Makalah hukum acara mahkamah konstitusi tentang persilisihan hasil pemilu



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pemilu merupakan sebuah sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan arah penyelenggaraan pemerintahan. Pemilu-lah yang pada akhirnya berfungsi sebagai sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa, karena melalui pemilu gagasan bahwa pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang diperintah dapat diasosiasikan. Reformasi di akhir tahun 90-an yang kemudian diikuti dengan perubahan UUD 1945 berdampak pada berubahnya sistem pemilihan umum. Pasca perubahan UUD 1945, baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan pelaksana kekuasaan eksekutif dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Berdasarkan perubahan tersebut setiap warga negara mempunyai hak untuk memilih perwakilannya di lembaga perwakilan seperti DPR, DPD serta DPRD dan memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden.[1]
Dalam penyelenggaraan pemilihan umum tentu banyak masalah sengketa yang dihadapi baik sebelum maupun sesudah, maka dalam hal tersebut disini kita mengkaji tentang perselisihan hasil pemilu.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
Bagaimana mekanisme Hukum Acara penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Perselisihan hasil pemilu atau yang lebih dikenal dengan istilah sengketa hasil pemilu adalah perselisihan antara peserta pemilu dan KPU sebagai penyelenggara pemilu mengenai penetapan secara nasional perolehan suara hasil pemilu oleh KPU.
Stephen A. Siegel menyatakan bahwa permasalahan penghitungan suara dalam Pemilu merupakan aktivitas tertua dalam sebuah negara bangsa di antara pelbagai permasalahan-permasalahan paling tua lainnya dalam hukum tata negara.
Mahkamah Konstitusi  (MK) memiliki pengalaman yang sangat berharga dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum tahun 2004 yang lalu, baik dari segi kuantitas perselisihan yang diajukan ke MK maupun dilihat dari kualitas dalan arti yang berkaitan dengan dilanggarnya asas-asas pemilu yang sesungguhnya juga berpengaruh terhadap hasil perhitungan suara, tetapi tidak menjadi kewenangan MK.
Permasalahan Pemilu di Indonesia pada dasarnya juga meliputi beberapa hal, yaitu:
1.       Tindak pidana Pemilu;
2.      Pelanggaran administrasi Pemilu;
3.       Sengketa yang timbul dalam penyelengaraan Pemilu; dan
4.      Perselisihan hasil Pemilu
B.     Macam-Macam Perselisihan Hasil Pemilu
Kewenangan memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sebagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) lainnya diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kemudian kewenangan tersebut diturunkan dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Pasal 10 ayat (1) UU MK memuat ketentuan sama persis dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (1) UU MK berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Tindak pidana Pemilu diselesaikan melalui proses hukum pidana dan hukum acara pidana. Walaupun, sebagaimana dikemukakan oleh Topo Santoso, tidak terdapat pengertian yang jelas dalam peraturan perundang-undangan yang mendefenisikan apa itu tindak pidana Pemilu.[2] Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) bertindak sebagai pihak yang mengumpulkan bukti-bukti pidana Pemilu yang kemudian akan diserahkan kepada pihak kepolisian. Apabila kepolisian menemukan cukup bukti, perkara tersebut akan diserahkan kepada pihak kejaksaan. Sebagaimana kasus pidana lainnya, perkara tersebut melalui kejaksaan akan dilimpahkan kepada peradilan. Terkait pelanggaran administrasi Pemilu, akan diserahkan kepada KPU/KPUD dengan dibantu oleh data-data dari Bawaslu dan/atau Panwaslu. Dalam hal ini Bawaslu dan Panwaslu hanya berfungsi mengumpulkan data-data terkait pelanggaran administrasi.
Mengenai sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu diserahkan penyelesaiannya kepada Bawaslu dan Panwaslu. Permasalahan hukum tersebut satu-satunya yang diserahkan kepada Bawaslu dan Panwaslu untuk menyelesaikannya. Namun dikarenakan lembaga Bawaslu dan Panwalu bukanlah lembaga peradilan, maka seringkali putusan-putusannya tidak dipatuhi oleh banyak pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap perselisihan hasil Pemilu, sebagaimana ditentukan UUD 1945, diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi. Terhadap hal tersebut diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
C.    Para Pihak (subjectum litis)
Terkait dengan para Pemohon dalam persidangan MK (tidak hanya PHPU), tidak semua orang dan/atau kelompok, serta lembaga negara tertentu dapat mengajukan diri selaku Pemohon. Menurut Maruarar Siahaan tidak cukup dengan adanya kepentingan hukum saja seseorang dan/atau kelompok tertentu, serta lembaga negara dapat menjadi Pemohon.[3] Namun untuk memahami para pihak dalam PHPU di MK, maka terlebih dahulu dibahas mengenai konsep legal standing. Dalam hal perkara perselisihan hasil Pemilu, Mahkamah menggunakan dasar hukum pada Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 7 UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, di mana dinyatakan dalam ketentuan tersebut bahwa peserta Pemilu adalah partai politik. Kemudian Mahkamah Konstitusi menjelaskan melalui Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK Nomor 16 Tahun 2009 bahwa yang menjadi pihak dalam perselisihan hasil Pemilu anggota DPR adalah partai politik peserta Pemilu. Posisi para pihak untuk memperjuangkan haknya (handelingsbekwaamheid) itu merupakan hal penting dalam menentukan kedudukan hukumnya. Pihak-pihak yang dianggap tidak memiliki kepentingan untuk bersengketa (personae miserabiles) dianggap tidak memiliki kedudukan hukum dalam bersengketa.
a.      Pemohon
a)      Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu DPR dan DPRD
Pasal 74 ayat (1) UU MK menjelaskan siapa saja yang dapat menjadi Pemohon dalam perkara PHPU DPR, DPD, dan DPRD. Dalam hal Pemilu DPR dan DPRD para Pemohon adalah partai politik peserta pemilihan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) huruf c UU MK. Permohonan yang diajukan didasari kepada ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PHPU Legislatif). Selengkapnya pasal tersebut berbunyi sebagai berikut;
”Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh;
a.       Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat atau nama yang sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu atau kuasanya;
b.      Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan atau nama yang sejenisnya dari partai politik lokal atau kuasanya.
Sehingga para Pemohon yang merupakan anggota partai politik atau pengurus daerah dari partai politik tertentu tidak dapat secara langsung mengajukan permohonan tanpa melalui pimpinan pusat partainya. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi maka legal standing Pemohon akan dipertanyakan dan MK dapat memutuskan permohonan tidak dapat diterima, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 77 ayat (1) UU MK.
Persyaratan yang tidak diatur dalam UU MK tersebut perlu secara teknis diatur MK dikarenakan apabila seluruh anggota partai dan/atau pimpinan partai politik di daerah diperbolehkan untuk mendaftarkan permohonan maka akan terjadi kerumitan perkara di MK. Bayangkan apabila 3 orang anggota partai politik yang sama namun berbeda pendapat dalam hal melihat hasil Pemilu, maka di MK terkesan akan menyelesaikan sengketa internal partai politik dalam hasil Pemilu, sehingga terjadi penumpukan perkara yang tidak perlu dibatasi dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009. Namun apabila terdapat sesama anggota partai politik tertentu yang juga mempertanyakan hasil Pemilu yang diperoleh rekan partainya, maka ia dapat masuk sebagai Pihak Terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 16 PMK Nomor 16 Tahun 2009.
b)     Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu DPD
Dalam perkara PHPU DPD, Pemohon adalah perseorangan yang warga negara Indonesia yang mencalonkan diri sabagai anggota DPD dalam pemilihan umum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) UU MK juncto Pasal 258 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Nomor 10/2008) dan Pasal 5 huruf d PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PerselisihanHasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PMK 16/2009), menentukan hal-hal, antara lain, sebagai berikut;
a.       Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
b.      Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Sehingga harus dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi hanya menyidangkan perkara-perkara yang besar kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya perubahan hasil Pemilu. Hal tersebut berkaitan dengan asas efisiensi yang mempertimbangkan tenggang waktu penyelesaian perkara. Mahkamah Konstitusi hanya diberikan waktu selama 30 (tiga puluh) hari untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu. Para Pemohon yang jumlah suaranya tidak memiliki bukti signifikan untuk mengubah hasil Pemilu, permohonannya dapat diabaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan perkara yang besar kemungkinan memberikan perubahan hasil Pemilu, dalam setiap putusannya Mahkamah Konstitusi akan menjelaskan angka-angka hasil Pemilu yang memperlihatkan kemungkinan perubahan hasil tersebut.
Mahkamah juga mempertimbangkan asas-asas kehati-hatian, di mana terkait dengan angka-angka hasil Pemilu, Mahkamah Konstitusi dalam persidangan akan memanggil beberapa pihak yang dapat menjelaskan angka-angka hasil Pemilu terkait. Dalam hal ini Pemohon, Termohon (KPU/KPUD/KIP), Pihak Terkait, dapat memberikan bukti-bukti penghitungan hasil Pemilu berdasarkan versi masing-masing pihak.
c)      Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 74 ayat (1) huruf b juncto Pasal 3 ayat (1) huruf a PMK Nomor 17 Tahun 2009 menyatakan bahwa Pemohon perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan calon inilah yang menandatangani permohonan dan memberikan kuasa, bukan partai politik yang mengajukan.
d)     Pemohon Perselisihan Hasil Pemilukada
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PMK 15/2008) merupakan regulasi yang mengatur mengenai sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pemilukada). Pasal 1 angka 9 PMK 15/2008 menyebutkan bahwa Pemohon adalah pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah peserta Pemilukada.
Pasal 3 mengatur mengenai para pihak yang memiliki kepentingan langsung dalam hasil perselisihan hasil Pemilukada. Salah satu yang memiliki kepentingan langsung tersebut adalah para pihak yang mencalonkan diri dalam Pemilukada. Terkait dengan keberadaan Pemohon, hal itu diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf a yang menyebutkan bahwa pasangan calon sebagai Pemohon. Pemohon dapat diwakilkan dan/atau didampingi oleh kuasa hukumnya yang dibuktikan dengan surat kuasa khusus dari Pemohon.
c.       Termohon dan Turut Termohon
a)      Termohon/Turut Termohon Perselisihan Hasil Pemilu DPR, DPRDdan DPD
Mengenai Termohon dalam PHPU diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d PMK 16/2009. Termohon berdasarkan ketentuan tersebut adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merupakan lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sedangkan Turut Termohon adalah KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota atau KIP provinsi dan KIP kabupaten/kota di Aceh di mana terdapat perselisihan hasil Pemilu. Jadi KPU provinsi atau kabupaten/kota tertentu dapat menjadi turut termohon apabila penerapan hasil di daerah masing-masing menjadi objek perselisihan.
b)     Termohon Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Mengenai Termohon dalam PHPU diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d PMK Nomor 17 Tahun 2009. Termohon berdasarkan ketentuan tersebut adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merupakan lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dalam perkara PHPU Presiden dan wakil presiden tidak terdapat Turut Termohon berdasarkan ketentuan Pasal 3 PMK Nomor 17 Tahun 2009 yang mengatur mengenai para pihak.
c)      Termohon Perselisihan Hasil Pemilukada
Perselisihan hasil Pemilukada yang berlangsung di daerah menjadikan pihak-pihak yang bersengketa pada dasarnya juga berada pada ranah lokal. Termasuk pula pihak Termohon. Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 3 ayat (1) huruf a PMK 15/2008 menjelaskan bahwa Termohon adalah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilukada.
d.      Pihak Terkait
Pihak terkait dalam PHPU adalah orang yang berpendapat bahwa kepentingannya terkait dengan permohonan Pemohon. Keterlibatan pihak lain dalam PHPU juga terjadi, di mana Panitera ataas perintah hakim akan memberitahukan pihak-pihak yang akan terkait dengan perkara, sehingga pihak-pihak tersebut dapat mempersiapkan diri untuk terlibat dalam sengketa. Hal itu juga dikenal dalam acara perdata, dimana di dalam Reglement Rechtsvordering diatur mengenai pemanggilan pihak ketiga dalam suatu proses untuk menanggung (vrijwaren) apa yang digugat oleh Penggugat.[4] Sehingga dalam perkara PHPU di MK pemanggilan Pihak Terkait juga difungsikan agar pihak tersebut siap untuk menanggung konsekuensi dari Putusan Mahkamah terhadap permohonan Pemohon yang dapat saja merugikan Pihak Terkait.
D.    Objek Permohonan (objectum litis)
Objectum litis permohonan adalah mengenai keberatan atas penghitungan suara Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang ditetapkan secara nasional oleh KPU berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum terkait Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional Dalam Pemilihan Umum.
 Pasal 5 PMK 16/2009 menyebutkan bahwa objek PHPU adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu yang telah diumumkan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD. Seorang calon anggota DPD yang tidak dinyatakan tidak terpilih dapat mengajukan permohonan, apabila pemohonan itu dikabulkan, dia dapat menjadi calon terpilih.
Pasal 4 PMK 17/2009 menentukan bahwa objek permohonan PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi:
a.       Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran Kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; atau
b.      terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Terkait dengan objek sengketa tersebut, maka Pemohon dalam permohonannya harus menguraikan sekurang-kurangnya mengenai;
a.       Identitas lengkap Pemohon yang dilengkapi fotokopi KTP dan bukti sebagai Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
b.      Uraian yang jelas mengenai;
1)      Kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon;
2)      Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.
Permohonan yang diajukan tersebut harus dilengkapi dengan bukti-bukti yang mendukung sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (4) PMK 17/2009.
E.     Pembuktian dan Alat Bukti
Dalam PHPU, alat bukti sangat penting dalam memberikan keyakinan bagi hakim untuk menentukan putusannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 PMK 16/2009 alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilu terdiri dari: surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk; dan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Alat bukti surat atau tulisan berdasarkan ketentuan Pasal 11 PMK 16/2009 adalah yang memiliki keterkaitan langsung dengan objek perselisihan hasil Pemilu yang dimohonkan ke MK. Alat bukti surat atau tulisan tersebut terdiri dari: berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD di Tempat Pemungutan Suara (TPS); berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK); berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU kabupaten/kota; berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD kabupaten/kota; berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU provinsi berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD provinsi; berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU; berita acara dan salinan penentapan hasil penghitungan suara secara nasional anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU; salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuataan hukum tetap yang mempengaruhi perolehan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan dokument tertulis lainnya.
Bukti surat atau tulisan tersebut harus diajukan sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang aslinya dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
F.     Proses Persidangan dan Pembuktian
Tahapan persidangan di Mahkamah Konstitusi baru akan dimulai setelah permohonan Pemohon diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Akta Penerimaan Berkas Permohonan (APBP), dan diregistrasi, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Akta Registrasi Perkara.
Pada dasarnya proses pemeriksaan persidangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut;
a.       Mendengarkan Permohonan
b.      Jawaban Termohon;
c.       Keterangan Pihak Terkait;
d.      Pembuktian oleh Pemohon, Termohon, Pihak Terkait; dan
e.       Kesimpulan.
Masing-masing pihak di dalam persidangan diminta untuk menghadirkan bukti-bukti terkait dengan perkara. Mahkamah Konstitusi biasanya akan lebih mempertimbangkan pihak-pihak yang mampu menghadirkan alat bukti yang sahih. Dalam hal PHPU, alat bukti sahih tersebut adalah kertas penghitungan hasil suara, baik berupa versi penyelenggara Pemilu, pengawas Pemilu, dan saksi-saksi. Apabila masing-masing kertas penghitungan tersebut dapat dibuktikan keasliannya oleh para pihak, maka Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan sebagai bahan dasar dalam merumuskan putusan.
Persidangan juga memberikan kesempatan bagi para pihak dan saksi-saksi untuk menyampaikan hal-hal terkait dengan perkara. Misalnya, para Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait juga diperbolehkan untuk menghadirkan ahli yang menguatkan permohonannya. Apabila dianggap perlu oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah dapat pula menghadirkan ahli yang dianggap mampu memberikan keterangan terkait perkara.
Jika Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa persidangan telah mencukupi untuk memberikan putusan, maka Mahkamah akan menentukan jadwal pembacaan putusan. Setelah sidang pembacaan putusan, para pihak akan mendapatkan copy putusan yang diserahkan langsung oleh Panitera Mahkamah Konstitusi.
G.    Putusan Mahkamah
Untuk menentukan putusan, Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Rapat permusyawaratan tersebut dilakukan setelah pemeriksaan persidangan dianggap cukup. RPH harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hakim konstitusi yang terlebih dahulu mendengarkan hasil rapat panel hakim. Putusan yang diambil melalui RPH tersebut dilakukan secara musyawarah mufakat dengan terlebih dahulu mendengarkan pendapat hukum para hakim konstitusi. Apabila dalam musyawarah mufakat tersebut tidak dapat diperoleh kesepakatan umum, maka akan dilakukan pengambilan keputusan melalui suara terbanyak (voting). Namun apabila di dalam voting tersebut tetap tidak diperoleh suara terbanyak, suara terakhir Ketua Rapat Pleno Hakim Konstitusi menentukan putusan yang dijatuhkan.
Putusan terkait perselisihan hasil Pemilu tersebut kemudian akan dibacakan dalam rapat yang terbuka untuk umum yang amarnya berdasarkan ketentuan Pasal 13 PMK Nomor 15 Tahun 2008 juncto Pasal 15 PMK Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 15 PMK Nomor 17 Tahun 2009 akan berbunyi:
a.       Permohonan tidak dapat diterima (niet otvankelijk verklaard) apabila pemohon dan atau permohonan tidak memenuhi syarat;
b.      Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah membatalkan (void an initio) hasil penghitungan suara oleh KPU, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar;
c.       Permohonan ditolak apabila permohonan terbukti tidak beralasan.
Namun apabila Pemohon dalam proses persidangan kemudian menarik permohonannya (Pasal 35 UU MK), maka Mahkamah akan mengeluarkan penetapan. Penetapan oleh peradilan adalah tindakan Mahkamah yang diluar putusan, sebagaimana juga penetapan hari sidang dan lain-lain di luar vonis (putusan). Penarikan permohonan oleh Pemohon berakibat permohonan yang sama tidak dapat diajukan kembali [Pasal 35 ayat (2) UU MK].
Putusan MK bersifat final, bahkan terhadap perkara PHPU juga tidak dikenal upaya lain untuk membatalkan putusan MK. Dalam berperkara di MK juga tidak dikenal dengan upaya perlawanan (verzet) terhadap ketetapan yang diterbitkan oleh MK, baik terhadap ketetapan hari sidang, ketetapan penarikan kembali permohonan, ketetapan Mahkamah tidak berwenang, dan lain-lainnya yang diterbitkan Mahkamah terkait dengan perkara PHPU.
Namun dalam perkembangannya bentuk-bentuk putusan Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil Pemilu mengalami perkembangan. UU MK dan PMK terkait tidak mengenal jenis putusan yang bunyi amarnya menyatakan, ”mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian”. Terdapat pula Putusan Sela, yang terkait eksepsi permohonan Pemohon yang meminta hakim menjatuhkan Putusan Sela apabila kerugian konstitusional terjadi.
Perkembangan lain terkait putusan dalam perkara PHPU adalah pemungutan suara (Pemilu) ulang dan penghitungan suara ulang. Putusan ini pertama kali dijatuhkan dalam perkara Pemilukada Jawa Timur. Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 memerintahkan Termohon (KPU Provinsi Jatim) untuk melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sejak itu putusan-putusan terkait PHPU banyak yang memerintahkan Termohon untuk melakukan Pemilu ulang ataupun penghitungan suara ulang. Terkait dengan putusan tersebut Mahkamah dalam konsiderannya berpendapat bahwa:
”Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh ketentuan undang-undang yang ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah hanya boleh menilai hasil Pemilukada dan melakukan penghitungan suara ulang dari berita acara atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi Jawa Timur, sebab kalau hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal yang dibuat oleh Termohon tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan keadilan.”
Putusan MK dalam perkara PHPU, sebagaimana juga dengan putusan peradilan perdata, dapat berbentuk declaratoir dan constitutief.  Putusan yang berbentuk declaratoir itu memberikan kewajiban hukum kepada pihak-pihak. MK dalam perkara PHPU dapat pula memutuskan agar Termohon (KPU) untuk menyelenggarakan penghitungan suara ulang dan/atau pemungutan suara (Pemilu) ulang. Dalam hal tertentu putusan MK dapat berbentuk pula putusan constitutief, di mana putusan MK dapat membentuk keadaan hukum baru. Putusan PHPU pada umumnya menentukan hasil penghitungan suara menurut fakta-fakta yang ditemukan MK dalam persidangan. Sehingga ketika MK menentukan perubahan hasil penghitungan suara sesuai dengan penghitungan MK, maka putusan tersebut telah membentuk keadaan hukum baru. Ketetapan KPU yang menetukan hasil suara yang berhak memperoleh kursi telah diubah oleh putusan MK.








































BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Mahkamah Konstitusi  (MK) memiliki pengalaman yang sangat berharga dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum tahun 2004 yang lalu, baik dari segi kuantitas perselisihan yang diajukan ke MK maupun dilihati dari kualitas dalan arti yang berkaitan dengan dilanggarnya asas-asas pemilu yang sesungguhnya juga berpengaruh terhadap hasil perhitungan suara.
a.      Pihak Dalam Sengketa
Dalam pasal 3 PMK Nomor 04/PMK/2004 ditentukan bahwa yang dapat menjadi Pemohon untuk mengajukan sengketa hasil pemilihan umum di MK adalah:
1.      Perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta pemilu.
2.      Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilu.
3.      Partai politik peserta pemilu.
Selaku termohon dapat disimpulkan adalah Komisi Pemilihan Umum nasional karena menurut pasal 74 ayat 2  UU MK yang menjadi materi permohonan adalah penetapan hasil pemilu yang dilakukan KPU secara nasional meskipun hasil itu menyangkut pelaksanaan  dan perhitungan suara yang dilakukan oleh KPU provinsi atau Kabupaten/Kota di daerah pemilihan. PMK Nomor 04 dan 05/2004 secara tegas menyebut KPU sebagai termohon.
B.     Saran
Untuk menjamin keadilan yang diwujudkan oleh MK adalah keadilan yang berdasarkan kepastian hukum, MK harus merevisi hukum acara dalam memutus sengketa hasil pemilukada. Dasar untuk merubah hukum acara tersebut adalah berdasarkan keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan oleh MK selama ini. Indicator-indikator yang menjadi kriteria pelanggaran terstruktur,sistematis, dan massif dalam proses pemilukada dapat dijadikan acuan dalam merevisi hukum acara dalam memutus sengketa hasil Pemilu
DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Topo, Tindak Pidana Pemilu, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006
Siahaan, Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006
Soepomo, R, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2005
UUD 1945 Pasal 22E ayat (1) dan (2)


[1] Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
[2] Topo santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006), hal. 1
[3] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hal. 79
[4] R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2005), hal. 30.