makalah Tentang mutlaq, muqayyad, manthuq, mafhum, dan takwil



BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG

Al-qur’an merupakan firman Allah swt yang diturunka kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Di dalamnya terdiri berbagai surat yang kesemuanya itu sarat akan makna. Ibarat sebuah buku cerita, berjuta kata lafadz yag ada didalamnya mngandung makna yang berbeda-beda. Namun dari setiap makna kata tersebut tidak jarang dijumpai sebuah kata yang maknanya begitu luas tanpa batasan, yang mana sebelumnya sudah dikaji terlebih dahulu oleh para ulama sehingga menghasilkan perluasan makna yang lebih meluas dari makna asalnya. Ada juga sebuah kata yang cakupan maknanya terbatas dan terkesan terpaku pada satu makna saja (makna asal). Untuk itulah dalam makalah ini kita akan membahas mutlaq, muqayyad,mantuq, mafhum, dan takwil.
B.  RUMUSAN MASALAH
Dari penjelasan diatas maka penulis menarik rumusan masalah yang akan dipaparkan didalam makalah ini, yaitu :
1.    Apa yang dimaksud dengan mutlaq, muqayyad, manthuq, mafhum, dan takwil ?
2.    Apa saja bentuk-bentuk dari muthlaq dan muqayyad?
3.    Apa saja macam-macam mafhum dan manthuq ?
4.    Apa saja syarat-syarat takwil ?

C.  TUJUAN PENULISAN
Dari penjelasan diatas, maka makalah ini disusun  bertujuan untuk :
1.    Mengetahui pengertian mutlaq, muqayyad, mafhum, manthuq, dan takwil
2.    Mengetahui bentuk-bentuk dari muthlaq dan muqayyad
3.    Mengetahui macam-macam mafhum dan manthuq
4.    Mengetahui syarat-syarat takwil




BAB II
PEMBAHASAN

A.   MUTLAQ DAN MUQAYYAD

1.    Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
Secara bahasa kata mutlaq bararti tidak terikat, sedangkan menurut istilah ushul adalah “suatu lafal tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafal yang mengurangi keumumannya.”dan kata muqayyadberarti terikat. Sedangkan muqayyad menurut bahasa berarti terikat .sedang menurut istilah ialah “suatu lafal tertentu yang dibatasi oleh batasan lafal lain yang mengurangi keumumannya."[1]
Ayat-ayat dalam  al-qur’an ada yang bersifat mutlaq dan ada pula yang bersifat muqayyad. kaidah ushul fiqh yang berlaku di sini ialah bahwa ayat yang bersifat mutlaq harus dipahami secara mutlaq selama tidak ada dalil yang membatasinya ,sebaliknya ayat yang bersifat muqayyad harus dilakukan sesuai dengan batasan (kait)nya. Misalnya ,lafal mutlaq yang terdapat pada ayat 234 Surat al-Baqarah yang artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.(QS.al-Baqarah/2:234).[2]Sedangkan contoh lafal muqayyaddi antaranya terdapat pada ayat 3 dan 4 Surat al-Mujadillah yang artinya:
orang-orang yang menzhihar istri mereka,kemudian mereka hendak menarik kembali apayang mereka ucapkan,maka(wajib atasnya)memerdekakan seorang budak sebelum kedua  suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu,dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak),maka( wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya ber-campur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya)memberi  makan enam puluh orang miskin. Demikianlah  supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah ,dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.(QS.al-Mujadilah/58:3-4)
Demikianlah lafal mutlaq dan lafal muqayyad dipahami apa adanya apabila masing-masing berdiri sendiri  tanpa ada hubungan antara yang satu dengan yang lain.[3]
2.    Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad
    Kaidah lafazh mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
a.    Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada suatu nash,sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayyad keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
b.    Lafazh mutlaq dan muqayyad  berlaku pada semua hukum dan sebabnya.
c.    Lafazh mutlaq dan  muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda,baik  dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
d.   Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya,sedangkan sebab hukumnya sama.
e.    Mutlaq dan muqayyad  sama dalam hukumnya,tetapi berbeda dalam sebabnya.[4]
3.    Hukum Lafazh mutlaq dan Muqayyad
Pada prinsipnya ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamalkan kemutlakannya,selama  tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku kemuqoyyadannya. Yang menjadi persoalan disini adalah mutlaq dan muqayyad yang terbentuk pada lima bentuk tersebut,ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan yang disepakati adalah;
a.    Hukum dan sebabbnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad.
b. Hukum  dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini,para ulama sepakat wajibnya memberlakukan  masing-masing  lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
c. Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama.Pada bentuk ini,para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa  lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.[5]
4. Hal-hal yang Dipersilisihkan dalam Mutlaq dan Muqayyad
a.    Kemuthlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun,masalah (maudu’) dan hukumnya sama.Menurut Jumhur ulama dari kalangan Syafi’iyahmalikiyah dan hanafiyyah dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada  muqayyad.Oleh sebab itu, mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba sahaya. Sedangkan ulama Hanafiyyah tidak mewajibkan membawa lafazh mutlaq pada muqayyad. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya yang secara mutlaq.
b.    Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya berbeda, masalah ini juga dipersilisihkan.Menurut Ulama Hanafiyyah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad,melainkan masing-masing nya berlaku  sesuai dengan sifatnya. Oleh sebab itu,ulama Hanafiyyah,pada kafarat zihar tidak mensyaratkan hamba mukmin. Sebaliknya, menurut Jumhur ulama harus membawa mutlaq kepada muqayyad secara mutlaq. Namun,menurut sebagian ulama Syafi’iyah,mutlaq dibawa pada  muqayyad,apabila ada illat hukum yang sama yakni dengan jalan qiyas.[6]
5.    Alasan Masing-masing Golongan
a.    Alasan Hanafiyyah
Merupakan suatu prinsip bahwa kita melaksanakan dalalah lafazh atas semua hukum yang dibawa saja,sesuai dengan sifatnya sehingga lafazh mutlaq tetap pada kemuhtlaqannyadan lafazh muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Tiap-tiap nash merupakan hujjah yang berdiri sendiri. Pembatasan terhadap keluasan makna yang terkandung pada mutlaq tanpa dalil dari lafazh itu sendiri berarti mempersempit yang bukan dari perintah syara’. Berdasarkan pada ini,lafazh mutlaq tidak bisa dibawa pada muqayyad,kecuali apabila terjadi saling menafikan antara dua hukum yakni sekiranya mengamalkan salah satunya membawa pada tanaqud (saling bertentangan).[7]
b.    Alasan Jumhur
Al-qur’an itu merupakan kesatuan hukum yang utuh dan antara satu ayat dengan ayat lainnya berkaitan,sehingga apabila ada suatu kata dalam Al-qur’an  yang menjelaskan hukum berarti hukum itu sama  pada setiap tempat yang terdapat kata itu (Asy-Syafi’i).Alasan jumhur ini,muqayyad itu harus menjadi dasar untuk menafikan dan menjelaskan maksud lafazh mutlaq. Sebab mutlaq itu kedudukannya bisa dikatakan sebagai orang diam, yang tidak menyebut qayyid.[8] Di sini ia tidak menunjukkan adanya qayyid,dan tidak pula menolaknya,sedangkan muqayyidsebagai orang yang berbicara ,yang menjelaskan adanya taqyid. Di sini tampak jelas adanya kewajiban memakai qoyyid ketika adanya dan menolaknya apabila tidak adanya, sehingga kedudukannya sebagai penafsir. Oleh sebab itu,ia lebih baik dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan maksud mutlaq.
B.  MANTUQ DAN MAFHUM
1.    Pengertian Mantuq
Mantuq secara bahasa berarti “sesuatu yag diucapkan”. Sedangkan menurut  istilah Ushul Fiqh berarti pengertian harfiah dari suatu lafal yang diucapkan. Ayat-ayat Al-qur’an dan hadis Rasulullah dilihat dari kebahasaan menurut jumhur ulama Ushul fiqh bisa menunjukkan kepada hukum melalui mantuq dan bisa pula melalui mafhum,baik mafhum muwafaqah mafhum maupun mukhalafah seperti yang akan datang dijelaskan.[9]
Menurut ulama Ushul fiqh,mantuq dibagi menjadi kepada mantuq sharih maupun mantuq gairu sharih. Mantuq sharih adalah menurut bahasa berarti”sesuatu yang diucapkan secara tegas”. Menurut istilah,seperti dikemukakan oleh Mushtafa Sa’id al-Khim,ialah:“Makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafal sesuai dengan penciptaannya baik secara penuh atau berupa bagiannya.”
Misalnya,firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 3 yang mencantumkan hukum boleh kawin lebih dari satu orang  dengan syarat ’adil. Jika tidak wajib membatasi seorang saja, mantuq sharih ini dikenal dengan ‘Ibarat al-Nash dikalangan Hanafiyyah. Sedangkan mantuq gairu sharih,yaitu pengertian yang ditarik bukan dari makna aslidari suatu lafal,tetapi sebagai konsekuensi dari suatu ucapan.Mantuq  gairu sharih terbagi kpada tiga bagian, yaitu: Dalalat al-‘ima, Dalalat al-Isyarat’, Dalalat al-Iqtida’.[10]
a.    Dalalat al-Ima’,yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal,tetapi melalu pengertian logisnya, karena menyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peritiwa. Misalnya Hadis Riwayat Ahmad dan Tirmizi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah SaW bersabda yang artinya:“Dari  Jabir bin Abdillah,dari Nabi SAW.Bersabda : “barangsiapa yang menghidupkan (mulai mengolah) tanah yang sudah mati,maka tanah itu menjadi miliknya”.(Hr.at-Tirmidzi).[11]
Hadis tersebut disamping menunjukkan hukum melalui mantuq-nya seperti yang jelas tertulis ,juga melalui dalalat al-Ima’nya, yaitu bahwa aktivitas menghidupkantanah mati itulah yang menjadi ‘illat bagi pemilikan tanah untuknya. Dalalat al-Ima’i ini adalah bagian dari ‘ibarat al-nash di kalangan Hanafiyah.
a.    Dalalat  al-Isyarat yaitu suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pngertian aslinya tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu. Oleh karena erat hubungannya dengan hukum yang jelas dalam mantuq, maka hukum yang ditarik melalui dalalat al-isyarat ini dianggap sebagai hukum yang ditunjuk oleh mantuq secara tegas. Contohnya, ayat 15 surat al-Ahqaaf menjelaskan, yang artinya:“kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengadung dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”.(QS. al-Ahqaaf/46:15).
Dan dalam ayat 14 Luqman dijelaskan pula:
“Dan kami perintahkan kepada manusia(berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya  dalam dua tahun”. (QS. Luqman /31:14).[12]
Mantuq ayat pertama ini adalah menjelaskan jumlah masa kandungan dan masa menyusukan selama tiga puluh bulan. Dan pada ayat kedua menjelaskan bahwa masa menyusu selama dua puluh empat bulan ( 2 tahun ). Hal itu menunjukkan ( dalalat Isyarat ) bahwa sisanya,yaitu 6 bulan adalah masa minimal dalam masa kandungan. Kesimpulan bahwa masa minimal kandungan adalah 6 bulan bukan dimaksud  oleh turunnya ayat, tetapi merupakan suatu kemestian dari ketegasan dari dua ayat tersebut. Dalalat  al-Isyarat  ini juga dikenal sebagai dalalat al-Isyarat atau isyarat  al-nash dikalangan Hanafiyah.
b.         Dalalat al-Iqtida’, pengrtian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu. contoh hadis Rasulullah menjelaskan:
 Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata,Rasulullah SAW ..Bersabda:
“ sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah,lupa,dan keterpaksaan”.
(HR.Ibnu Majah).
Hadis tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa, dan keterpaksaan diangkatkan dari umat  Muhammad SAW. Pengertian tersebut sudah jelas tidak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga dengan demikian arti hadis menjadi: Diangkat dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah karena lupa atau karena terpaksa. Dalalat al-Iqtida’ dikalangan  jumhur ini juga dikenal dengan dalalat al-Iqtida’ atau disebut Iqtida’ al- nash dikalangan Hanafiyah.[13]
2.    Macam-macam Manthuq
Manthuq dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a.    Manthuqnash, yaitu lafal yang tidak mungkin ditakwilkan kepada arti lain selain arti harfiahnya. Seperti : (maka hendaklah berpuasa tiga hari).
b.    Manthuq zhihar, yaitu suatu lafal yang memungkinkan untuk ditakwilkan kepada arti lain, selain arti harfiahnya. Seperti : (tangan Allah diatas tanganmanusia). Menurut zhahirnya kata “yadun” berarti tangan, tetapi mustahil Allah bertangan, maka ditakwilkan kepada arti kekuasaan.[14]
C.  Pengertian Mafhum
   Mafhum secara bahasa adalah “sesuatu yang dipahami dari suatu teks “,dan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mafhum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah”. Mafhum, menurut mayoritas ulama Ushul fiqh seperti tergambar dalam definisi di atas dapat dibagi kepada dua macam,yaitu mafhum muwafaqah dam mafhum mukhalafah.
a.    Mafhum muwafaqah, adalah penunjukan hukum melalui motivasi terirat atau alasan logis di mana rumusan hukum dalam mantuq dilandaskan. Contohnya ayat  10 surat an-Nisa’ menjelaskan:
“sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,sebenarnya mereka itu menelan  api sepenuh perut-nya  dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala(neraka)”.(QS.an-Nisa’/3:10)
Mantuk dari ayat tersebut menunjukkan haram memakan harta anak yatim di luar ketentuan hukumnya. Segera dapat diketahui bahwa alasan larangan tersebut adalah karena tindakan itu mengakibatkan  lenyap atau rusaknya harta anak yatim.  Melalui mafhum muwafaqah-nya tanpa memerlukan ijtihaddiketahui bahwa setiap tindakan yang bisa melenyapkan  atau merusak harta anak yatim, seperti menipu, membakar dan sebagainya adalah haram hukumnya.[15]
b.    Mafhum Mukhalafah,menurut jumhur ulama Ushul fiqh seperti dinukil Mustafa Sa’id al-Khin adalah penunjukan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan. Mafhum Mukhalafah didapati pada objek hukum yang dikaitkan dengan sifat, syarat, batasan waktu atau jumlah bilangan tertentu, sehingga hukum sebaliknya menurut mayoritas ulama Ushul fiqh secara sah dapat ditarik bilamana objek hukum itu terlepas dari berbagai kaitan tersebut.[16]
Berbeda dengan itu, kalangan Hanafiyyah menolak mafhummukhalafahsebagai landasan pembentukan hukum. Alasan mereka, bahwa dapat dibuktikan dalam Alqur’an dimana apabila mafhum mukhalafah difungsikan, akan rusaklah pemahaman ayat hukum. Misalnya dalam ayat 130 surat ali-Imran:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba denga berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS.Ali-Imran/3:130).
Mafhum Mukhalafah dari ayat tersebut berarti halalnya riba yang tidak berlipat ganda, namun pemahaman seperti itu adalah keliru karena riba yang tidak berlipat ganda pun haram hukumnya. Hal itu menunjukkan bahwa mafhum mukhalafah idak dapat difungsikan dalam al-qur’an.[17]
3.    Macam-macam Mafhum Muwafaqat
Mafhum muwafaqat dapat dibagi menjadi 2 :
a.    Fahwal khithab
Yaitu apabila yang tidak diucapkan itu lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul ibu bapak itu haram hukumnya,sebab mengucapkan ‘ah’ saja (lebih ringan dari memukul) juga haram apalagi memukul.
b.    Lahnul khitab
Yaitu apabila yang tidak diucapkan itu sama hukumnya dengan yang diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim itu haram,keduanya sama-sama merusak harta mereka.[18]
c.    Macam-macammafhum mukhalafah
1)   Mafhum sifat
Yaitu berlakunya kebalikan, hukum yang disertai dengan sifatnya itu tidak menyertainya. Seperti firman Allah swt :
Artinya:“ Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman ,maka(dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki.” QS.An-Nisa’4:25).
2)   Mafhumsyarat
Yaitu berlakunya hukum sesuatu yang dikaitkan dengan syarat, apabila syarat itu tidak terdapat padanya. Seperti firman Allah swt:
Artinya:  Kemudian,jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari(maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”(QS. An-Nisa’/4:4).[19]
Persyaratan halalnya bagi suami memakan sebagian dari maskawin  istrinya dengan penyerahan secara senang hati,mafhumnya jika istri tidak menyerahkannya dengan senang hati maka haram atas suami memakannya.
3)   Mafhum ghayah
Yaitu berlakunya hukum yang disebut sampai batas tertentu, dan berlaku kebalikan bila hukum tersebut terlampaui. Seperti firman Allah swt:
Makan dan minumlah hingga jelas bagi-mu (perbedaan) antara benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS.Al-Baqarah/2:187).
Kebolehan makan dan minum pada bulan Ramadhan sampai terbit fajar. Mafhumnya  haram makan dan minum setelah terbit fajar.
4)   Mafhum Hasyr
Yaitu hukum sesuatu yang disertai pembatasan tidak melampaui sesuatu diluar batas tersebut. Yang diluar batas berarti berlaku hukum kebalikannya. Seperti sabda Nabi saw:
Artinya “ Riba itu hanya pada nasi’ah.”. Dengan demikian,selain pada nasi’ah tidak ada riba.[20]
5)   Mafhum laqab
Yaitu mafhum dari nama yang menyatakan zat, baik nama diri, seperti Ali, Amin, berbentuk kata sifat,seperti yang mencari atau yang  membunuh, atau nama jenis, seperti emas, padi dan sebagainya. Selain yang disebutkan berlaku hukum kebalikannya. Seperti hadis nabi saw yang menerangkan tentang barang-barang yang mengandung riba.
Artinya: “( Menukar) emas dengan emas, perak dengan perak, bur denganbur, syair dengan syair , kurma dengan kurma, garam dengan garam ,(hendaklah) yang serupa( sifatnya) sama (jumlahnya) suka sama suka.”
Bila penukaran barang yang sejenis, seperti dalam hadis tersebut dengan tidak sama jumlahnya, hukumnya riba. Maka mafhum selain enam jenis tersebut hukumnya tidak riba.
4.    Berhujjah dengan Mafhum
Para ulama sepakat membolehkan berhujjah dengan mafhum muwafaqah. Sedang berhujjah dengan mafhum mukhalafah, para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat, bahwa berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperbolehkan kecuali mafhum laqab. Sedang ulama Hanafiyah, Ibn Hazm dan golongan Zaidiyah  berpendapat bahwa semua mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah.
           Jumhur membolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah dengan syarat:
a.    Mafhum Mukhalafah itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthuq maupun mafhum muwafaqah.
b.    Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam hubungan menguatkan suatu keadaan.[21]Seperti firman Allah swt:
Artinya : kamu dapat memakan daging yang segar(ikan) darinya.” (QS.An-Nahl/16:14). Mafhum mukhlafahnya, yaitu terlarang makan ikan kering,tidak menjadi hujjah.
c.    Jika sesuatu yang disebutkan itu dalam rangkaian dengan sesuatu yang lain, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah. Seperti firman Allah swt.
Artinya : “Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf masjid.”(QS.Al-Baqarah / 2:187). Mafhumnya boleh mencampuri istri bila tidak beri’tikaf di mesjid tidak menjadi hujjah.
D.  TAKWIL
Pengertian takwil Menurut Etimologi, takwil berarti:
1.    Kembali atau mengembalikan yakni mengembalikan makna yang pada proporsi yang sesungguhnya
2.    Mensiasati yakni bahwa dalam lafazh-lafazh tertentu atau kalimat-kalimat yang mempunyai sifat khusus memerlukan siasat yang itu untuk menemukan maknanya yang setepat-tepatnya.
Sedangkan secara Istilah takwil adalah memalingkan lafazh dari maknanya yang zhahir kepada makna lain yang juga di punyai lafazh itu, jika makna lain yang dilihat sesuai dengan qur’an dan sunah. Contoh takwil dalam firman Allah swt.
Artinya:”tangan Allah diatas tangan mereka”. Kata Tangan Allah diatas di ta’wilkan dengan arti kekuasaan,karena menurut para ulama khalaf jika kata tersebut diartikan tangan Allah seolah-olah Allah itu menyerupai sifat manusia ,maka untuk menghindari kesalahfahaman di bidang aqidah maka para ulama khalaf mentakwilkan kata Tanga dengan kekuasaan Allah.[22]
1.    Syarat-syarat Takwil
a.    takwil harus berdasarkan dalil syara’ baik nash al-qur’an maupun hadis , qiyas maupun jiwa syari’ah dan dasar-dasarnya yang umum.
b. Bila dalil tersebut berupa qiyas maka qiyas yang jelas (qiyas jaly)  bukan qiyas yang samar-samar(qiyas khafi).
c. Takwil harus sesuai dengan penggunaan bahasa dan kebiasaan syari’at.[23]
2.    Masalah yang dapat menerima Takwil
Para ulama sepakat bahwa masalah-masalah furu’ dapat menerima takwil. Sedang masalah-masalah ushul atau aqidah,seperti soal sifat Tuhan, kepercayaan dan pokok-pokok agama mereka berbeda pendapat.
a.    Golongan Musyabbihah,berpendapat bahwa masalah-masalah tersebut tidak perlu di takwilkan karena maknanya sudah jelas dan berlaku menurut makna zhahir.
b.    Golongan Ulama Salaf, menyatakan bahwa masalah-masalah ushul atau akidah menerima takwil, tetapi  takwilnya diserahkan kepada Allah.
c.    Golongan Ulama Khalaf,berpendapat bahwa masalah-masalah tersebut menerima takwil.
Di antara contoh masalah ushul atau akidah yang di persilisihkan para ulama adalah firman Allah berikut ini:
Artinya: “ Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka.”( QS. Al-Fath/48:10).
Menurut golongan pertama, bahwa Allah mempunyai tangan seperti tangan kita. Mereka menganggap Allah mempunyai tubuh. Pendapat ini jelas salah sebab mereka mempersamakan Allah dengan makhlu-Nya.
Menurut golongan kedua, bahwa apa yang dimaksudkan dengan kata tangan,dalam ayat tersebut terserah kepada Allah sebab manusia tidak mungkin mampu menjangkau Zat Allah. Dalam hadis dinyatakan,” Berpikirlah kalian tentang makhluk Allah dan jangan berpikir mengenai zat-Nya, sebab kalian tidak mungkin mampu menjangkaunya.”
Menurut golongan ketiga, bahwa yang dimakud dengan tangan dalam ayat Al-Fath adalah kekuasaan Allah, sebab mustahil Allah mempunyai tangan atau bertubuh. Oleh karena itu,dalam mengartikan kata yadun dengan kekuasaan. Dan ini paling sesuai kemahasucian Allah dari sifat-sifat penyerupaan dengan makhluk-Nya. Sebaliknya, bila yadun diartikan dengan tangan berarti menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.[24]

















BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Secara bahasa kata mutlaq bararti tidak terikat, sedangkan  menurut istilah ushul adalah “suatu lafal tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafal yang mengurangi keumumannya.”  dan kata muqayyad  berarti terikat. Sedangkan muqayyad menurut bahasa berarti terikat .sedang menurut istilah ialah “suatu lafal tertentu yang dibatasi oleh batasan lafal lain yang mengurangi keumumannya."
Mantuq secara bahasa berarti “sesuatu yag diucapkan”. Sedangkan menurut  istilah Ushul Fiqh berarti pengertian harfiah dari suatu lafal yang diucapkan. Ayat-ayat Al-qur’an dan hadis Rasulullah dilihat dari kebahasaan menurut jumhur ulama Ushul fiqh bisa menunjukkan kepada hukum melalui mantuq dan bisa pula melalui mafhum,baik mafhum muwafaqah mafhum maupun mukhalafah seperti yang akan datang dijelaskan.
   Mafhum secara bahasa adalah “sesuatu yang dipahami dari suatu teks “,dan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mafhum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah”. Mafhum, menurut mayoritas ulama Ushul fiqh seperti tergambar dalam definisi di atas dapat dibagi kepada dua macam,yaitu mafhum muwafaqah dam mafhum mukhalafah.
Sedangkan secara Istilah takwil adalah memalingkan lafazh dari maknanya yang zhahir kepada makna lain yang juga di punyai lafazh itu , jika makna lain yang dilihat sesuai dengan qur’an dan sunah.

B.  SARAN
Demikianlah makalah tentang peranan Ushul Fiqh yang telah kami paparkan. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik yang membangun dan pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.


BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Prenada Media Group : Jakarta
Syafe’i, Rahmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. CV. Pustaka Setia : Bandung
Suparta, Mundzier. 2009. Pendidikan Agama Islam fiqh. PT. Karya Toha Putra : Semarang








[1]Suparta, Mundzier. 2009. Pendidikan Agama Islam fiqh. PT. Karya Toha Putra : Semarang. hal. 76
[2]Efendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Prenada Media Group : Jakarta. hal. 206
[3]Ibid. Efendi, Satria. hal. 207
[4]Syafe’i, Rahmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. CV. Pustaka Setia : Bandung. hal. 212

[5]Ibid.Syafe’i, Rahmat. hal. 213
[6]Ibid.Syafe’i, Rahmat. hal. 214
[7]Ibid.Syafe’i, Rahmat. hal. 214
[8]Ibid.Syafe’i, Rahmat. hal. 214
[9]Ibid. Efendi, Satria. hal. 210
[10]Ibid. Efendi, Satria. hal. 211
[11]Ibid. Efendi, Satria. hal. 212
[12]Ibid. Efendi, Satria. hal. 213
[13]Ibid. Efendi, Satria. hal. 214
[14]Ibid. Suparta, Mundzier. hal. 79
[15]Ibid. Efendi, Satria. hal. 214
[16]Ibid. Efendi, Satria. hal. 215
[17]Ibid. Efendi, Satria. hal. 216
[18]Ibid. Suparta, Mundzier. hal. 79
[19]Ibid. Suparta, Mundzier. hal. 80
[20]Ibid. Suparta, Mundzier. hal. 80
[21]Ibid. Suparta, Mundzier. hal. 81
[22]Ibid. Syafe’i, Rahmat. hal. 169
[23]Ibid. Suparta, Mundzier. hal. 87
[24]Ibid. Suparta, Mundzier. hal. 87