakan sesuai dengan cara yang dikehendakinya baik saat mewujudkan,
meniadakan, menganugrahkan, mempertahankan, dan mencabut. Kesatuan kepemilikan
Allah di ibaratkan oleh imam Ghazali dengan manusia yang walaupun bagian-bagian
dari anggota badannya anyak dan beraneka ragam, tetapi seluruhnya bekerja sama
untuk memenuhi kehendak pemiliknya, yakni manusia. Alam raya, bahkan
keseluruhan wujud merupakan milik Allah, kesemuanya tunduk kepada-Nya dan
bekerja sama untuk tujuan kebajikan dan sesuai hikmah kebijaksanaan-Nya.
Ketika kita
bericara bahwa Allah adalah malik al mulk
maka itu bermakna segala sesuatu yang dapat dikatakan semuanya milik Allah,
karena Dia adalah pemilik dari segala kepemilikan.jika demikian halnya, tiada
satupun yang bukan milik-Nya.
Ketika seseorang mengucapkan allahumma malik al-mulk/ Allah pemilik kerajaan, maka pada hakikatnya dia menyeru Allah dengan dua nama-Nya, yaitu Allah
dan Malik al-Mulk. Dengan menyebut
nama Allah, yang lafaz-Nya menyiratkan makna ketaatan dan ibadah yang hanya wajar diarahkan kepada-Nya semata, pengucap doa ini diharapkan dapat meraih kekhusyukan, serta menyandangkan segala sifat terpuji kepada Allah dan menyucikan-Nya dari segala sifat tercela. Dengan menyeru Malik al-Mulk diharapkan
dapat tecermin kekuasaan dan kebesaran
Allah SWT., serta kelemahan seluruh makhluk di
hadapan-Nya.
Salah satu bentuk dan bukti kekuasaan dan
kepemilikan-Nya adalah apa yang
diucapkan itu, yakni Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang iingkau kehendaki. Anda
perhatikan, Dia tidak mengajarkan kita berkata, "Engkau milikkan", tetapi "berikan", karena apa yang
diberikan-Nya bukan menjadi milik, tetapi pemberian
yang sifatnya hanya sementara, karena pada saat yang
sama, pemberian-Nya dapat diambil-Nya kembali, baik yang diberi rela atau tidak. Seandainya apa yang diberikan
dijadikan milik yang diberi, tentu
tidak wajar Allah mengambilnya kembali, apalagi dengan mencabut, yakni memaksa.
Kerajaan, yakni kekuasaan yang berada dalam genggaman tangan seseorang bukanlah miliknya; karena itu bila yang bersangkutan enggan menyerahkannya ketika Allah memintanya kembali, maka Engkau cabut kerajaan yang pernah
Engkau berikan itu dari siapa yang Engkau kehendaki, untuk Engkau cabut darinya. Pemberian dan pencabutan itu, melalui
faktor-faktor atau hukum-hukum yang
ditetapkan Allah, berlaku dalam kehidupan masyarakat, tidak ubahnya dengan
hukum-hukum alam yang ditetapkannya dalam perjalanan
alam raya ini.
Kata cabut memberi isyarat bahwa seringkali penguasa
ingin mempertahankan kekuasaannya
sepanjang mungkin, kalau pun harus mengalihkan,
maka pengalihan tersebut adalah kepada anak keturunan atau teman dckatnya, sehingga kekuasannya dapat langgeng. Memang lebih tepat memahami kata al-mulk pada ayat ini dalam arti kekuasaan
memerintah, Agaknya makna-makna selain kekuasaan
memerintah dicakup oleh
lanjutan ayat, yakni Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki untuk Engkau muliakan, dan Engkau hinakan siapa
yang Engkau kehendaki untuk Engkau hinakan.
Ungkapan Engkau
muliakan, pada hakikatnya mengandung arti kekuatan yang menjadikan pemiliknya dibutuhkan, sekaligus tidak tetkalahkan. Allah
Maha Mulia karena Dia dibutuhkan oleh
semua makhluk, sedangkan Dia tidak butuh kepada
siapa atau apa pun. Dia mengalahkan segala sesuatu dan tidak dapat dikalahkan oleh segala sesuatu. Dia sedemikian mulia,
sehingga tidak ada yang dapat menyentuh,
bahkan mengetahui hakikat-Nya. Pada saat Allah
memuliakan seseorang, maka orang itu akan dibutuhkan oleh banyak pihak, dan pada saat yang sama dia tidak dapat dikalahkan oleh
lawan-lawannya.
Menganugerahkan
kekuasaan atau mencabutnya, memuliakan atau menghinakan, itu semua akan berakibat baik, karena segala yang bersumber
dari-Nya adalah baik, bahkan hanya di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Allah yang
menciptakan dan mengatur alam raya, ciptaan dan pengaturan-Nya sungguh baik. Apa yang diduga buruk pada hakikatnya lahir dari keterbatasan pandangan manusia, atau dilahirkan oleh ulah manusia
sendiri atau dapat juga dikatakan bahwa
yang buruk kalau pun ada hanya terbatas
menyentuh sekian makhluk-Nya, dan keburukan itu pada hakikatnya adalah untuk kebaikan banyak sekali makhluk-Nya yang lain, sehingga pada akhirnya yang buruk itu pun adalah baik untuk alam raya, paling tidak untuk sebagian besar mereka. Kalau pun pada akhirnya kita berkata, bahwa segala sesuatu atas izin Allah, dan bahwa kenyataan menunjukkan adanya apa yang dinilai buruk oleh manusia, maka ketika itu hendaknya kita menarik pelajaran dari tuntunan ayat ini, bahwa
kalau pun ada yang dinilai buruk, maka
keburukan itu tidaklah wajar dinisbahkan
kepada Allah SWT. Akhirnya ayat di atas menegaskan
hakikat yang tidak terbantah, bahwa sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
F.
Sikap Muslim terhadap Ketentuan dan
Kuasa Allah
Ketika Mu'awiyah ibn Abi
Sufyan menggantikan Khalifah IV, Ali ibn Abi Thalib (W. 620
H), ia menulis surat kepada salah seorang sahabat Nabi, Al Mughirah
ibn Syu'bah menanyakan, "Apakah doa yang
dibaca Nabi setiap selesai shalat?" Ia memperoleh jawaban
bahwa doa beliau adalah, "Tiada
Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai
Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri, tidak juga ada
yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, tidak berguna upaya
yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber dari-Mu. (HR Bukhari).[6]
Walau
hadis tersebut diperdebatkan oleh ahli ilmu kalam, menyangkut pro dan kontra
terhadap pengausa yang jelas, Nabi dan sahabat-sahabat utama
beliau, tidak pernah mempersoalkan takdir. Mereka sepenuhnya
yakin tentang takdir Allah yang menyentuh
semua makhluk termasuk manusia, tetapi sedikit
pun keyakinan ini tidak
menghalangi mereka menyingsingkan lengan baju,
berjuang, dan kalau kalah sedikit pun mereka tidak menimpakan
kesalahan kepada Allah. Sikap Nabi dan para sahabat
tersebut lahir, karena mereka tidak memahami ayat-ayat Al-Quran secara parsial:
ayat demi ayat, atau sepotong-sepotong
terlepas dari konteksnya, tetapi memahaminya secara utuh,
sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW.
G. Hikmah Kandungan Ayat
a. Allah memperkenankan doa siapa saja,
adakalanya langsung diterima dan adakalanya memerlukan waktu yang lama. Semua
itu atas izin Allah dan segala yang telah di putus Allah berkaitan doa yang di
mohonkan pastilah keputusan itu adalah yang terbaik menurut pengetahuan dan
perhitungan Allah.
b. Allah mempunyai kuasa mutlak untuk
mengangkat dan merendahkan pangkat dan derajat siapa saja. Kemutlakan
kekuasaaNya tersebut logis karena Allah adalah pemilik segala kekuasaan.
c. Setiap pribadi hendaknya dapat
menempatkan diri sebaik mungkin menyangkut posisi dalam tatanan kehidupan
berdasar kekurangan, kelemahan dan kelebihan masing-masing. Sikap dengan
menempatkan diri pada komunitas dengan baik tersebut menjadi penting karena
setiap posisi membawa konsekwensi tugas dan wewenang yang berbeda. Pelaksanaan
tugas dengan konsekuen oleh masing-masing pribadi akan membawa kkebaikan baik
pribadi maupun bagi seluruh komunitas. Pengetahuan dan kekuasan Allah adalah
mutlak. Sebagai zat Yang Maha Rahman dan rahim Allah telah menetapkan kadar dan
ketentuanya yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Dan jika manusia
berada pada posisi kurang beruntung hingga nanti di kemudian hari tentu itu
adalah akibat kesalahan dan kelupaan manusia.
H. Kesimpulan
Allah telah
menciptakan alam semesta ini dengan segala kebesarannya, yang menguasai alam
ini, mengaturnya dengan perintah-Nya ,mengendalikannya dengan kekuasaan-Nya.
Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat dalam putaran
yang abadi ini. Yaitu, putaran malam mengikuti siang dalam peredaran planet
ini. Dia menciptakan matahari, bulan dan bintang, yang semula tunduk kepada
perintah-Nya.
Al-Qur’an telah menghubungkan semua pagelaran alam semesta dan seluruh getaran jiwa kepada akidah tauhid. Ia mengubah setiap kilatan sinar dalam lembaran alam semesta atau dalam batin manusia kepada sebuah dalil atau isyarat. Demikianlah alam semesta beserta segala isinya beralih rupa menjadi tempat pementasan ayat-ayat Allah yang dihiasi dengan keindahan oleh “tangan” kekuasaan dan bekas-bekasnya tampak nyata dalam setiap pagelaran dan pemandangan serta gambaran dan bayang-bayang didalamnya. Sehingga manusia diharuskan percaya dengan adanya alam semesta ini sebagai bukti dari kebesaran Tuhan.
Al-Qur’an telah menghubungkan semua pagelaran alam semesta dan seluruh getaran jiwa kepada akidah tauhid. Ia mengubah setiap kilatan sinar dalam lembaran alam semesta atau dalam batin manusia kepada sebuah dalil atau isyarat. Demikianlah alam semesta beserta segala isinya beralih rupa menjadi tempat pementasan ayat-ayat Allah yang dihiasi dengan keindahan oleh “tangan” kekuasaan dan bekas-bekasnya tampak nyata dalam setiap pagelaran dan pemandangan serta gambaran dan bayang-bayang didalamnya. Sehingga manusia diharuskan percaya dengan adanya alam semesta ini sebagai bukti dari kebesaran Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Asbâbun Nuzûl lil Wâhidî(al-Wâhidî).
HR Bukhari
Musa, M. Yusuf , Politik dan Negara dalam Islam, terjemah M.
Thalib, Surabaya: Al-Ikhlas, t.th
Natsir, M, Maarif dalam Islam dan Pancasila
sebagai Dasar Negara, Jakarta: LP3ES, 2006.
Tafsîr
Ibnu Abî Hâtim(Ibnu
Abî Hâtim).
Terjemah
Tafsir Al-Maraghi, Juz XIII, Semarang: CV. TohaPutra,1994
[1] M. Natsir, Maarif dalam Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, (Jakarta:
LP3ES, 2006), hlm. 130-131
[2] M. Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, terjemah M. Thalib, (Surabaya:
Al-Ikhlas, t.th), hlm. 25.
[3]
Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Juz XIII
(Semarang: CV. Toha Putra, 1994)
[6]
HR Bukhari