Makalah Tentang Pandangan Hukum Kudeta terhadap pemimpin



BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG

Suatu kehidupan di dalam masyarakat berjalan dengan baik dan rukan.Akan tetapi tidak semua di dalam kehidupan bermasyarakat maupun di dalam  berorganisasi ada juga yang tidak berjalan dengan teratur.Apalagi dengan adanya suatu sistem demokrasi di dalam suatu Negara tersebut.
Belakangan ini banyak terjadi permasalahan maupun perpecahan dalam suatu kepemimpinan suatu negara. Banyak suatu organisasi ataupun kepemimpinan suatu pemerintah yang berwenang banyak terjadi permasalahan yang tidak pernah usai dan tidak pernah selesai.
Seorang pemimpin banyak dipengaruhi oleh beberapa persoalan politik di dalam suatu negara itu. Suatu kepemimpinan itu memiliki sifat untuk melakukan penyesuaian agar dapat bertahan dan mencapai tujuannya. Hal ini berarti suatu organisasi harus mampu mengajak anggotanya ataupun masyarakatnya untuk selalu bersikap adatif ataupun memiliki etika kesopanan. Berkaitan dengan ini, kami akan mencoba membahas tentang hukum melakukan kudeta terhada presiden.















BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Kudeta
Kata kudeta berasal dari bahasa Perancis, coup d’etat yang bermakna serangan atau pukulan pada negara. Seorang ahli sosial Samuel P. Huntington mengidentifikasi tiga jenis kudeta, yakni:[1]
1.    Breakthrough coup d’etat
Breakthrough coup d’etat terjadi tatkala militer melancarkan revolusi untuk menggulingkan pemerintahan tradisional dan menciptakan elite birokrasi baru.
2.    Guardian coup d’etat: 
Guardian coup d’etat terjadi tatkala militer melakukan kudeta dengan dalih menegakkan tatanan publik dan sejumlah alasan lain yang telah melekat pada alam pikir militer dan selalu dikaitkan dengan patriotisme.
3.    Veto coup d’etat: Veto coup d’etat
Terjadi ketika militer memveto atau menolak eksistensi kelompok-kelompok tertentu dalam politik dan berkonfrontasi dengan kekuatan politik oposisi-sipil.

B.   Hukum Kudeta terhadap Presiden

                        Adapun hadist menurut Al ustadz Nashruddin Syarief mengenai hukum kudeta terhadap pressiden sebagai berikut :


مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئاً فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْراً مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Artinya : “ siapa yang tidak menyukai dari pemimpinnya sesuatu hal,maka bersabarlah. Karena sesungguhnya orang yang keluar dari sulthan (pemerintahan) sejengkal saja, lalu ia mati, maka matinya seperti jahiliyah.”
Adapun matan hadist lain yang semakna hadist di atas adalah sebagai berikut adalah:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئاً يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْراً فَمَاتَ، إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Arinya : “ Siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang tidak disukainya, maka bersabalah. Karena sesungguhnya orang yang memecah belah kesatuan umat (jamaah) sejengkalsaja, lalu ia mati,maka matinya seperti mati jahiliyah.(Shahih al Bukhari kitab al-fitan bab satarauna ba’di umuran tunkirunaha,no.7054)”[2]
Ini menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara khuruj dari pemerintah dengan perpecahbelahan umat.
 Hadits di atas dengan tegas melarang khuruj dari pemerintah. Makna khuruj dalam hadits di atas, sebagaimana dijelaskan al-Hafizh, adalah maksiat dan memerangi pemerintah. Dalam bahasa sekarang perbuatan seperti ini dikenal dengan istilah separatisme atau juga kudeta (melengserkan pemerintah, di antaranya Presiden). Bentuk lain dari separatisme adalah memisahkan diri dari pemerintah atau menebar terorisme di tengah-tengah umat Islam. Perbuatan-perbuatan semacam itu dilarang tegas oleh hadits di atas, karena hanya akan memecah belah kesatuan umat (jama’ah) dibanding mendatangkan mashlahat yang diharapkan.
Yang semestinya dilakukan oleh setiap rakyat adalah bersabar menghadapi pemerintah. Sabar yang dimaksud hadits ini adalah kebalikan dari khuruj, yakni tidak khuruj. Bukan berarti diam termangu saja ketika menyaksikan pemimpin berbuat zhalim, tetapi tetap harus amar ma’ruf nahyi munkar sebagaimana telah banyak diperintahkan. Batasannya satu saja: Jangan khuruj dari pemerintah. Itulah kesabaran yang dimaksud oleh hadits di atas. Nabi saw sudah banyak mengingatkan perihal amar ma’ruf nahyi munkar ini dalam hadits:

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ فَلَمْ يُغَيِّرُوْهُ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ 
Arttinya:” Sesungguhnya manusia itu, apabila mereka melihat kemunkaran lalu mereka tidak mengubahnya, maka Allah akan segera meratakan siksa kepada mereka. (Shahih Ibn Hibban 1: 540 no. 305 dzikr al-bayan bi annal-muta`awwil qad yukhthi`u fi ta`wilihi).
Dalam riwayat lain, Zainab binti Jahsy sempat bertanya:

  أَنَهْلِكُ وَفِيْنَا الصَّالِحُوْنَ قَالَ نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ
Artinya: “Apakah kami akan binasa padahal di tengah-tengah kami ada orang-orang shalih?” Beliau menjawab: “Ya, apabila banyak yang jeleknya.” (Shahih al-Bukhari, kitab al-fitan bab qaulin-nabiy wailun lil-’arab min syarrin qad-iqtaraba, 6: 2589 no. 6650)”[3]

Dua hadits di atas mengajarkan haramnya berdiam diri melihat kemunkaran yang terjadi, termasuk yang ditimbulkan oleh pemerintah. Jika kemunkaran sudah merajalela, dan orang-orang yang shalih tidak bisa berbuat banyak, maka siksa Allah swt akan diturunkan secara rata, termasuk kepada orang shalih. Meski tentu nasib di akhirat nanti akan berbeda-beda tergantung keshalihannya, sebagaimana disabdakan Nabi saw :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ إِذَا أَنْزَلَ سَطْوَتَهُ بِأَهْلِ الْأَرْضِ وَفِيْهِمُ الصَّالِحُوْنَ فَيَهْلِكُوْنَ بِهَلاَكِهِمْ. فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللهَ إِذَا أَنْزَلَ سَطْوَتَهُ بِأَهْلِ نِقْمَتِهِ وَفِيْهِمُ الصَّالِحُوْنَ فَيُصَابُوْنَ مَعَهُمْ ثُمَّ يُبْعَثُوْنَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ وَأَعْمَالِهِ
Artinya  : “ Dari ‘Aisyah ia berkata, aku bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah apabila menurunkan siksa kepada penduduk bumi, sedang di tengah-tengah mereka ada orang-orang shalih, apakah mereka turut binasa bersama mereka?” Beliau menjawab, “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah apabila menurunkan siksanya kepada orang-orang yang berhak mendapat siksanya, sedang di tengah-tengah mereka ada orang-orang yang shalih, maka mereka akan terkena bersama mereka, tapi kemudian mereka dibangkitkan (di akhirat) sesuai dengan niyat dan amal mereka.” (Shahih Ibn Hibban 16 : 305 no. 7314 dzikr al-bayan bi annal-khalqa yub’atsuna yaumal-qiyamah ‘ala niyyatihim).”[4]
Maka dari itu, Nabi saw menekankan secara khusus pentingnya amar ma’ruf nahyi munkar kepada pemimpin yang zhalim.

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Sebaik-baiknya jihad adalah kalimat yang benar yang disampaikan kepada pemerintah yang zhalim/sewenang-wenang (Sunan Abi Dawud kitab al-malahim bab al-amr wan-nahy no. 4346 [al-Albani: shahih].[5]
Jadi jelas, bersabar bukan berarti membiarkan kemunkaran tanpa amar ma’ruf nahyi munkar. Kewajiban ini tetap berlaku terlebih jika yang berbuat kemunkaran itu adalah para pemimpin. Satu saja syaratnya: Jangan sampai khuruj separatisme.
Jika sesudah diperingatkan pemerintah tetap dalam kebijakan menyimpangnya, tetap kita tidak boleh khuruj, hanya cukup tidak taat saja dan tidak pernah menyatakan setuju dengan kebijakan yang menyengsarakan rakyat tersebut.

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah. Taat itu hanya ma’ruf (Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujub tha’atil-amir no. 4871[6]
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
Artinya :  “Akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal tapi kalian mengingkari mereka. Barangsiapa yang mengenali (dan tidak terbawa arus), maka ia terbebas dari dosa. Barangsiapa yang mengingkari, maka ia selamat. Akan tetapi siapa yang simpati dan mengikuti, maka ia tidak selamat.” Para shahabat bertanya: “Apakah kita harus memerangi mereka?” Rasul saw menjawab: “Tidak, selama mereka shalat.”(Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujubil-inkar ‘alal-umara` fima yukhalifus-syar’a no. 3445-3446).”
Hadits di atas sekaligus menjadi batasan dari ketidakbolehan khuruj kepada pemimpin. Berdasarkan hadits di atas khuruj haram dilakukan jika pemimpin masih shalat. Dalam hadits yang lain, dikemukakan selama pemimpin tidak kufur terang-terangan atau kufur yang sampai keluar dari Islam.
قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ: دَعَانَا النَّبِيُّ r فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ: فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بِوَاحاً، عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.
Artinya  :  “ Ubadah ibn as-Shamit berkata: “Nabi saw memanggil kami lalu kami berbai’at kepadanya.” Ia melanjutkan: “Materi bai’at yang beliau ambil dari kami adalah kami berbai’at untuk senantiasa patuh dan taat, dalam keadaan senang dan benci, dalam keadaan sulit dan mudah, wajib mendahulukannya daripada kami, dan agar kami tidak mencabut urusan pemerintahan (kudeta) dari yang berhaknya. Kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, dan kalian punya pegangan yang jelas dari allah mengenainya.” 
Hadits ini memberitahukan bahwa ketaatan kepada pemerintah atau pemimpin lainnya adalah mutlak. Kecuali jika para pemimpin itu jelas-jelas kufur. Dan batasan-batasan kufur itu ada dalam al-Qur`an, yakni non-Islam (rujuk di antaranya QS. An-Nisa 4: 150-151, QS. Al-Bayyinah 98 : 1, QS. Al-Hajj 22: 17). Selama pemimpin masih muslim, maka ketaatan kepadanya tetap mutlak. Jika sudah kufur keluar dari Islam, boleh dikudeta..

                  Menurut logika orang modern, kudeta terhadap pemimpin negara ibarat melangkah mundur kembali pada zaman primitif dimana banyak terjadi perang saudara disebabkan tidak adanya satu pemimpin yang ditaati. Jika pemimpin tidak disukai, bersabar saja, dan nanti jangan dipilih kembali. Logika yang dianut para pengagum demokrasi ini baru betul-betul mereka sadari tiga abad silam. Islam sudah mengajarkannya jauh sebelumnya sejak empat belas abad yang silam. Paham yang kemudian dikenal sebagai paham al-jama’ah dari kelompok ahlus-sunnah ini tentu bukan berarti membebek pada demokrasi, tetapi yang benar sebaliknya, demokrasi turut belajar dari Islam
C.      Sejarah Kudeta di Nusantara

a. Kudeta Ken Arok
Di Indonesia (Nusantara selebelum 17 Agustus 1945) Sudah terjadi ratusan peristiwa perebutan kekuasaan dari penguasa yang sah, dan peristiwa ini bisa dimasukkan dalam kategori kudeta, peristiwa kudeta itu bisa ditulis antara lain:

b.Kudeta Ken Arok
Sekitar Abad Ke-12 Ken Arok Membunuh Adipati Tumapel: Tunggul Ametung dan merebut istrinya Ken Dedes Serta merebut kekuasaan Tunggul Ametung. Kelak Ken Arok kemudian menjadi pendiri kerajaan Besar SingaShari.

c.Kudeta Ra Kuti
Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan Majapahit carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Ra Kuti dan Sengkuni. Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan selamat. Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati.

d.Kudeta Aria Penangsang
Pada Abad ke-15 Aria Penangsang berusaha melakukan pembunuhan terhadap sultan Hadiwijaya oleh aria Penangsang dilakukan dengan aneka cara diantaranya setelah perundingan diplomatis, dimana secara diam diam oleh aria Panangsang. Dimana dalam perundingan tersebut mengalami jalan buntu akibat tidak terimanya usul sultan Hadiwijaya memberikan Demak kepada aria Penangsang dan status Demak sebagai kadipaten dibawah kesultanan Pajang.
Sangat beruntung bagi sultan Hadiwijaya, karena seusai perundingan menyimpang dulu ke wilayah gunung Danaraja ,Jepara untuk bertemu dengan Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa lukar umbar aurat. Tujuan Sultan Hadiwijaya berkunjung ke Danaraja adalah memenuhi permintaan sunan Kalijaga untuk menghentikan tapa lukar umbar aurat Ratu Kalinyamat. Sultan Hadiwijaya berhasil menghentikan tapa lukar umbar aurat Ratu Kalinyamat. Dan membawa sang Ratu kembali ke Jepara untuk memimpin kabupaten Jepara yang lama kosong ditinggal bertapa. Himbauan Sultan Hadiwijaya kepada Ratu Kalinyamat, menyatakan bahwa jika Jepara dibiarkan kosong, maka dengan mudah aria Penangsang dapat merebut Jepara, serta membiarkan Jipang menjadi lebih kuat. Dalam perjalanan pulang dari Jepara ke Pajang, rombongan sultan Hadiwijaya dihadang oleh Pasukan Jipang.
Akan tetapi pasukan ini gagal memerangi sultan Hadiwijaya dan rombonganya. Bahkan seultan Hadiwijaya berhasil menawan sisa pasukan Jipang yang masih hidup. Namun dilepaskan dengan membawa pesan untuk mempermalukan adipati Jipang. Gagalah Usaha perebutan kekuasaan Aria Penangsang.

e.Kudeta Petani Banten

Pemberontakan di Banten tahun 1888 itu seperti suatu fenomena yang berdiri sendiri. Tetapi peristiwa pemberontakan tahun 1888 di Banten itu bukan suatu tindakan yang tiba-tiba di pihak petani yang tidak tahu apa-apa, yang mengamuk karena fanatik agama, seperti yang hendak dikesankan oleh beberapa laporan. Sejak hari pertama sudah jelas bahwa pemberontakan ini merupakan suatu pemberontakan yang telah dipersiapkan dan direncanakan dan mempunyai lingkup yang jauh melampaui batas-batas kota kecil Cilegon. Peristiwa itu merupakan kulminasi suatu gerakan pemberontakan yang selama bertahun-tahun bergiat secara terang-terangan atau secara rahasia. Usaha para Petani ini ingin menggulingkan kekuasaan Pemerintahan Kolonial Belanda di Banten.

f.Kudeta Peta di Blitar
Rakyat tidak sanggup lagi menahan penderitaan, lama kelamaan rakyat menjadi berani. Mereka bertekat untuk melawan Jepang. Pada tanggal 14 Februari 1945 terjadilah Pemberontakan Peta di Blitar yang paling menggoncangkan pemerintah militer Jepang, karena pelakunya justru prajurit binaan Jepang. Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Supriyadi, karena mempunyai benih-benih, baik yang berasal dari dalam kehidupan Daidan (Komandan Batalyon/Mayor) Blitar itu sendiri maupun keadaan masyarakat yang cukup menderita, akibat penjajahan Jepang yang selalu merugikan rakyat Indonesia. Adapun rumusan masalah yang dibahas adalah: apa yang melatarbelakangi Pemberontakan Peta di Blitar, dan bagaimana bentuk Pemberontakan Peta di Blitar yang di bawah pimpinan Supriyadi.[7]












BAB III
KESIMPULAN
Kata kudeta berasal dari bahasa Perancis, coup d’etat yang bermakna serangan atau pukulan pada negara. Seorang ahli sosial Samuel P. Huntington mengidentifikasi tiga jenis kudeta, yakni
4.    Breakthrough coup d’etat
Breakthrough coup d’etat terjadi tatkala militer melancarkan revolusi untuk menggulingkan pemerintahan tradisional dan menciptakan elite birokrasi baru.
5.    Guardian coup d’etat: 
Guardian coup d’etat terjadi tatkala militer melakukan kudeta dengan dalih menegakkan tatanan publik dan sejumlah alasan lain yang telah melekat pada alam pikir militer dan selalu dikaitkan dengan patriotisme.
6.    Veto coup d’etat: Veto coup d’etat
Terjadi ketika militer memveto atau menolak eksistensi kelompok-kelompok tertentu dalam politik dan berkonfrontasi dengan kekuatan politik oposisi-sipil
Jadi jelas, bersabar bukan berarti membiarkan kemunkaran tanpa amar ma’ruf nahyi munkar. Kewajiban ini tetap berlaku terlebih jika yang berbuat kemunkaran itu adalah para pemimpin.












DAFTAR PUSTAKA
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Politik (Rajawali Pres,Jakarta.2009),hal 65.
Shahih al Bukhari kitab al-fitan bab satarauna ba’di umuran tunkirunaha,no.7054
Shahih al Bukhari kitab al-fitan bab qaulin-nabiy wailun lil arab min syarin qad-iqtaraba 6:2589 no 6650.
Shahih Ibn Hibban 16 : 305 no. 7314 dzikr al-bayan bi annal-khalqa yub’atsuna yaumal-qiyamah ‘ala niyyatihim..
Sunan Abi Dawud kitab al-malahim bab al-amr wan-nahy no. 4346 [al-Albani: shahih.
Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujub tha’atil-amir no. 4871




[1] Moh. Mahfud MD, Hukum dan Politik (Rajawali Pres,Jakarta.2009),hal 65.
[2]Shahih al Bukhari kitab al-fitan bab satarauna ba’di umuran tunkirunaha,no.7054
[3] Shahih al Bukhari kitab al-fitan bab qaulin-nabiy wailun lil arab min syarin qad-iqtaraba 6:2589 no 6650.
[4] Shahih Ibn Hibban 16 : 305 no. 7314 dzikr al-bayan bi annal-khalqa yub’atsuna yaumal-qiyamah ‘ala niyyatihim..
[5] Sunan Abi Dawud kitab al-malahim bab al-amr wan-nahy no. 4346 [al-Albani: shahih.

[6] Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujub tha’atil-amir no. 4871
[7] Ibid.hal 59.