makalah Tentang Islam dan Globalisasi



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Globalisasi membawa visi membangun kehidupan yang modern, yang akan memberikan kemudahan dalam kelangsungan hidup manusia. Secara praktis, manusia dibikin mudah oleh temuan modernitas; menciptakan kemungkinan bagi perbaikan taraf hidup manusia, mengangkat penderitaan fisik, dan meringankan beban berat manusia. Era ini (baca: Globalisasi) telah menghilangkan sekat pemisah bagi manusia disegala penjuru dunia, dimana setiap individu dapat mengakses secara mudah perkembagan dan penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak cepat dari hari ke hari.
Arus Globalisasi disertai juga oleh perubahan sosial yang begitu compleks.Komplekstias perubahan tersebut meliputi (hampir) seluruh dimensi kehidupan manusia.Tidak hanya pada dimensi ekonomi-politik (yang merupakan pintu masuk Globalisasi) tapi juga menyerang sisi kebudayaan suatu Negara tak terkecuali juga sisi keagamaan (religiousitas) masyarakat kita. Perubahan social yang begitu “dramatis” telah melanda kehidupan beragama kita dan merupakan persoalan baru dan tantangan tersendiri bagi sebuah Agama yang masih eksis di tengah-tengah kehidupan yang modern nan global.
Salah satu persoalan krusial sebagai dampak proses gloobalisasi yang terkait dengan kehidupan keagamaan adalah semakin menipisnya ruang “religousitas” dalam kehidupan manusia. Temuan-temuan empiric dan perkembangan pengetahuan menghadapkan kepada manusia (beragama) sebuah realitas akan kekuasaan manusia di muka semesta ini. Hal-hal yang seblumnya dianggap sebagai “misteri Tuhan” satu persatu, telah jatuh ke tangan manusia melalui eksperimentasi yang mereka lakukan.Maka tak ayal agama pun semakin kehilangan daya signifikansi dan perannya di tengah kehidupan manusia. Dan masih ada banyak permasalahan lagi yang timbul karena dampak proses Globalisasi. Hanya sekedar menyebutkan; ada permasalahan “dehumanisasi’ dalam bidang social, terbukanya pola “pasar bebas” dalam bidang ekonomi, tersebarnya praktik “demokrasi liberal” dalam bidang politik, dan ancaman lunturnya “kearifan lokal” dalam bidang kebudayaan. Tapi makalah ini tidak akan mengeksplor semua permasalahan-permasalahan tersebut, tapi akan lebih terkonsentrasi pada persoalan keagamaan.  
Tantangan keagamaan dewasa ini, terutama banyak mengarah kepada agama Islam yang merupakan agama dengan jumlah penganut terbanyak di dunia.Juga karena adanya persilangan Idology dan Paradigma dalam mmelihat muatan-muatan globalisasi yang saat ini tengah didominasi oleh peradaban Barat.Perselisihan antara Islam dengan Barat juga menjadi bagian yang telah memberikan warna tersendiri dalam era globalisasi.
Substansi penulisan makalah ini akan banyak berbicara seputar islam dan globalisasi. Dalam bab pembahasan, akan dibahas seputar definisi globalisasi secara umum, dan secara khusus akan dilihat dari perspektif Islam. Juga tentang benturan-benturan Islam dengan Barat (sebagai peradaban yang lebih dominan), dan penulis mencoba melihat posisi (reposisi) Islam, karena ini akan sangat berkaitan dengan eksistensi Islam di era Globalisasi.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Respon Muslim terhadap  Globalisasi
Globalisasi yang melanda dunia tidak hanya pada satu bidang saja, tetapi terdapat pada berbagai bidang.Seperti politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama. Globalisasi yang terjadi di berbagai bidang tentu saja akan memberi pengaruh dan membawa perubahan bagi dunia di masa yang akan datang.
Dalam era globalisasi saat ini, tentu akan terdapat perbedaan-perbedaan dalam peradaban. Perbedaan tersebut kadangkala dapat memicu terjadinya pertarungan.Namun, ada kalanya pertarungan peradaban tidak perlu dilakukan.Terlebih jika peradaban yang ada dapat hidup berdampingan, terjadinya dialog, dan saling memberi. Tetapi, tetap saja, kita sebagai umat muslim tidak boleh melupakan agenda besar dibalik globalisasi.
Pertarungan yang terjadi dapat berupa pertarunga ideology, dan perebutan pengaruh antara antara Islam dan Globalisasi.Globalisasi direpresentasikan melalui perdaban Barat dengan spirit modernitasnya, yang dalam banyak wilayah tidak sejalan dengan prinsip Islam.Sehingga dalam banyak perjalanan globalisasi, Islam kerap berbenturan dan atau bersilang pendapat dengan Barat.Dalam keadaan seperti ini Islam harus mampu menemukan jati dirinya ditengah menguatnya arus globalisasi yang mengancam kepunahan agama, tentunya agar Islam mampu bertahan hingga akhir zaman.
Benturan Islam dan Barat (globalisasi) merupakan isu yang selalu hangat diperbincangkan.Dengan latar belakang budaya dan ideologi yang khas di antara keduanya. Dan disinalah akan dikupas secara mendalam apakah keduanya bisa berjalan secara harmonis, bagaimana globalisasi dengan segala kekuatannya dan Islam yang memiliki setting dan alasan tersendiri yang berbeda keberadaannya.[1] Hal ini disebabkan karena sementara agama bertumpu pada apa yang disebut Rodulf Otto the Holy atau the sacred dan bersifat holistik, sedangkan globalisasi dengan segala prangkatnya yang bertumpu pada pandangan dunia sekuler yang justru menyisihkan segala bentuk sakralitas.
Islam adalah agama global dan universal. Tujuannya adalah menghadirkan risalah peradaban islam yang sempurna dan menyeluruh, baik secara spirit, akhlak maupun materi. Di dalamnya, ada aspek duniawi dan ukhrowi yang saling melengkapi.Keduanya adalah satu kesatuan yang utuh dan integral. Universalitas atau globalitas islam menyerukan kepada semua manusia, tanpa memandang bangsa, suku bangsa, warna kulit dan deferensiasi lainnya. Hal ini dijelaskan Allah SWT.dalam al-Qur’an,
÷bÎ)uqèdžwÎ)֍ø.ÏŒtûüÏHs>»yèù=Ïj9ÇËÐÈ
Artinya ;”Al-Qur’an itu hanyalah peringatan bagi seluruh alam”. (Qs. at Takwir:27)
Semenjak abad VII H., nabi Muhamad SAW.sudah menerapkan konsep globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya ketika beliau mengirim utusannya membawa surat-surat beliau kepada para raja dan para pemimpin di berbagai negara tetangga.Di antara para raja dan pemimpin itu adalah Raja Romawi dan Kisra Persia.Dengan demikian, ketika beliau wafat maka seluruh bangsa Arab sudah mampu meneruskan globalisasi yang telah dirintis oleh beliau. Perlu dipahami bahwa globalisasi islam berangkat dari kesatuan antara tataran konseptual dan tataran aktual, dan ini merupakan salah satu keistimewaan islam.
Bahkan menurut Fathi Yakan, globalisasi islam memiliki keistimewaaan-keistimewaan, yaitu: [2]
1)      Memiliki keseimbangan antara hak dan kewajiban
2)      Membangun suatu masyarakat yang adil dan memiliki kekuatan
3)      Memiliki landasan atau konsep kesetaraan manusia tanpa diskriminasi, baik status sosial, etnis, kekayaan, warna kulit dan sejenisnya
4)      Menjadikan musyawarah sebagai landasan sistem politik
5)      Menjadikan ilmu sebagai kewajiban bagi masyarakat untuk mengembangkan bakat-bakat kemanusiaan dan lain-lain
Globalisasi yang kita pahami adalah globalisasi islam. Dalam kerangka filosofis keumatan, kita harus memahami bahwa islam adalah aturan universal yang bisa menjangkau dunia. Ia bisa melampaui ruang dan waktu, dan tak terbatasi. Globalisasi islam adalah proses mengglobalkan nilai-nilai universalitas, seperti toleransi, kebersamaan, keadilan, kesatuan, musyawarah dan lain-lain.

B.     Modernisme Dan Reformasi Islam
“Modernisasi” secara etimologis berasal  dari kata modern yang telah baku menjadi bahasa Indonesia dengan arti pembaruan. Dalam masyarakat Barat “modernisme” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan lain  sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[3] Modernisasi atau pembaruan dapat diartikan apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh penerima pembaruan, meskipun bukan hal baru bagi orang lain. Dengan demikian modernisasi merupakan proses perubahan untuk memperbaiki keadaan, baik dari segi cara, konsep dan serangkaian metode yang bisa diterapkan dalam rangka mengantarkan keadaan yang lebih baik.
Sedangkan dalam kosakata Islam term “pembaruan” digunakan kata tajdid, kemudian muncul berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaruan, yaitu modernisme, reformisme, puritanisme, revivalisme dan fundamentalisme. Disamping kata tajdid, ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata “ishlah”. Kata “tajdid” biasa diterjemahkan sebagai “pembaruan” dan  “ishlah” sebagai “perubahan”. Kedua kata  tersebut  secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktik-praktiknya dalam komunitas kaum muslim.[4]
Berkaitan dengan hal tersebut, pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi ataupun merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam supaya sesuai dengan selera zaman,[5] melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan serta semangat zaman.[6]
Adapun penggunaan istilah “modernisasi”  atau “pembaruan” di dunia Islam oleh para ahli masih terdapat perbedaan pendapat, demikian pula dalam pemaknaan  dan isi pembaruan itu sendiri. Harun Nasution  menyebut pergulatan modernitas dan tradisi dalam dunia Islam melahirkan upaya-upaya pembaruan terhadap tradisi yang ada sebagai “Gerakan Pembaruan Islam”, bukan “Gerakan Modernisme Islam”. Menurutnya, modernisme memiliki konteks  sebagai gerakan yang berawal dari dunia Barat untuk menggantikan ajaran agama Katholik dengan sains dan filsafat modern yang berpuncak pada proses sekularisasi dunia Barat.[7]Sedangkan Azyumardi Azra lebih suka memakai istilah modern dari pada pembauran degan alasan bahwa penggunaan istilah pembaruan tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah. Pembaruan dalam dunia Islam  modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam kehidupan Muslim, sebaliknya yang sering terjadi adalah westernisasi dan sekularisasi. Dengan demikian harus kita pahami bahwa pembaharuan dalam tradisi Islam yang disebut konsep tajdid tidak sama dengan modernisasi dalam Islam.Yang diperlukan sekarang adalah usaha penggalian kembali konsep-konsep dalam Islam yang telah terkaburkan karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al-Qur’an dan al-Sunnah dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat.  Kesenjangan ini terjadi di antaranya disebabkan oleh ketidakmampuan menangkap semangat ajaran Al-Qur’an dan Sunnah dalam menghadapi  gerak dan perkembangan hidup manusia yang mengakibatkan pengamalannya menjadi padam dan ketiadaan ilmu yang cukup dapat berakibat pengamalan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah menyimpang dari semangatnya.[8]Dengan demikian antara tajdid (pembaruan)  dan  modernisasi di dunia Islam berbeda secara etimologis maupun konseptual, namun dalam praktiknya keduanya tidak terpisahkan. Perbedaan ini dapat kita telusuri dari segi historis lahirnya kedua istilah tersebut.
Ada beberapa komponen yang menjadi ciri suatu aktivitas dikatakan sebagai aktivitas pembaruan, antara lain: pertama,  baik pembaruan maupun modernisasi akan selalu mengarah kepada upaya perbaikan secara simultan, kedua, dalam upaya melakukan suatu pembaruan niscaya akan ada pengaruh yang kuat antara ilmu pengetahuan dan teknologi, ketiga, upaya pembaruan dilakukan juga dilakukan secara dinamis, inovatif, dan progresif sejalan dengan perubahan cara berpikir seseorang.[9]Ketiga komponen ini dalam pelaksanaannya selalu terkait tidak dapat dipisahkan.

C.    Fundamentalisme dan Radikalisme Islam
a.       Fundamentalisme
Istilah ‘ushuliyah’ (fundamentalisme) dengan makna yang populer dalam dunia media massa tersebut berasal dari Barat, dan berisikan pengertian dengan tipologi Barat pula. Sementara, istilah ‘ushuliyah’ dalam bahasa Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, mempunyai pengertian-pengertian lain yang berbeda dengan apa yang dipahami oleh wacana pemikiran Barat yang saat ini dipergunakan oleh banyak orang.[10]
Perbedaan pemahaman dan substansi dalam mempergunakan istilah yang sama, merupakan sesuatu yang sering terjadi dalam banyak istilah yang dipergunakan oleh bangsa Arab dan kaum muslimin, serta secara bersamaan dipergunakan pula oleh karangan Barat, padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda dalam melihat istilah yang sama itu. Hal ini banyak menimbulkan kesalahpahaman dan kekeliruan dalam kehidupan budaya, politik, dan media massa kontemporer yang padanya perangkat-perangkat komunikasi mencampuradukkan berbagai istilah yang banyak, yang sama istilahnya, namun berbeda-beda pengertian, latar belakang dan pengaruhnya.
Istilah yasar (kiri) misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan orang-orang upahan, orang-orang fakir, dan miskin, serta orang-orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan orang lain. Sementara, dalam pemahaman Arab dan Islam, istilah itu menunjukkan kepada orang-orang kaya raya, orang-orang yang berkecukupan, dan orang-orang yang menikmati kehidupan enak.
Istilah yamin (kanan) misalnya.Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan orang-orang kuno, terbelakang dan kaku.[11] Sementara, dalam wacana pemikiran Arab dan Islam, dipergunakan untuk menunjukkan keadaan orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, sehingga mereka datang kepada Tuhan mereka pada hari Perhitungan, memegang buku catatan berbuatan-perbuatan mereka yang baik dengan tangan kanan, atau juga bermakna kekuatan, ketegaran, dan ketenangan.
Oleh karena itu, Imam Abdul Hamid bin Badis (1307-1359 H) berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan do’anya, “Ya Allah jadikanlah aku di dunia termasuk kelompok orang-orang yasar (kiri) dan jadikanlah aku di akhirat termasuk kelompok orang-orang yamin (kanan)”. Tentunya sesuai dengan pemahaman pemikiran Islam, bukan pemahaman pemikiran Barat.
b.      Radikalisme Islam
Munculnya isu-isu politis mengenai radikalisme Islam merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk menjawabnya.Isu radikalismeIslam ini sebenarnya sudah lama mencuat di permukaan wacanainternasional.Radikalisme Islam sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia.[12]Banyak label label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan, fundamentalisme sampai terrorisme.Bahkan di negara-negara Barat pasca hancurnya ideology komunisme (pasca perang dingin) memandang Islam sebagai sebuah gerakan dari peradaban yang menakutkan. Tidak ada gejolak politik yang lebih ditakuti melebihi bangkitnya gerakan Islam yang diberinya label sebagai radikalisme Islam. Tuduhan-tudujan dan propaganda Barat atas Islam sebagai agama yang menopang gerakan radikalisme telah menjadi retorika internasional.
            Label radikalisme bagi gerakan Islam yang menentang Barat dan sekutu-sekutunya dengan sengaja dijadikan komoditi politik. Gerakan perlawanan rakyat Palestina, Revolusi Islam Iran, Partai FIS Al-Jazair, perilaku anti-AS yang dipertunjukkan Mu’ammar Ghadafi ataupun Saddam Hussein, gerakan Islam di Mindanao Selatan, gerakan masyarakat Muslim Sudan yang anti-AS, merebaknya solidaritas Muslim Indonesia terhadap saudara-saudara yang tertindas dan sebagainya, adalah fenomena yang dijadikan media Barat dalam mengkapanyekan label radikalisme Islam.Tetapi memang tidak bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kaum radikalisme Islam.
Menurut Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Ahmad Bagja, radikalisme muncul karena ketidakadilan yang terjadi di dalam masyarakat. Kondisi tersebut bisa saja disebabkan oleh negara maupun kelompok lain yang berbeda paham, juga keyakinan.[13]Pihak yang merasa diperlakukan secara tidak adil, lalu melakukan perlawanan.
Radikalisme tak jarang menjadi pilihan bagi sebagian kalangan umat Islam untuk merespons sebuah keadaan.Bagi mereka, radikalisme merupakan sebuah pilihan untuk menyelesaikan masalah.Namun sebagian kalangan lainnya, menentang radikalisme dalam bentuk apapun.
Sebab mereka meyakini radikalisme justru tak menyelesaikan apapun. Bahkan akan melahirkan masalah lain yang memiliki dampak berkepanjangan. Lebih jauh lagi, radikalisme justru akan menjadikan citra Islam sebagai agama yang tidak toleran dan sarat kekerasan.
            Cendekiawan Muslim, Nazaruddin Umar, mengatakan radikalisme sebenarnya tak ada dalam sejarah Islam. Sebab selama ini Islam tak menggunakan radikalisme untuk berinteraksi dengan dunia lain. ‘’Dalam sejarahnya, Nabi selalu mengajarkan umatnya untuk bersikap lemah lembut,’’ tegasnya.
            Ini berarti, jelas Nazaruddin, bahwa penyebaran ajaran Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad dilakukan dengan cara yang santun dan lemah lembut. Nabi mengajarkan untuk memberikan penghormatan kepada orang lain meski mereka adalah orang yang memiliki keyakinan yang berbeda.
            Nazaruddin menambahkan bahwa ajaran Islam yang masuk ke Indonesia juga dibawa dengan cara yang sangat damai. Pun penyebaran Islam yang terjadi di Negara lainnya. Ini sangat berbeda dengan negara-negara lain, terutama imperialis.

D.    Tradisionalisme Islam
Ketika berbicara mengenai masyarakat Islam tradisional, yang terbayang adalah sebuah gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang, masyarakat Islam yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak perubahan (anti progresivitas), konservatif (staid approach), dan diliputi oleh sikap taqlid. Mereka adalah kelompok yang membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-Ghazali dan ulama’ fiqh klasik, dan tokoh-tokoh sufipada zaman pertengahan Islam.[14]
Terma tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrational, pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan.Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen Agama melalui penafsiran terhadap kitab suci Agama secara rigid dan literalis.[15]
Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan.Menurut Achamad Jainuri, kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik dengan perubahan dalam pemikiran serta praktik Islam.
Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada tradisi.Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme.[16]Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau dan sudah diperaktekkan oleh komunitas Agama.
Di bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu ajaran yang berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim.Kaum tradisionalis di Indonesia adalah mereka yang konsisten dalam berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama’-ulama’ terdahulu dalam perilaku keberagamaannya.Konkritnya, memegang dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik madzhab empat.
Kaum tradisionalis meyakini Shari’ah sebagai hukum Tuhan yang dipahami dan dipraktekkan semenjak beberapa abad silam dan sudah terkristal dalam beberapa madhab fiqh.Dalam bahasa Fazlur Rahman, mereka lebih cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah diperaktekkan oleh ulama’ terdahulu.Mereka menerima prinsip ijtihad, akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum tradisional seperti qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.
Dalam masalah tareqah mereka menganggapnya sebagai dimensi terdalam dari ajaran Islam.Dalam masalah tarekat ini mereka merujuk kepada Imam al-Ghazali untuk dijadikan sebagai tokoh sentral, yang muncul pada abad ke-12/18, seperti ajaran yang disampaikan oleh al-Ghazali.
Howard Federspiel, mengartikan tradisionalisme di Indonesia sebagai paham yang mempertahankan nilai-nilai yang telah mapan di kalangan umat Islam penganut madhab Shafi’i. Kelompok ini, di Indonesia, muncul pada abad ke-20 sebagai perlawanan terhadap pandangan-pandangan kaum modernis.Sementara terma modernis menunjukkan pada kelompok yang merasionalkan segala bidang kehidupan, termasuk Agama, pengetahuan dan teknologi. Kelompok ini muncul pada abad ke-20, yang menyerukan reformasi bidang Agama dan menjadikan Islam sebagai senjata dalam melawan modernisasi di tengah-tengah masyarakat muslim.
Dalam konteks sosial-budaya, unsur-unsur yang terdapat pada Islam tradisional Indonesia meliputi adanya lembaga pesantren, peranan dan kepribadian kyai yang sangat menentukan dan kharismatik.Basis masa kaum tradisionalis semacam ini pada umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya Islam tradisionalis di Indonesia dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai dikatakan bahwa Islam tradionalis adalah Islam pedesaan.[
Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis. Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang kontroversial dengan yang konservatif, akan tetapi peran warna konservatifme sangat kuat sekali di tingkat lokal.[17]
Kaum tradisionalis sering digolongkan ke dalam organisasi sosial keagamaan terbesar bernama NU, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan pada tahun 1926 di Surabaya, oleh beberapa ulama’ pengasuh pesantren, di antaranya K.H. Hasyim Asy'ari (Tebu Ireng) dan K. Wahab Hasbullah (Tambak Beras).
Golongan tradisi banyak menghiraukan soal-soal ibdah belaka. Bagi mereka Islam seakan sama dengan fiqh, dan dalam hubungan ini mereka mengakui taqlid dan menolak ijtihad. Sikap ini sering menyebabkan mereka menjadi patuh buta, sebab imam madzhab fiqh atay kyai dianggap ma'sum, bebas dari kesalahan.Dalam situasi seperti itu Islam dan tafsiran tentangnya merupakan monopoli kyai belaka, sehingga fatwa kyai dianggap mutlak, final dan tidak dapat dipertanyakan lagi.

E.     Post-Tradisionalisme dan Liberlisme Islam
a.       Post Tradisionalisme Islam
Pemikiran Islam di Indonesia dalam seperempat abad terakhir telah mengalami kemajuan yang berarti melalui pengkayaan tema yang tidak bisa dibilang konservatf. Tema itu tidak lagi berputar-putar pada mata rantai teosentrik, melainkan telah memasuki ruang yang betul-betul bersifat  kultural, teologis –antroposentrik, dan filosofis-sosiologis, dimana pemikiran itu hadir. Ini tentu satu fase perkembangan baru yang membedakan dengan puluhan tahun sebelumnya yang memiliki kecenderungan kuat menjadikan Islam sebagai perjuangan politik ideologis di negeri ini, yang memaksa Islam harus dihadapkan dengan ideologi-ideologi lain seperti nasionalisme dan sosialisme.
Dari tema-tema itu terlihat kegairahan berfikir kritis dan “orisinal” melalui penawaran pemikiran baru yang signifikan dan bermutu, yang tidak saja mendinamisasi kinerja intelektual di Indonesia, melainkan juga bisa disejajarkan dengan pemikir islam lainnya dibelahan bumi ini. Satu hal yang menarik adalah, bahwa pemikiran keislaman tersebut lahir dan berkembang di dalam lingkungan iklim politik sosial dan Orde Baru.Padahal pada masa itu seperti yang kita tahu, tak seorang pun yang mengakui bahwa Orde Baru itu demokratis dan menyediakan ruang publik (public sphere) yang cukup bagi tumbuh-kembangnya budaya perbedaan pendapat.[18]
Postra kali pertama muncul ketika ISIS (Institute for Social and Institutional Studies), sebuah LSM yang dikelola anak-anak  muda NU di Jakarta, menyelenggarakan sebuah diskusi uuntuk mengamati munculnya gairah baru intelektual dikalangan anak muda NU pada Maret 2000 di Jakarta. Gema dari waca ini terus meluas terutama setelah LKiS menjadikan “postra” sebagai landasan ideologisnya dalam strategi planning pada Mei 2000 di Kaliurang Yogyakarta. Ideologi itu pula yang menjadi judul buku terjemahan Ahmed Baso atas sejumlah artikel Muhammad Abed Al-Jabiri.Sampai disini meskipun kata postra tersebar, namun belum ada tanggungjawab secara ilmiyah mengenai basis epistimologis istilah tersebut. Buku terjemahan Ahmad Baso, meskipun memakai kata “Post-Tradisionalisme Islam” namun didalamnya tidak menjelaskan sama sekali apa sebenarnya makna dari postra itu sendiri. Beberapa bulan kemudia beberapa aktivis ISIS, Muh.Hanif Dhakiri dan Zaini Rahmad memberi sedikit “muatan” dengan menerbitkan buku berjudul “Post-Tradisionalisme Islam, Menyingkap Corak dan Gerakan PMII. (Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000). ISIS kemudian menerbitkan sebuah bulletin yang diberinama “postra”.Wacan “postra” semakin matang ketika LAKPESDAM NU melakukan kajian yang agak serius mengenai tema ini dalam jurnal Taswirul Afkar No. 9 Tahun 2000. Setelah itu postra telah benar-benar menjadi waca public dan banyak diperbincangkan orang dalam berbagai diskusi, seminar, dan juga liputan media massa.
b.      Liberalisme Islam
Liberalisme, adalah sebuah istilah asing yang diambil dari bahasa Inggris, yang berarti kebebasan.Kata ini kembali kepada kata “liberty” dalam bahasa Inggrisnya, atau “liberte” menurut bahasa Perancis, yang bermakna bebas.[19]Istilah ini datang dari Eropa.Para peneliti, baik dari mereka ataupun dari selainnya berselisih dalam mendefinisikan pemikiran ini.Namun seluruh definisi, kembali kepada pengertian kebebasan dalam pandangan Barat. The World Book Encyclopedia menuliskan pembahasan Liberalism, bahwa istilah ini dianggap masih samar, karena pengertian dan pendukung-pendukungnya berubah dalam bentuk tertentu dengan berlalunya waktu.[20]
Syaikh Sulaiman al-Khirasyi menyebutkan, liberalisme adalah madzhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan individu.Madzhab ini memandang, wajibnya menghormati kemerdekaan individu, serta berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah ialah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat, seperti kebebasan berfikir, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan kepemilikan pribadi, kebebasan individu, dan sejenisnya.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Di abad dua puluh satu ini, kehidupan manusia seakan tidak berjarak dan terus menerus melakukan interaksi yang intensif secara global. Fakta ini mengantarkan manusia dalam meraih sederet perubahan sosial yang banyak dipengaruhi oleh proses globalisasi. Di banyak bidang termasuk agama, pengaruh globalisasi begitu kental.
Ada pengaruh yang baik dan juga pengaruh yang kurang baik, dan dalam keadaan ambiguitas yang demikian kehadiran agama dengan spirit keagamaan dan dengan mengusung norma-norma serta nilai-nilai agama begitu dibutuhkan denagn maksud agar kehidupan sosial manusia dapat bertahan dalam koridor-koridor yang telah di gariskan Tuhan melalui firmannya dalam kitab suci agama-agama.
Islam adalah salah satu agama yang masih eksis dan begitu besar penganut dan pengaruhnya dalam kehidupan global dewasa ini.Islam harus mampu mencipatakan “Islamisasi Peradaban”, dengan meraih kemajuan di bidnag ilmu pengetahuan. Dan tidak meciptakan “Islamofobia” yang hadir dengan wajah fundamentalis nan ektrem yang justru akan memojokkan posisi Islam di era ini. Dengan begitu, keyakinan akan eksistensi Islam sebagai agama hingga akhir zaman meski dalam fase hidup yang telah memasuki era yang mutakhir, akan terus tertanam dalam benak masyarakat dunia Muslim.
B.  Saran
Menurut saya, masih banyak hal-hal di Indonesia yang perlu diperbaiki demi menyambut era globalisasi.Bidang-bidang dasar seperti politik, ekonomi, sosial & budaya, serta hukum harus banyak mengalami perubahan mengarah kepada yang lebih baik.
Globalisasi tidak bisa kita hindari, tetapi kita perlu untuk tetap menanamkan pengamalan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 demi terciptanya Indonesia yang lebih maju namun tetap mempertahankan ciri ke-Indonesia-an-nya. Saya yakin meskipun secanggih-canggihnya perubahan zaman nanti, apabila kita tetap berpegang teguh terhadap kedua pedoman tersebut, maka kehidupan negara ini akan menjadi semakin baik kedepannya, amin

DAFTAR PUSTAKA
Arifullah. Moh, 2007, RekonstruksiCitra Islam di Tengah Ortodoksi Islam dan perkembangan Sains Kontemporer, Jakarta : Gaung Persada press
Esposito. Jhon L, 2010, Masa Depan Islam : Antara Tantangan Kemajmukan dan Benturan Dengan Barat, Bandung : Mizan Pustaka
Kartanegara. Mulyadhi (Ed), 2003, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta : Jendela
Lowy. Michael, 2003, Teologi Pembebasan, Yogyakarta : INSIST Press
Zaqzuq. Mahmud Hamdi, 2004, Reposisi Islam di Era Globalisasi, Yogyakarta : Pustaka Pesantren
Piliang. Yasraf Amir, 2011, Bayang-Bayang Tuhan Agama dan Imajinasi, Yogyakarta : Mizan Publika
Pribadi. Airlangga dan Yudhie Haryono, 2002, Post Islam Liberal, Jakarta : PT Gugus Press
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung  : Mizan, 1997), 181
John L. Espositi (ed.), Dinamika Kebangunan Islam : Watak, Proses, dan   Tantangan, terj. Bakri Siregar (Jakarta : Rajawali Press, 1987)
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, (Bandung : Mizan,1993)
Suwito dan Fauzan,2008. Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana.
Munir Mulkhan, 2000. Islam Murni dalam Masyarakat Petani .Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Zainuddin Maliki, 2004. Agama Priyayi, Yogyakarta: Pustaka Marwa.


[1]Yasraf Amir Piliang, Bayang-Bayang Tuhan Agama dan Imajinasi, (Yogyakarta : Mizan Publika, 2011), hal. 65
[2]Mulyadhi Kartanegara., Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), hal. 54
[3]Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung  : Mizan, 1997), hal. 181.
[4]John L. Espositi (ed.), Dinamika Kebangunan Islam : Watak, Proses, dan Tantangan, terj. Bakri Siregar (Jakarta : Rajawali Press, 1987), hal. 21-23.
[5]Hamzah Ya’qub, Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam, (Jakarta: Pustaka Ilmu Jaya, 1988), hal.7.
[6]M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali, 1998), hal. 3.
[7]Harun Nasution, Op. Cit,hal.  11
[8]Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, (Bandung : Mizan,1993), 256.
[9]Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana. 2008), hal. 162
[10]Jhon L Esposito., Masa Depan Islam : Antara Tantangan Kemajmukan dan Benturan Dengan Barat,(Bandung : Mizan Pustaka, 2010), hal. 76
[11]Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2004), hal. 54
[12]Moh Arifullah, RekonstruksiCitra Islam di Tengah Ortodoksi Islam dan perkembangan Sains Kontemporer, (Jakarta : Gaung Persada press, 2007), hal. 98
[13]Ibid., hal. 99
[14]Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hal. 43
[15]Ibid., hal. 44
[16]Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English Language Unabridged (Massachusetts, USA: G&C, 1966), 2422
[17]Zainuddin Maliki, Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), hal. 41
[18]Mahmud Hamdi Zaqzuq. Op. Cit., hal. 34
[19]MichaelLowy, Teologi Pembebasan, (Yogyakarta : INSIST Press, 2003), hal. 65
[20]Ahmad Azhar Basyir, Op. Citi., hal. 56