BAB I
MENGENAL
AKHLAK TASWUF
A. PENGERTIAN
1. Ilmu Akhlak
Secara etimologi, kata akhlak
berasal dari bahasa Arab yakni isim
mashdar dari kata akhlaqa, yukhliqu,
ikhlaqan/ akhlaqan yang berarti kelakuan, tabi’at, dan watak dasar. Kata akhlaq
(أخلاق)
itu sendiri berasal dari bentuk jama’ sedangkan mufradnya adalah khuluq
(خلاق)
berarti budi pekerti. Kata akhlak itupun banyak ditemukan dalam ayat-ayat Al
Qur’an maupun al-Hadits seperti :
ان هذا الاّ
خلق الاوّلين (الشعراء : 137)
Artinya : (Agama kami) tidak lain hanyalah adat
kebiasaan yang dahulu.
(QS. As-Syu’ara : 137)
اكمل
المؤمنين ايمانا احسنهم خلقا (رواه الترمذى)
Artinya : Orang mukmin yang paling sempurna
keimanannya adalah orang yang sempurna budi pekertinya. (HR. At-Tirmidzi)
Adapun menurut Kamus
Arab-Indonesia Al Azhar karangan S. Askar, kata خُلْقٌ
و خُلُقٌ ج أخلاق berarti perangai, tabi’at, akhlak, adat,
beradab baik.
2. Tasawuf
Secara etimologi, kata tasawuf (التصوف)
berasal dari bahasa arab.
Pertama, dari kata Shuf artinya bulu
domba. Dulu orang-orang sufi (pakar tasawuf) biasanya memakai pakaian dari bulu
domba yang kasar sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian. Kedua, dari
Ahl Al-Suffah berarti orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari
Mekkah ke Madinah dan meninggalkan harta, rumah, dan tidak membawa apa-apa.
Karenanya mereka tinggal di serambi masjid dengan tidur diatas batu dengan
memakai pelana dan pelana itupun disebut Suffah.Ketiga, dari kata Shafi
atau Sufi yang berarti suci. Orang-orang ahli tasawuf adalah orang-orang
yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang berbau keduniawian. Keempat,
dari kata Sophia atau Sophos yang berasal dari bahasa Yunani,
berarti hikmat atau hikmah atau filsafat. Kelima, dari Saf berarti barisan. Karena pada saat itu
orang-orang sufi sering melaksanakan shalat di barisan pertama karena ingin
mendapatkan kemuliaan yang lebih utama.
B. RUANG LINGKUP ILMU
AKHLAK
a.
Membahas
tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan
itu tergolong baik ataupun buruk.
b.
Membahas
tentang upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau
hukum kepada perbuatan tersebut, yaitu apakah perbuatan tergolong baik atau
buruk.
c.
Membahas
tentang akhlak atau perbuatan yang
dilakukan atas kehendak dan kemauan sebenarnya dan yang telah menjadi sebuah
kebiasaan.
C.
SUMBER AJARAN TASAWUF
Dalam sumber ajaran Islam, Al Qur’an
dan Hadits juga terdapat ajaran
yang dapat membawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang
merupakan ajaran dasar dalam mistisisme ternyata ada didalam Al Qur’an dan
Hadits, seperti dalam QS. Al Baqarah : 186 berbunyi :
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya : “Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang
diri-Ku. Aku adalah
dekat. Aku mengabulkan seruan
orang memanggil jika ia panggil Aku.
D. HUBUNGAN ILMU AKHLAK dengan ILMU TASAWUF
Menurut Harun Nasution, ketika kita
mempelajari tasawuf ternyata pula
bahwa Al Qur’an dan Hadits mementingkan akhlak.
Masalah yang menonjol dalam tasawuf adalah ibadah dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah. Ibadah dalam Islam erat kaitannya dengan pendidikan akhlak.
Ibadah dalam Al Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, yakni orang yang berbuat baik dan jauh
dari yang tidak baik. Dapat dikatakan bahwa sebelum kita bertasawuf kepada
Allah (benar-benar mendekatkan diri kepada Allah) kita diharuskan untuk merubah
dan memperbaiki akhlak (perbuatan) kita terlebih dahulu agar kita bisa
benar-benar melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.
E.
MANFAAT MEMPELAJARI AKHLAK TASAWUF
1.
Dengan
mempelajari akhlak tasawuf kita dapat menghindari kajian akhlak yang hanya
berada pada tataran pemikiran dan wacana yang tentu akan jauh untuk dapat
memberikan kesan tersendiri pada mahasiswa terutama untuk memiliki akhlak
mulia.
2.
Dengan
mengkaji akhlak tasawuf berguna untuk membatasi kajian salah satu aspek dalam
dunia tasawuf yakni tasawuf akhlaki, yang berarti menitikberatkan pada akhlaki
saja, bukan kepada tasawuf falsafi maupun amali.
3.
Dan yang
terpenting dari mempelajari akhlak tasawuf adalah cara membersihkan diri dari
sifat tercela, menghiasi diri dengan akhlak mulia dan cara mendekatkan diri
kepada Allah dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya.
BAB II
RUANG LINGKUP, TUJUAN DAN MANFAAT
MEMPELAJARI AKHLAK TASAWUF
A. Pengertian Ilmu Ahlak
At-tahawani (w.abad II H.), penyusun
kasysyaf ishthilahat al-Funun mendefinisikan ilmu akhlah yang di sebutnya
dengan ilmu-ilmu perilaku (ulum as-suluk )sebagai “pengetahuan tentang apa yang
baik dan tidak baik. Ada dua cara
yang dapat digunakan untuk memahami ilmu akhlak yaitu: pendekatan liguistik
(kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan).
Segi bahasa akhlak berasal dari
bahasa arab yaitu اقلك yang berarti as-sajiyah (perangai) ath-thabi’ah (kelakuan,
watak dasar) al-adat (kebiasaan) ke zalimanal-ma’ruah (peradaban yang baik) dan
al-din (agama). Kata akhlak jamak dari kata khuluq atau khulukun.
B. Ruang lingkup Pembahasan
Ilmu Akhlak dan Tasawuf
Pokok-pokok
yang di bahas dalam ilmu akhlak adalah intinya perbuatan manusia.Perbuatan
tersebut di tentukan kriterianya apakah baik atau buruk manusia.
Ciri-ciri
tingkah laku manusia yang membedakannya dengan mahluk lainnya:
1. Memiliki kepekaan
sosial. Artinya manusia mampu menyesuaikan tingkah lakunya dengan harapan dan
keinginan orang lain.
2. Memiliki
kelangsungan. Tingkah laku atau perbuatan seseorang tidak sepontan tetapi ada
hubungan antara perbuatan satu dengan yang lainnya.
3. Memiliki
orientasi pada tugas. Tiap-tiap tingkah laku manusia selalu mengarah kepada
suatu tugas tertentu, bahkan seseorang dengan sengaja pergi tidur malam
ternyata memiliki orientasi kepada tugas yang akan dikerjakan kepada esok
harinya.
Ahmad Aminmengatakan :”bahwa
objek ilmu akhlak adalah membahas perbuatan manusia yang selanjutnya perbuatan
tersebut di tentukan baik atau buruk”.Muhammad Ghazhali mengatakan
bahwa kawasan pembahasan ilmu akhlak adalah seluruh aspek kehidupan manusia,
baik sebagai individu maupun kelompok.
a. Ruang lingkup
ilmu akhlak
Objek pembahasan ilmu akhlak adalah
perbuatan manusia untuk selanjutnya diberikan penilain apakah baik atau buruk,
dan mempunyai ciri-ciri perbuatan yang dilakukan atas kehendak dan
kemauan, telah dilakukan secara kontinyu sehingga menjadi tradisi dalam
kehidupannya.
C.
Manfaat
Mempelajari Ilmu Akhlak
Mustafa Zahri, mengatakan bahwa
tujuan perbaikan akhlak itu adalah untuk membersihkan kalbu dari
kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci dan bersih,
bagaikan cermin yang dapat menerima nur illahi.
Seseorang yang mempelajari ilmu ini
akan memiliki pengetahuan tentang kriteria perbuatan baik dan buruk, dan
selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang
buruk.
Ilmua akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan
mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang yang
memiliki IPTEK yang maju disertai akhlak yang mulia, niscaya ilmu pengetahuaan
yang Ia miliki itu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup
manusia. Sebaliknya, orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern,
memiliki pangkat, harta, kekuasaan, namun tidak disertai dengan akhlak yang
mulia, maka semuanya itu akan disalah gunakan yang akibatnya akan menimbulkan
bencana dimuka bumi.
D. Hubungan
Ilmu Akhlaq dengan Ilmu-ilmu Lainnya
1. Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu Tauhid
Hubungan ilmu Akhlak dengan
ilmu Tauhid dapai dilhat dari analis berikut ini diantaranya :
a) Dilihat dari
segi obyek pembahasannya yaitu menguraikan masalah Tuhan baik dari segi zat,
sifat dan perbuatannya, dengan demikian Ilmu Tauhid akan mengarahkan perbuatan
manusia menjadi ikhlas, dan keihlasan itu merupakan salah satu akhlak mulia.
b) Dilihat dari
fungsinyayaituilmu Tauhid menghendaki agar
seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup menghafal rukun iman yang enam
dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang
bertauhid itu meniru dan menyontoh terhadap subyek yang terdapat dalam rukun
iman itu. Dengan demikian beriman kepada
rukun iman yang enam itu akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak
mulia.
Jadi jelas
bahwa ilmu tauhid sangat erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang
mulia.Dengan demikian dalam rangka pengembangan Ilmu akhlak, bahan-bahannya
dapat digali dari ajaran tauhid dan keimanan tersebut.
2. Hubungan antara ilmu akhlak dengan
ilmu tasawuf
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah
ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan
serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dann lain sebagianya.
yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkatkan diri kepada Allah,
ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya
dengan akhlak.
Dalam hubungan ini Harun
Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam islam erat sekali
hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Al-qur’an dikaitkan dengan
takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya,
yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik.Inilah yang
dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahimunkar, mengajakan orang pada
kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik.Tegasnya orang yang
bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia.Harun Nasution lebih lanjut
mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada
paembinaan akhlak mulia dalam diri mereka.
3.
Hubungan
antara ilmu akhlak dengan ilmu jiwa ( ilmu-nafs )
Ilmu jiwa suatu ilmu yang
menyelidiki bekas-bekas jiwa seseorang seperti: pengetahuan, perasaan dan
kemauannya, dan dalil bekas dan akibatnya mengambil faidah dari padanya.
Dengan lain
perkataan, ilmu jiwa sasarannya meneliti peranan yang dimainkan dalam perilaku
manusia. Karenanya dia meneliti tentang suara hati (dhamir), Kemauan (iradah),
daya ingatan, hafalan, dan pengertian, sangkaan yang ringan (waham) dan kecenderungan-kecenderungan(awathif)
manusia.
Itu semua
menjadi lapangan kerja jiwa, yang menggerakan manusia untuk berkata dan
berbuat.Oleh karena itu ilmu jiwa merupakan muqaddimah yang pokok sebelum
mengadakan kajian ilmu akhlak. Dikatakan oleh Prof. ahmad Luthfi,
tanpa dibantu oleh jiwa, orang tidak akan dapat menjabarkan dengan baik tugas
ilmu akhlaq”.
4. Hubungan ilmu Akhlak dengan logika ( ilmu manthiq )
Ilmu manthiq
( logic ) adalah pengetahuan yang menggariskan qaidah-qaidah dan undang-undang
berpikir, sehingga terpelihara manusia dalam berfikir. Jelasnya ilmu manthiq
itu untuk membersikan jiwa dan memperhalusnya supaya dapat berfikir secara
baik, mendidik pikiran dan menjaganya
agar terhindar dari kekeliruan dalam membuat suatu hukum yang didasarkan
kepada pikiran.
5. Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu estetika ( ilmu jamal )
Ilmu
estetika adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang manusia dari aspek kelezatan-kelezatan
yang ditimbulkan oleh sesuatu pemandangan yang indah dalam diri manusia.
Kebanyakan ahli ilmu mengatakan,
sangat erat hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu aestetika, tak obahnya
laksana hubungan antara paman dengan keponakannya di mana diatasnya bertemu
pada satu nasab atau keturunan. Hanya saja kalau ilmu akhlak yang menjadi
sasarannya dari segi perilaku ( suluk ) maka ilmu estetika sasarannya dari
segi kelezatan yang obyeknya tetap sama taitu diri manusia.
6. Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu sosiologi ( ilmu ijtima’)
Secara
etimologi Sosiologi berasal dari kata “Socius” yang berarti kawan dan “logos”
yang berarti ilmu pengetahuan.Jadi sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang
berkawan atau didalam arti luas, adalah ilmu pengetahuan yang berobyek hidup
bermasyarakat. Memang banyak pengertian (ta’rif) tentang sosiologi tentang,
antara lain yang dikemukakan oleh P.J. bouman, Samuel Smith dan CH. A.Ell wood,
tekanannya kepada“masyarakat“, bukan kepada “hidup bermasyarakat”. Kita lebih
tepat memakai pengertian yang memuat “hidup bermasyarakat”, karena
masyarakat tidak mempunyai arti yang tepat.Ada masyarakat dalam arti luas,
ialah kebulatan dari pada semua perhubungan didalam hidup
bermasyarakat.Sedangkan dalam arti sempit, ialah suatu kelompok manusia yang
menjadi tempat hidup bermasyarakat, tidak dalam aspeknya, tetapi dalam
berbagai-bagai aspek yang bentuknya tidak tertentu. Masyarakat dalam arti
sempit ini tidak mempunyai arti yang tertentu, misalnya: masyarakat mahasiswa,
masyarakat pedagang, masyarakat tani dan lain-lain.
Dikatakan
Ahmad Amin, bahwa pertalian antara Ilmu Sosiologi dengan Ilmu Akhlak erat
sekali. Kalau Ilmu Akhlak yang dikaji tentang prilaku (suluk) artinya perbuatan
dan tindakan manusia yang ditimbulkan oleh kehendak, dimana tidak bisa terlepas
kepada kajian kehidupan kemasyarakatan yang menjadi kajian Ilmu sosiologi.Hal
yang demikian itu dikarenakan manusia tidak mungkin melepaskan diri sebagai
makhluk bermasyarakat. Dimanapun seseorang itu hidup, ia tidak bisa memisahkan
dirinya lingkungan masyarakat dimana dia berada walaupun kadar pengaruh itu
relative sifatnya.
7. Hubungan antara akhlak dengan aqidah dan Iman
Sesungguhnya antara akhlak dengan
aqidah dan iman terdapat hubungan yang sangat kuat sekali, karena akhlak yang
baik itu sebagai bukti dari keimanan dan akhlak yang buruk sebagai bukti atas
lemahnya iman. Semakin sempurna akhlak
seseorang muslim berarti semakin kuat imannya. Akhlak yang baik adalah bagian
dari amal shaleh yang menambah keimanan dan memiliki bobot yang berat dalam
timbangan.Pemiliknya sangat dicintai oleh nabi SAW dan akhlak yang baik adalah
satu penyebab masuk jannahnya seseorang. Akhlak yang baik dalam muamalah dengan
Allah mencakup 3 perkara :
1. Membenarkan
berita-berita dari Allah
2. Melaksanakan
hukum-hukum-Nya
3. Sabar dan
ridha kepada takdirnya.
BAB
III
SEJARAH PERKEMBANGAN AKHLAK TASWUF
A.
Sumber Tasawuf Dalam Islam
Tasawuf pada awal
pembentukannya adalah akhlak atau keagamaan dan moral keagamaan yang a Tasawuf
adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Jadi
Sumber sumber dalam islam yaitu :
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an
merupakan kitab Allah SWT yang di dalamnya terkandung muatan muatan ajaran
Islam, baik akidah, syariah maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat ayat yang
termasuk dalam Al-Qur’an. Di satu sisi memang ada yang perlu di pahami secara
lahiriah tetapi di sisi lain ada juga yang perlu dipahami secara rohaniah.
Sebab, jika di pahami secara lahiriah ayat ayat Al-Qur’an akan terasa kaku,
kurang dinamis dan tidak mustahil akan di temukan persoalan yang tidak dapat di
terima secara psikis. Beberapa contoh pengambilan :
“Tidaklah engkau yang melempar
ketika engkau melempar itu, Melainkan Allah-lah yang melempar.” (Al-Anfaal,
ayat 17)
Menurut pendapat kaum sufi,
ayat ini adalah dasar yang kuat sekali dalam hidup kerohanian. Beberapa soal
besar dalam tingkat-tingkat perjuangan kehidupan dapat di simpulkan ke dalam
ayat ini. Yang“melempar”bukanlah muhammad, melainkan Tuhan. Gerak dan
gerik tidaklah ada pada kita melainkan dari Allah semata-mata.Kita bergerak
dalam kehidupan ini hanyalah pada lahir belaka.Tidak ada yang terjadi kalau
tidak izin Allah.Seorang hamba Allah dengan Tuhanya hanyalah laksana sebuah
Qalam dalam tangan seorang penulis.Menulis di gerakan saja. Yang di tuliskan
tidak lain dari pada kehendak si penulis.
2. Al-Hadits
Hadits adalah
segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama
Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an,
Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum
kedua setelah Al-Qur'an.[4] Dasar
yang kedua ialah hadits Nabi terutama Hadits Qudsi, yaitu suatu hadits istimewa
yang diterima oleh Nabi Muhammad, seakan-akan Tuhan sendiri yang bercakap
dengan dia, sedang orang Islam biasa dapatlah membedakan bunyi Al-Quran, Hadits
biasa atau Hadits Qudsi jika didengarnya.
B.
Kontak Kebudayaan Nasrani (Kristen),
Hindu, Budha, Persia, Yunani dan Arab
Tasawuf yang sering kita temui
dalam khazanah dunia islam, dari segi sumber perkembangannya, ternyata
muncullah pro dan kontra, baik dikalangan muslim maupun dikalangan non muslim.
Mereka yang kontra menganggap bahwa tasawuf islam merupakan sebuah faham yang
bersumber dari agama-agama lain. Pandangan ini kebanyakan diwakili oleh para
orientalis dan orang-orang yang banyak terpengaruh oleh kalangan orientalis
ini.
Dengan tidak bermaksud untuk
tidak melibatkan diri pada persoalan pro dan kontra itu, dalam tulisan ini,
kami akan mempertengahkan paham tasawuf dalam tinjauan yang lebih universal
karena tentang asal usul atau ajaran tasawuf, kini semakin banyak orang
menelitinya. Kesimpulannya perbedaan paham itu disebabkan pada asal usul
tasawuf tersebut.Sebagian beranggapan bahwa tasawuf berasal dari masehi
(Kristen), sebagian lagi mengatakan dari unsur Hindu-Budha, Persia, Yunani,
Arab, dan sebagainya. Untuk itulah, kami akan menguraikan asal usul tasawuf
dalam konteks kebudayaan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah
tasawuf yang ada di dunia islam terpengaruhi dengan konteks kebudayaan tersebut
atau tidak.
1. Unsur Nasrani (Kristen)
Bagi mereka yang beranggapan bahwa
tasawuf berasal dari unsur Nasrani, mendasarkan argumennya pada dua hal.
Pertama, adanya interaksi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa
jahiliyah maupun zaman islam. Kedua adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan
para asketis atau sufi dalam hal ajaran cara mereka
melatih jiwa dan mengasingkan diri dengan kehidupan Al-masih dan
ajaran-ajarannya, serta dengan para rahib ketika sembahyang dan berpakaian.
Orang Arab sangat menyukai cara
kependetaan ketika mereka melakukan latihan (Riadhah) dan ibadah. Von Kromyer
berpendapat bahwa tasawuf merupakan buah keNasranian pada zaman jahilliyah.
Sementara itu, Goldziher berpandapat bahwa sikap Fakir dalam islam merupakan
pengaruh dari Agama Nasrani. Goldziher membagi tasawuf menjadi dua : Pertama,
asketisme. Menurutnya sekali pun telah terpengaruh oleh kependetaan
kristen aliran ini lebih mengakar pada semangat Islam dan para ahli sunnah.
Kedua, Tasawuf dalam arti lebih jauh lagi, seperti pengenalan kepada Tuhan (Ma’rifat),
pendakian batin (Hal), intuisi (Wijdan) dan rasa (dzauq),
yang terpengaruh oleh Agama Hindu disamping Neo-Platonisme.
2. Unsur Hindu-Budha
Tasawuf dan system kepercayaan
agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Darwis Al-Birawi mencatat
adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada tasawuf dan
ajaran hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi, cara pelepasan
dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat
Allah.
Salah satu maqamat
sufiyah, yaitu al-Fana’ memiliki persamaan dengan
ajaran tentang nirwana dalam agama Hindu. Menurut Harun Nasution, ajaran nirwana agama
Budha mengajarkan umatnya untuk meninggalakan dunia dan memasuki hidup kontemplatif.
Faham fana’yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan
faham nirwana. Goldziher mengatakan bahwa ada hubungan
persamaan antara tokoh Budha Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham, tokoh
sufi yang muncul dalam sejarah umat Islam sebagai seorang putra mahkota dari
Balkh yang kemudian mencampakkan mahkotanya dan hidup sebagai darwish.
Goldziher menambahkan, para sufi belajar menggunakan tasbih sebagaimana
yang dipakai oleh para pendeta Budha.
3. Unsur
Yunani
Kebudayaan
Yunani seperti Filsafat, telah masuk ke dunia islam pada akhir Daulah Amawiyah
dan puncaknya pada masa Daulah Abbasiyah ketika berlangsung zaman penerjemahan
filsafat Yunani.
Ajaran-ajaran tasawuf itu
dimasuki oleh paham pemikiran Yunani.Misalnya, perkataan, “Apabila sudah baik,
seseorang hanya memerlukan sedikit makan.Dan apabila sudah baik, hati manusia
hanya memerlukan sedikit hikmat.”Ahli-ahli sejarah, seperti Syaufan menerangkan
bahwa banyak bagian dari cerita “Seribu Satu Malam” berasal dari
Yahudi.Orang-orang Yahudi meskipun menyerahkan dirinya sebagai orang Islam,
mereka tidak mau meninggalakan agamanya, bahkan berusaha menarik orang-orang Islam
untuk memeluk agamanya.
4. Unsur Persia
Sebenarnya Arab dan
Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran,
kemasyarakatan dan sastra.Namun belum ditemukan argumentasi kuat yang
menyatakan bahwa kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang
Persia itu terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf.Barangkali ada persamaan antara
istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama manu danmazdaq;
antara istilah hakikat Muhammad dan paham Hormuz dalam
agama Zarathustra.
Sejak zaman klasik.Bahkan
hingga saat ini.Terkenal dengan wilayah yang melahirkan sufi-sufi ternama.Dalam
konsep ke-fana-an diri dalam universalitas.misalnya, salah seorang dari
penganjurnya adalah seorang ahli mistik dari Persia yakni Bayazid dari bistam yang
telah menerima dari gurunya. Abu Ali (dari Sind).
5. Unsur Arab
Untuk melihat bagaimana
tasawuf dari dunia Islam, pelacakan terhadap sejarah munculnya tasawuf dapat di
jadikan dasar argumentasi munculnya tasawuf di dunia Islam.Untuk itulah, berikut
ini di ketengahkan sejarah tumbuh dan berkembangnya Tasawuf di dunia
Islam.Namun, mengingat kehadiran Islam bermula dari daratan Arab maka uraian
tentang sejarah Tasawuf ini pun bermula dari tanah Arab.
Untuk
melacakan sejarah perkembangan tasawuf, tidak hanya memperhatikan ketika
tasawuf mulai dikaji sebagai sebuah ilmu, melainkan sejak zaman Rosulullah. Memang pada masa Rosulullah dan masa sebelum datangnya Agama Islam, Istilah
“tasawuf” itu belum ada.
BAB IV
DASAR- DASAR QURANI DAN HADIS
TENTANG AKLAK TASAWUF
A. Pengertian Tasawuf
Secara etimologi, pengertian tasawuf dapat dilihat
menjadi beberapa macam pengertian, yaitu ;
- 1. Ahlu suffah ( ), yang berarti sekelompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam diserambi-serambi mesjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
- 2. Safa ( ), orang-orang yang mensucikan dirinya dihadapan Tuhan-Nya.
- 3. Shaf ( ), orang-orang yang ketika shalat selalau berada di shaf yang paling depan.
- 4. Shuf ( ), yang berarti bulu domba atau wool.
B. DASAR-DASAR QUR’ANI DAN HADIST TENTANG ILMU TASAWUF
Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang
didalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik akidah, syarah maupun muamalah.
Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam
Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an di satu sisi memang ada yang perlu dipahami
secara konstektual-rohaniah. Jika dipahami secara lahiriah saja, ayat-ayat
Al-Qur’an akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan
persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis.
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang
bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang
bersifat batiniah pada gilirannya nanti melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan
tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam yaitu
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya.
C. Kiat/Cara-Cara Menentukan Ayat Ekspelisit dan
Impilisit
Meskipun teks-teks Alquran pada
mulanya adalah wahyu Tuhan yang transhistoris dan metahistoris, akan tetapi
dalam perjalanan selanjutnya ia diturunkan kepada manusia dan untuk menjadi
bacaan yang harus dipahami manusia. Kenyataan ini bagaimanapun telah merubah
teks-teks suci tersebut menjadi teks-teks yang memasuki ruang dan waktu
manusia. Dengan kata lain, Alquran tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan
berdialog, merespon, dan berinteraksi dengan manusia yang telah eksis berikut
segala sistem hidup yang dianut.
Secara historis ayat-ayat Alquran
yang berjumlah lebih dari 6000 ayat dan dibagi dalam 114 surat tersebut
diturunkan kepada masyarakat Arabia abad ke 7 M, dalam rentang waktu sekitar 23
tahun. Ayat-ayat tersebut tidak diturunkan sekaligus, tetapi melalui proses
bertahap atau berangsur, berdasarkan kebutuhan yang relevan dengan
peristiwa-peristiwa yang dihadapi Nabi. Seluruh surat dan ayat Alquran
diturunkan dalam dua fase sejarah sosial yang berbeda. Dua fase ini dikenal
dalam terminologi ‘ulum al-Quran sebagai Makkiyyah dan Madaniyyah.
BAB
V
KLASIFIKASI
TASWUF
A. Pengetian Tasawuf
Arti tasawuf dan asal katanya menurut logat sebagaimana tersebut dalam
buku Mempertajam Mata Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad
ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif :
- Berasal dari kata suffah (صفة)= segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu.
- Berasal dari kata sūfatun (صوفة)= bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang.
- Berasal dari kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا)= bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
- Berasal dari kata safa’ (صفا)= suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah.
B. Asal
Usul Tasawuf
Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya pengenalan tasawuf
sudah ada dalam kehidupan Nabi saw., sahabat, dan tabi’in. Sebutan yang populer
bagi tokoh agama sebelumnya adalah zāhid, ābid, dan nāsik,
namun term tasawuf baru dikenal secara luas di kawasan Islam sejak
penghujung abad kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an
asketis (kesederhanaan) atau para zāhid yang mengelompok di
serambi masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih
mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan
mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup ke-shaleh-an yang demikian
merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan
pesatnya. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan
fase pertama perkembangan tasawuf, yang ditandai dengan munculnya
individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya
terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme
ini setidaknya sampai pada dua Hijriah dan memasuki abad tiga Hijriah sudah
terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke sufisme.
Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain
peralihan sebutan zāhid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun
waktu ini, percakapan para zāhid sudah sampai pada persoalan apa itu
jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan
perbincangan tentang masalah teoritis lainnya.
C. Esensi
Tasawuf
Ajaran
tasawuf mengandung esensi etika yang berlandaskan padapembangunan moral
manusia. Berbicara pembangunan moralitas,sebagaimana diketahui bersama bahwa
dewasa ini peradaban dunia tengahmengalami krisis moralitas, dimana banyak
fenomena menunjukkankekerasan dan kekejian yang dilakukan oleh manusia.
Sehingga terjadidistorsi moral yang menyebabkan kehancuran dan kerugian manusia
itusendiri.Pada konteks ini, tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi
krisisspiritual yang berimbas pada distorsi moral.
Sebab pertama , tasawufsecara psikologis,
merupakan hasil dari berbaga i pengalaman spiritual dan merupakan bentuk dari
pengetahuan langsung mengenai realitas-realitasketuhanan yang cenderung menjadi
inovator dalam agama. Kedua,kehadiran Tuhan dalam bentuk mistis dapat
menimbulkan keyakinan yangsangat kuat. Ketiga, dalam tasawuf, hubungan
dengan Allah di jalin atasdasar kecintaan. Dengan kata lain, moralitas yang
menjadi inti ajaran tasawufmendorong manusia untuk memelihara dirinya dari
menelantarkankebutuhan-kebutuhanspiritualitasnya.
D. Muncul
dan Berkembangnya Tasawuf
Kenapa
gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi\'in? Kenapa tidak
muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf.
Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi
garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari
budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme. Tasawuf sebagai nomenklatur
sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak
dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya sudah
sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga
tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq.
E. Tujuan
Tasawuf
Secara umum, tujuan terpenting dari sufi ialah agar berada sedekat
mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf
secara umum, terlihat adanya tiga sasaran “antara” dari tasawuf, yaitu :
- Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis.
- Tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode al-Kasyf al-Hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistimatis analitis.
- Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungnan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makan dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah menolong antara manusia yang telah menyatu dalam iradat Tuhan.
BAB VI
SISTEM
NILAI BAIK DAN BURUk
A. Pengertian Baik dan Buruk
Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khayr (dalam bahasa Arab) yang artinya “ yang baik”, good; best (dalam bahasa Inggris) good = that which is morally right or acceptable sedangkan kebalikan Kata baik adalah buruk, kata buruk sepadan dengan kata syarra, kobikh dalam bahasa Arab dan evil ;bad dalam bahasa Inggris. Dikatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dan kepuasan, kesenangan, persesuaian, dan seterusnya1.Bila dihubungkan dengan akhlak, yang dimaksud dengan baik (sebut: akhlaq yang baik) menurut Burhanudin Salam adalah adanya keselarasan antara prilaku manusia dan alam manusia tersebut . Sementara itu, Ahmad Amin menyatakan bahwa perilaku manusia dianggap baik atau buruk bergantung pada tujuan yang dicanangkan oleh pelaku.
B. Ukuran Baik dan Buruk
Ukuran baik dan buruk yang dikenal dalam ilmu akhlak antara lain :
1. Nurani
Jiwa manusia memiliki kekuatan yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kekuatan tersebut dapat mendorongnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat buruk. Jiwanya akan merasa bahagia jika telah berbuat baik dan merasa tersiksa jika telah berbuat buruk. Kekuatan ini disebut nurani. Masing – masing individu memiliki kekuatan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan kekuatan ini dapat menyebabkan perbedaan persepsi tentang sesuatu yang dianggap baik dan yang dianggap buruk.
C. Aliran – aliran tentang Baik dan
Buruk
Membicarakan baik dan buruk pada perbuatan manusia maka penentuan dan karakternya baik dan buruk perbuatan manusia dapat diukur melalui fitrah manusia.
Menurut Poedja Wijatna berhubungan dengan perkembangan pemikiran manusia dengan pandangan filsafat tentang manusia (Antropologi Metafisika) dan ini tergantung pula dari Metafisika pada umumnya.
Membicarakan baik dan buruk pada perbuatan manusia maka penentuan dan karakternya baik dan buruk perbuatan manusia dapat diukur melalui fitrah manusia.
Menurut Poedja Wijatna berhubungan dengan perkembangan pemikiran manusia dengan pandangan filsafat tentang manusia (Antropologi Metafisika) dan ini tergantung pula dari Metafisika pada umumnya.
BAB
VII
Baik dan buruk menurut
akhlak tasawuf dalam alquran
A.
Pengertian
1. Baik dan Buruk
Dari segi bahasa baik adalah
terjemahan dari kata khayr (dalam bahasa Arab) yang artinya “ yang baik”, good;
best (dalam bahasa Inggris) good = that which is morally right or acceptable
sedangkan kebalikan Kata baik adalah buruk, kata buruk sepadan dengan kata
syarra, kobikh dalam bahasa Arab dan evil ;bad dalam bahasa Inggris. Dikatakan
bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dan
kepuasan, kesenangan, persesuaian, dan seterusnya1.Bila dihubungkan dengan
akhlak, yang dimaksud dengan baik (sebut: akhlaq yang baik) menurut Burhanudin
Salam adalah adanya keselarasan antara prilaku manusia dan alam manusia
tersebut . Sementara itu, Ahmad Amin menyatakan bahwa perilaku manusia dianggap
baik atau buruk bergantung pada tujuan yang dicanangkan oleh pelaku.
B.
Ukuran Baik dan Buruk
Ukuran baik dan buruk yang dikenal dalam ilmu akhlak
antara lain :
1.
Nurani
Jiwa manusia
memiliki kekuatan yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kekuatan tersebut dapat mendorongnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat
buruk. Jiwanya akan merasa bahagia jika telah berbuat baik dan merasa tersiksa
jika telah berbuat buruk. Kekuatan ini disebut nurani. Masing – masing individu
memiliki kekuatan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan kekuatan ini dapat
menyebabkan perbedaan persepsi tentang sesuatu yang dianggap baik dan yang
dianggap buruk.
2.
Rasio
Rasio
merupakan anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia, yang membedakannya
dengan makhluk lain. Dengan rasio yang dimiliki, manusia dapat menimbang mana
perkara yang baik dan yang buruk. Dengan akalnya manusia dapat menilai bahwa
perbuatan yang berakibat baik layak disebut baik dan dilestarikan, dan begitu
sebaliknya. Penilaian rasio manusia akan terus berkembang dan mengalami
perubahan sesuai dengan pengalaman – pengalaman yang mereka miliki.
3.
Adat
Adat
istiadat yang berlaku dalam kelompok ataupun masyarakat tertentu menjadi salah
satu ukuran baik dan buruk anggotanya dalam berperilaku. Melakukan sesuatu yang
tidak menjadi kebiasaan masyarakat sekitarnya ataupun kelompoknya akan menjadi
problem dalam berinteraksi. Masing – masing kelompok atau masyarakat tertentu
memiliki batasan – batasan tersendiri tentang hal – hal yang harus diikuti dan
yang harus dihindari. Sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat satu belum
tentu demikian menurut masyarakat yang lain. Mereka akan mendidik dan
mengajarkan anak-anak mereka untuk melakukan kebiasaan–kebiasaan yang mereka
anggap baik dan melarang melakukan sesuatu yang tidak menjadi kebiasaan mereka.
4.
Pandangan Individu
Kelompok
atau masyarakat tertentu memiliki anggota kelompok atau masyarakat yang secara
individual memiliki pandangan atau pemikiran yang berbeda dengan kebanyakan
orang di kelompoknya. Masing–masing individu memiliki kemerdekaan untuk
memiliki pandangan dan pemikiran tersendiri meski harus berbeda dengan kelompok
atau masyarakatnya. Masing–masing individu memiliki hak untuk menentukan mana
yang dianggapnya baik untuk dilakukan dan mana yang dianggapnya buruk. Tidak
mustahil apa yang semula dianggap buruk oleh masyarakat, akhirnya dianggap baik,
karena terdapat seseorang yang berhasil meyakinkan kelompoknya bahwa apa yang
dianggapnya buruk adalah baik.
5.
Norma Agama
Seluruh
agama di dunia ini mengajarkan kebaikan. Ukuran baik dan buruk menurut norma
agama lebih bersifat tetap, bila dibandingkan dengan ukuran baik dan buruk
dimata nurani, rasio, adat istiadat, dan pandangan individu. Keempat ukuran
tersebut bersifat relatif dan dapat berubah sesuai dengan ruang dan waktu.
Ukuran baik dan buruk yang berlandaskan norma agama kebenarannya lebih dapat
dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan, karena norma agama merupakan ajaran
Tuhan Yang Maha Suci. Disamping itu, ajaran Tuhan lebih bersifat universal,
lebih terhindar dari subyektifitas individu maupun kelompok.
C.
Aliran – aliran tentang Baik dan Buruk
Membicarakan
baik dan buruk pada perbuatan manusia maka penentuan dan karakternya baik dan
buruk perbuatan manusia dapat diukur melalui fitrah manusia.
Menurut Poedja Wijatna berhubungan dengan perkembangan pemikiran manusia dengan pandangan filsafat tentang manusia (Antropologi Metafisika) dan ini tergantung pula dari Metafisika pada umumnya.
Menurut Poedja Wijatna berhubungan dengan perkembangan pemikiran manusia dengan pandangan filsafat tentang manusia (Antropologi Metafisika) dan ini tergantung pula dari Metafisika pada umumnya.
BAB
VIII
Hubungan
ahlak tasawuf dengandengan berbagai bidang ke ilmuan
.
A. Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu
Kalam
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu
ke Islaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan
kalam Tuhan. Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan
tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah) sebagai contoh ilmu tauhid
menerangkan bahwa Allah bersifat sama’ (mendengar), qudrah
(kuasa), hayat (hidup), dan sebagainya.
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan
iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya.
Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis
untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, seperti dijelaskan juga tentang
menyelamatkan diri dari kemunafikan sebab terkadang seseorang mengetahui
batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja melaksanakannya. Allah SWT
berfirman :
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُلْ
لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي
قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ
شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang arab badui berkata, “kami telah
beriman.” Katakanlah,”Kamu belum beriman, tetapi katakanlah,’kami telah
berislam (tunduk).”karena iman itu belum masuk kedalam hatimu” (Qs
Al-Hujurat [49] : 14)
B. Hubungan ilmu tasawuf
dengan ilmu fiqih
Fiqih asal kata dari Fiqhi (faham),
tegasnya ilmu cara memahamkan syari’at, hukum, larangan, dan suruhan, wajib dan
haram.Biasanya pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari taharah (tata
cara bersuci), kemudian persoalan-persoalan fiqih lainya. Namun, pembahasan
ilmu fiqih tentang thaharah atau lainya tidak secara langsung terkait dengan
pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Padahal, thaharah akan terasa lebih
bermakna jika disertai pemahaman rohaniahnya. Segala yang tersebut itu adalah
mengenai Ilmu Zahir. Maka disamping itu dengan sendirinya timbulah ilmu bathin.
Bukankah segala syari’at itu harus kita kerjakan dengan hati patuh? Dan siapa
tuhan itu? Dan siapa kita? Kita disuruh mengerjakan yang baik dan dilarang
mengerjakan yang jahat! Kita akan diberi pahala kalau mematuhi perintah dan
menghentikan larangan! Tetapi apakah hubungan kita dengan tuhan itu hanya
hubungan seorang majikan yang memberi gaji? Atau apakah hubungan kita itu lebih
tinggi dari itu, yaitu karena cinta!
C. Hubungan ilmu tasawuf
dengan ilmu filsafat
Dengan tasawuf yang artinya adalah
pembersihan batin, jelaslah oleh kita sekarang dari mana dasar tempatnya dan
kemana tujuannya. Yang berjalan dalam tasawuf adalah perasaan, sedang filsafat
kepada fikiran. Sekarang tentu jelaslah perbedaan tasawuf dengan dengan
filsafat, filsafat penuh dengan tanda tanya apa, bagaimana, darimana, dan apa
sebab? Sedang tasawuf tidak.
Seseorang tidak akan dapat memahami cacad yang
ada pada suatu ilmu kecuali apabila dia telah memahami benar-benar ilmu
tersebut dengan sempurna, paling tidak ia harus dapat menyamai seorang ahli
yang paling banyak ilmunya dalam hal pokok-pokok dasar filsafat, selanjutnya
dilampaui dan diatasinya ilmu itu, hal mana para ahli yang paling banyak
pengetahuan itu telah banyak mengetahui mana-mana yang baik dan mana-mana yang
buruk ilmunya itu.
D. Hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu
jiwa
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan
tentang hubungan jiwa dengan badan agar tercipta keserasian diantara keduanya.
Pembahasan tentang jiwa dengan badan ini dikonsepsikan para sufi untuk melihat
sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikkan manusia dengan dorongan yang
dimuculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi dan hal itu menyebabkan
mental seseorang menjadi kurang sehat karena jiwanya tidak terkendali.
Sementara cakupan golongan yang
kurang sehat sangatlah luas, dari yang paling ringan sampai yang paling berat;
dari orang yang merasa terganggu ketentraman hatinya hingga orang yang sakit
jiwa. Gejala umum yang tegolong pada orang yang kurang sehat dapat dilihat
dalam beberapa segi, antara lain :
1. Perasaan, yaitu
perasaan terganggu, tidak tentram, gelisah, takut yang tidak masuk akal, rasa
iri, sedih yang tidak beralasan, dan sebagainya.
2. Pikiran, gangguan
terhadap kesehatan mental dapat pula memengaruhi pikiran, misalnya anak-anak
menjadi bodoh disekolah, pemalas, pelupa, suka membolos, tidak dapat
berkonsentrasi, dan sebagainya
3. Kelakuan, pada
umumnya kelakuannya tidak baik, seperti nakal, keras kepala, suka berdusta,
menipu, menyeleweng, mencuri, menyiksa orang lain, membunuh, dan sebagainya,
yang menyebabkan orang lain menderita dan haknya teraniaya.
4. Kesehatan, jasmaninya
dapat terganggu bukan adanya penyakit yang betul-betul mengenai jasmani itu,
tetapi sakit akibat jiwa yang tidak tentram. Penyakit ini disebut psikosomatik
dan gejala yang sering terjadi seperti sakit kepala, lemas, letih, sering masuk
angin, tekanan darah tinggi atau rendah, jantung, sesak nafas, sering pingsan
(kejang), bahkan sakit kepala yang lebih berat seperti lumpuh sebagian anggota
badan, lidah kaku, dan sebagainya yang penting adalah penyakit jasmani ini
tidak mempunyai sebab-sebab fisik sama sekali.
BAB
IX
Ajaran
ahklak tasawuf
Tasawuf
adalah salah satu diantara khazanah tradisi dan warisan keilmuan islam yang
sangat berharga. Tasawuuf merupakan konsepsi pengetahuan yang menekankan
spiritualitas sebagai metode tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan dalam
hidup manusia. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa Rosulullah saw.
Pada
awalnya tasawuf merupakan suatu penafsiran lebih lanjut atas tindakan dan
perkataan Rosulullah saw yang sarat dengan dimensi sepiritualitas dan
ketuhanan. Tasawuf tidak bisa di ketahui melalui metode-metode logis atau
rasional. Pada zaman modern ini, tasawuf semakin menarik minat umat islam untuk
mengamalkan ajaran tasawuf. Terutama ketika kemajuan zaman telah berdampak
terhadap kekeringan jiwa manusia.
Adapun beberapa cara untuk merealisaikan dalam bertasawuf diantaranya : Takhalli (pengkosongan diri terhadap sifat-safat tercela), Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) dan Tajalli (tersingkapnya tabir). Lebih jelasnya simak dalam pembasan dibawah ini .
Adapun beberapa cara untuk merealisaikan dalam bertasawuf diantaranya : Takhalli (pengkosongan diri terhadap sifat-safat tercela), Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) dan Tajalli (tersingkapnya tabir). Lebih jelasnya simak dalam pembasan dibawah ini .
A.TAKHALLI
Tkhalli atau penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan dirinya dekat dengan Allah haruslah menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Allah. Takhalli merupakan segi filosofis terberat, karena terdiri dari mawas diri, pengekangan segala hawa nafsu dan mengkosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Allah SWT.
Takhalli berarti mengkosongkan atau memersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu jahat. Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua : maksiat lahir dan batin. Maksiat batin yang terdapat pada manusia tentulah lebih berbahaya lagi, karena ia tidak kelihatan tidak seperti maksiat lahir, dan kadang-kadang begitu tidak di sadari. Maksiat ini lebih sukar dihilangkan.
Perlu diketahui bahwa maksiat batin itu pula yang menjadi penggerak maksiat lahir. Selama maksiat batin itu belum bisa dihilangkan pula maksiat lahir tidak bisa di bersihkan. Maksiat lahir Adalah segala maksiat tercela yang di kerjakan oleh anggota lahir. Sedangkan maksiat batin adalah segala sifat tercela yang dilakukan oleh anggota batin dalam hal ini adalah hati, sehingga tidak mudah menerima pancaran nur Illahi, dan tersingkaplah tabir (hijab) , yang membatasi dirinya dengan tuhan,
Tkhalli atau penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan dirinya dekat dengan Allah haruslah menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Allah. Takhalli merupakan segi filosofis terberat, karena terdiri dari mawas diri, pengekangan segala hawa nafsu dan mengkosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Allah SWT.
Takhalli berarti mengkosongkan atau memersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu jahat. Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua : maksiat lahir dan batin. Maksiat batin yang terdapat pada manusia tentulah lebih berbahaya lagi, karena ia tidak kelihatan tidak seperti maksiat lahir, dan kadang-kadang begitu tidak di sadari. Maksiat ini lebih sukar dihilangkan.
Perlu diketahui bahwa maksiat batin itu pula yang menjadi penggerak maksiat lahir. Selama maksiat batin itu belum bisa dihilangkan pula maksiat lahir tidak bisa di bersihkan. Maksiat lahir Adalah segala maksiat tercela yang di kerjakan oleh anggota lahir. Sedangkan maksiat batin adalah segala sifat tercela yang dilakukan oleh anggota batin dalam hal ini adalah hati, sehingga tidak mudah menerima pancaran nur Illahi, dan tersingkaplah tabir (hijab) , yang membatasi dirinya dengan tuhan,
B.TAHALLI
Tahalli berarti berhias. Maksutnya adalah membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta pebuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak prilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam tau ketaan lahir maupun batin. Ketaatan lahir maksutnya adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan ketaatan batin seperti iman, ikhsan, dan lain sebagainya. Tahalli adalah semedi atau meditasi yaitu secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi.
Tahalli berarti berhias. Maksutnya adalah membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta pebuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak prilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam tau ketaan lahir maupun batin. Ketaatan lahir maksutnya adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan ketaatan batin seperti iman, ikhsan, dan lain sebagainya. Tahalli adalah semedi atau meditasi yaitu secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi.
Tahlli
merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli.
Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap
mental yang baik dapat dilalui, usah itu harus berlanjut terus ketahap
berikutnya, yaitu tahalli. Pada perakteknya pengisian jiwa dengan sifat-sifat
yang baik setelah dikosongklan dari sifat-sifat buruk, tidaklah berarti bahw
jiwa harus dikosongkan terlbeih dahulu baru kemudian di isi . Akan tetapi,
ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk, bersamaan dengan itu pula diisi
dengan kebiasaan yang baik.
C.TAJALLI
Setelah
seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli, seseorang
hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian atau
memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala selain
Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya.
Tajalli
bermakna pecerahan atau penyngkapan. Suatu term yang berkembang di kalangan
sufisme sebagai sebuah penjelamaan, perwujudan dari yang tuanggal, Sebuah
pemancaran cahaya batin, penyingkapan rahasia Allah, dan pencerahan hati hamba-hamba
saleh.
Tajalli
adalah tersingkapnya tirai penyekap dai alam gaib, atau proses mendapat
penerangan dari nur gaib, sebagai hasil dari suatu meditasi. Dalam sufisme,
proses tersingkapnya tirai dan penerimaan nur gaib dalam hati seorang mediator
disebut Al-Hal, yaitu proses pengahayatan gaib yang merupakan anugrah dari
Tuhan dan diluar adikuasa manusia.Tajalli berarti Allah menyingkapkan diri-Nya
kepada makhluk-Nya. Penyingkapan diri Tuhan tidak pernah berulang secara sama
dan tidak pernah pula berakhir. Penyingkapan diri Tuhan itu berupa cahaya
baatiniyah yang masuk ke hati. Apabila seseorang bisa melalui dua tahap tkhalli
dan tajalli maka dia akan mencapai tahap yang ke tiga, yakni tajalli, yang
berarti lenyap tau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur
yang selama itu tersembunyi atau fana` segala sesuatu kecuali Allah, ketika
tampak wajah Allah. Tajalli merupakan tanda-tanda yang Allah tanamkan didalam
diri manusia supaya Ia dapat disaksiakan. Setiap tajalli melimpahkan cahaya
demi cahaya sehingga seorang yang menerimanya akan tenggelam dalam kebaikan.
Jika terjadi perbedaan yang dijumpai dalam berbagai penyingkapan itu tidak
menandakan adanya perselisihan diantara guru sufi. Masing-masing manusia unik,
oleh karena itu masing-masing tajalli juga unik. Sehingga tidak ada dua orang
yang meraskan pengalaman tajalli yang sama. Tajalli melampaui kata-kata.
BAB
X
Maqomat
dan akhwal dalam akhlak tasawuf
1. Pengertian Ahwal
Ahwal adalah bentuk
jama’ dari kata hal, yang berarti kondisi mental atau situasi kejiwaan yang
diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan hasil dari usahanya.Hal
bersifat sementara, datang dan pergi ;datang dan pergi bagi seorang sufi dalam
perjalananya mendekati Tuhan.
Imam
Al – Ghazali mengatakan “Hal adalah satu waktu di mana seorang hamba berubah
karena ada sesuatu dalam hatinya.Seorang hamba pada saat tertentu hatinya dan
pada saat yang lain hatinya berubah. Inilah yang disebut dengan hal”.
Ahwal yang dijumpai
dalam perjalanan sufi
Ahwal
yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain :
1.
Waspada
dan Mawas Diri (Muhasabah dan muraqabah)
Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling
berkaitan erat .Oleh karena itu , ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan.
Waspada (Muhasabah) dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala
pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi
hormat, takut, dan tunduk kepada Allah. Adapun mawas diri (Muraqabah) adalah
meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan sehari – hari telah sesuai atau
malah menyimpang dari kehendak-Nya.
2. Cinta (Mahabbah)
Cinta atau mahabbah merupakan salah satu pilar utama
islam dan inti dari ajarannya.Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk
memerhatikan keindahan atau kecantikan.
Dalam pandangan Al-Junaidi, cinta didefinisikan
sebagai “kecenderungan hati pada Allah Ta’ala, kecenderungan hati pada sesuatu
karena mengharap ridha Allah tanpa merasa diri terbebani, atau menaati Allah
dalam segala hal yang diperintahkan atau dilarang, dan rela menerima apa yang
telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah.
3.
Berharap (Raja’)
Raja’ berarti suatu sikap mental yang optimisme dalam
memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-Nya yang shaleh,
karena ia yakin bahwa Allah itu Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun.
Imam al-Qusyairi mengatakan “Raja’ ialah terikat hati
pada sesuatu yang diharapkan yang akan terjadi pada masa yang akan datang”.
Orang yang harapan dan penantianya menjadikanya
berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiata.berarti harapanya
bebar.Sebaliknya.jika kemaksiatan,harapanya sia-sia dan percuma.
Raja’ menuntut tiga perkara,yaitu :
a.
Cinta kepada apa yang diharapkanya.
b.
Takut harapanya itu hilang.
c.
Berusaha untuk mencpainya.
Raja’ yang tidak disertai dengan tiga perkara itu,hanyalah ilusi atau
hayalan.
4.
Khauf
Khauf menurut ahli sufi bararti
suatu sikap mental takut kepada allah karena khawatir kurang sempurna
pengabdian.Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk
senantiasa berada dalam ketaatan.
Imam Al-Ghozali membagi khauf menjadi dua macam:
a. Khauf karena khawatir kehilangan nikmat.Inilah yang
mendorong orang untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada
tempaynya.
b. Khauf pada siksaan sebagai akibat perbuatan
kemeksiatan.Khauf yang seperti inilah yang mendorong orang untuk menjauh dari
apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.
5.
Rindu
(Syauq)
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam
lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yakni rindu ingin segera bertemu
dengan Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang
benar.Lupa kepada Allah lebih berbahaya dari pada maut.Bagi sufi yang rindu
kepada Tuhan,kematian dapat berarti bertemu dengan Tuhan.
Abu Ali Daqaq mengatakan “Syauq adalah dorongan hati
untuk bertemu dengan yang dicintai dan kuatnya dorongan sesuai dengan kuatnya
cinta dan cinta baru berakhir setelah
melihat dan bertemu.
6.
Intim
(Uns)
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani
terpusat penuh kepada satu titik sentrum, yaitu Allah.Dalam pandangan sufi,
sifat uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan
berikut:
“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah
orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti
halnya sepasang muda mudi.Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia
adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata
– mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di mana pun berada. Akangkah
mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam
pemeliharan Allah.
Sikap
keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.
2.
Maqamat
2.1Pengertian Maqamat
Maqamat bentuk jama’ dari kata maqam yang artinya
station ( tahapan atau tingkatan), yakni tingkatan spiritual yang telah dicapai
oleh seorang sufi.Imam Al-Ghozali berkata “Maqam adalah beragam mu’amalat
(interaksi) dan mujahaddah (perjuangan batin) yang dilakukan seorang hamba di
sepanjang waktunya. Jika seorang hamba tersebut menjalankan salah satu dari
maqam itu dengan sempurna maka itulah maqamnya hingga ia berpindah dari maqam
itu menuju maqam yang lebih tinggi.
Maqam didapatkan melalui upaya mujahaddah dan
riyadhah.Maqam itu tidak bisa didapatkan kecuali dengan beramal secara terus –
menerus dan rutin serta dengan mengendalikan nafsu.
2.2 Maqam – Maqam dalam Tasawuf
Maqam yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri dari
taubat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, dan tawakal.
1. Taubat
Menurut Qamar Kailani dalam bukunya Fi At-Tasawufi
Al-Islam, taubat adalah rasa penyesalan yang sungguh – sungguh dalam hati
disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan
dosa. Sementara Al-Ghazali mengklasifikasikan taubat pada tiga tingkatan :
a.
Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan
beralih pada kebaikan karena takut kepada siksa Allah.
b. BeralIh
dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi.Dalam
tasawuf, keadaan ini sering disebut “inabah”
c.
Rasa penyesalan yang dilakukan semata – mata karena
ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut ‘aubah’.
Menurut
sufi yang menyebabkan seseorang jauh dari Allah adalah karena dosa, dan dosa
adalah sesuatu yang kotor.
2.
Zuhud
Secara harfiyah zuhud berarti tidak ingin kepada
sesuatu yang bersifat duniawi, atau meninggalkan dunia dan hidup kematerian.
Secara umum, zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari
ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan
akhirat.
Dilihat dari maksudnya, zuhud dibagi menjadi tiga
tingkatan, pertama (terendah),
menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan
menimbang imbalan di akhirat. Ketiga(tertinggi),
mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada
Allah.
Zuhud yang hakiki adalah meninggalkan dunia dari
“lubuk hati”, meskipun bisa saja kemewahan dunia itu berada dalam genggaman
kita. Karena, selama kita masih hidup di dunia, kita tetap membutuhkan harta
meski sedikit untuk melangsungkan hidup kita, agar kita tidak mengemis pada
orang lain.
3.
Faqr (Fakir)
Al-Faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa
yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga
tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan benteng pertahanan
yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Sebab, sikap mental ini
akan menghindarkan seseorang dari keserakahan.
Dengan
demikian, pada prinsipnya, sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud.
Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan fakir
hanya pendisiplinan diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup. Pesan
yang tersirat yang ada di dalam al-faqr adalah hati- hati terhadap pengaruh
negatif yang diakibatkan olah keinginan kepda harta kekayaan.
4.
Sabar
Sabar,berarti sikap konsekuen dan konsisten dalam
melaksanakan semua perintah Allah. Berani menghadapi kesulitan, tabah
menghadapi cobaan selama perjuangan demi mencapai tujuan.
5.
Syukur
Syukur adalah ungkapan rasa terimakasih atas nikmat
yang diterima. Syukur sangat diperlukan karena semua yang kita lakukan dan
miliki di dunia adalah berkat karunia Allah. Allah-lah yang telah memberikan
nikmat kepada kita, baik berupa pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamanan
maupun nikmat-nikmat lainnya yang tidak terhitung jumlahnya.
Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jailani membagi syukur menjadi tiga
macam, pertama dengan lisan,
yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Kedua, syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara
melaksanakan ibadah sesuai perintah-Nya. Ketiga,
syukur dengan hati.
6.
Rela ( Rida)
Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa
yang dianugerahkan Allah SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah kebaikan di
balik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap
ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan
kemahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak mengeluh
dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut.
Menurut Abdul Halim Mahmud, rida mendorong manusia
untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.
Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan
cara apapun yang disukai Allah.
7.
Tawakal
Tawakal adalah salah satu sifat manusia beriman dan
ikhlas. Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah ‘Azza wa
Jalla, membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan –
kawasan hukum dan ketentuan.
Tawakal terbagi pada tiga derajat: tawakal, taslim, dan tafwidh. Tawakal
adalah sifat orang – orang yang beriman, taslim adalah sifat para wali,
sedangkan tafwidh adalah sifat orang benar – benar mengesakan. Orang yang
bertawakal merasa tentram dengan janji Rabb-Nya. Orang yang taslim merasa cukup
dengan ilmu-Nya. Adapun pemilik tafwidh rida dengan hukum-Nya.
3.
Perbedaan
Ahwal dan Maqamat
Keterangan
di atas menegaskan kepada kita bahwa maqam berbeda dengan hal. Menurut para
sufi, maqam ditandai oleh kemapanan, sementara hal justru mudah hilang. Maqam
dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat
diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih hati, bersenang –
senang, rasa tercekam, rasa rindu, rasa gelisah, atau rasa harap.
Sesuai
penjelasan di tersebut, hal adalah pemberian Allah. Ia bisa berubah dan hilang.
Sedangkan maqam hanya bisa didapatkan dengan cara beramal, usaha, dan usaha
keras yang dilakukan secara kontinyu tidak terputus, maqam bisa didapatkan oleh
seorang hamba setelah ia membersihkan juwanya dari segala sesuatu yang bisa
membuatnya melalaikan Tuhan.