BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Jual beli telah disahkan oleh Al-qur’an, Sunnah, dan
Ijma’. Adapun dalil Al-qur’an adalah
QS. Al-Baqarah/2: 275: “Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengaharamkan riba”.
Mudharabah adalah akad kerja sama antara dua orang untuk
melakukan usaha yang mana orang yang pertama sebagai pemilik modal 100%,
sedangkan orang yang kedua adalah pengelolah modal yang hanya mengandalkan
leahlian yang semata dimilikinya, sedangkan keuntungan di bagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam akad kerja sama. Jika kerugian terjadi karena
keteledoran (tidak becus ataupun penyimpangan-penyimpangan) pengelola modal.
Sementara itu, jika kerugian itu diakibatkan bencana alam dan sebagainya yang
tidak dapat dihindari, maka akan ditanggung oleh pemilik modal.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mudharabah
Secara etimologis
mudharobah mempunyai arti berjalan di atas bumi yang biasa dinamakan
berpergian, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. An-Nisa’ 4 “dan
apabila berpergian dimuka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qasahar
shalat”.
Secara terminologis mudharobah
adalah kontrak (perjanjian) antara pemilik modal (rab al-mal) dan
pengguna dana (mudharib) digunakan untuk aktivitas yang produktif di
mana keuntungan di bagi 2 antara pemodal dan pengelola modal.[1]
Mudharabah adalah bahasa
penduduk Irak dan qiradh atau muqaradhah bahasa penduduk Hijaz.
Namun, pengertian qiradh dan mudhaharah adalah satu makna. Mudharabah
berasal dari kata al-dharb,yang berarti secara harfiah adalah berpergian atau berjalan
.Sebagaimana firman Allah :
Dan yang lainnya,berpergian di muka bumi mencari
karunia Allah (Al-Muzamil:20).
Selain al-dharb, disebut
juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al-quth’u
(potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan
memperoleh sebagian keun-tungannya. Ada pula yang menyebut mudharabah
atau qiradh dengan muamalah.[2]
Menurut istilah, mudharabah
atau qiradh dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut:
1.
Menurut para fuqaha, mudharobah ialah akad antara dua
pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada
pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari
keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan.
2.
Menurut Hanafiyah, mudrharabah adalah memandang tujuan
dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta
diserahkan kepada yang lain punya jasa mengelola harta itu. Maka mudhararobah
ialah:
عقد على الشركة في الربح بمال من احد الجانبين وعمل من الاخر
“Akad syirkhah dalam laba,satu pihak
pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa.”
3.
Malikiyah berpendapat bahwa mudharobah ialah:
عقد توكيل صادر من رب المال
لغيره علي ان يتجر بخصوص النقدين الدهب والفضة
“Akad perwakilan ,di mana pemilik harta mengeluarkan
hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan
(mas dan perak)”
4.
Imam Hanabilah berpendapat bahwa mudrarabah ialah:
بارة ان يدفع صاحب المال قدرمعينا من ماله الي من يتجر
فيه بجزء مشاع معلوم من ربحة
“Ibarat
pemilik harta menyerahkan hartanya degan ukuran tertentu kepada orang yang
berdangang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui”.
5.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mudrharobah ialah:
عقد يقتضي ان يدفع شخص لاخر
مالا ليتجر فيه
“Akad yang menentukan
seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk .ditijarahkan.[3]
B.
Dasar
Hukum Mudharabah
Melakukan
mudharabah atau qiradh adalah boleh (mubah).Dasar hukumnya ialah sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh ibnu Majah dari Suhaib r.a,.bahwahsanya Rasululloh
Saw.telah bersabda:
“Ada tiga perkara
yang diberkati :jual beli yang ditangguhkan ,memberi modal,dan bercampur gandum
dengan jelai untuk keluarga,bukan untuk dijual.”
Diriwayatkan
dari Daruquthni bahwa Hakim Ibn Hizam apabila memberi modal kepada seseorang
,dia masyaararatkan:”harta jangan digunakan untuk membeli binatang,jangan kamu
bawa ke laut,dan jangan dibawa menyeberangi sungai ,’apabila kamu lakukan salah
satu dari larangan-larangan itu,maka kamu harus bertanggung jawab pada hartaku
.”[4]
Dalam
al-Muwaththa’Imam Malik,dari al-A’la Ibn Abd al-Rahman IbnYa’qub,dari
ayahnya,dari kakenya,bahwa ia pernah mengerjakan harta Utsman r.a sedangkan
keuntungannya dibagi dua.
Qiradh
atau mudharabah menurut Ibn Hajar telah ada sejak zaman Rasulloh ,beliau tahu
dan mengakuinya,bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul.Muhammad telah melakukan
qiradh,yaitu Muhammad mengadakan perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang
milik Khadijah r.a.,yang kemudian menjadi istri beliau.[5]
C.
Rukun
dan Syarat Mudharabah
Menurut ulama Syafi’iyah, rukun-rukun qirad ada enam, yaitu:
1.
pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
2.
Orang yang bekerja,yaitu mengelola barang yang diterima dari
pemilik barang.
3.
Aqad mudharabah, dilakukan
oleh pemilik dengan pengelola barang.
4.
Mal,yaiitu harta pokok atau modal.
5.
Amal, yaitu pekerjaan
pengelolaan harta sehingga penghasilan laba;
6.
Keuntungan.
Menurut Syyid sabiq,rukun
mudharabah adalah ijab dan kabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian.
Syarat –sayarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu
sendiri.Syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut.
1.
Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang
tunai.Apabila barang itu berbentuk mas atau perakbatangan(tabar).mas
hiasan atau barang lainnya,mudharabah tersebut batal
2.
Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan
tasharruf,maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil ,orang gila,dan
orang-orang yang berada di bawah pengampunan.
3.
Modal harus diketahui dengan jelas dapat dibedakan antara
modal yang diperdangangkan dengan laba atau keuntungan dari pedangang tersebut
yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati.
4.
Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik
modal harus jelas peresentassinya ,umpamanya setengah,sepertiga,atau
seperempat.
5.
Melafazkan ijab dari pemilik modal,misalnya aku serahkan uang
ini kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari
pengelola.
6.
Mudharabah bersifat mutlak,pemilik
modal tidak mengingat pengelola harta untuk berdagang di negara
tertentu,memper-dangangkan barang-barang tertentu,pada waktu-waktu
tertentu,sementara di waktu lai tidak karena persyaratan yang mengikat sering
menyimpang dari tujuan akad mudharabah,yaitu keuntungan.Bila dalam
mudharabah ada persayaratan-persyaratan ,maka mudharabah ada
persayaratan-persayaratan,maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid)
menurut pendapat al-Syafi’I dan Malik.sedangkan menurut Abu Hanafiah dan Ahmad
Ibn Hanbal,mudharabah tersebut sah.
D.
Kedudukan
Mudharabah
Hukum
mudharababah berbeda-beda karena adanya perbedaan –perbedaan keadaan.Maka
,kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudhararabah (qirad)juga tergantung
pada keadaan.
Karena
pengelola modal perdagangan mengelola modal tersebut atas izin pemilik
harta,maka pengelola modal merupakan wakil pemilik barang tersebut dalam
pengelolalaanya, dan kedudukan modal adalah sebagai wikalah ‘alaih(objek
wakalah).
Ketika harta ditasharuurfkan oleh
pengelola,harta tersebut berada di bawah kekuasaan pengelola,sedangkan harta
tersebut berada di bawah kekuasaan pengelola,sedangkan harta tersebut bukan
miliknya,sehingga harta tersebut berkedudukan sebagai amanat (titipan).Apabila
harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola,ia tidak wajib menggantinya
.Bila kerusakan timbul karena kelalaian pengelola,ia wajib menanggungnya.
Ditinjau
dari segi keuntungan yang diterima oleh pengelola harta,pengelola mengambil
upah bayaran dari tenaga yang dikeluarkan ,sehingga mudharabah dianggap sebagai
ijarah (upah-mengupah atau sewa –menyewa).
Apabila
pengelola modal mengingkari ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah disepakati
dua bela pihak,maka telah terjadi kecacatan dalam mudharabah [6].Kecacatan
yang terjadi menyebabkan pengelola dan penguasaan harta tersebut dianggap
ghasab.Ghasab adalah min al-kabair.
E.
Biaya
Pengelolaan Mudhrabah
Biaya
bagi mudharabah diambil dari hartanya sendiri selama ia tinggal di lingkungan
(daerahnya)sendiri,demikian juga bila ia mengadakan perjalanan untuk
kepentingan mudharabah.Bila biaya mudharabah diambil dari
keuntungan,kemungkinan pemilik harta (modal)tidak akan memperoleh bagian dari keuntungan
atau bahkan lebih besar daripa keuntungan.
Namun,jika
modal pemilik modal mengizinkan pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah
guna kepentingan dirinya di tengah perjalanan atau karena pengguna tersebut
sudah menjadi kebiasaan,maka ia boleh menggunakan modal mudharabah .Imam
Malikberpendapat bahwa biaya –biaya boleh dibebankan kepada modal,apabila
modalnya cukup besar sehingga masih memung-kinkan mendatangkan keuntungan-keuntungan.
Kirannya
dapat dipahami bahwa biaya pengellolaan mudharabah pada dasarnya dibebankan
kepada pengelola modal,namun tidak masalah biaya diambil dari keuntungan
apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan.Menurut
imam Malik;menggunakan modal pun boleh apabila modalnya besar sehingga
kemungkinan memperoleh keuntungan berikutnya.
F.
Tindakan
Setelah Matinya Pemilik Modal
Jika
pemilik modal meninngagal dunia,mudharabah menjadi fasakh.Bila mudharabah telah
fasakh pengelola modal tidak berhak mengelola modal tersebut,sedangkan ia
mengetahui bahwa pemilik modal telah meninggal dan tanpa izin para ahli
warisnya,maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai ghasab.ia wajib menjamin
(mengembalikannya),kemudian jika modal itu menguntungkan,keuntungganya dibagi
dua.
Jika
mudharabah telah fasakh (batal),sedangkan modal ber-bentuk ‘urud (barang
dangangan),pemilik modal dan pengelola modal menjual atau membaginya karena
yang penjualan,sedangkan pemilik modal
dan pengelola modal menjual atau membaginya karena yang demikian itu adalah hak
berdua.Jika pelaksanaan (penelola modal)setuju dengan penjualan,sedangkan
pemilik modal tidak setuju,pemilik modal dipaksa menjualnya,karena pengelola
mempunyai hak dalam keuntungan dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan
menjualnya,demikian pendapat Mazhab Syafi’I dan hanbali
G.
Pembatalan
Mudhrabah
Mudharabah menjadi batal
apabila ada perkara –perkara sebagai berikut.
1.
Tidak terpenuhinya salah satu atau
beberapa syarat .jika salah satu syarat mudharabah. tidak terpenuhi, sedangkan
modal sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagang-kan, maka pengelola
mendapatkan sebagian keuntungan sebagian upah, karena tindakannya atas izin
pemilik modal dan ia melakukan tugas berhak menerima upah, karena tindakannya
atas izin pemilik modal dan ia melakukan tugas berhak menerima upah. Jika
terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut untuk pemilik modal. Jika ada
kerugian, kerugian tersebut untuk pemilik modalkarana pengelola adalah sebuah
buruh ynag hanya berhak menerima upah dan tidak tanggung jawab sesuatu apapun,
kecuali atas kelalaiannya
2.
Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai
pengelola modal atau pengelala modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan
tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pengelola modal bertanggung jawab jika
terjadi kerugian karena dialah penyeab kerugian.
3.
Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau
salah seorang pemilik meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.[7]
H.
Ketentuan
Mudharabah
Ketentuan
mudharabah menurut kompilasi hukum
ekonomi syariah adalh sebagai berikut:
Pasal 238
1.
tatus benda yang berada di tangan mudharib yang
diterima dari shahibul al-mal adalah modal.
2.
Mudharib berkedudukan sebagai wakil shahib al-mal dalam
menggunakan modal yang diterimanya.
3.
keuntungan
yang dihasilkan dalam mudharabah menjadi milik bersama.
Pasal
239
1.
Mudharib
berhak membeli barang yang dengan maksud menjualnya kembali untuk
memperoleh untung.
2.
Mudharib
berhak menjual dengan harga tinggi atau rendah, baik dengan tunai maupun
cicilan.
3.
Mudharib
berhak menerima pembayaran dari harga barang dengan pengalihan piutang.
4.
Mudharib
tidak boleh menjual barang dalam jangka waktu yang tidak biasa dilakukan
oleh para pedagang.
Pasal 240
Mudharib tidak
boleh mengibahkan, menyedekahkan, dan atau meminjamkan harta kerja sama,
kecuali bila mendapat izin dari pemilik modal.[8]
I.
Jenis
Mudharabah
Jika ditinjau dari segi jenisnya,
mudharabah terbagi dua jenis:
1.
Mudharabh
mutlaq
2.
Mudharabah
muqqayyad (terikat)
Ulama Hanafiyah dan Ahmad
membolehkan memberi batasan dengan waktu dan orang, tetapi ulama Syafi’yah dan
Malikiyah melarangnya. Ulama Hanafiyah dan Ahmad pun membolehkan akad jika
dikaitkan dengan masa yang akan datang, seperti,”usahakan modal dimuali bulan depan”, sedangkan ulama Syafi’yah dan
Malikiyah melarangnya.[9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Pengertian Mudharabah
2.
Dasar Humuk Mudharabah
3.
Rukun dan Syarat Mudharabah
4.
Kedudukan Mudharabah
5.
Biaya Pengelolaan Mudharabah
6.
Tindakan Setelah Matinya Pemilik Modal
7.
Pembatalan Mudharabah
8.
Ketentuan Mudharabah
9.
Jenis Mudharabh
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2012.
Dr. H. Suhendi Hendi, M.Si, Fiqih Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
Dr.
Imran Ali Sinaga, M.Ag, Fikih Bagian
Pertama Taharah, Ibadah, Muamala, Bandung: Citapustaka Media Perintis,
2011.