PEMBERAT,
PERINGAN, DAN PENGHAPUS
HUKUM
PIDANA

OLEH
KELOMPOK III
ALVIN
RAMADHY SIREGAR
1510300034
ANUGRAH
AL-BASYIR LUBIS
1510300050
BAMBANG
HARIANTO 1510300045
MUHAMMAD
YUSUF HASIBUAN
1510300042
DOSEN
PENGAMPU
ANWAR
HABIBI SIREGAR, MA. Hk
HUKUM
TATA NEGARA
FAKULTAS
SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI PADANGSIDIMPUAN
2017
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil’alamin, marilah kita panjatkan puji
syukur atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala dimana kita masih diberikan
nikmat kesehatan, kesempatan serta hidayah dan taufik, suatu nikmat yg begitu
banyak dan besar sehingga makalah ini dapat kami selesaikan tepat pada
waktunya. Shalawat serta salam tak lupa pula kita kirimkan kepada junjungan
Nabi besar Muhammad SAW, sahabat serta keluarganya sebab jasa beliaulah yang
membawa umat manusia ke jalan yang diridhai Allah SWT.
Kita menyadari bahwa makalah PEMBERAT, PERINGAN, DAN PENGHAPUS HUKUM
PIDANA ini masih
banyak terdapat kekurangan dari segala aspek olehnya itu, kami sangat
membutuhkan masukan dan arahan agar sekiranya kami dapat membenahinya dalam
penulisan selanjutnya, dan kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak
yang telah memberikan sumbangsi pemikirannya, semoga Allah SWT memberkahi kita
semua, amiin.
DAFTAR
ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Rumusan
Masalah....................................................................................
B.
Sasaran
Makalah......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian pemberatnya pidana dan Dasar Pemberat
pidana ………….
B.
Pengertian Peringanan pidana dan Dasar Peringanan
Pidana………….
C.
Pengertian Penghapusan
pidana dan Dasar Penghapusan Pidana……..
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
.............................................................................................
B. Saran .......................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA ...................................................................................... 10
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada
beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, ada istilah “pemberat, peringa, dan
penghapus pidana”. Pembentuk undang-undang telah membuat sejumlah ketentuan
yang bersifat khusus, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun di
dalam perundang-undangan lainnya, di dalam keadaaan mana ketentuan-ketentuan
pidana yang ada itu dianggap sebagai tidak dapat diberlakukan, hingga penuntut
umum pun tidak dapat melakukan penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah
dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana tersebut, dan apabila penuntut
umum telah melakukan penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah dituduh
melanggar ketentuan-ketentuan pidana termaksud di atas, maka hakim pun tidak
dapat mengadili pelaku tersebut, oleh karena di disitu terdapat sejumlah
keadaan-keadaan yang telah membuat tindakan dari pelaku itu menjadi tidak
bersifat melawan hukum ataupun yang telah membuat pelakunya itu menjadi tidak
dapat dipersalahkan atas tindakan-tindakannya, karena pada diri pelaku tidak
terdapat sesuatu unsur schuld.
Keadaan-keadaan
yang membuat penuntut umum tidak dapat melakukan suatu penuntutan terhadap
seorang pelaku disebut ”vervolgingsuitsluitingsgroden”
atau dasar-dasar yang meniadakan “penuntutan” sedang keadaan- keadaan
yang membuat hakim tidak dapat mengadili seseorang pelaku hingga ia pun tidak
dapat menjatuhkan sesuatu hukuman terhadap pelaku tersebut disebut
”strafuitsluitingsgroden” atau “dasar-dasar yang meniadakan hukuman.
Keadaan-keadaan
khusus tersebutlah yang masih menjadi tanda tanya besar dalam kalangan
masyarakat. Apa yang menjadi alasan atau dasar daripada tindakan tersebut harus
disampaikan dengan jelas kepada masyarakat. Oleh karena itu, dalam makalah
ini akan dibahas mengenai pemberat, peringan, dan penghapus pidana dalam
hukum pidana serta dasarnya.
B. Rumusan Masalah
Didalam
makalah ini dapat dirumuskan beberapa masalah pokok yang diuraikan yaitu:
1.
Pengertian pemberatnya pidana dan dasar pidana
2.
Pengertian Peringanan pidana dan Dasar Peringanan
Pidana
3.
Pengertian Penghapusan
pidana dan Dasar Penghapusan Pidana
C. Sasaran Makalah
1. Mengetahui pemberatnya
pidana dan dasar pidana
2. Mengetahui Peringanan
pidana dan Dasar Peringanan Pidana
3. Mengetahui Penghapusan pidana dan Dasar Penghapusan Pidana
1.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian pemberatnya pidana dan dasar pidana
Undang-undang
membedakan antara dasar-dasar pemberatan
pidana umum dan pemberatan pidana
khusus. Dasar pemberat pidana umum ialah dasar pemberatan pidana yang
berlaku untuk segala macam tindak pidana, baik yang ada di dalam kodifikasi
maupun tindak di luar pidana KUHP. Dasar pemberatan pidana khusus yaitu
dirumuskan dan berlaku pada tindak pidana tertentu saja, dan tidak berlaku
untuk tindak pidana yang lain.[1]
Kemudian menurut pasal 135 KUHP, pemberat
pidana adalah penambahan 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana.
Menurut Johnkers bahwa dasar umum strafverhogingsgronden atau
dasar pemberatan atau penambahan pidana umum adalah :[2]
a. Kedudukan
sebagai pegawai negeri
b. Recideive (Penggulangan delik)[3]
c. Samenloop (gabungan atau
perbarengan dua atau lebih delik) atau concorcus.
Kemudian
Jonkers menyatakan bahwa title ketiga Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia
hanya menyebut yang pertama, yaitu Pasal 52 KUHP yang berbunyi :
“Jikalau seorang pegawai negeri (ambtenaar) melanggar kewajibannya yang
istimewa kedalam jabatannya karena melakukan kejahatan perbuatan yang dapat
dipidana, atau pada waktu melakukan perbuatan yang dapat dipidana memakai
kekuasaan, kesempatan, atau daya upaya yang diperoleh karena jabatannya, maka
pidananya boleh ditambah dengan sepertiganya”. Ketentuan pasal 52, sesungguhnya
menggariskan suatu bentuk pertanggung jawaban pidana yang lebih berat bagi
seorang penjabat bila ia menggunakan wewenang dalam jabatan yang di embannya,
untuk melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran.[4]
B. Pengertian Peringanan pidana dan Dasar Peringanan
Pidana
Menurut Jonkers bahwa sebagai unsur
peringanan atau pengurangan pidana yang bersifat umum adalah:[5]
a. Percobaan
untuk melakukan kejahatan
b. Pembantuan
c. Strafrechtelijke minderjatingheld ,
atau orang yang belum cukup umur (Pasal 45 KUHP).[6]
Titel
ketiga KUHP hanya menyebut butir c, karena yang disebut pada butir a dan butir
b bukanlah dasar peringanan pidana yang sebenarnya. Pendapat Jonkers tersebut
sesuai dengan pendapat Hazewinkel Suringa, yang mengemukakan percobaan dan
pembantuan adalah bukan suatu bentuk keadaan yang memberikan ciri keringanan
kepada suatu delik tertentu, tetapi percobaan dan pembantuan merupakan bentuk
keterwujudan yang berdiri sendiri dan tersendiri dalam delik. Jonkers menyatakan bahwa
ketentuan Pasal 53 (2) dan (3) serta Pasal 57 (2) dan (3) KUHP bukan dasar
pengurangan pidana menurut keadaan-keadaan tertentu, tetapi adalah penentuan
pidana umum pembuat percobaan dan pembantu yang merupakan pranata hukum yang
diciptakan khusus oleh pembuat undang-undang. Kalau di Indonesia masih terdapat
suatu dasar peringanan pidana umum seperti tersebut dalam Pasal 45 KUHP, maka
di Belanda Pasal 39 oud WvS yang
mengatur hal yang sama, telah dihapuskan pada tanggal 9 Novermber 1961, staatsblad No. 402 dan 403 dan
dibentuk kinderststrafwet (Undang-Undang
Pokok Tentang Perlindungan Anak) yang memerlukan karangan tersendiri.
Menurut
pasal 45 KUHP ialah hal yang memperingan pidana ialah sebab si pembuat adalah
seorang anak yang umurnya belum mencapai 16 tahun. Peringanan pidana menurut UU
no.3 tahun 1997 dasar peringanan pidana umum ialah sebab perbuatannya anak
(disebut nakal) yang umurnya telah 8 (delapan) tahun tetapi belum 18 (delapan
belas) tahun dan belum kawin. Jika hal itu terbukti bersalah maka hakim dapat
menjatuhkan satu di antara dua kemungkinan ialah menjatuhkan pidana atau tindakan.[7]
Pasal 45 KUHP yang sudah ketinggalan
zaman itu memberikan wewenang kepada hakim untuk memilih tindakan dan
pemidanaan terhadap anak yang belum mencapai usia 16 tahun, yaitu mengembalikan
anak itu kepada orang tuanya atau walinya tanpa dijatuhi pidana atau
memerintahkan supaya anak-anak itu diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana
dengan syarat-syarat tertentu ataupun hakim menjatuhkan pidana. Jikalau
kemungkinan yang ketiga dipilih oleh hakim, maka pidananya harus dikurangi
sepertiganya, misalnya seorang anak SMP menghilangkan nyawa anak SMA yang
berusia 13 tahun. Kalau hakim hendak menjatuhkan pidana tertinggi, maka pidana
tertingginya adalah 15 tahun dikurangi 5 tahun sama dengan 10 tahun penjara.
Perlu juga dijelaskan bahwa pidana yang dijatuhkan oleh hakim tidaklah perlu
tertinggi, tetapi hakim dapat memilih pidana yang paling ringan yaitu 1 hari
menurut Pasal 12 (2) KUHP sampai pidana maksimium yang ditentukan didalam Pasal
338 KUHP yang dikurangi sepertiganya, dengan kata lain pidana terendah adalah 1
hari dan yang tertinggi adalah 10 tahun penjara. Hanya hakim perlu
memperhatikan bunyi Pasal 27 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
memerintahkan Hakim memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
serta memperhatikan tujuan pemidanaan yang dianut di Indonesia yaitu membalas
sambil mendidik.
C. Pengertian Penghapusan pidana dan Dasar Penghapusan Pidana
Dalam
hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk
tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku
atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak
pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan
penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim.
Meskipun KUHPidana yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan penghapus
pidana, akan tetapi KUHPidana sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas
tentang alasan penghapus pidana tersebut.[8] Pada dasarnya, apa
yang diatur dalam aturan perundang-undangan adalah hal-hal yang umum sifatnya.
Utrech menyatakan, bahwa sifat umum tersebut membuka kemungkinan peluang akan
kemungkinan dijatuhkannya pidana yang tidak adil. Dengan kata lain, kemungkinan
bahwa dijatuhkannya hukuman kepada seseorang yang tidak bersalah. Para pembentuk
undang-undang melihat bahwa perlunya suatu pengaturan tentang kondisi-kondisi
atau keadaan-keadaan tertentu untuk meniadakan pemidanaan bagi seseorang.
Kondisi-kondisi atau keadaan-keadaan tertentu ini merupakan suatu kondisi atau
keadaan yang berkaitan dengan perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana
ataupun kesalahan yang melekat pada diri seorang pelaku tindak pidana.
Alasan
penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim.
Peraturan ini menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan
delik sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang yang seharusnya
dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Hakim dalam hal ini, menempatkan wewenang
dalam dirinya (dalam mengadili perkara yang konkret) sebagai pelaku penentu
apakah telah terdapat keadaan khusus dalam diri pelaku, seperti dirumuskan
dalam alasan penghapus pidana. Dalam hal ini sebenarnya pelaku atau terdakwa
sudah memenuhi semua unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam peraturan hukum
pidana. Akan tetapi, ada beberapa alasan yang dapat menyebabkan pelaku tindak
pidana, atau dikecualikan dari penjatuhan sanksi pidana sebagaimana yang telah
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan demikian
alasan-alasan penghapus pidana ini, adalah alasan-alasan yang memungkinkan
orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik,
untuk tidak dipidana, dan ini merupakan kewenangan yang diberikan undang-undang
kepada hakim. Di dalam KUHP meskipun mengatur tentang alasan penghapus pidana,
akan tetapi KUHP tidak memberikan pengertian yang jelas tentang makna alasan
penghapus pidana tersebut. Menurut doktrin alasan penghapus pidana dapat dibagi
dua yaitu alasan penghapus pidana yang merupakan alasan pemaaf, dan yang kedua
alasan penghapus pidana yang merupakan alasan pembenar. Khusus mengenai dasar
penghapus pidana, KUHP merumuskan beberapa keadaan yang dapat menjadi dasar
penghapus pidana, sebagai berikut : [9]
1.
Pasal 44 KUHP tentang Kemampuan
Bertanggungjawab.
2.
Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa dan Keadaan
Terpaksa.
3.
Pasal 49 KUHP tentang Bela Paksa.
4.
Pasal 50 KUHP tentang Melaksanakan Perintah
Undang-undang.
5. Pasal
51 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Atasan.
Secara
umum, doktrin telah membedakan sumber dasar penghapus pidana tersebut dalam dua
bagian, yaitu sebagai berikut :
a.
Dasar penghapus pidana yang sifatnya umum (straftuitsluitungsgronden
yang umum).
b. Dasar
penghapus pidana yang sifatnya khusus (straftuitsluitungsgronden yang
khusus).
Utrech
menyatakan, pembedaan ini didasarkan alasan yang berbeda antara dasar penghapus
pidana yang umum dan khusus. Dasar penghapus pidana yang umum ini didasarkan
ketiadaan sifat melawan hukum dari perbuatan (wederrechtelijkheid) atau
ketiadaan kesalahan dalam pengertian yang luas (schuld). Sementara,
dasar penghapus pidana yang khusus adalah pada kepentingan umum yang tidak
diuntungkan dengan adanya penuntut pidana. Oleh karena itu, disamping apa yang
ditentukan dalam undang-undang, praktik pengadilan juga menerima beberapa macam
keadaan atau kondisi yang dapat menghapuskan pemidanaan yang berkembang dan
diterima sebagai suatu doktrin.[10]
.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut
pasal 135 KUHP, pemberat pidana adalah
penambahan 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana.
Menurut Johnkers bahwa dasar
umum strafverhogingsgronden atau dasar pemberatan atau penambahan
pidana umum adalah :
a. Kedudukan sebagai pegawai
negeri
b. Recideive (Penggulangan delik)
c. Samenloop (gabungan atau perbarengan dua atau lebih delik)
atau concorcus.
Kemudian
Jonkers menyatakan bahwa title ketiga Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia hanya menyebut yang pertama, yaitu Pasal 52 KUHP yang berbunyi :
“Jikalau
seorang pegawai negeri (ambtenaar)
melanggar kewajibannya yang istimewa kedalam jabatannya karena melakukan
kejahatan perbuatan yang dapat dipidana, atau pada waktu melakukan perbuatan
yang dapat dipidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau daya upaya yang
diperoleh karena jabatannya, maka pidananya boleh ditambah dengan sepertiganya”.
Menurut
pasal 45 KUHP ialah hal yang memperingan pidana ialah sebab si pembuat adalah
seorang anak yang umurnya belum mencapai 16 tahun. Peringanan pidana menurut UU
no.3 tahun 1997 dasar peringanan pidana umum ialah sebab perbuatannya anak
(disebut nakal) yang umurnya telah 8 (delapan) tahun tetapi belum 18 (delapan
belas) tahun dan belum kawin. Jika hal itu terbukti bersalah maka hakim dapat
menjatuhkan satu di antara dua kemungkinan ialah menjatuhkan pidana atau
tindakan.
Dalam hukum
pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak
menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau terdakwa yang diajukan ke
pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut
dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah peraturan
yang terutama ditujukan kepada hakim. Meskipun KUHPidana yang sekarang ini ada
mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan tetapi KUHPidana sendiri tidak
memberikan pengertian yang jelas tentang alasan penghapus pidana tersebut.
[1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakart:
Rajawali pers, 2011), hlm. 73.
[3] Eva Achjani
Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm 125.
[4] Ibid,. hlm.143.
[5] Op cit. hlm. 493
[6]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarat:
Rajawali pers, 2011), hlm.97.
[7] Ibid,. hlm.100.
[8]
Adikanina, http://adikanina1987.wordpress.com/2013/02/28/alasan-penghapus-pidana/ diakses minggu , 12 november 2017, Jam 20:00 Wib
[9]
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya
Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana, (Bogor:Ghalia
Indonesia, 2010), hlm.47.