makalah Tentang AKHLAK TASAWUF



BAB I
MENGENAL AKHLAK TASWUF

A.    PENGERTIAN
1.      Ilmu Akhlak
Secara etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa Arab yakni isim
mashdar dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan/ akhlaqan yang berarti kelakuan, tabi’at, dan watak dasar. Kata akhlaq (أخلاق) itu sendiri berasal dari bentuk jama’ sedangkan mufradnya adalah khuluq (خلاق) berarti budi pekerti. Kata akhlak itupun banyak ditemukan dalam ayat-ayat Al Qur’an maupun al-Hadits seperti :
ان هذا الاّ خلق الاوّلين (الشعراء : 137)
Artinya : (Agama kami) tidak lain hanyalah adat kebiasaan yang dahulu.
               (QS. As-Syu’ara : 137)
اكمل المؤمنين ايمانا احسنهم خلقا (رواه الترمذى)
Artinya : Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang sempurna budi pekertinya. (HR. At-Tirmidzi)
                Adapun menurut Kamus Arab-Indonesia Al Azhar karangan S. Askar, kata خُلْقٌ و خُلُقٌ ج أخلاق  berarti perangai, tabi’at, akhlak, adat, beradab baik.
           
2.      Tasawuf
Secara etimologi, kata tasawuf (التصوف) berasal dari bahasa arab.
Pertama, dari kata Shuf artinya bulu domba. Dulu orang-orang sufi (pakar tasawuf) biasanya memakai pakaian dari bulu domba yang kasar sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian. Kedua, dari Ahl Al-Suffah berarti orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah dan meninggalkan harta, rumah, dan tidak membawa apa-apa. Karenanya mereka tinggal di serambi masjid dengan tidur diatas batu dengan memakai pelana dan pelana itupun disebut Suffah.Ketiga, dari kata Shafi atau Sufi yang berarti suci. Orang-orang ahli tasawuf adalah orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang berbau keduniawian. Keempat, dari kata Sophia atau Sophos yang berasal dari bahasa Yunani, berarti hikmat atau hikmah atau filsafat. Kelima, dari Saf  berarti barisan. Karena pada saat itu orang-orang sufi sering melaksanakan shalat di barisan pertama karena ingin mendapatkan kemuliaan yang lebih utama.
              
B.     RUANG LINGKUP ILMU AKHLAK
a.       Membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan itu tergolong baik ataupun buruk.
b.      Membahas tentang upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan tersebut, yaitu apakah perbuatan tergolong baik atau buruk.
c.       Membahas tentang akhlak  atau perbuatan yang dilakukan atas kehendak dan kemauan sebenarnya dan yang telah menjadi sebuah kebiasaan.

C.    SUMBER AJARAN TASAWUF
Dalam sumber ajaran Islam, Al Qur’an dan Hadits juga terdapat ajaran
yang dapat membawa kepada timbulnya tasawuf.  Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasar dalam mistisisme ternyata ada didalam Al Qur’an dan Hadits, seperti dalam QS. Al Baqarah : 186 berbunyi :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya : “Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku. Aku adalah
                dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika ia panggil Aku.

D.    HUBUNGAN ILMU AKHLAK dengan ILMU TASAWUF
Menurut Harun Nasution, ketika kita mempelajari tasawuf ternyata pula
bahwa Al Qur’an dan Hadits mementingkan akhlak. Masalah yang menonjol dalam tasawuf adalah ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah dalam Islam erat kaitannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Al Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, yakni orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Dapat dikatakan bahwa sebelum kita bertasawuf kepada Allah (benar-benar mendekatkan diri kepada Allah) kita diharuskan untuk merubah dan memperbaiki akhlak (perbuatan) kita terlebih dahulu agar kita bisa benar-benar melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.

E.     MANFAAT MEMPELAJARI AKHLAK TASAWUF
1.      Dengan mempelajari akhlak tasawuf kita dapat menghindari kajian akhlak yang hanya berada pada tataran pemikiran dan wacana yang tentu akan jauh untuk dapat memberikan kesan tersendiri pada mahasiswa terutama untuk memiliki akhlak mulia.
2.      Dengan mengkaji akhlak tasawuf berguna untuk membatasi kajian salah satu aspek dalam dunia tasawuf yakni tasawuf akhlaki, yang berarti menitikberatkan pada akhlaki saja, bukan kepada tasawuf falsafi maupun amali.
3.      Dan yang terpenting dari mempelajari akhlak tasawuf adalah cara membersihkan diri dari sifat tercela, menghiasi diri dengan akhlak mulia dan cara mendekatkan diri kepada Allah dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya.




BAB II
RUANG LINGKUP, TUJUAN DAN MANFAAT MEMPELAJARI AKHLAK TASAWUF

A.    Pengertian Ilmu Ahlak
At-tahawani (w.abad II H.), penyusun kasysyaf ishthilahat al-Funun mendefinisikan ilmu akhlah yang di sebutnya dengan ilmu-ilmu perilaku (ulum as-suluk )sebagai “pengetahuan tentang apa yang baik dan tidak baik. Ada dua cara yang dapat digunakan untuk memahami ilmu akhlak yaitu: pendekatan liguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan).
Segi bahasa akhlak berasal dari bahasa arab yaitu اقلك yang berarti as-sajiyah (perangai) ath-thabi’ah (kelakuan, watak dasar) al-adat (kebiasaan) ke zalimanal-ma’ruah (peradaban yang baik) dan al-din (agama). Kata akhlak jamak dari kata khuluq atau khulukun.

B.     Ruang lingkup Pembahasan Ilmu Akhlak dan Tasawuf
Pokok-pokok yang di bahas dalam ilmu akhlak adalah intinya perbuatan manusia.Perbuatan tersebut di tentukan kriterianya apakah baik atau buruk manusia.
Ciri-ciri tingkah laku manusia yang membedakannya dengan mahluk lainnya:
1.      Memiliki kepekaan sosial. Artinya manusia mampu menyesuaikan tingkah lakunya dengan harapan dan keinginan orang lain.
2.      Memiliki kelangsungan. Tingkah laku atau perbuatan seseorang tidak sepontan tetapi ada hubungan antara perbuatan satu dengan yang lainnya.
3.      Memiliki orientasi pada tugas. Tiap-tiap tingkah laku manusia selalu mengarah kepada suatu tugas tertentu, bahkan seseorang dengan sengaja pergi tidur malam ternyata memiliki orientasi kepada tugas yang akan dikerjakan kepada esok harinya.
Ahmad Aminmengatakan :”bahwa objek ilmu akhlak adalah membahas perbuatan manusia yang selanjutnya perbuatan tersebut di tentukan baik atau buruk”.Muhammad Ghazhali mengatakan bahwa kawasan pembahasan ilmu akhlak adalah seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
a.       Ruang lingkup ilmu akhlak
Objek pembahasan ilmu akhlak adalah perbuatan manusia untuk selanjutnya diberikan penilain apakah baik atau buruk, dan mempunyai ciri-ciri perbuatan yang dilakukan atas  kehendak dan kemauan, telah dilakukan secara kontinyu sehingga menjadi tradisi dalam kehidupannya.

C.     Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
Mustafa Zahri, mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu adalah untuk membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci dan bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima nur illahi.
Seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kriteria perbuatan baik dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk.
Ilmua akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang yang memiliki IPTEK yang maju disertai akhlak yang mulia, niscaya ilmu pengetahuaan yang Ia miliki itu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup manusia. Sebaliknya, orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan, namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia, maka semuanya itu akan disalah gunakan yang akibatnya akan menimbulkan bencana dimuka bumi.

D.    Hubungan Ilmu Akhlaq dengan Ilmu-ilmu Lainnya

1.      Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu Tauhid
Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu Tauhid dapai dilhat dari analis berikut ini diantaranya :
a)      Dilihat dari segi obyek pembahasannya yaitu menguraikan masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatannya, dengan demikian Ilmu Tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas, dan keihlasan itu merupakan salah satu akhlak mulia.
b)      Dilihat dari fungsinyayaituilmu Tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan menyontoh terhadap subyek yang terdapat dalam rukun iman itu. Dengan demikian beriman kepada rukun iman yang enam itu akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak mulia.
Jadi jelas bahwa ilmu tauhid sangat erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia.Dengan demikian dalam rangka pengembangan Ilmu akhlak, bahan-bahannya dapat digali dari ajaran tauhid dan keimanan tersebut.
2.      Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dann lain sebagianya. yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkatkan diri kepada Allah, ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak.
Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Al-qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik.Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahimunkar, mengajakan orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik.Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia.Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada paembinaan akhlak mulia dalam diri mereka.

3.      Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu jiwa ( ilmu-nafs )
Ilmu jiwa suatu ilmu yang menyelidiki bekas-bekas jiwa seseorang seperti: pengetahuan, perasaan dan kemauannya, dan dalil bekas dan akibatnya mengambil faidah dari padanya.
Dengan lain perkataan, ilmu jiwa sasarannya meneliti peranan yang dimainkan dalam perilaku manusia. Karenanya dia meneliti tentang suara hati (dhamir), Kemauan (iradah), daya ingatan, hafalan, dan pengertian, sangkaan yang ringan (waham) dan kecenderungan-kecenderungan(awathif) manusia.
Itu semua menjadi lapangan kerja jiwa, yang menggerakan manusia untuk berkata dan berbuat.Oleh karena itu ilmu jiwa merupakan muqaddimah yang pokok sebelum mengadakan kajian ilmu akhlak. Dikatakan oleh Prof. ahmad Luthfi, tanpa dibantu oleh jiwa, orang tidak akan dapat menjabarkan dengan baik tugas ilmu akhlaq”.
4.      Hubungan ilmu Akhlak dengan logika ( ilmu manthiq )
Ilmu manthiq ( logic ) adalah pengetahuan yang menggariskan qaidah-qaidah dan undang-undang berpikir, sehingga terpelihara manusia dalam berfikir. Jelasnya ilmu manthiq itu untuk membersikan jiwa dan memperhalusnya supaya dapat berfikir secara baik, mendidik pikiran dan menjaganya agar terhindar dari kekeliruan dalam membuat suatu hukum yang didasarkan kepada pikiran.

5.      Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu estetika ( ilmu jamal )
Ilmu estetika adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang manusia dari aspek kelezatan-kelezatan yang ditimbulkan oleh sesuatu pemandangan yang indah dalam diri manusia.
Kebanyakan ahli ilmu mengatakan, sangat erat hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu aestetika, tak obahnya laksana hubungan antara paman dengan keponakannya di mana diatasnya bertemu pada satu nasab atau keturunan. Hanya saja kalau ilmu akhlak yang menjadi sasarannya dari segi perilaku ( suluk ) maka ilmu estetika sasarannya dari segi  kelezatan yang obyeknya tetap sama taitu diri manusia.


6.      Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu sosiologi ( ilmu ijtima’)
Secara etimologi Sosiologi berasal dari kata “Socius” yang berarti kawan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan.Jadi sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang berkawan atau didalam arti luas, adalah ilmu pengetahuan yang berobyek hidup bermasyarakat. Memang banyak pengertian (ta’rif) tentang sosiologi tentang, antara lain yang dikemukakan oleh P.J. bouman, Samuel Smith dan CH. A.Ell wood, tekanannya kepada“masyarakat“, bukan kepada “hidup bermasyarakat”. Kita lebih tepat memakai pengertian yang memuat “hidup bermasyarakat”, karena masyarakat tidak mempunyai arti yang tepat.Ada masyarakat dalam arti luas, ialah kebulatan dari pada semua perhubungan didalam hidup bermasyarakat.Sedangkan dalam arti sempit, ialah suatu kelompok manusia yang menjadi tempat hidup bermasyarakat, tidak dalam aspeknya, tetapi dalam berbagai-bagai aspek yang bentuknya tidak tertentu. Masyarakat dalam arti sempit ini tidak mempunyai arti yang tertentu, misalnya: masyarakat mahasiswa, masyarakat pedagang, masyarakat tani dan lain-lain.
Dikatakan Ahmad Amin, bahwa pertalian antara Ilmu Sosiologi dengan Ilmu Akhlak erat sekali. Kalau Ilmu Akhlak yang dikaji tentang prilaku (suluk) artinya perbuatan dan tindakan manusia yang ditimbulkan oleh kehendak, dimana tidak bisa terlepas kepada kajian kehidupan kemasyarakatan yang menjadi kajian Ilmu sosiologi.Hal yang demikian itu dikarenakan manusia tidak mungkin melepaskan diri sebagai makhluk bermasyarakat. Dimanapun seseorang itu hidup, ia tidak bisa memisahkan dirinya lingkungan masyarakat dimana dia berada walaupun kadar pengaruh itu relative sifatnya.

7.      Hubungan antara akhlak dengan aqidah dan Iman
Sesungguhnya antara akhlak dengan aqidah dan iman terdapat hubungan yang sangat kuat sekali, karena akhlak yang baik itu sebagai bukti dari keimanan dan akhlak yang buruk sebagai bukti atas lemahnya iman. Semakin sempurna akhlak seseorang muslim berarti semakin kuat imannya. Akhlak yang baik adalah bagian dari amal shaleh yang menambah keimanan dan memiliki bobot yang berat dalam timbangan.Pemiliknya sangat dicintai oleh nabi SAW dan akhlak yang baik adalah satu penyebab masuk jannahnya seseorang. Akhlak yang baik dalam muamalah dengan Allah mencakup 3 perkara :
1.      Membenarkan berita-berita dari Allah
2.      Melaksanakan hukum-hukum-Nya
3.      Sabar dan ridha kepada takdirnya.   



BAB III
SEJARAH PERKEMBANGAN AKHLAK TASWUF

A.    Sumber Tasawuf Dalam Islam
Tasawuf pada awal pembentukannya adalah akhlak atau keagamaan dan moral keagamaan yang a Tasawuf adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits.
           Jadi Sumber sumber dalam islam yaitu :
1.      Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang di dalamnya terkandung muatan muatan ajaran Islam, baik akidah, syariah maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat ayat  yang termasuk dalam Al-Qur’an. Di satu sisi memang ada yang perlu di pahami secara lahiriah tetapi di sisi lain ada juga yang perlu dipahami secara rohaniah. Sebab, jika di pahami secara lahiriah ayat ayat Al-Qur’an akan terasa kaku, kurang dinamis dan tidak mustahil akan di temukan persoalan yang tidak dapat di terima secara psikis. Beberapa contoh pengambilan :
“Tidaklah engkau yang melempar ketika engkau melempar itu, Melainkan Allah-lah yang melempar.” (Al-Anfaal, ayat 17)
Menurut pendapat kaum sufi, ayat ini adalah dasar yang kuat sekali dalam hidup kerohanian. Beberapa soal besar dalam tingkat-tingkat perjuangan kehidupan dapat di simpulkan ke dalam ayat ini. Yang“melempar”bukanlah muhammad, melainkan Tuhan. Gerak dan gerik tidaklah ada pada kita melainkan dari Allah semata-mata.Kita bergerak dalam kehidupan ini hanyalah pada lahir belaka.Tidak ada yang terjadi kalau tidak izin Allah.Seorang hamba Allah dengan Tuhanya hanyalah laksana sebuah Qalam dalam tangan seorang penulis.Menulis di gerakan saja. Yang di tuliskan tidak lain dari pada kehendak si penulis.
2.       Al-Hadits
      Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.[4] Dasar yang kedua ialah hadits Nabi terutama Hadits Qudsi, yaitu suatu hadits istimewa yang diterima oleh Nabi Muhammad, seakan-akan Tuhan sendiri yang bercakap dengan dia, sedang orang Islam biasa dapatlah membedakan bunyi Al-Quran, Hadits biasa atau Hadits Qudsi jika didengarnya.
B.      Kontak Kebudayaan Nasrani (Kristen), Hindu, Budha, Persia, Yunani dan Arab
Tasawuf yang sering kita temui dalam khazanah dunia islam, dari segi sumber perkembangannya, ternyata muncullah pro dan kontra, baik dikalangan muslim maupun dikalangan non muslim. Mereka yang kontra menganggap bahwa tasawuf islam merupakan sebuah faham yang bersumber dari agama-agama lain. Pandangan ini kebanyakan diwakili oleh para orientalis dan orang-orang yang banyak terpengaruh oleh kalangan orientalis ini.
Dengan tidak bermaksud untuk tidak melibatkan diri pada persoalan pro dan kontra itu, dalam tulisan ini, kami akan mempertengahkan paham tasawuf dalam tinjauan yang lebih universal karena tentang asal usul atau ajaran tasawuf, kini semakin banyak orang menelitinya. Kesimpulannya perbedaan paham itu disebabkan pada asal usul tasawuf tersebut.Sebagian beranggapan bahwa tasawuf berasal dari masehi (Kristen), sebagian lagi mengatakan dari unsur Hindu-Budha, Persia, Yunani, Arab, dan sebagainya. Untuk itulah, kami akan menguraikan asal usul tasawuf dalam konteks kebudayaan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah tasawuf yang ada di dunia islam terpengaruhi dengan konteks kebudayaan tersebut atau tidak.
1.      Unsur Nasrani (Kristen)
      Bagi mereka yang beranggapan bahwa tasawuf berasal dari unsur Nasrani, mendasarkan argumennya pada dua hal. Pertama, adanya interaksi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman islam. Kedua adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal ajaran  cara  mereka melatih jiwa dan mengasingkan diri dengan kehidupan Al-masih dan ajaran-ajarannya, serta dengan para rahib ketika sembahyang dan berpakaian.
      Orang Arab sangat menyukai cara kependetaan ketika mereka melakukan latihan (Riadhah) dan ibadah. Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf merupakan buah keNasranian pada zaman jahilliyah. Sementara itu, Goldziher berpandapat bahwa sikap Fakir dalam islam merupakan pengaruh dari Agama Nasrani. Goldziher membagi tasawuf menjadi dua : Pertama, asketisme. Menurutnya sekali pun telah terpengaruh oleh kependetaan kristen aliran ini lebih mengakar pada semangat Islam dan para ahli sunnah. Kedua, Tasawuf dalam arti lebih jauh lagi, seperti pengenalan kepada Tuhan (Ma’rifat), pendakian batin (Hal), intuisi (Wijdan) dan rasa (dzauq), yang terpengaruh oleh Agama Hindu disamping Neo-Platonisme.

2.      Unsur Hindu-Budha
Tasawuf dan system kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada tasawuf dan ajaran hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi, cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah satu maqamat sufiyah, yaitu al-Fana’ memiliki persamaan dengan ajaran tentang nirwana dalam agama Hindu. Menurut Harun Nasution, ajaran nirwana agama Budha mengajarkan umatnya untuk meninggalakan dunia dan memasuki hidup kontemplatif. Faham fana’yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwana. Goldziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Budha Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham, tokoh sufi yang muncul dalam sejarah umat Islam sebagai seorang putra mahkota dari Balkh yang kemudian mencampakkan mahkotanya dan hidup sebagai darwish. Goldziher menambahkan, para sufi belajar menggunakan tasbih sebagaimana yang dipakai oleh para pendeta Budha.


3.      Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani seperti Filsafat, telah masuk ke dunia islam pada akhir Daulah Amawiyah dan puncaknya pada masa Daulah Abbasiyah ketika berlangsung zaman penerjemahan filsafat Yunani.
Ajaran-ajaran tasawuf itu dimasuki oleh paham pemikiran Yunani.Misalnya, perkataan, “Apabila sudah baik, seseorang hanya memerlukan sedikit makan.Dan apabila sudah baik, hati manusia hanya memerlukan sedikit hikmat.”Ahli-ahli sejarah, seperti Syaufan menerangkan bahwa banyak bagian dari cerita “Seribu Satu Malam” berasal dari Yahudi.Orang-orang Yahudi meskipun menyerahkan dirinya sebagai orang Islam, mereka tidak mau meninggalakan agamanya, bahkan berusaha menarik orang-orang Islam untuk memeluk agamanya.
4.      Unsur Persia
 Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra.Namun belum ditemukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf.Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama manu danmazdaq; antara istilah hakikat Muhammad dan paham Hormuz dalam agama Zarathustra.
Sejak zaman klasik.Bahkan hingga saat ini.Terkenal dengan wilayah yang melahirkan sufi-sufi ternama.Dalam konsep ke-fana-an diri dalam universalitas.misalnya, salah seorang dari penganjurnya adalah seorang ahli mistik dari Persia yakni Bayazid dari bistam yang telah menerima dari gurunya. Abu Ali (dari Sind).
5.      Unsur Arab
Untuk melihat bagaimana tasawuf dari dunia Islam, pelacakan terhadap sejarah munculnya tasawuf dapat di jadikan dasar argumentasi munculnya tasawuf di dunia Islam.Untuk itulah, berikut ini di ketengahkan sejarah tumbuh dan berkembangnya Tasawuf di dunia Islam.Namun, mengingat kehadiran Islam bermula dari daratan Arab maka uraian tentang sejarah Tasawuf ini pun bermula dari tanah Arab.
Untuk melacakan sejarah perkembangan tasawuf, tidak hanya memperhatikan ketika tasawuf mulai dikaji sebagai sebuah ilmu, melainkan sejak zaman Rosulullah. Memang pada masa Rosulullah dan masa sebelum datangnya Agama Islam, Istilah “tasawuf” itu belum ada.





BAB IV
DASAR- DASAR QURANI DAN HADIS TENTANG AKLAK TASAWUF
A. Pengertian Tasawuf
Secara etimologi, pengertian tasawuf dapat dilihat menjadi beberapa macam pengertian, yaitu ;
  1. 1. Ahlu suffah (         ), yang berarti sekelompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam diserambi-serambi mesjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
  2. 2. Safa (      ), orang-orang yang mensucikan dirinya dihadapan Tuhan-Nya.
    1. 3. Shaf (     ), orang-orang yang ketika shalat selalau berada di shaf yang paling depan.
    2. 4. Shuf (      ), yang berarti bulu domba atau wool.
B. DASAR-DASAR QUR’ANI DAN HADIST TENTANG ILMU TASAWUF
Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang didalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik akidah, syarah maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara konstektual-rohaniah. Jika dipahami secara lahiriah saja, ayat-ayat Al-Qur’an akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis.
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya nanti melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya.
C.  Kiat/Cara-Cara Menentukan Ayat Ekspelisit dan Impilisit
Meskipun teks-teks Alquran pada mulanya adalah wahyu Tuhan yang transhistoris dan metahistoris, akan tetapi dalam perjalanan selanjutnya ia diturunkan kepada manusia dan untuk menjadi bacaan yang harus dipahami manusia. Kenyataan ini bagaimanapun telah merubah teks-teks suci tersebut menjadi teks-teks yang memasuki ruang dan waktu manusia. Dengan kata lain, Alquran tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan berdialog, merespon, dan berinteraksi dengan manusia yang telah eksis berikut segala sistem hidup yang dianut.
Secara historis ayat-ayat Alquran yang berjumlah lebih dari 6000 ayat dan dibagi dalam 114 surat tersebut diturunkan kepada masyarakat Arabia abad ke 7 M, dalam rentang waktu sekitar 23 tahun. Ayat-ayat tersebut tidak diturunkan sekaligus, tetapi melalui proses bertahap atau berangsur, berdasarkan kebutuhan yang relevan dengan peristiwa-peristiwa yang dihadapi Nabi. Seluruh surat dan ayat Alquran diturunkan dalam dua fase sejarah sosial yang berbeda. Dua fase ini dikenal dalam terminologi ‘ulum al-Quran sebagai Makkiyyah dan Madaniyyah.



BAB V
KLASIFIKASI TASWUF
A. Pengetian Tasawuf
            Arti tasawuf dan asal katanya menurut logat sebagaimana tersebut dalam buku Mempertajam Mata Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif :
  1. Berasal dari kata suffah (صفة)= segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu.
  2. Berasal dari kata sūfatun (صوفة)= bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang.
  3. Berasal dari kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا)= bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
  4. Berasal dari kata safa’ (صفا)= suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah.   
B.  Asal Usul Tasawuf
            Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya pengenalan tasawuf sudah ada dalam kehidupan Nabi saw., sahabat, dan tabi’in. Sebutan yang populer bagi tokoh agama sebelumnya adalah zāhid, ābid, dan nāsik, namun term tasawuf baru dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an asketis (kesederhanaan) atau para zāhid yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup ke-shaleh-an yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf, yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada dua Hijriah dan memasuki abad tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zāhid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zāhid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan perbincangan tentang masalah teoritis lainnya.
C. Esensi Tasawuf
            Ajaran tasawuf mengandung esensi etika yang berlandaskan padapembangunan moral manusia. Berbicara pembangunan moralitas,sebagaimana diketahui bersama bahwa dewasa ini peradaban dunia tengahmengalami krisis moralitas, dimana banyak fenomena menunjukkankekerasan dan kekejian yang dilakukan oleh manusia. Sehingga terjadidistorsi moral yang menyebabkan kehancuran dan kerugian manusia itusendiri.Pada konteks ini, tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi krisisspiritual yang berimbas pada distorsi moral.
Sebab pertama , tasawufsecara psikologis, merupakan hasil dari berbaga i pengalaman spiritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitasketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama. Kedua,kehadiran Tuhan dalam bentuk mistis dapat menimbulkan keyakinan yangsangat kuat. Ketiga, dalam tasawuf, hubungan dengan Allah di jalin atasdasar kecintaan. Dengan kata lain, moralitas yang menjadi inti ajaran tasawufmendorong manusia untuk memelihara dirinya dari menelantarkankebutuhan-kebutuhanspiritualitasnya.  
D. Muncul dan Berkembangnya Tasawuf
            Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi\'in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme. Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq.
E. Tujuan Tasawuf
            Secara umum, tujuan terpenting dari sufi ialah agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran “antara” dari tasawuf, yaitu :
  1. Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis.
  2. Tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode ­al-Kasyf al-Hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistimatis analitis.
  3. Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungnan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makan dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah menolong antara manusia yang telah menyatu dalam iradat Tuhan.



BAB VI
SISTEM NILAI BAIK DAN BURUk

A. Pengertian Baik dan Buruk
Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khayr (dalam bahasa Arab) yang artinya “ yang baik”, good; best (dalam bahasa Inggris) good = that which is morally right or acceptable sedangkan kebalikan Kata baik adalah buruk, kata buruk sepadan dengan kata syarra, kobikh dalam bahasa Arab dan evil ;bad dalam bahasa Inggris. Dikatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dan kepuasan, kesenangan, persesuaian, dan seterusnya1.Bila dihubungkan dengan akhlak, yang dimaksud dengan baik (sebut: akhlaq yang baik) menurut Burhanudin Salam adalah adanya keselarasan antara prilaku manusia dan alam manusia tersebut . Sementara itu, Ahmad Amin menyatakan bahwa perilaku manusia dianggap baik atau buruk bergantung pada tujuan yang dicanangkan oleh pelaku.

B. Ukuran Baik dan Buruk
Ukuran baik dan buruk yang dikenal dalam ilmu akhlak antara lain :
1. Nurani
Jiwa manusia memiliki kekuatan yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kekuatan tersebut dapat mendorongnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat buruk. Jiwanya akan merasa bahagia jika telah berbuat baik dan merasa tersiksa jika telah berbuat buruk. Kekuatan ini disebut nurani. Masing – masing individu memiliki kekuatan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan kekuatan ini dapat menyebabkan perbedaan persepsi tentang sesuatu yang dianggap baik dan yang dianggap buruk.
C. Aliran – aliran tentang Baik dan Buruk
Membicarakan baik dan buruk pada perbuatan manusia maka penentuan dan karakternya baik dan buruk perbuatan manusia dapat diukur melalui fitrah manusia.
Menurut Poedja Wijatna berhubungan dengan perkembangan pemikiran manusia dengan pandangan filsafat tentang manusia (Antropologi Metafisika) dan ini tergantung pula dari Metafisika pada umumnya.




 BAB VII
Baik dan buruk menurut akhlak tasawuf dalam alquran

A.      Pengertian
1.    Baik dan Buruk
Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khayr (dalam bahasa Arab) yang artinya “ yang baik”, good; best (dalam bahasa Inggris) good = that which is morally right or acceptable sedangkan kebalikan Kata baik adalah buruk, kata buruk sepadan dengan kata syarra, kobikh dalam bahasa Arab dan evil ;bad dalam bahasa Inggris. Dikatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dan kepuasan, kesenangan, persesuaian, dan seterusnya1.Bila dihubungkan dengan akhlak, yang dimaksud dengan baik (sebut: akhlaq yang baik) menurut Burhanudin Salam adalah adanya keselarasan antara prilaku manusia dan alam manusia tersebut . Sementara itu, Ahmad Amin menyatakan bahwa perilaku manusia dianggap baik atau buruk bergantung pada tujuan yang dicanangkan oleh pelaku.
B.       Ukuran Baik dan Buruk
Ukuran baik dan buruk yang dikenal dalam ilmu akhlak antara lain :
1.      Nurani
Jiwa manusia memiliki kekuatan yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kekuatan tersebut dapat mendorongnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat buruk. Jiwanya akan merasa bahagia jika telah berbuat baik dan merasa tersiksa jika telah berbuat buruk. Kekuatan ini disebut nurani. Masing – masing individu memiliki kekuatan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan kekuatan ini dapat menyebabkan perbedaan persepsi tentang sesuatu yang dianggap baik dan yang dianggap buruk.
2.      Rasio
Rasio merupakan anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia, yang membedakannya dengan makhluk lain. Dengan rasio yang dimiliki, manusia dapat menimbang mana perkara yang baik dan yang buruk. Dengan akalnya manusia dapat menilai bahwa perbuatan yang berakibat baik layak disebut baik dan dilestarikan, dan begitu sebaliknya. Penilaian rasio manusia akan terus berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan pengalaman – pengalaman yang mereka miliki.
3.      Adat
Adat istiadat yang berlaku dalam kelompok ataupun masyarakat tertentu menjadi salah satu ukuran baik dan buruk anggotanya dalam berperilaku. Melakukan sesuatu yang tidak menjadi kebiasaan masyarakat sekitarnya ataupun kelompoknya akan menjadi problem dalam berinteraksi. Masing – masing kelompok atau masyarakat tertentu memiliki batasan – batasan tersendiri tentang hal – hal yang harus diikuti dan yang harus dihindari. Sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat satu belum tentu demikian menurut masyarakat yang lain. Mereka akan mendidik dan mengajarkan anak-anak mereka untuk melakukan kebiasaan–kebiasaan yang mereka anggap baik dan melarang melakukan sesuatu yang tidak menjadi kebiasaan mereka.
4.      Pandangan Individu
Kelompok atau masyarakat tertentu memiliki anggota kelompok atau masyarakat yang secara individual memiliki pandangan atau pemikiran yang berbeda dengan kebanyakan orang di kelompoknya. Masing–masing individu memiliki kemerdekaan untuk memiliki pandangan dan pemikiran tersendiri meski harus berbeda dengan kelompok atau masyarakatnya. Masing–masing individu memiliki hak untuk menentukan mana yang dianggapnya baik untuk dilakukan dan mana yang dianggapnya buruk. Tidak mustahil apa yang semula dianggap buruk oleh masyarakat, akhirnya dianggap baik, karena terdapat seseorang yang berhasil meyakinkan kelompoknya bahwa apa yang dianggapnya buruk adalah baik.
5.      Norma Agama
Seluruh agama di dunia ini mengajarkan kebaikan. Ukuran baik dan buruk menurut norma agama lebih bersifat tetap, bila dibandingkan dengan ukuran baik dan buruk dimata nurani, rasio, adat istiadat, dan pandangan individu. Keempat ukuran tersebut bersifat relatif dan dapat berubah sesuai dengan ruang dan waktu. Ukuran baik dan buruk yang berlandaskan norma agama kebenarannya lebih dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan, karena norma agama merupakan ajaran Tuhan Yang Maha Suci. Disamping itu, ajaran Tuhan lebih bersifat universal, lebih terhindar dari subyektifitas individu maupun kelompok.
C.      Aliran – aliran tentang Baik dan Buruk
Membicarakan baik dan buruk pada perbuatan manusia maka penentuan dan karakternya baik dan buruk perbuatan manusia dapat diukur melalui fitrah manusia.
Menurut Poedja Wijatna berhubungan dengan perkembangan pemikiran manusia dengan pandangan filsafat tentang manusia (Antropologi Metafisika) dan ini tergantung pula dari Metafisika pada umumnya.



BAB VIII
Hubungan ahlak tasawuf dengandengan berbagai bidang ke ilmuan
.             
A.    Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Kalam
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu ke Islaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah) sebagai contoh ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat  sama’ (mendengar), qudrah (kuasa), hayat (hidup), dan sebagainya.
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, seperti dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan sebab terkadang seseorang mengetahui batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja melaksanakannya. Allah SWT berfirman :
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

 “Orang-orang arab badui berkata, “kami telah beriman.” Katakanlah,”Kamu belum beriman, tetapi katakanlah,’kami telah berislam (tunduk).”karena iman itu belum masuk kedalam hatimu” (Qs Al-Hujurat [49] : 14)
B.     Hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu fiqih
Fiqih asal kata dari Fiqhi (faham), tegasnya ilmu cara memahamkan syari’at, hukum, larangan, dan suruhan, wajib dan haram.Biasanya pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari taharah (tata cara bersuci), kemudian persoalan-persoalan fiqih lainya. Namun, pembahasan ilmu fiqih tentang thaharah atau lainya tidak secara langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Padahal, thaharah akan terasa lebih bermakna jika disertai pemahaman rohaniahnya. Segala yang tersebut itu adalah mengenai Ilmu Zahir. Maka disamping itu dengan sendirinya timbulah ilmu bathin. Bukankah segala syari’at itu harus kita kerjakan dengan hati patuh? Dan siapa tuhan itu? Dan siapa kita? Kita disuruh mengerjakan yang baik dan dilarang mengerjakan yang jahat! Kita akan diberi pahala kalau mematuhi perintah dan menghentikan larangan! Tetapi apakah hubungan kita dengan tuhan itu hanya hubungan seorang majikan yang memberi gaji? Atau apakah hubungan kita itu lebih tinggi dari itu, yaitu karena cinta!
C.     Hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu filsafat
Dengan tasawuf yang artinya adalah pembersihan batin, jelaslah oleh kita sekarang dari mana dasar tempatnya dan kemana tujuannya. Yang berjalan dalam tasawuf adalah perasaan, sedang filsafat kepada fikiran. Sekarang tentu jelaslah perbedaan tasawuf dengan dengan filsafat, filsafat penuh dengan tanda tanya apa, bagaimana, darimana, dan apa sebab? Sedang tasawuf tidak.
 Seseorang tidak akan dapat memahami cacad yang ada pada suatu ilmu kecuali apabila dia telah memahami benar-benar ilmu tersebut dengan sempurna, paling tidak ia harus dapat menyamai seorang ahli yang paling banyak ilmunya dalam hal pokok-pokok dasar filsafat, selanjutnya dilampaui dan diatasinya ilmu itu, hal mana para ahli yang paling banyak pengetahuan itu telah banyak mengetahui mana-mana yang baik dan mana-mana yang buruk ilmunya itu.
D.    Hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu jiwa
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan agar tercipta keserasian diantara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dengan badan ini dikonsepsikan para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikkan manusia dengan dorongan yang dimuculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi dan hal itu menyebabkan mental seseorang menjadi kurang sehat karena jiwanya tidak terkendali.
Sementara cakupan golongan yang kurang sehat sangatlah luas, dari yang paling ringan sampai yang paling berat; dari orang yang merasa terganggu ketentraman hatinya hingga orang yang sakit jiwa. Gejala umum yang tegolong pada orang yang kurang sehat dapat dilihat dalam beberapa segi, antara lain :
1.      Perasaan, yaitu perasaan terganggu, tidak tentram, gelisah, takut yang tidak masuk akal, rasa iri, sedih yang tidak beralasan, dan sebagainya.
2.      Pikiran, gangguan terhadap kesehatan mental dapat pula memengaruhi pikiran, misalnya anak-anak menjadi bodoh disekolah, pemalas, pelupa, suka membolos, tidak dapat berkonsentrasi, dan sebagainya
3.      Kelakuan, pada umumnya kelakuannya tidak baik, seperti nakal, keras kepala, suka berdusta, menipu, menyeleweng, mencuri, menyiksa orang lain, membunuh, dan sebagainya, yang menyebabkan orang lain menderita dan haknya teraniaya.
4.      Kesehatan, jasmaninya dapat terganggu bukan adanya penyakit yang betul-betul mengenai jasmani itu, tetapi sakit akibat jiwa yang tidak tentram. Penyakit ini disebut psikosomatik dan gejala yang sering terjadi seperti sakit kepala, lemas, letih, sering masuk angin, tekanan darah tinggi atau rendah, jantung, sesak nafas, sering pingsan (kejang), bahkan sakit kepala yang lebih berat seperti lumpuh sebagian anggota badan, lidah kaku, dan sebagainya yang penting adalah penyakit jasmani ini tidak mempunyai sebab-sebab fisik sama sekali.



BAB IX
Ajaran ahklak tasawuf
Tasawuf adalah salah satu diantara khazanah tradisi dan warisan keilmuan islam yang sangat berharga. Tasawuuf merupakan konsepsi pengetahuan yang menekankan spiritualitas sebagai metode tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup manusia. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak  masa Rosulullah saw.
Pada awalnya tasawuf merupakan suatu penafsiran lebih lanjut atas tindakan dan perkataan Rosulullah saw yang sarat dengan dimensi sepiritualitas dan ketuhanan. Tasawuf tidak bisa di ketahui melalui metode-metode logis atau rasional. Pada zaman modern ini, tasawuf semakin menarik minat umat islam untuk mengamalkan ajaran tasawuf. Terutama ketika kemajuan zaman telah berdampak terhadap kekeringan jiwa manusia.
Adapun beberapa cara untuk merealisaikan dalam bertasawuf diantaranya : Takhalli (pengkosongan diri terhadap sifat-safat tercela), Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) dan Tajalli (tersingkapnya tabir). Lebih jelasnya simak dalam pembasan dibawah ini .

A.TAKHALLI
Tkhalli atau penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan dirinya dekat dengan Allah haruslah menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Allah. Takhalli merupakan segi filosofis terberat, karena terdiri dari mawas diri, pengekangan segala hawa nafsu dan mengkosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Allah SWT.
Takhalli berarti mengkosongkan atau memersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu jahat. Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua : maksiat lahir dan batin. Maksiat batin yang terdapat pada manusia tentulah lebih berbahaya lagi, karena ia tidak kelihatan tidak seperti maksiat lahir, dan kadang-kadang begitu tidak di sadari. Maksiat ini lebih sukar dihilangkan.
Perlu diketahui bahwa maksiat batin itu pula yang menjadi penggerak maksiat lahir. Selama maksiat batin itu belum bisa dihilangkan pula maksiat lahir tidak bisa di bersihkan. Maksiat lahir Adalah segala maksiat tercela yang di kerjakan oleh anggota lahir. Sedangkan maksiat batin adalah segala sifat tercela yang dilakukan oleh anggota batin dalam hal ini adalah hati, sehingga tidak mudah menerima pancaran nur Illahi, dan tersingkaplah tabir (hijab) , yang membatasi dirinya dengan tuhan,
B.TAHALLI
Tahalli berarti berhias. Maksutnya adalah membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta pebuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak prilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam tau ketaan lahir maupun batin. Ketaatan lahir maksutnya adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan ketaatan batin seperti iman, ikhsan, dan lain sebagainya. Tahalli adalah semedi atau meditasi yaitu secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi.
Tahlli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang baik dapat dilalui, usah itu harus berlanjut terus ketahap berikutnya, yaitu tahalli. Pada perakteknya pengisian jiwa dengan sifat-sifat yang baik setelah dikosongklan dari sifat-sifat buruk, tidaklah berarti bahw jiwa harus dikosongkan terlbeih dahulu baru kemudian di isi . Akan tetapi, ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk, bersamaan dengan itu pula diisi dengan kebiasaan yang baik.
C.TAJALLI
Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli, seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian atau memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya.
Tajalli bermakna pecerahan atau penyngkapan. Suatu term yang berkembang di kalangan sufisme sebagai sebuah penjelamaan, perwujudan dari yang tuanggal, Sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan rahasia Allah, dan pencerahan hati hamba-hamba saleh.
Tajalli adalah tersingkapnya tirai penyekap dai alam gaib, atau proses mendapat penerangan dari nur gaib, sebagai hasil dari suatu meditasi. Dalam sufisme, proses tersingkapnya tirai dan penerimaan nur gaib dalam hati seorang mediator disebut Al-Hal, yaitu proses pengahayatan gaib yang merupakan anugrah dari Tuhan dan diluar adikuasa manusia.Tajalli berarti Allah menyingkapkan diri-Nya kepada makhluk-Nya. Penyingkapan diri Tuhan tidak pernah berulang secara sama dan tidak pernah pula berakhir. Penyingkapan diri Tuhan itu berupa cahaya baatiniyah yang masuk ke hati. Apabila seseorang bisa melalui dua tahap tkhalli dan tajalli maka dia akan mencapai tahap yang ke tiga, yakni tajalli, yang berarti lenyap tau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi atau fana` segala sesuatu kecuali Allah, ketika tampak wajah Allah. Tajalli merupakan tanda-tanda yang Allah tanamkan didalam diri manusia supaya Ia dapat disaksiakan. Setiap tajalli melimpahkan cahaya demi cahaya sehingga seorang yang menerimanya akan tenggelam dalam kebaikan. Jika terjadi perbedaan yang dijumpai dalam berbagai penyingkapan itu tidak menandakan adanya perselisihan diantara guru sufi. Masing-masing manusia unik, oleh karena itu masing-masing tajalli juga unik. Sehingga tidak ada dua orang yang meraskan pengalaman tajalli yang sama. Tajalli melampaui kata-kata.


BAB X
Maqomat dan akhwal dalam akhlak tasawuf
1.      Pengertian Ahwal
Ahwal adalah bentuk jama’ dari kata hal, yang berarti kondisi mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan hasil dari usahanya.Hal bersifat sementara, datang dan pergi ;datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalananya mendekati Tuhan.
Imam Al – Ghazali mengatakan “Hal adalah satu waktu di mana seorang hamba berubah karena ada sesuatu dalam hatinya.Seorang hamba pada saat tertentu hatinya dan pada saat yang lain hatinya berubah. Inilah yang disebut dengan hal”.

Ahwal yang dijumpai dalam perjalanan sufi
Ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain :
1.      Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan muraqabah)
Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat .Oleh karena itu , ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada (Muhasabah) dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah. Adapun mawas diri (Muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan sehari – hari telah sesuai atau malah menyimpang dari kehendak-Nya.
2.      Cinta (Mahabbah)
Cinta atau mahabbah merupakan salah satu pilar utama islam dan inti dari ajarannya.Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memerhatikan keindahan atau kecantikan.
Dalam pandangan Al-Junaidi, cinta didefinisikan sebagai “kecenderungan hati pada Allah Ta’ala, kecenderungan hati pada sesuatu karena mengharap ridha Allah tanpa merasa diri terbebani, atau menaati Allah dalam segala hal yang diperintahkan atau dilarang, dan rela menerima apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah.
3.      Berharap  (Raja’)
Raja’ berarti suatu sikap mental yang optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-Nya yang shaleh, karena ia yakin bahwa Allah itu Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun.
Imam al-Qusyairi mengatakan “Raja’ ialah terikat hati pada sesuatu yang diharapkan yang akan terjadi pada masa yang akan datang”.
Orang yang harapan dan penantianya menjadikanya berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiata.berarti harapanya bebar.Sebaliknya.jika kemaksiatan,harapanya sia-sia dan percuma.
Raja’ menuntut tiga perkara,yaitu :
a.       Cinta kepada apa yang diharapkanya.
b.      Takut harapanya itu hilang.
c.       Berusaha untuk mencpainya.
  Raja’ yang tidak disertai dengan tiga perkara itu,hanyalah ilusi atau hayalan.
4.      Khauf
Khauf menurut ahli sufi bararti suatu sikap mental takut kepada allah karena khawatir kurang sempurna pengabdian.Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Imam Al-Ghozali membagi khauf menjadi dua macam:
a.       Khauf karena khawatir kehilangan nikmat.Inilah yang mendorong orang untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempaynya.
b.      Khauf pada siksaan sebagai akibat perbuatan kemeksiatan.Khauf yang seperti inilah yang mendorong orang untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.
5.      Rindu (Syauq)
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yakni rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar.Lupa kepada Allah lebih berbahaya dari pada maut.Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan,kematian dapat berarti bertemu dengan Tuhan.
Abu Ali Daqaq mengatakan “Syauq adalah dorongan hati untuk bertemu dengan yang dicintai dan kuatnya dorongan sesuai dengan kuatnya cinta dan cinta baru berakhir  setelah melihat  dan bertemu.
6.      Intim (Uns)
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh kepada satu titik sentrum, yaitu Allah.Dalam pandangan sufi, sifat uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut:
“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang muda mudi.Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata – mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di mana pun berada. Akangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharan Allah.
Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.
2.     Maqamat
2.1Pengertian Maqamat
Maqamat bentuk jama’ dari kata maqam yang artinya station ( tahapan atau tingkatan), yakni tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi.Imam Al-Ghozali berkata “Maqam adalah beragam mu’amalat (interaksi) dan mujahaddah (perjuangan batin) yang dilakukan seorang hamba di sepanjang waktunya. Jika seorang hamba tersebut menjalankan salah satu dari maqam itu dengan sempurna maka itulah maqamnya hingga ia berpindah dari maqam itu menuju maqam yang lebih tinggi.
Maqam didapatkan melalui upaya mujahaddah dan riyadhah.Maqam itu tidak bisa didapatkan kecuali dengan beramal secara terus – menerus dan rutin serta dengan mengendalikan nafsu.


2.2  Maqam – Maqam dalam Tasawuf
Maqam yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri dari taubat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, dan tawakal.
1.      Taubat
Menurut Qamar Kailani dalam bukunya Fi At-Tasawufi Al-Islam, taubat adalah rasa penyesalan yang sungguh – sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa. Sementara Al-Ghazali mengklasifikasikan taubat pada tiga tingkatan :
a.       Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut kepada siksa Allah.
b.      BeralIh dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi.Dalam tasawuf, keadaan ini sering disebut “inabah”
c.       Rasa penyesalan yang dilakukan semata – mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut ‘aubah’.
Menurut sufi yang menyebabkan seseorang jauh dari Allah adalah karena dosa, dan dosa adalah sesuatu yang kotor.
2.      Zuhud
Secara harfiyah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat duniawi, atau meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Secara umum, zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.
Dilihat dari maksudnya, zuhud dibagi menjadi tiga tingkatan, pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga(tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada Allah.
Zuhud yang hakiki adalah meninggalkan dunia dari “lubuk hati”, meskipun bisa saja kemewahan dunia itu berada dalam genggaman kita. Karena, selama kita masih hidup di dunia, kita tetap membutuhkan harta meski sedikit untuk melangsungkan hidup kita, agar kita tidak mengemis pada orang lain.

3.      Faqr (Fakir)
Al-Faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Sebab, sikap mental ini akan menghindarkan seseorang dari keserakahan.
 Dengan demikian, pada prinsipnya, sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya pendisiplinan diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup. Pesan yang tersirat yang ada di dalam al-faqr adalah hati- hati terhadap pengaruh negatif yang diakibatkan olah keinginan kepda harta kekayaan.
4.      Sabar
Sabar,berarti sikap konsekuen dan konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah. Berani menghadapi kesulitan, tabah menghadapi cobaan selama perjuangan demi mencapai tujuan.
5.      Syukur
Syukur adalah ungkapan rasa terimakasih atas nikmat yang diterima. Syukur sangat diperlukan karena semua yang kita lakukan dan miliki di dunia adalah berkat karunia Allah. Allah-lah yang telah memberikan nikmat kepada kita, baik berupa pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamanan maupun nikmat-nikmat lainnya yang tidak terhitung jumlahnya.
Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jailani membagi syukur menjadi tiga macam, pertama dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Kedua, syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan ibadah sesuai perintah-Nya. Ketiga, syukur dengan hati.
6.      Rela ( Rida)
Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah kebaikan di balik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut.
Menurut Abdul Halim Mahmud, rida mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apapun yang disukai Allah.
7.      Tawakal
Tawakal adalah salah satu sifat manusia beriman dan ikhlas. Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan – kawasan hukum dan ketentuan.
Tawakal terbagi pada tiga derajat: tawakal, taslim, dan tafwidh. Tawakal adalah sifat orang – orang yang beriman, taslim adalah sifat para wali, sedangkan tafwidh adalah sifat orang benar – benar mengesakan. Orang yang bertawakal merasa tentram dengan janji Rabb-Nya. Orang yang taslim merasa cukup dengan ilmu-Nya. Adapun pemilik tafwidh rida dengan hukum-Nya.
3.     Perbedaan Ahwal dan Maqamat
Keterangan di atas menegaskan kepada kita bahwa maqam berbeda dengan hal. Menurut para sufi, maqam ditandai oleh kemapanan, sementara hal justru mudah hilang. Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih hati, bersenang – senang, rasa tercekam, rasa rindu, rasa gelisah, atau rasa harap.
Sesuai penjelasan di tersebut, hal adalah pemberian Allah. Ia bisa berubah dan hilang. Sedangkan maqam hanya bisa didapatkan dengan cara beramal, usaha, dan usaha keras yang dilakukan secara kontinyu tidak terputus, maqam bisa didapatkan oleh seorang hamba setelah ia membersihkan juwanya dari segala sesuatu yang bisa membuatnya melalaikan Tuhan.