Makalah tentang pembuktian dalam hukum acara perdata



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pembuktian
Masuk kedalam pembahasan pembuktian, sebelumnya harus diketahui bagaimana dan apa yang perlu dibuktikan atau objek dari pembuktian tersebut, didalam pembahasan kali ini, pembuktian dikhususkan pada ranah Hukum Acara Perdata yang dimana ada kaitannya dengan tugas hakim dalam mengkonstatirkan peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak.
 Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hokum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Jadi pembuktian hanyalah diperlukan dalam suatu perkara dimuka pengadilan. Jika tidak ada perkara atau sengketa dimuka pengadilan mengenai hak perdata seseorang, maka pembuktian tersebut tidak perlu dilakukan oleh yang bersangkutan. Pihak-pihak yang berperkalalah yang berkewajiban membuktikan peristiwa/peristiwa yang dikemukakannya.[1]
Kebenaran yang  diperoleh dari pembuktian berhubungan langsung dengan keputusan yang adil oleh hakim. Ada hal atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu diketahui oleh hakim, diantaranya :
a.       Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui oleh atau tidak mungkin diketahui oleh hakim.
b.      Hakim dianggap mengenall peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.
Seperti yang dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”[2]
Membuktikan merupakan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dali-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan.[3] 
Membuktikan mengandung beberapa pengertian antara lain sebagai berikut :
1.      Kata membuktikan dikenal dalam arti logis. Membuktikan di sini berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma, yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. 
2.      Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensial. Membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian yang relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan :
a.       Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan maka kepastian ini bersifat intuitif.
b.      Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal.
3.      Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kebenaran mutlak.

B.     BEBAN PEMBUKTIAN
Seperti yang telah dikemukakan bahwa yang harus dibuktikan oleh para pihak yang berperkara bukanlah hukumnya, tetapi peristiwanya atau hubungan hukumnya yang menimbulkan hak atau yang menghapuskan hak. Hakim lah yang memerintahkan kepada pihak-pihak yang membebani pihak-pihak yang berperkara untuk melakukan pembuktian.
Dalam beberapa hal tertentu, beban pembuktian ini ada diatur secara khusus dalam pasal-pasal hokum perdata materil, misalnya dalam pasal-pasal berikut ini :
Pasal 533 BW: “Orang yang menguasai barang tidak perlu membuktikan itikad baiknya. Siapa yang mengemukakan adanya itikad buruk harus membuktikannya.”
Pasal 535 BW:Kalau seseorang telah memulai menguasai suatu untuk orang lain maka selalu dianggap meneruskan pengurusan tersebut, kecuali apabila terbukti sebaliknya”.
Pasal 1244 BW: “Barang siapa yang menyatakan dirinya berada dalam keadaan memaksa sehingga tidak dapat melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya, maka ia harus membuktikan adanya keadaan memaksa tersebut”.
Pasal 1365 BW:Barang siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu perbuatan melawan hokum, maka ia harus membuktikan adanya kesalahan pihak yang dituntut. Selanjutnya mengenai beban pembuktian, kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat yang wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat berkewajiban membuktikan kebenaran bantahannya.[4]Dalam hal ini ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi hakim.
1.      Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Teori ini mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hokum teori ini adalah pendapat bahwa hal hal yang negative tidak mungkin dibuktikan (negativa opn sunt probanda).
2.      Teori Hukum Subjektif
Teori ini menggambarkan suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hokum subjektif atau bertujuan memepertahankan hokum subjektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya.
Teori ini berdasarkan pada pasal 1865 BW “Pasal 1865 Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
3.      Teori Hukum Objektif
Teori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hokum objektif terhadap peristiwa yang diajukan.
Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan kepentingan publik.
5.       Teori Hukum Acara
Asas audi et alteram atau juga asas kedudukan proseusuil yang sama daripada para pihak di muka hakim yang merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
          Selanjutnya mengenai alat pembuktian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1866, Alat pembuktian meliputi : bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah. Pembahasan mengenai macam alat bukti akan dibahas di poin kedua ditambah pemeriksaan setempat dan saksi ahli.

C.  HAL-HAL YANG PERLU DI BUKTIKA
Yang harus dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara bukanlah hukumnya akan tetapi peristiwanya. Mengenai hukumnya tidak perlu dibuktikan, karena hakim dianggap telah mengetahui hukum yang akan diterapkan baik hukum yang tertullis maupun hukum yang tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat.
            Peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara belum tentu semuanya penting bagi hakim untuk dijadikan dasar pertimbangan putusannya. Karena itu hakim harus melakukan pengkajian terhadap peristiwa-peristiwa tersebut, kemudian memisahkan peristiwa yang penting(relevant)dan mana yanng tidak penting.
Peristiwa yang penting itulah yang harus dibuktikan, sedangkan peristiwa yang tidak penting itu tidak perlu dibuktikan. Dalam perkara utang piutang misalnya, maka tidaklah relevan bagi hukum tentang warna sepatu yang dipakai oleh Penggugat dan Tergugat pada waktu mengadakan perjanjian utang piutang tersebut. Akan tetapi yang relevan adalah apakah antara Penggugat dan Tergugat pada waktu dan tempat tertentu benar-benar mengadakan perjanjian utang piutang dan sah menurut hukum.

D.    ALAT-ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA
Alat-alat bukti dalam perkara perdata disebutkan dalam pasal 164 HIR/286 RBg/1866 BW yaitu:
(1)   Tulisan
(2)   Saksi-saksi
(3)   Persangkaan
(4)   Pengakuan
(5)   Sumpah
Undang-undang sendiri dalam beberapa hal malahan mensyaratkan “hanya dapat dibuktikan dengan tulisan” artinya tidak diperkenankan mempergunakan dengan alat-alat bukti lain. Misalnya perjanjian pandirian suatu firma diantara para pesero itu sendiri harus dibuktikan dengan akta notaries (pasal 22 KUHD). Perjanjian pertanggungan (asuransi) hanya dapat dibuktikan dengan polis, meskipun ditambah dengan tulisan, alat bukti lain boleh dipergunakan (pasal 258 KUHD). Kemudian mengenai perjanjian penetapan besarnya bunga uang pinjaman harus dibuktikan secar tertulis (pasal 1757 ayat (3) BW) dan sebagainya.
Alat bukti tulisan atau surat diatur dalam pasal 138, 165 dan 167 HIR/164,285 DAN 305 RBg/Stb. 1867 No. 29 dan pasal 1867 sampai dengan 1894 BW. Alat bukti tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu. Dengan demikian segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan tapi tidak bisa dimengerti, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tulisan. Pengertian bisa dimengerti, tidak mesti seketika bisa dimengerti, akan tetapi juga bisa kemudian, asal bisa dimengerti. Tanda-tanda yang dimaksudkan bisa huruf latin, huruf kanji, huruf arab dan lain sebagainya. Potret atau gambar dan peta karena tidak memuat tanda-tanda bacaan atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan tetapi tidak mengandung suatu pikiran maka bukanlah termasuk alat bukti tulisan. Tetapi jika diajukkan kepengadilan akan menambah keyakinan hakim mengenai sesuatu keadaan yang harus dibuktikan dalam suatu perkara.
Alat bukti tulisan terbagi atas 2 (dua) macam yaitu akta dan tulisan-tulisan lain bukan akta. Yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditanda tangani oleh pembuatnya. Dengan demikian maka unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan tersebut. Yang dimaksud dengan penanda-tanganan ialah membubuhkan nama si penanda-tangan, sehingga membubuhkan paraf (singkatan tanda tangan ) dianggapnbelum cukup. Nama itu harus ditulis tangan oleh si penanda-tangan sendiri atas kehendaknya sendiri. Tanda tangan dengan nama orang lain tidak sah atau batal.
Akta dapat dibedakan atas 2 (dua) macam yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan. Akta otentik adalah adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu menurut ketentuan undang-undang. Perkataan dibuat oleh di atas ini mengandung pengertian bahwa yang membuat akta itu adalah pejabat yang bersangkutan. Sedangkan dibuat di hadapan artinya yang membuat akta itu adalah para pihak sendiri tetapi disaksikan oleh pejabat tersebut.
Dengan demikian akta otentik itu ada 2 (dua) macam yaitu :
a.       Akta yang dibuat oleh pejabat yang sering disebut dengan akta pejabat (acte ambtelijk); dan
b.      Akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat yang sering disebut dengan akta partai (acte partij)
Dalam pasal 165 HIR/285 RBg/1870 BW dinyatakan, bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, yang bagi pihak-pihak dan para ahli warisnyaserta mereka yang memperoleh hak daripada nya merupakan suatu bukti yang cukup menegenai hal-hal yang tercantum di dalamnya malahan tentang segala sesuatu yang di nyatakan dengan tegas didalamnya, asal saja yang dinyatakan itu mempunyai hubungan langsung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.
Akta dibawah tangan adalah aktayang dibuat sendiri oleh pihak-pijhak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum.
Akta dibawah tangan ini tidak ada diatur dalam HIR (untuk jawa dan Madura), tetapi diatur dalam peraturan yang termuat dalam Stb. 1867 No. 29, karena pada waktu IR dibuat (sebelum 1848) akta dibawah tangan tersebut tidak ada diatur di dalamnya, melainkan diatur secara khusus dalam suatu ordonansi tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan dibawah tangan yang termuat dalam Stb. 1867 No.29 tersebut.
Menurut pasal 1 Stb. 1867 No. 1867 No. 29/286 RBg/1878 BW, surat-surat, daftar (register), catatan mengenai rumah tangga dan surat-surat lainnya yang dibuat tanpa bantuan seorang pejabat termasuk dalam pengertian akta dibawah tangan.
Khusus untuk surat pengakuan hutang sepihak ada ketentuan istimewa yang termuat dalam pasal 4 Stb. 1867 No. 29/291 RBg/1871 BW yang menyatakan bahwa akta dibawah tangan yang memuat hutang sepihak, untuk membayar sejumlah uang tunai atau menyerahkan suatu benda, harus ditulis seluruhnya dengan tangan sendiri oleh orang yang menandatangani, atau setidak-tidaknya orang yang menandatangani itu harus menulis dibawahnya dengan tangannya, yang menyebut dengan huruf jumlah atau besarnya atau banyaknya barang yang harus dibayar.
Dengan adanya ketentuan seperti diatas ini, undang-undang ingin memberi perlindungan terhadap orang yang membutuhkan tanda tangannya atas secarik kertas kosong (blanko), jangan sampai kertas itu dengan sewenang-wenang diisi oleh orang lain dengan suatu pengakuan mempunyai hutang sejumlah uang. Pernyataan berhutang sejumlah uang ini harus ditulis dengan tangan sendiri oleh si penanda tangan.
Namun ada beberapa tulisan yang bukan akta yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai alat bukti yang mengikat artinya harus dipercaya oleh hakim, yang disebut dalam pasal 1881 ayat (1) sub 1 dan 2 serta pasal 1883 BW, yaitu :
(a)    Surat-surat yang dengan tegas menyebut tentang suatu pembayaran yang telah diterima
(b)   Surat-surat yang dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam sesuatu alas hak (title) bagi seorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan
(c)    Catatan-catatan yang dicantumkan oleh seorang kreditur pada suatu atas hak yang selamanya dipegangnya, jika apa yang ditulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap debitur
(d)   Catatan-catatan yang dicantumkan kreditur pada salinan suatu alas hak atau tanda pembayaran, asal saja salinan atau tanda pembayaran ini berada dalam tangannya debitur.
Apabila akta yang asli tidak ada lagi atau hilang, maka salinan—salinan atau ikhtisar-ikhtisar daripada akta yang hilang itu kekuatannya hanyalah sebagai suatu permulaan pembuktian, kecuali salinan-salinan yang disebutkan dibawah ini dapat memberikan kekuatan yang sama dengan aslinya, yaitu :
      i.          Salinan-salinan pertama       
    ii.          Salinan-salinan yang dibuat atas perintah hakim dengan dihadiri kedua belah pihak, atau setelah kedua belah pihak dipanggil dengan sah
  iii.          Salinan-salinan tanpa perantaraan hakim atau diluar persetujuan para pihak dan sesudahnya pengeluaran salinan-salinan pertama, dibuat dengan notaries yang dihadapannya akta itu telah dibuatnya, atau oleh pegawai-pegawai yang dalam jabatannya menyimpan akta-aktanya  yang asli dan berwenang memberikan salinan-salinan.
Alat bukti saksi Pembuktian dengan saksi bagi pengadilan negeri, terutama dalam pemeriksaan perkara perdata antara orang-orang Indonesia asli, adalah sangat penting sekali, karena pada umumnya perbuatan –perbuatan hokum di kalangan orang-orang Indonesia asli tidak dibuat tulisan, karena satu sama lain saling mempercayai.
Menurut rangkaian pasal-pasal 140, 141, 148 HIR/166, 167, 176 RBg, seseorang yang tidak karena sesuatu alasan yang sah yang tidak memenuhi panggilan menjadi saksi dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut :
a.    Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggilnya menajdi sanksi
b.    Secar paksa dibawa menghadap pengadilan, kalau perlu dengan bantuan POLRI
c.    Dimasukkan dalam penyanderaan
Orang-orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :
1.       Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan lurus dari salahsatu pihak
2.       Suami atau isteri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai
3.       Anak-anak yang belum berusia 15 (lima belas) tahun
4.       Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.
Adapun alasan pembentukan undang-undang menentukan mereka itu tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :
              i.      Mereka pada umunya dianggap tidak cukup objektif apabila didengar sebagai saksi
            ii.      Untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang baik, yang mungkin akan retak apabila mereka memberikan kesaksian
          iii.      Untuk mencegah timbulnya tekanan batin bagi mereka setelah memberikan  kesaksian
Akan tetapi keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan tidk dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang perjanjian pekerjaan.
Orang-orang yang dapat minta dibebaskan memberi kesaksian adalah:
a.         Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak
b.        Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan dari suami/isteri dari salah satu pihak.
c.         Orang  yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang sah diwajibkan menyimpan rahasia, akan tetapi semata-mata hanya tentang hal itu saja yang dipercayakan karena martabat, pekerjaan dan jabatannya itu (misalnya dokter, advokat, dan notaries)
Keterangan saksi tentang sesuatu peristiwa harus diberikan secara lisan dan pribadi di persidangan. Jadi harus disampaikan sendiri oleh saksi, tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, serta tidak boleh disampaikan secara tertulis. Ketentuan ini ditafsirkan dari pasal 140 ayat (1) HIR/166 ayat (1) RBg yang menentukan bahwa terhadap saksi yang telah dipanggil dengan patut dan tidak dating diberi sanksi dan terhadap saksi yang telah dating dipersidangan yang enggan memberi keterangan juga dapat diberi sanksi.
Alat bukti Persangkaan dalam pasal 164 HIR/284 RBg/1866 BW dikatakan sebagai salah satu alat bukti dalam perkara perdata. Persangkaan diatur di dalam pasal 173 HIR/310 RBg/1915 = 1992 BW
Pasal 173 HIR/310 RBg memperingati kepada hakim agar dalam kesimpulan itu ia harus hati-hati dan waspada dari kalimat dalam terakhir pasal 173 HIR/310 RBg tersebut ternyata hakim tidak boleh mendasarkan putusannya hanya pada satu persangkaan saja. Contoh-contoh persangkaan undang-undang misalnya:
a.    Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang harus dibayar kepada si pembawa, maka barangsiapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya (pasal 1977 ayat (1) BW)
b.    Tiap tembok yang dipakai sebagai tembok batas antara dua pekarangan dianggap milik bersama pemilik pekarangan yang berbatasan, kecuali ada suatu alas hak atau tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya (pasal 633 BW)
c.    Tiap anak yang dilahirkan selama perkawinan, maka suami dari perempuan yang melahirkan adalah ayahnya (pasal 250 BW)
d.   Mengenai pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan nafkah, bunga pinjaman uang dan pada umumnya segala apa yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu yang lebih pendek, maka dengan adanya tiga surat tanda pembayaran tiga angsuran berturut-turut maka terbitlah persangkaan bahwa angsuran-angsuran yang lebih dahulu telah dibayar lunas, kecuali dibuktikan sebaliknya (pasal 1394 BW). Lihat pasal-pasal 159,685,662, dan 1921 BW
Menurut ilmu pengetahuan persangkaan merupakan alat bukti yang tidak langsung yang dibedakan atas 2 (dua) macam yaitu :
a.         Persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijke/rechterlijke vermeedens)
b.         Persangkaan berdasarkan undang-undang (wettelijke atau rechsvermeedens).
Yang kedua ini dibagi menjadi dua yaitu yang memungkinkan pembuktian lawan dan yang tidak memungkinkan adanya pembuktian lawan.
Alat bukti pengakuan diatur dalam pasal-pasal 174, 175 dan 176 HIR/311, 312 san 313 RBg/1923-1928 BW.
Pengakuan merupakan keterangan, baik tertuliss maupun lisan, yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hokum yang dikemukakan pihak lawan.
Pengakuan dapat dibagi atas 2 macam yaitu pengakuan yang dilakukan didepan sidang pengadilan dan pengakuan yang dilakukan di luar sidang pengadilan. Jadi pengakuan pada hakikatnya bukanlah merupakan pernyataan tentang kebenaran sesuatu hal, akan tetapi lebih merupakan kehendak untuk menyelesaikan perkara. Oleh karenanya pengakuan itu pada hakikatnya bukanlah merupakan alat bukti.
Pasal 176 BW HIR/33 RBg yang isi pokoknya tidak berbeda dengan pasal 1924 BW menyatakan:
“tiap-tiap pengakuan harus diterima segenap, dan hakim tidak bebas untuk menerima sebagiannya saja dan menolak sebagian lain, sehingga merugikan orang yang mengakui itu; yang demikian itu hanya boleh dilakukan, kalau orang yang berhutang, dengan maksud untuk melepaskan dirinya, menyebutkan peristiwa yang terbukti tidak benar”.
Jadi yang dimaksud oleh pasal 176 HIR/313 RBg/1924 BW diatas ini ialah bahwa pengakuan harus diterima bulat. Hakim tidak boleh memisah-misahkan pengakuan dengan menerima sebagian dari pemngakuan sehingga tidak perlu lagi dibuktikan, dan menolak sebagian dari pengakuan sehingga masih perlu dibuktikan lebih lanjut.
Wirjono Prodjodikoro misalnya, dalam bukunya yang berjudul hokum acara perdata di Indonesia mengatakan bahwa :
“ajaran tentang larangan memisah-misahkan pengakuan itu sangat mengecewakan, karena tidak masuk akal dan tidak dapat dimengerti oleh khalayak ramai”.
Dikatakan beliau selanjutnya bahwa:
“sebaiknuya dalam menghadapi pengakuan dengan tambahan itu, hakim leluasa untuk menetapkan sampai di mana kekuatan pembuktian pada pengakuan tersebut, seperti halnya dengan pengakuan di luar sidang pengadilan (vrijbewijs). Apabila hakim yakin (dengan cara bagaimana npun juga) bahwa penggugatlah yang jujur maka penggugat harus dilindungi, dan sebaliknya kalau hakim yakin bahwa tergugatlah yang jujur maka tergugatlah yang harus dilindungi, yaitu dengan cara membebankan pembuktian kepada pihak lawan”.
Ilmu pengetahuan membagi pengakuan menjadi 3 (tiga) macam yaitu pengakuan murni, pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan klausula.
Pengakuan murni adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan. Misalnya: penggugat menyatakan tergugat ada pinjam uang sebesar Rp 1 juta; tergugat mengakui bahwa ia memang pinjam uang kepada penggugat sebesar Rp 1 juta.
Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian untutan. Misalnya: penggugat menyatakan tergugat telah meminjam uang kepadanya sebesar Rp 2 juta; tergugat mengakui memang telah meminjam uang mkepada penggugat, tetapi bukan Rp 2 juta melainkan Rp 1 juta.
Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan yang disertai dengan tambahan yang bersifat membebaskan. Misalnya : penggugat menyatakan tergugat telah meminjam uang kepadanya sebesar Rp 3 juta; tergugat mengakui memang meminjam uang kepada penggugat sebesar Rp 3 juta, tapi hutang tersebut sudah dibayar lunas.
Alat bukti sumpah diatur dalam pasal-pasal 155 sampai dengan 158 dan 177 HIR/182 Sampai dengan 185 dan 314 RBg/1929 sampai dengan 1945 BW.
Dalam hokum acara perdata ada 2 (dua) macam sumpah, yaitu sumpah penambah (suppletoire eed) dan sumpah pemutus (decisoire eed).
Sumpah penambah adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara untuk menambah (Melengkapi) pembuktian peristiwa yang belum lengkap. Jadi sumpah penambah hanya dapat diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak yang berperkara kalau sudah ada permulaan pembuktian, tetapi masih belum mencukupi dan tidak ada alat bukti lain (MA.tgl. 1-2-1956 No. 180 K/Sip/1954;tgl. 25-3-1976 No. 316 K/Sip/1974). Permulaan pembuktian ini berbagai macam bentuknya, bisa berupa satu orang saksi saja, bisa berupa tulisan yang bukan akta saja, atau hanya ada pengakuan di luar sidang pengadilan dan lain sebagainya.
Sumpah pemutus adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak yang berperkara kepada lawannya. Sumpah pemutus ini dapat dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, pada setiap saat selama pemeriksaan perkara di pengadilan negeri berjalan (pasal 1930 ayat (2) BW ). Jadi iniatif untuk membebani sumpah pemutus adalah salah satu pihak yang berperkara dan dialah pula yang menyusun rumusan sumpahnya.














BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hokum diantara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hokum.
Dalam pembuktian itu, maka para pihak member dasar-dasar yang cukup kepada hakim dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya.
Berkaitan dengan masalah ini maka kami akan membahas lebih lanjut dan lebih dalam mengenai Pembuktian dan Alat Bukti sebagai salah satu tata cara beracara dalam hukum acara perdata.
2.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari pembuktian dalam hukum acara perdata ?
2.      Apa saja beban pembuktian dalam hukum acara perdata ?
3.      Hal-hal apa saja yang perlu dibuktikan dalam hukum acara perdata ?
4.      Apa saja alat bukti yang terdapat dalam hukum acara perdata ?


[1] Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 93.
[2] Kitab Undang Udang Hukum Perdata

[3] Ibid hal. 93-94.
[4] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Libertiy,2002), hal.133-134.