SEJARAH DAN PENTINGNYA ENTREPRENEURSHIP DAN
KEPUTUSAN MENJADI ENTREPRENEUR
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Ciputra, “Semangat
belajar seorang entrepreneur adalah semangat yang tidak berhenti sekedar
belajar, tetapi harus mempunyai visi yang jauh kedepan disertai tindakan yang
konkret. Ia harus mempunyai antusiasme yang tidak terbatas akan ide-idenya yang
mungkin saja tidak dimengerti orang lain.”
Sekarang pertanyaannya adalah
bagaimana kita menjadi seorang entrepreneur? Apakah ini berhubungan dengan
bakat atau keahlian tertentu saja?
Sebagai manusia pembelajar,
entrepreneur belajar dari semua hal bahkan dari tempat-tempat yang banyak orang
tidak membayangkannya sebagai tempat belajar.
Sayangnya hal ini yang sering
disalah tafsirkan orang bahwa tidak perlu pendidikan formal bagi
seorang entrepreneur.
Menurut Ciputra, sebagai salah
seorang tokoh entrepreneur di negeri ini, kalau seseorang mau menjadi
entrepreneur yang sukses tidak bisa hanya mengandalkan bakat saja. Dia
harus mempunyai pendidikan formal yang memadai karena dalam mengambil keputusan
dibutuhkan intuisi dan intuisi itu dapat diasah dengan banyaknya pengalaman dan
bagaimana dapat pengalaman tanpa ilmu?
Bagi Ciputra jelas bahwa orang
bodoh adalah orang yang merasa dirinya pintar dan karenanya tidak mau
mendengarkan pendapat orang lain, selain itu juga orang yang tidak mau
meniru perbuatan baik yang dilakukan orang lain karena enggan mengakui
keunggulan orang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH
PERKEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN
Periode Awal, Marco Polo memulai
dengan membuka rute perdagangan ke
timur. Sebagai pelaut dia membuat kontrak dengan seorang saudagar untuk
menjualkan barang dagangannya. Marcopolo dikenal sebagi merchant-adventurer
menanggung semua resiko baik fisik dan mental , lain halnya dengan par pemodal.
Apabila pedagang/pelaut berhasil menjual
barang yang dibawanya dan berhasil kembali, keuntungan yang diperoleh dibagi
kemereka berdua, dimana pemodal memperoleh 75 persen dan pedagang memperoleh sebesar
25 persen.[1]
Pada abad
pertengahan, istilah kewirausahaan digunakan untuk dua orang yang terlibat
dalam suatu proyek skala besar. Pada
proyek jenis ini, individu-individu tidak menanggung resiko apapun, mereka
hanya mengelola dengan menggunakan sumber daya yang telah tersedia, biasanya semua
di sediakan oleh pemerintah. Para wirausaha pada abad pertengahan biasanya para
pendeta yang diberi kewenangan untuk melaksanakan perkerjaan arsitektur seperti
kastil dan benteng, bangunan umum, biara dan katedral
Pada abad ke-17, definisi
kewirausahaan dikemukakan oleh Richard Cantilon (1730) yang mengembangkan
sebuah teori awal tentang kewirausahaan.
Menurut
Richard Cantilon seorang wirausaha adalah seorang pengambil resiko atau “risk
taker”. Mereka membeli barang tertentu hari ini, lalu menjualnya esok hari
dengan harga yang tidak pasti(belum pasti memperoleh keuntungan) dan hal inilah
yang dikatakan beresiko.
Akhirnya pada
abad ke-18, seseorang yang memiliki modal dibedakan dengan orang yang
membutuhkan modal. Salah satu alasan pemisahan ini karena adanya
industrialisasi yang mulai melanda dunia. Perubahan ini mengakibatkan banyak
penemuan-penemuan baru yang inovatif seperti penemuan oleh Thomas Alfa Edison,
disisi lain para penemu tidak memiliki dana yang cukup besar untuk membuat
penemuan mereka dapat dikembangkan dan diproduksi secara masal. Untuk
mengembangkan penemuannya Thomas Alfa Edison memperoleh dana dari pihak swasta
untuk mengembangkan dan melakukan percobaan dalam pengembangannya.
Dan pada abad ke-19 dan 20, Seorang
wirausaha mengatur dan menjalankan perusahaan untuk keuntungan pribadi. Ia
membayar saat Ini untuk bahan baku yang dia gunakan untuk usahanya, untuk
penggunaan lahan, untuk jasa karyawan yang dia gunakan, dan untuk modal yang
dia butuhkan. Dia memberikan kontribusi inisiatif, keterampilan, dan kecerdasan
dalam perencanaan, pengorganisasian dan administrasi perusahaan secara mandiri.
Dia juga berasumsi kesempatan untuk mendapatkan keuntungan atau kerugian tidak
terduga dan tidak terkendali.
Seorang
wirausaha juga dapat dipandang sebagai orang yang memperbaharui atau melakukan
revolusi terhadap pola-pola produksi dengan mengekploitasi suatu penemuan, atau
suatu kemungkinan teknologi yang belum pernah dicoba dalam memproduksi suatu
komoditas, baik itu dalam cara lama maupun dalam cara baru. Perubahan-perubahan yang direalisasikan para
wirausahawan ini membuka sumber pasokan maupun outlet baru bagi suatu produk
dan jasa, dengan implikasi terjadi reorgansasi suatu industri”.
Dan pada tahun 1755, istilah
entrepreneur sudah dikenal orang dalam sejarah ilmu ekonomi sebagai ilmu
pengetahuan. Richard Cantillon, ahli ekonomi Perancis keturunan Irlandia
dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan istolah entrepreneur dan
entrepreneurship. Cantillon memberikan peranan utama kepada konsep
“entrepreneurship” dalam ilmu ekonomi. Dalam karya tersebut Cantillon
menyatakan seorang entrepreneur sebagai seorang yang membayar harga tertentu
untuk produk tertentu, untuk kemudian dijualnya dengan harga yang tidak pasti (an
Uncertain Price), sambil membuat keputusan-keputusan tentang upaya mencapai
dan memanfaatkan sumber-suber daya, dan menerima risiko berusaha (The Risk
of Enterprice).
Ada sebuah titik kritikal dalam
ulasan Cantillon yang menyatakan bahwa seorang entrepereneur secara sadar membuat
keputusan-keputusan tentang alokasi sumber-sumber daya. Cantillon
menerapkan teorinya dalam kehidupan nyata, dan beliau menjadi seorang perantara
(Arbitrateur) kaya, yang melakukan investasi dalam berbagai usaha dan
perusahaan di Eropa, disertai pula dengan kegiatan dalam bidang pertukaran
moneter, dan ia turut pula berkecimpung dalam hal mengendalikan komoditi
pertanian yang dijual melalui berbagai pelelangan di Perancis.[2]
Richard T. Elly dan Raplh H. Hess,
menyatakan bahwa secara singkat seorang entrepreneur mengorganisasi dan
mengoperasikan sebuah perusahaan untuk mencapai keuntungan pribadi. Ia membayar
harga-harga yang berlaku untuk bahan-bahan yang yang digunakannya di dalam
perusahaannya, misalnya untuk penggunaan tanah, di mana perusahaannya didirikan
untuk sejumlah jasa-jasa pribadi yang dimanfaatkannya dan untuk modal yang
digunakannya (modal pinjaman), kemudian ia menyumbang inisiatifnya,
keterampilannya serta upayanya dalam hal merencanakan, mengorganisasi, dan
mengelola perusahaannya. Ia menghadapi kemungkinan rugi atau laba sehubungan
dengan kejadian-kejadian yang tidak diduga semula dan yang tidak dapat
dikendalikan.
Pandangan berikutnya dikemukakan
Joseph Schumpeter, seorang ekonom yang banyak melakukan penelitian-penelitian
tentang entrepreneur dan entrepreneurship:
Fungsi para entrepreneur adalah
mengubah atau merevolusionerkan pola produksi dengan jalan memanfaatkan sebuah
penemuan baru (invention) atau secara lebih umum, sebuah kemungkinan
teknologikal untuk memproduksi sebuah komoditi baru, membuka sebuah sumber
suplai bahan-bahanbaru, atau suatu cara penyaluran baru (ingat saluran
distribusi dalam kegiatan pemasaran), atau mereorganisasi sebuah industry baru
(Winardi. 2001: 4-5).
B. PENGERTIAN ENTREPRENEUR
Kata entrepreneur berasal dari bahasa Prancis,
entreprendre, yang sudah dikenal sejak abad ke-17, yang berarti berusaha. Dalam
hal bisnis, maksudnya adalah memulai sebuah bisnis. Kamus Merriam-Webster
menggambarkan definisi entrepreneur
sebagai seseorang yang mengorganisir dan menanggung risiko sebuah bisnis atau
usaha.
Menurut Thomas
W. Zimmerer (2008) entrepreneurship
(kewirausahaan)
adalah penerapan kreativitas dan
keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan upaya memanfaatkan
peluang-peluang yang dihadapi orang setiap hari.
Menurut Andrew
J. Dubrin (2008) entrepreneur adalah
seseorang yang mendirikan dan menjalankan sebuah usaha yang inovatif.
Istilah entrepreneurship (kewirausahaan) pada dasarnya merupakan suatu
disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan (ability) dan perilaku seseorang
dalam menghadapi tantangan hidup untuk memperoleh peluang dengan berbagai
risiko yang mungkin dihadapinya. Entrepreneurship adalah segala yang berkaitan
dengan sikap, tindakan dan proses yang dilakukan oleh para entrepreneur dalam
merintis, menjalankan dan mengembangkan usaha mereka.
Entrepreneurship
merupakan gabungan dari kreativitas, inovasi dan keberanian menghadapi resiko yang dilakukan dengan cara kerja
keras untuk membentuk dan
memelihara usaha baru.
Dan seorang entrepreneur adalah
seorang yang menciptakan sebuah bisnis baru, dengan menghadapi resiko dan
ketidak pastian, dan yang bertujuan untuk mencapai laba serta pertumbuhan
melalui pengidentifikasian peluang-peluang melalui kombinasi sumber-sumber daya
yang diperlukan untuk mendapatkan manfaat.
dalam kenyataan, cukup banyak orang
memunculkan ide-ide muluk sehubungan dengan aneka macam bisnis, tetapi
kebanyakan diantara mereka tidak merealisasikannya. justru para entrepreneur
melaksanakan ide-ide mereka. banyak periset telah melakukan
penelitian-penelitian guna mendapatkan gambaran jelas tentang ke pribadian
entrepreneurial.[3]
C. BERBAGAI MACAM PANDANGAN TENTANG
KONSEP ENTREPRENEUR DAN ENTREPRENEURSHIP
pada tahun 1776, adam
smith, bapak ilmu ekonomi, menggambarkan seorang entrepreneur sebagai seorang
individu yang menciptakan sebuah organisasi untuk tujuan-tujuan komersial. iya
mengaitkan peranan sang entrepreneur dengan peranan seorang industrialis. tetapi,
ia juga memandang seorang entrepreneur sebagai yang memiliki pandangan kedepan,
hingga ia berkemampuan untuk mendeteksi permintaan potensial akan barang dan
jasa tertentu. dalam persepsi adam smith, para entrepreneur bereaksi terhadap
perubahan-perubahan ekonomi, hingga mereka menjadi pelaku ekonomi (economic
agents) yang mentranspormasi permintaan menjadi penawaran.
seorang ahli ekomomi
perancis yang bernama jean babtiste say, pada tahun 1803, menulis sebuah karya,
dalam karyanya say, melukiskan seorang entrepreneur sebagai seorang yang
memiliki seni serta keterampilan untuk menciptakan perusahaan-perusahaan baru,
dan yang memiliki pemahaman tentang kebutuhan masyarakat.
pada tahun 1848,
seorang ahli ekonomi inggris yang bernama john stuart mill, membahas pandangan
perlunya entrepreneurship pada perusahaan-perusahaan swasta; maka istilah
entrepreneur menjadi istilah yang lajim digunakan untuk mendiskripsi
pendiri-pendiri perusahaan bisnis (bussinis founders ) dan ia menjadikan faktor
ke-4 ( faktor produksi keempat).
Di Austria, seorang
ekonom yang bernama carl menger menetapkan apa yang dikenal sebagai : “
perspektif subjektivistik ilmu ekonomi “. hal tersebut disajikan dalam karyanya
yaitu, perubahan ekonomi bukanlah timbul karena keadaan yang berlaku, tetapi
dari kesadaran dan pemahaman individu tentang keadaan tersebut. seorang manajer
membayangkan sebuah rantai kausal kejadian-kejadian, dimana sumber-sumber daya
yang tidak memiliki manfaat langsung dalam hal memenuhi kabutuhan manusia, dan
hal tersebut merupakan teori klasik tentang produksi.[4]
D. PENTINGNYA ENTREPRENEURSHIP
Pada masa itu, mazhab
ekonomi yang dominan terutama mementingkan upaya memaneje permintaan konsumen.
Pada tahun 1970,
suasana kembali berubah, ilmu ekonomi yang terutama menitik beratkan kepada
permintaan konsumen, tidak mampu mencegah inflasi yang konstan selama dekade
tersebut. para ahli ekonomi mulai risau sehubungna dengan fakta bahwa
produktivitas di amerika serikat meningkat dengan tingkat lebih rendah
dibandingkan dengan keadaan sebelumnya dari 2 % hingga 3% per tahun pada tahun
1950 dan tahun 1960, sampai ia mendekati titik 0 %.
Hal tersebut
menyebabkan para ahli ekonomi lebih memperhatikan suplai barang-barang dan
jasa-jasa- bidang entrepreneur- dan Amerika makin kurang memperhatikan upaya
yang memanaje permintaan akan barang-barang dan jasa-jasa tersebut.
Pertumbuhan yang
menyusut, menyebabkan orang lebih memperhatikan sector-sektor perekonomian yang menunjukkan pertumbuhan cepat, yakni
bidang : servis medikal- elektronika- robotics-enjiniring genetika- dan
bidang-bidang lain. mereka semuanya merupakan industri-industri “High-tech”
dimana banyak perusahaan merupakan usaha kecil (small start- ups) yang
didirikan oleh orang-orang yang ingin mengubah dunia, dengan kata lain oleh
para entrepreneur.
George Gilder
menyebutkan sebagai : “kreativitas heroik entrepreneur”. (catatan : start-up
adalah sebuah perusahaan yang didirikan oleh para individu yang berkeinginan
untuk mengubah lingkungan industri tertentu, melalui introdiksi produk-produk
baru, atau proses produksi baru.
Ciputra mengemukakan lima alasan penting mengapa perlu
mempromosikan entrepreneurship untuk
negara berkembang seperti Indonesia (Nugroho,2009).
a.
Budaya “pegawai” atau “pekerja”
Ciputra
(2009) mengemukakan fakta bahwa kebanyakan generasi muda Indonesia tidak
dibesarkan dalam budaya entrepreneur,
melainkan dalam budaya “pegawai” atau “pekerja” dan ambtenaar
atau “pegawai negeri”. Mereka lahir dari kalangan pegawai
negeri, petani, nelayan, buruh, hingga pekerja serabutan. Entrepreneurship tidak ada dalam pendidikan
keluarga, tidak mengherankan jika setelah dewasa mereka memiliki pola piker
“mencari kerja” dan tidak dalam pola piker “menciptakan kerja”.
b.
Entrepreneurship tidak eksis di pendidikan
formal
Jika
pendidikan entrepreneurship tidak eksis
dalam pendidikan keluarga, demikian juga dalam pendidikan formal.
Inspirasi dan latihan entrepreneurship tidak tercermin atau tidak kita lihat dalam materi ajar kebanyakan
sekolah, sebagian besar pendidikan entrepreneurship diberikan di Balai Latihan
Kerja atau vocational education
dan program-program kemitraan dari pelaku usaha besar.
c.
Terlalu banyak pencari kerja
Ciputra
(2009) menegaskan bahwa sudah waktunya untuk menyampaikan fakta kepada generasi
muda sejak bangku sekolah dasar bahwa saat ini kita terlalu banyak memiliki
pencari kerja dan sebaliknya memiliki terlalu sedikit pencipta kerja. Bahkan
sekarang kita juga semakin banyak memiliki penganggur terdidik. Sehingga dengan
fakta ini kita dapat memberikan keyakinan kepada generasi muda agar dapat
memikirkan pilihan menjadi entrepreneur secara matang dan mereka tahu bagaimana
mempersiapkan diri menjadi entrepreneur.
d.
Mendidik kemampuan menciptakan pekerjaan
Ciputra
(2009) mengemukakan apabila kita tidak dapat menyediakan lapangan pekerjaan
bagi generasi muda, kewajiban kita adalah mendidik dan melatih generasi muda
untuk memiliki kemampuan menciptakan lapangan pekerjaan bagi diri mereka
sendiri.
e.
Penciptaan kesejahteraan masyarakat lebih luas
Pertumbuhan jumlah entrepreneur bukan hanya akan menolong
generasi muda, melainkan secara
keseluruhan akan mendorong penciptaan kesejahteraan
masyarakat yang lebih luas.[5]
E. KEPUTUSAN MENJADI ENTREPRENEUR
berbagai studi memang
menunjukkan bahwa tidak semua aspek dalam entrepreneur dapat diajarkan. Miller
(1987) aspek slef confidence, dan high energi levels yang merupakan
karakteristik entrepreneur tidak dapat diajarkan dengan metode konvensional
didalam kelas. menurut pengajar tidak dapat menciptakan entrepreneur tetapi
dapat menghasilkan pormula mengenai langkah-langkah sukses entrepreneurship.
pendapat miller
diperkuat oleh jeck Anderson (1998) yang mengatatakan bahwa entrepreneurship
merupakan seni dan ilmu, bagian ilmu melibatkan fungsi bisnis dan manajemen
bisa di ajarkan secara konvensional dikelas. tetapi untuk bagian seni yang
menyangkut aspek kreatif dan inovatif tidak dapat diajarkan dengan cara yang
sama.
F.
KARAKTERISTIK
SEORANG ENTREPRENEUR
Para ahli mengemukakan karakteristik kewirausaaan dengan konsep yang
berbeda-beda. Geoffrey G. Meredith(1996 :5-6), misalnya, menemukakan ciri-ciri
dam watak kewirausahaan seperti berikut :[6]
1. Karakteristik
·
Percaya diri dan optimis
·
Berorientasi pada tugas dan hasil
·
Berani mengambil presiko dan
menyukai tantangan
·
Kepemimpinan
·
Berorientasi masa depan
2. Watak
·
Memiliki kepercayaan diri yang kuat,
ketidak tergantungan terhadap orang lain, dan individualistis
·
Kebutuhan untuk berprestasi,
berorientasi laba, mempunyai dorongan kuat, Energik, tekun dan tabah, tekat
kerja keras, serta inisiatif.
·
Mampu mengambil resiko yang wajar
·
Berjiwa kepemimpinan, mudah
beradaptasi dengan orang lain, dan terbuka terhadap saran dan kritik.
·
Memiliki visi dan persperktif terhadap masa
depan.
Dan karakteristik entrepreneurship lainnya adalah :
1.
Tidak
mudah menyerah. Adanya hambatan dan masalah justru membuat mereka merasa lebih
tertantang untuk menguasainya. [7]
2.
Berani
mencoba sesuatu yang baru, melakukan revolusi perubahan yang dapat membuka
sumber pasok bagi suatu produk dan jasa.
3.
Mampu
melihat peluang bisnis yang tidak dilihat atau tidak diperhitungkan oleh orang
lain, serta memiliki visi untuk menciptakan sesuatu yang baru
4.
Dapat
menjadi inovator, dengan mengubah keadaan yang tidak/kurang menyenangkan
menjadi keadaan seperti yang diinginkan
5. Berani mengambil risiko. Baik
risiko yang bersifat finansial (rugi) maupun mental (gagal).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·
Kata
entrepreneur berasal dari bahasa Prancis, entreprendre, yang sudah
dikenal sejak abad ke-17, yang berarti berusaha. Dalam hal bisnis, maksudnya
adalah memulai sebuah bisnis. Kamus Merriam-Webster menggambarkan definisi entrepreneur sebagai
seseorang yang mengorganisir dan menanggung risiko sebuah bisnis atau usaha.
·
Fungsi
para entrepreneur adalah mengubah atau merevolusionerkan pola produksi dengan
jalan memanfaatkan sebuah penemuan baru (invention) atau secara lebih umum,
sebuah kemungkinan teknologikal untuk memproduksi sebuah komoditi baru, membuka
sebuah sumber suplai bahan-bahanbaru, atau suatu cara penyaluran baru (ingat
saluran distribusi dalam kegiatan pemasaran), atau mereorganisasi sebuah
industry baru.
·
Berbagai
studi memang menunjukkan bahwa tidak semua aspek dalam entrepreneur dapat
diajarkan. Miller (1987) aspek slef confidence, dan high energi levels yang
merupakan karakteristik entrepreneur tidak dapat diajarkan dengan metode
konvensional didalam kelas. menurut pengajar tidak dapat menciptakan
entrepreneur tetapi dapat menghasilkan pormula mengenai langkah-langkah sukses
entrepreneurship.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. Suryana,
M.Si, kewirausahaan,(Jakarta : Selemba Empat, 2010)
Prif. Dr. J.
Winardi, SE, Entrepreneur dan Entrepreneurship , (Jakarta :Kencana
Prenada Media Group, 2003)