BAB
I
PENDAHULUAN
Puji
dan Syukur saya panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan
baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini saya akan membahas
mengenai. Tasawuf dan perkembangannya.
Makalah ini telah dibuat dengan berbagai
observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan
tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini hususnya kepada Dosen Pembimbing Mata
Kuliah Tasawuf, yang telah memberi pengarahan terhadap penyusuanan makalah ini.
Saya
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasari pada makalah ini. Oleh
karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
dapat membangun saya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan
untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kelahiran Tasawuf
Secara
historis, tasawuf telah mengalami banyak
perkembangan melalui beberapa tahap sejak pertumbuhannya hingga sekarang. Pada
sejarah umat Islam, ada peristiwa tragis, yaitu terbunuhnya khalifah Usman bin
Affan. Dari peristiwa itu, terjadi kekacauan dan kemerosotan akhlak. Akhirnya
para ulama’ dan para sahabat yang masih ada, berpikir dan berikhtiar untuk
membangkitkan kembali ajaran Islam, mengenai hidup zuhud dan lain sebagainya. Inilah
yang menjadi awal timbulnya benih tasawuf yang paling awal.[1]
Tasawuf
mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari
gerakan zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak
persis dan pasti, corak tasawuf dapat dilihat dengan batasan-batasan waktu
dalam rentang sejarah sebagai berikut:
1. Abad Pertama dan Kedua Hijriyah
Fase abad
pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut
sebagai fase tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Adapun
ciri tasawuf pada fase ini adalah sebagai berikut:[2]
a.
Bercorak praktis (amaliyah)
Tasawuf pada fase ini lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti memperbanyak
ibadah, menyedikitkan makan minum,, menyedikitkan tidur dan lain
sebagainya. Amaliah ini menjadi lebih intensif terutama pasca terbunuhnya
sahabat Utsman. Para sahabat Nabi Saw digambarkan oleh Allah Swt sebagai orang
yang ahli rukuk dan sujud.
Menurut
Abd al-Hakim Hassan, abad pertama hijriyah terdapat dua corak kehidupan spiritual. Pertama, kehidupan spiritual
sebelum terbunuhnya Utsman dan kedua,
kehidupan spiritual pasca terbunuhnya Utsman. Kehidupan spiritual yang
pertama adalah Islam murni, sementara yang kedua adalah produk persentuhan
dengan lingkungan, akan tetapi secara prinsipil masih tetap bersandar pada
dasar kehidupan spiritual Islam pertama.
Peristiwa
terbunuhnya khalifah Utsman merupakan pukulan tersendiri terhadap perasaan kaum
muslimin. Betapa tidak, Utsman adalah termasuk kelompok pertama orang-orang
yang memeluk Islam (al-Sabiqun al-Awwalun), salah seorang yang
dijanjikan masuk surga, orang yang dengan gigih mengorbankan hartanya untuk
perjuangan Islam dan orang yang mengawini dua putri Nabi. Peristiwa Utsman
mendorong munculnya kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian politik
memilih tinggal di rumah untuk menghindari fitnah serta konsentrasi untuk
beribadah.
Al-Jakhid salah
seorang yang berkonsentrasi dalam ibadah yang juga salah seorang santri Ibn
Mas’ud berkata, “Aku bersyukur kepada Allah sebab aku tidak terlibat dalam
pembunuhan Utsman dan aku shalat sebanyak seratus rakaat dan ketika terjadi
perang Jamal dan Shiffin aku bersyukur kepada Allah dan aku menambahi shalat
dua ratus rakaat demikian juga aku menambahi masing-masing seratus rakaat
ketika aku tidak ikut hadir dalam peristiwa Nahrawan dan fitnah Ibn Zubair”.
b.
Bercorak kezuhudan
Tasawuf pada
pase pertama dan kedua hijriyah lebih tepat disebut sebagai kezuhudan.
Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak
ucapan dan tindakan Nabi Muhammad Saw yang mencerminkan kehidupan zuhud dan
kesederhanaan baik dari segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya
makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Secara logika pun
tidak masuk akal seandaikata Nabi Muhammad Saw yang menganjurkan untuk hidup
zuhud sementara dirinya sendiri tidak melakukannya. Kezuhudan para sahabat Nabi
SAW digambarkan oleh Hasan al-Bashri
salah seorang tokoh zuhud pada abad kedua Hijriyah sebagai berikut, ”Aku
pernah menjumpai suatu kaum (sahabat Nabi) yang lebih zuhud terhadap barang
yang halal dari pada zuhud kamu terhadap barang yang haram”.
Pada masa ini,
juga terdapat fenomena kezuhudan yang cukup menonjol yang dilakukan oleh
sekelompok sahabat Rasul yang di sebut dengan ahl al- Shuffah. Mereka tinggal di emperan masjid Nabawi di
Madinah. Nabi sendiri sangat menyayangi mereka dan bergaul bersama mereka.
Pekerjaan mereka hanya jihad dan tekun beribadah di masjid, seperti belajar,
memahami dan membaca al-Qur`an, berdzikir, berdoa dan lain sebagainya.
Menurut Abd
al-Hakim Hassan corak kehidupan spiritual Ahl
al-Shuffah sebenarnya bukan karena dorongan ajaran Islam, akan
tetapi corak itu didorong oleh keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan,
sehingga mereka tinggal di masjid. Keadaan itu nampak dari anjuran Rasul Allah
kepada sebagian sahabat yang berkecukupan agar memberikan makan kepada
mereka. Mereka (para sahabat) yang secara ekonomi berkecukupan dan tidak
melakukan sebagaimana ahl al-Shuffah
pun juga menjadi panutan bagi orang-orang bijak.
c.
Kezuhudan didorong rasa khauf
Khauf sebagai rasa takut akan siksaan Allah Swt sangat
menguasai sahabat Nabi Muhammad Saw dan orang-orang shalih pada abad pertama
dan kedua Hijriyah. Informasi al-Qur`an dan Nabi tentang keadaan kehidupan
akhirat benar-benar diyakini dan mempengaruhi perasaan dan pikiran mereka. Rasa
khauf menjadi semakin intensif terutama pada pemerintahan Umayah pasca
jaman kekhilafahan yang empat. Pada masa pemerintahan Umayah, khauf
tidak hanya sebatas sebagai rasa takut terhadap kedasyatan dan kengerian
tentang kehidupan diakhirat akan tetapi khauf juga berarti kekhawatiran yang
mendalam apakah pengabdian kepada Allah bakal diterima atau tidak.
Pada masa ini
pula, khauf menjadi sebuah pendekatan untuk mengajak orang lain
pada kebenaran dan kebaikan. Pendekatan indzar (menakut-nakuti) lebih
dominan dari pada pendekatan tabsyir (memberi kabar gembira). Semangat
kelompok keagamaan pada masa ini adalah penyebaran rasa takut kepada Allah,
kritik terhadap kehidupan yang melenceng jauh dari nilai-nilai keagamaan pada
masa Nabi dan dua khalifah sesudahnya dan memperbanyak ibadah.
Tokoh utama
keagamaan pada masa ini adalah Hasan al-Bashri. Bahkan para asketis yang
nantinya disebut sebagai para shufi
mengidentikkan pemerintah dengan kejahatan.
d.
Sikap zuhud dan rasa khauf berakar dari
nash (dalil Agama)
Al-Qur`an dan
al-Hadits memberikan informasi tentang kebenaran sejati hidup dan kehidupan.
Keduanya memberikan gambaran tentang perbandingan antara kehidupan dunia dan
kehidupan akhirat. Keduanya memberikan informasi tentang kengerian kehidupan
akhirat bagi orang-orang yang mengabaikan huum-hukum Allah. Selanjutnya
orang-orang mukmin benar-benar meyakini informasi itu. Dan keyakinan itu
melahirkan rasa khauf. Rasa khauf selanjutnya memunculkan sikap zuhud
yaitu sikap menilai rendah terhadap dunia dan menilai tinggi terhadap akhirat.
Dunia dijadikan sebagai alat dan lahan (mazraah) untuk mencapai
kebahagian abadi dan sejati yaitu akhirat.
e.
Sikap zuhud untuk meningkatkan moral
Cinta dunia
telah membuat saling bunuh dan saling fitnah antar sesama. Cinta dunia
menjadikan ketidaksalehan dalam ritual secara personal maupun sosial. Itulah
sebabnya Hasan al-Bashri sebagai salah seorang zahid dalam mengajak baik
masyarakat maupun pemerintah (para pemimpin kerajaan Umayah) selalu mengajak
untuk bersikap zuhud sebagaimana sikap ini menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari kehidupan sahabat Nabi yang setia.
f.
Sikap zuhud didukung kondisi
sosial-politik
Meski sikap
zuhud tanpa adanya keadan sosial politik tertentu masih tetap eksis lantaran
al-Qur`an dan perilaku serta perkataan Nabi Muhammad SAW mendorong untuk
bersikap zuhud, namun keadaan sosial politik yang kacau turut menyuburkan
tumbuhnya sikap zuhud.
Selama abad
pertama dan kedua hijriyah terutama setelah sepeninggal Rasul terdapat dua
sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan kekhalifahan (khilafah
nubuwah) dan sistem pemerintahan kerajaan (mulk). Pemerintahan
pertama berlangsung selama tiga puluh tahun sesudah Nabi Muhammad SAW yaitu
sejak permulaan kekhalifahan Abu Bakar hingga Ali bin Abi Thalib tepatnya dari
tahun 11 H/ 632 M. sampai dengan tahun 40 H./661 H. Mereka adalah para
pengganti Nabi yang berpetunjuk (al-khulafa` al-Rasidun). Sistem
pemerintahan yang pertama ini mekanisme penggantiannya melalui pemilihan.
Pemerintahan kedua sejak pemerintahan dinasti Umayyah tepatnya sejak tahun 41
H./661 M. Dan pemerintahan kedua ini mekanisme pengangkatan pemimpin tertinggi
melalui petunjuk atau wasiat penguasa berdasarkan pertalian darah.
Pemerintahan
kekhalifahan, dalam pandangan banyak orang muslim, suatu bentuk kesalihan dan
rasa tanggungjawab yang sangat dalam, sedangkan dinasti umayyah pada umumnya
hanya tertarik pada kekuasaan itu sendiri. Kecaman yang sering ditujukan pada
dinasti Umayyah adalah dinasti ini tidak menerapkan kebijakan untuk membuat
asas Islam sebagai dasar bagi keputusan-keputusan administratif, oleh karenanya
dinasti Umayyah lebih mementingkan politik dan menomorduakan agama. Mereka pada
umumnya dianggap menghamba duniawi dan kurang beriman. Menurut Abd al-Hakim
Hassan, pada abad pertama hijriyah terdapat dua corak
kehidupan spiritual. Pertama, kehidupan spiritual sebelum terbunuhnya Utsman
dan kedua, kehidupan spiritual pasca terbunuhnya Utsman.
Kehidupan spiritual yang pertama adalah Islam murni, sementara yang kedua
adalah produk persentuhan dengan lingkungan, akan tetapi secara prinsipil masih
tetap bersandar pada dasar kehidupan spiritual Islam pertama.
2. Fase Sebelum Terbunuhnya Khalifah Utsman
Kehidupan
spititual Islam sebelum terbunuhnya Utsman terhitung sejak masa Rasul dan masa
dua khalîfah sesudahnya yaitu khalîfah Abu Bakar dan Umar. Kehidupan spiritual
pada masa ini termasuk Islam murni. Ciri utamanya adalah amal untuk
merealisasikan dua kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagian besar sahabat Rasul
tidak mengalahkan akhirat untuk dunia atau sebaliknya. Pada masa ini,
terdapat fenomena kehidupan spiritual yang cukup menonjol yang dilakukan oleh
sekelompok sahabat Rasul yang di sebut dengan ahl al- Shuffah. Mereka
tinggal di emperan masjid nabawi di Madinah. Nabi sendiri sangat menyayangi
mereka dan bergaul bersama mereka. Pekerjaan mereka hanya jihad dan tekun
beribadah di masjid seperti belajar, memahami dan membaca al-Qur`an, berdzikir,
berdoa dan lain sebagainya.[3]
Kelompok ini
dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan
anggapan mereka adalah para sahabat Rasul dan kehidupan mereka adalah corak
Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari yang sering disebut sebagai
seorang sosial sejati dan sekaligus sebagai prototip fakir sejati, si miskin
yang tidak memiliki apapun tapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati harta-Nya
yang abadi, Salman al-Fartsi, seorang tukang cukur yang dibawa ke
keluarga Nabi dan menjadi contoh adopsi rohani dan pembaiatan mistik yang
kerohaniannya kemudian dianggap sebagai unsur menentukan dalam sejarah tasawuf
Parsi dan dalam pemikiran Syiah, Abu Hurairah, salah seorang perawi hadits yang
sangat terkenal adalah ketua kelompok ini, Muadz Ibn Jabal, Abd
Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik,
Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab
ibn al-Arut.
Menurut Abd
al-Hakim Hassan corak kehidupan spiritual Ahl al-Shuffah sebenarnya bukan
karena dorongan ajaran Islam, akan tetapi corak itu didorong oleh keadaan
ekonomi yang kurang menguntungkan, sehingga mereka tinggal di masjid.
Keadaan itu nampak dari anjuran Rasul Allah kepada sebagian sahabat yang
berkecukupan agar memberikan makan kepada mereka. Dan mereka (para sahabat)
yang secara ekonomi berkecukupan dan tidak melakukan sebagaimana ahl
al-Shuffah pun juga menjadi panutan bagi orang-orang bijak. Kesederhanaan
kehidupan Nabi juga diklaim sebagai panutan jalan para shufi.
Banyak ucapan
dan tindakan Rasul yang mencerminkan kehidupan zuhud dan
kesederhanaan baik dari segi pakaian ataupun makanan, meskipun
makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Hal itu berlangsung
hingga ahir hayat Rasul Allah. Secara logikapun tidak masuk akal seandaikata
Rasul yang menganjurkan untuk hidup zuhud dan sederhana sementara dirinya
sendiri tidak melakukannya
3.
Fase Pasca Terbunuhnya Khalifah
Utsman
Pasca
terbunuhnya khalifah Utsman, kehidupan spiritual mengalami perubahan
dibandingkan dengan masa sebelumnya. Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman
merupakan pukulan tersendiri terhadap perasaan kaum muslimin. Betapa tidak,
Utsman adalah termasuk kelompok pertama orang-orang yang memeluk Islam (al-Sabiqin
al-Awwalin), salah seorang yang dijanjikan masuk surga, dan orang yang
mengawini dua putri Nabi.
Peristiwa
Utsman mendorong munculnya kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian
politik memilih tinggal di rumah untuk menghindari fitnah serta konsentrasi
untuk beribadah. Sehingga al-Jakhid salah seorang yang berkonsentrasi dalam
ibadah yang juga salah seorang santri Ibn Mas’ud berkata, “Aku bersyukur kepada
Allah sebab aku tidak terlibat dalam pembunuhan Utsman dan aku shalat sebanyak
seratus rakaat dan ketika terjadi perang Jamal dan Shiffin aku bersyukur kepada
Allah dan aku menambahi shalat dua ratus rakaat demikian juga aku menambahi
masing-masing seratus rakaat ketika aku tidak ikut hadir dalam peristiwa
Nahrawan dan fitnah Ibn Zubair”.
Dengan demikian
pada masa ini mempunyai corak baru dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin.
Fenomena keagamaan itu ditandai dengan muncul para juru cerita (al-Qashshas)
baik di masjid-masjid ataupun di tempat khalayak ramai dan para qurra`
yaitu mereka yang membaca al-Qur,an dengan menangis. Markas utama para qurra
itu ada di Bashra.
4.
Fase Abad Kedua Hijriyah
Kehidupan
spiritual pada fase ini mempunyai ciri tersendiri. Konsep zuhud yang semula
berpaling dari kesenangan dan kemewahan dunia berubah menjadi pembersihan jiwa,
pensucian hati dan pemurnian kepada Allah. Latihan diri (al-riyâdlah)
sangat menonjol pada fase ini seperti menyepi (khalwah), bepergian
(siyâhah), puasa (al-shwm) dan menyedikitkan makan (qillah
al-tha’âm) bahkan sebagaian mereka tinggal di gua-gua. Menurut Ibn Khaldun,
orang yang mengkonsentrasikan beribadah pada fase ini mendapatkan julukan
al-Shufiyah atau al-Mutashawwifah.
Tema sentral
zuhud pada fase ini adalah tawakal dan ridlâ. Konsep tawakal dan ridlâ yang
terdapat dalam al-Qur`ân itu yang oleh para asketis sebelumnya dalam arti
etis berubah menjadi madzhab yang sangat ektrim. Itulah pada fase ini banyak
kalangan asketis (zâhid) melakukan perjalanan masuk ke hutan dengan
bertawakal tanpa bekal apapun dan mereka rela terhadap karunia apa saja yang
mereka terima.
Tokoh terkenal
madzhab tawakal adalah Ibrahim bin Adham (161 H/790 M). Ia meninggalkan
kehidupan kebangsawanan di Balkh ibu kota kaum Budish tempat ia dilahirkan.
Perkembangan doktrin tawakal ini pada perkembangannya mengarah kepada konsep
sentral shufi tentang hubungan manusia dan Tuhan, konsep ganda tentang
cinta dan rahmat melebur dalam suatu perasaan.
Nampaknya
Kehidupan spiritual pada fase ini terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh luar.
Cerita Malik ibn Dinar banyak diriwayatkan dari al-Masih, Taurat dan
pendeta. Kehidupan Ibrâhim ibn Adham menyerupai kehidupan Sidarta
Gautama, seorang peletak agama Budha. Adalah hal biasa seorang abid
kontak dengan para pendeta (râhib). Mereka saling tukar pengalaman
mengenai kebijaksanaan (al-hikmah, wisdom) dan cara-cara mujahadah.
Itulah sebabnya fase abad kedua hijriyah ini terutama pasca Hasan al-Bashri
dapat disebut sebagai fase transisi dari zuhud, yang puncaknya pada Hasan
al-Bashri menuju tasawuf yang dimulai sejak Râbiah al-Adawiyah. Fase ini juga kadang
disebut dengan fase kelompok para penangis (al-Bukkâ’un).
5.
Fase Abad III dan IV Hijrah
Apabila abad
pertama dan kedua Hijriyyah disebut fase asketisisme (kezuhudan), maka
abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi kerohanian yang
pada masa sebelumnya digelari dengan berbagai sebutan seperti zahid, abid, nasik, qari` dan
sebagainya, pada permulaan abad ketiga hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu
dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata-mata kebahagian
akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan
tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan
cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam
yang dicintai (fana fi al-mahbub). Kondisi ini tentu akan mendorong ke
persatuan dengan yang dicintai (al-ittihad). Di sini telah terjadi
perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.
Pada fase ini
muncul istilah fana, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu
kondisi dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik (al-hissiyat).
Ittihad adalah kondisi dimana seorang sufi merasa bersatu dengan
Allah sehingga masing-masing bisa memanggil dengan kata aku (ana). Hulul
adalah masuknya Allah ke dalam tubuh manusia yang dipilih.
Di antara tokoh
pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami (w.263 H.) dengan konsep
ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj (244-309 H) yang
lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya. al-Hallaj dilahirkan di
Persia dan dewasa di Iraq Tengah. Dia meghadapi empat tuduhan yang ahirnya
membawanya dieksekusi di tiang salib. Empat tuduhan yang dituduhkan kepadanya
adalah,
a. Hubungannya dengan kelompok
al-Qaramithah
b. Ucapannya ” أنا الحقّ (saya adalah
tuhan yang maha benar)
c. Keyakinan para pengikutnya
tentang ketuhanannya
d. Pendapatnya bahwa menunaikan
ibadah haji tidak wajib
Tokoh lainnya
adalah Dzunnun al-Mishri (w. 245 H) yang dikenal dengan pencetus ma’rifat. Dia
pernah belajar ilmu Kimia dari Jabir bin Hayyan. Dia juga dianggap orang yang
berbicara pertama kali tentang maqamat dan ahwal di Mesir, al-Hakim al-Tirmidzi
(w. 320 H) dengan konsep kewalian, Abu Bakar al-Sibli (w.334 H)
6. Fase Abad V Hihriyah
Fase ini
disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang
asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf
sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para
sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya
dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi (sunnah)
Nabi dan sahabatnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali
(w.505 H) atau yang lebih dikenal dengan al-Ghzali. Ia dilahirkan di Thus
Khurasan. Ia hidup dalam lingkungan pemikiran maupun madzhap yang sangat
hitorigen.
Al-Ghazali
dikenal sebagai pemuka madzhab kasyf dalam makrifat. Tentang kesunnian
al-Ghazali dikomentari oleh muridnya Abdul Ghafir al-Faritsi,”Ahirnya
al-Ghazali berkonsentrasi pada hadits Nabi al-Mushthofa dan berkumpul
bersama-sama ahli Hadits dan mempelajari kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih
al-Muslim Dia menerima tasawuf dari kelompok persia menuju tasawuf suuni.
Itulah sebabnya ia banyak menyerang filsafat Yunani dan menunjukkan
kelemahan-kelemahan aliran batiniyyah. Di antara buku karangannya adalah
Tahafut al-Falasifah, al-Munqidz Min al-Dlalal dan Ihya` Ulum al-Din.[4]
Tokoh lainnya
adalah Abu al-Qasim Abd al-Karim bin Hawazin Bin Abd al-Malik Bin Thalhah
al-Qusyairi atau yang lebih dikenal dengan al-Qusyairi (471 H),
al-Qusyairi menulis al-Risalah al-Qusyairiyah terdiri dari dua jilid.
7. Fase Abad VI Hijriyah
Fase ini
ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara
rasa (dzauq) dan rasio (akal), tasawuf bercampur dengan filsafat
terutama filsafat Yunani. Pengalaman–pengalaman yang diklaim sebagai persatuan
antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti
konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah
sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan
khayali.
Tokoh–tokoh
pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu
Arabi ( 560-638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi yang
dilahirkan pada tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh al-Akbar (Syekh
Besar). Di masa mudanya, ia pernah menjadi sekretaris hakim tingkat wilayah.
Sakit keras yang pernah dialami mengubah sikap hidup yang sangat drastis. Dia
menjadi seorang zahid dan abid. Dia menghabiskan waktunya di
beberapa kota di Andalusia dan di Afrika Utara untuk bertemu para guru sufi.
Umur tiga puluh tahun pindah ke Tunis kemudian ke Fas. Disini, Ibnu Arabi
menulis buku berjudul al-Isra Ila Maqam al-Asra (الإسراء إلى مقام الأسرى
). Kemudian pergi ke Kairo dan al-Quds yang kemudian diteruskan ke Makkah untuk
menunaikan ibadah haji. Ibnu Arabi beberapa tahun tinggal di Mekkah dan
disinilah ia menyusun kitab Taj al-Rasail dan Ruh al-Quds
dan pada tahun 598 H. Mulai menulis kitab yang sangat terkenal al-Futuhat
al-Makkiyyah. Ahirnya Ibnu Arabi tinggal di Damaskus dan menulis kitab Fushush
al-Hikam. Ibnu Arabi meninggal pada tahun 638 H.
Tokoh lainnya
adalah al-Syuhrawardi (549-587 H) dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia dihukum
bunuh dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan pada masa
pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi. Diantara kitabnya adalah Hikmat al-Israq.
Tokoh berikutnya adalah Ibnu Sab’in (667 H) dan Ibn al-Faridl (632 H).
Pada abad VI juga ditandai dengan munculnya tariqat yakni madrasah shufi yang
bertujuan membimbing calon shufi menuju pengalaman ilahi melalui teknik dzikir
tertentu. Oleh sebagian orang dikatakan bahwa munculnya taiqat adalah untuk
membantu orang-orang–awam agar ikut mencicipi tasawuf karena selama ini
pengalaman tasawuf hanya dialami oleh orang-orang tertentu saja (khawash).
Disamping itu kehadiran thariqat juga untuk memagari tasawuf agar senantiasa
berada dalam koridor syariat. Itulah sebabnya sistem thariqat sangat
ketat.
B.
Anggapan Adanya Pengaruh Ajaran
Non Islam
Kelahiran tasawuf
sendiri memiliki banyak versi. Secara historis, yang pertama
kali menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufidari Irak (w.150
H). Ada anggapan
bahwa lahirnya ilmu tasawuf bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya
tasawuf itu merupakan perpaduan dari bebagai ajaran agama.[5]
1. Pengaruh ajaran Kristen,
yaitu adanya tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang hidup menjauhi dunia dan mengasingkan diri di Padang
pasirArabia atau menempatibiara-biara.
2. Pengaruh ajaan Hindu dan Budha. Ajaran Hindu
banyak mendorong umatnya untuk meninggalkan kehidupan dunia untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhannya untuk mencapai Atman dengan Brahman. Ajaran
Budha tentang nirwana, untuk mencapainya seorang budha diwajibkan meninggalkan
kehidupan duniawi dan memasuki hidup kontemplasi.
Menjadi suatu yang signifikan bahwa pengaruh
dan mempengaruhi ajaran dalam suatu budaya merupakan suatu keniscayaan sebagai
tanda perkembangan dan kemajuan dalam berkomunikasi, akan tetapi yang paling
penting bukan karena adanya persamaan diantara budaya, ajaran lalu diponis
keduanya adalah sama. Meskipun ada persamaan antara
ajaran Hindu-Buddha dengan praktek bertasawuf dan bertarekat, tidak bisa
disebut sebagai suatu adopsi ajaran atau ajaran yang berasimilasi.
Dalam tasawuf dikenal dengan zuhud. Pengaruh filsaf atemanasiPlotinus, dalam
konsep emanasi dijelaskan bahwa Dzat Tuhan Yang Maha Esa-lah yang memancar dari dalam wujudini. Ruh berasal
dari Tuhan dan akan kembali kepada
Nya. Dalam tasawuf dikenal denganwahdatul wujud. Meskipun banyak persamaan dalam
pengaplikasiannya, namun tasawuf adalah murni dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Muhammad Saw mengalami perkembangan dengan menyesuaikan kebudayaan dalam
berbagai aspek kehidupan manusia.
C.
Lahirnya Tasawuf Bersamaan dengan Lahirnya Agama Islam
Anggapan yang kedua
adalah bahwa tasawuf atau sufisme itu lahir dari agama Islam sendiri. Halini bisa dilihat dari
ayat Al-Qur’an maupun hadits
tentang ajaran tasawuf. Dalam surat Al-Baqarah: 115 dijelaskan, “Dan kepunyaan
Allah-lah arah timur dan barat, maka kemanapun kalian mengarahkan (wajah
kalian), di situ ada wajah Allah”. Dalam ayat lain Allah juga menerangkan,
“Telah Kami ciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan olehnya.
Kami
lebih dekat kepada manusia ketimbang pembuluh darah yang ada pada lehernya”.
(Q.S. Qaff: 16). Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari juga
disebutkan hal serupa, yang artinya “Jika seorang hamba mendekatiKu
sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta, jka ia medekatiKu sehasta, niscaya
Aku akan mendekatinya sedepa, dan jika ia mendekatiKu datang dengan berjalan,
niscaya Aku akan mendatanginya dengan berlari”.
Selain
dalil di atas, masih banyak lagi ayat Qur’an maupun hadits baik secara ekplisit
maupun implisit yang dijadikan dasar tasawuf oleh para sufi. Oleh karena itu,
terlepas dari adanya pengaruh dari luar atau tidak, Islam sendiri mengajarkan
sufisme. Ini berarti kelahiran tasawuf bersamaan dengan lahirnya Islam sendiri.
D.
Perkembangan Tasawuf di
Indonesia
Islam
masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah yang
dibawa
oleh para pedagang dari luar, termasuk
dari Arab. Kemudian Islam di Indonesia mengalami pasang
surut seolah-olah menghilang beberapa abad lamanya. Tetapi, pada abad ke-11 M,
Islam menampakkan
kekuasaannya lagi di Indonesia lewat paham Syi’ah, kemudian pada abad ke-13 beruba lagi menjadi
aliran Syafi’iyah.[6]
Muncul pertanyaan, kapan tasawuf masuk ke Indonesia? Di Indonesia, tasawuf muncul
dalam bentuk Tarekat, misalnya Tarekat Qadiriyah berasal dari Baghdad,
Naqsabandiyah dar Turkistan, dan Sattariyah dari Makkah, berikut penulis akan
coba memaparkan beberapa tokoh tasawuf dari Indonesia, antara lain:
1.
Perkembangan Tasawuf di Pulau Jawa
Akhir abad ke XV Masehi, tepatnya pada tahun 1479 M,
berdirilah kerajaan Islam yang pertama di pulau Jawa (di Demak, Jawa Tengah),
dengan rajanya yang pertama adalah Raden Patah, maka tercatat dalam sejarah
bahwa semenjak itu pula tersebarnya ajaran tasawuf. Penyebaran agama Islam di
pulau Jawa, tidak terlepas dari usaha para wali yang dikenal dengan nama “Wali
Songo”, dengan menggunakan pendekatan mistik, yang di dalamnya diisi ajaran tasawuf.
Perkembangan tasawuf di Pulau Jawa, hampir sama pula
dengan keadaan yang dialami oleh masyarakat Islam di pulau lain, dimana mereka
dihadapkan kepada dua aliran tasawuf yang bertentangan; yaitu aliran Sunni (salaf)
dan aliran falsafi, sebagai aliran yang sudah berkembang di Jazirah Arabiyah
dan sekitarnya
dengan pengaruh filsafat Zoroaster dari Persia.
Ajaran tasawuf yang bercorak Sunni dan Falsafi di pulau
Jawa, tetap dianut oleh masyarakat. Tetapi pada perkembangan selanjutnya,
tasawuf yang bercorak falsafi inilah yang mengarah kepada aliran kebatinan,
sesuai kenyataan sekarang ini. Tentu saja aliran ini, sudah dimasuki oleh
unsur-unsur kepercayaan lain yang pernah dianut oleh masyarakat Jawa
sebelumnya. Sehingga mewujudkan suatu bentuk lain, yang disebut aliran
kebatinan dan kepercayaan. Tetapi aliran tasawuf yang beraliran sunni, tetap
dikembangkan oleh masyarakat muslim, dengan tidak meninggalkan unsur-unsur keislamannya.
BAB III
KESIMPULAN
Tasawuf
telah mengalami banyak perkembangan melalui beberapa tahap sejak pertumbuhannya
hingga sekarang. Pada sejarah umat Islam, ada peristiwa tragis, yaitu
terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Dari peristiwa itu, terjadi kekacauan dan
kemerosotan akhlak. Akhirnya para ulama dan para sahabat yang masih ada,
berfikir dan berikhtiar untuk membangkitkan kembali ajaran islam, mengenai
hidup zuhud dan lain sebagainya.
Adapun
ciri tasawuf pada fase ini adalah sebagai berikut :
a.
Bercorak
praktis ( amaliyah )
b.
Bercorak
kezuhudan
c.
Kezuhudan
didorong rasa khauf
d.
Sikap zuhud
dan rasa khauf berakar dari nash ( dalil Agama )
e.
Sikap zuhud
untuk meningkatkan moral
f.
Sikap zuhud
didukung kondisi sosial politik
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta : PT.
Rajagrapindo Persada, 2012.
Alwi Syihab, Islam Sufistik ; Islam Pertama dan
Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, Bandung : Mizan, 2001.
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2002.
Damanhuri Basyis, Ilmu Tasawuf, Banda Aceh
: [ t.tp ], 2005
Noer Iskandar Al Barsany, Tasawuf Tarekat Para
Sufi, Jakarta : PT Raja Persada, 2001.
Rosyid Anwar Solihin, Akhlak Tasawuf,
Bandung : Nuansa, 2005.
[1]Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), Hlm. 29.
[4] Alwi Syihab, Islam
Sufistik; Islam Pertama Dan Pengaruhnya Hingga Kini Di Indonesia, ( Bnadung
: Mizan,2001), Hlm 32.
[5] Noer Iskandar Al Barsany,
Tasawuf Tarekat Para Sufi, ( Jakarta : Pt. Raja Grapindo Persada, 2001),
Hlm 8-14.