makalah Tentang TAFSIR BIL MA`TSUR Dan TAFSIR BIL RA`YI



A.    PENDAHULUAN
Manusia lahir ke dunia tanpa dibekali ilmu pengetahuan, baik untuk kepentingan dirinya maupun pihak lain di luar dirinya, seperti masyarakat dan alam sekitarnya. Al quran merupakan kalamullah yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril, dan Nabi Muhammad SAW menyampaikannya kepada ummatnya. Para sahabat yang hidup bersama Nabi tidak kesulitan dalam memahami Al quran. Disamping karena Al quran menggunakan bahasa mereka, juga karena mereka sering mendapatkan pengajaran dan penjelasan dari Nabi.  Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam Al quran, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan Al quran. Sebagai orang yang paling mengetahui makna Al quran, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya.
Metode penafsiran Al quran pada masa Nabi adalah penjelasan secara langsung oleh beliau sendiri, sebab orang yang paling memahami Al quran adalah Rasulullah, ketika para sahabat menanyakan tentang suatu makna dari suatu ayat tertentu, maka Rasullulah yang langsung memberikan penjelasan kepada para sahabat. Keadaan ini terus berlangsung sampai Nabi wafat Sebagaimana firman Allah:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ -٤٤إِلَيْهِمْ
Artinya: ” ...Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”.






B.     PENGERTIAN TAFSIR  
Menurut bahasa, kata tafsir ber- wazan dari kata dasar al-fasr yang berarti menjelaskan atau menyingkap makna yang abstrak. Kata tafsir juga dapat diambil dari at-tafsir, yaitu suatu ilmu yang digunakan dokter untuk mengetahui penyakit. Abu hayan medefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas tentang cara pengungkapan kata- kata Al quran baik petunjuk – petunjuknya, hukum – hukumnya secara tunggal atau tarkib, maupun mengungkapkan beberapa makna ( kandungan ) yang termuat dalam tarkib dan yang menjadi kesempurnaanya. Defenisi ini menekankan pada tata cara pengungkapan lafal Al quran yang dibahas dalam ilmu qiraat. Al- jurjani dalam kitab at-ta’rif mendefenisikan tafsir adalah menjelaskan makna ayat, baik bentuknya, kisahnya atau sebab diturunkannya Al quran dengan lafal tersebut yang menunjukkan pada dalaah zahir.
Dari arti secara bahasa dan defenisi di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa tafsir adalah suatu ilmu yang digunakan untuk mengungkap kandungan dan rahasia Al quran baik yang terkandung dalam zahir lafaz atau kalimat dengan menggunakan beberapa ilmu yang terkait dengan ilmu – ilmu Al quran.[1]
C.     TAFSIR BIL MA’TSUR
Tafsir bil ma’tsur secara bahasa adalah berasal dari kata atsara artinya bekas. Dan tafsir bil mat’sur disebut juga tafsir bir riwayah karena berdasarkan riwayat-riwayat yaitu Al quran dan Hadits dan selainnya.  Tafsir bil ma’tsur disebut juga tafsir bi naqli, karena riwayatnya berdasarkan pemindahan dari satu orang ke orang lain atau sesuatu yang  ditranferkan.[2]
           Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikan tafsir bil matsur diantaranya, menurut Manna’ Al-Qaththan, tafsir bil matsur adalah tafsir yang berdasarkan kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al quran dengan Al quran, Al quran dengan Hadits Nabi yang berfungsi untuk menjelaskan Kitab Allah, dan juga dengan perkataan sahabat karena mereka lah yang lebih mengetahui Kitab Allah atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.[3]
           Menurut Muhammad Al-Zarqani,  tafsir bil matsur adalah penafsiran ayat Al quran dengan ayat Al quran, Al quran dengan Sunnah Nabi, dan para sahabat.  Sedangkan menurut Muhammad Husein Adz-Dzahabi, tafsir bil matsur adalah penafsiran yang bersumber ayat Al quran dengan ayat Al quran, dengan Hadits nabi, perkataan sahabat dan juga tabi’in, tabi’in  termasuk dalam kerangka tafsir riwayat meskipun mereka tidak secara langsung menerima tafsir dari Rasullullah SAW.
Berdasarkan definisi tersebut penulis menyimpulkan  bahwa tafsir bil ma’tsur adalah penafsirannya terfokus pada riwayat-riwayat yaitu dengan menggunakan penafsiran Al quran dengan Al quran, penafsiran Al quran dengan sunnah, penafsiran Al quran dengan perkataan para sahabat dan lain sebagainya. Dalam tradisi studi Al quran klasik, riwayat merupakan sumber penting di dalam pemahaman teks Al quran. Sebab Nabi Muhammad SAW adalah  sebagai mufassir pertama terhadap Al quran. Dalam konteks ini muncul istilah metode tafsir riwayat. Karena pada masa Rasullulah, sahabat menerima riwayat-riwayat atau penjelasan Al quran dari Nabi Muhammad SAW. Lalu sahabat tersebut menyampaikan riwayat tersebut kepada sahabat yang lainnya begitu juga seterusnya. Di antara kitab tafsir bil ma’tsur adalah kitab: Jami’ al-Bayan Fi Tafsir Al quran, karangan Imam Ibn Jarir al-Thabary.
1.      Sejarah Perkembangan Tafsir Bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur  telah ada sejak zaman sahabat, dan ada beberapa sahabat yang terkemuka dalam bidang ilmu tafsir yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar al Faruq, Utsman Dzun Nurain (Utsman bin Affan), Ali bin Abi Thalib,  Abdullah bin Mas’ud,  Abdullah bin ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu musa al Asy’ary dan Abdullah bin Zubair. Pada zaman  ini tafsir bil ma’tsur dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau dari sahabat oleh sahabat,serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas periwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah itu ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini di masukkan dalam kitab- kitab hadis, namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku – buku yang memuat khusus tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi muhammad Saw, para sahabat, dan tabi’in . Semua kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur kecuali kitab yang dikarang ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan menganalisannya serta mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat Al quran.[4]
Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya  dan hanya mengemukakan pendapat – pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatn yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi – studi kritis yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufasir dapat berhati – hati.
2.      Karakteristik dan Ciri Tafsir bil Ma’tsur Beserta Contoh
a.       Tafsir Al-Quran dengan Al-Qur’an
Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an adalah satu ayat, kata atau huruf dalam Al-Qur’an ditafsirkan dengan ayat yang lainnya. Contoh seperti dalam Surah Al-Maidah ayat 1 telah ditafsirkan oleh Surah Al-Maidah ayat 3
أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ
Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu”
ayat ini ditafsirkan oleh ayat 3 dalam surah yang sama.
...حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
Diharamkan bagimu(memakan) bangkai, darah, daging babi...”
Contoh lainnya adalah Firman Allah:

فَتَلَقَّى آَدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Baqarah: 37). Kalimat yang diterima Adam ditafsirkan dengan ayat

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“keduanya berkata (Adam dan Hawa), “wahai Tuhan kami, kemi telah menganiaya diri kami, andai kata Kamu tidak memaafkan dan mengasihi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S Al-A’raf: 23).
b.      Tafsir Al quran dengan Hadits Nabi SAW 
Tafsir Al quran dengan Hadits Nabi SAW adalah satu ayat, kata atau huruf dalam Al quran ditafsirkan dengan hadits Nabi. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca Firman Allah
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ
Artinya:“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki...”
kemudian Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة الرمي
Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
           Contoh lainnya yaitu penafsiran pada Nabi SAW. Diriwayatkan oleh Syaikhani dan selain dari keduanya. Dari Ibnu Mas’ud r.a berkata: ketika turunnya ayat ini
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
Artinya:”Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk”.
        Yang demikian itu sulit bagi manusia dan  sahabat berkata:” wahai Rasulullah siapakah dari kita yang tidak mendhalimi dirinya sendiri?” Berkata Rasul:” tidak masalah, hal tersebut tidak seperti yang kamu sangka, apakah kamu tidak mendengar apa yang dikatakan oleh hamba yang baik (Luqmanul Hakim).(Q.S.Luqman:13)
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Artinya:”sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Rasulullah saw menafsiran kata بِظُلْمٍ dalam ayat tersebut dengan الشِّرْكَ . penafsiran ini selaras dengan penegasan Allah dalam Q.S. Luqman:13.
c.       Tafsir Al quran dengan Perkataan Sahabat
Tafsir Al quran dengan perkataan sahabat adalah suatu ayat, kata atau huruf dalam Al quran ditafsirkan dengan perkataan sahabat. Karena para sahabatlah yang dekat dan bersama atau berkumpul dengan Nabi SAW. Dan mereka mengambil dari sumbernya yang asli dan telah menyaksilan turunnya  Al quran, serta mengetahui asbabaun nuzul.[5] Contohnya dalam penggunaan “aqwalush shahabah” dalam menafsirkan Al quran atau berkata Ibnu Abbas atau sahabat yang lainnya. Untuk melihat contohnya dapat diamati tafsir Ibn Jarir Ath-Thabari atau kitab tafsir yang lainnya yang menggunakan tafsirnya dengan perkataan sahabat. Contoh penafsiran ini tidak banyak ditemukan. Tafsir pada masa sahabat yang terkenal ibnu abbas sedangkan pada masa tabiin 3 sekolah atau 3 tempat.
d.      Tafsir bil Matsur juga dengan Menggunakan Riwayat Israiliyat
Riwayat israiliyat adalah riwayat-riwayat yang berasal dari Ahli Kitab yaitu Nasrani daan Yahudi yang menjelaskan ayat Al quran. Ketika Ahli kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagaamaan mereka berupa cerita-cerita dan kisah-kisah keagaamaan  Saat mereka membaca  kisah-kisah dalam Al quran  terkadang mereka paparkan rincian kisah tersebut yang terdapat dalam kitab-kitab mereka. Ketika mereka membaca ayat Al quran dan ketika ayat Al quran itu menyinggung kisah yang sama, mereka pun memberikan komentar berdasarkan apa yang pernah mereka baca dari kitab-kitab mereka sebelumnya.
            Dalam kitab tafsir Ath-Thabari banyak mengutip dari orang-orang Ahli Kitab yang menerima ajaran islam yaitu yang telah memeluk agama islam seperti Abdullah bin Salam dan Ka’ab al-Ahbar. Para sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas pernah bertanya kepada orang-orang Ahli kitab tersebut tentang beberapa peristiwa masa lalu, akan tetapi tidak berhubungan dengan aqidah.

D.    TAFSIR BIL RA’YI
Kata al-Ra’yi berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Tafsir  bi al-Ra’yi disebut juga tafsir bi al-Dirayah. Sebagaimana didefinisikan Husen Adz-Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir yang telah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, dan sebagainya.
Al-Farmawi mendefinisikan tafsir bi al-Ra’yi sebagai penafsiran Al quran dengan ijtihad setelah mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan ia pun mengetahui kosakata Arab beserta muatan artinya.
Yang dimaksud ijtihad di sini, bukan hanya semata-mata ijtihad, atau karena hobi, akan tetapi mempergunakan akal dalam mufassir tersebut sudah dapat mengetahui ungkapan-ungkapan bahasa Arab dari berbagai aspeknya, seperti kebiasaan-kebiasaan orang-orang Arab mengungkapkannya, atau pemakaian kata tersebut, mengetahui asbab an-nuzul, mengetahui nasikh-mansukh dari ayat-ayat Al quran.[6]
Dari pengertian diatas dapat kami simpulkan bahwa tafsir bi al- ra’yi adalah tafsir yang dalam  menjelaskan maknanya, mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri. Dan penyimpulan yang didasarkan pada ra’yu semata. . Di antara kitab tafsir bi al-ra’yi adalah kitab: Madarik at-Tanzil Wa Haqaiq al-Ta’wil, karangan al-Ustadz Mahmud al-Nasafy.
1.      Perkembangan Tafsir bil Ra’yi
Tafsir bil rayi ada setelah berakhir masa salaf sekitar abad 3 H dan peradaban islam semakin maju dan berkambang, sehingga  berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan umat islam. Masing  – masing golongan berusaha menyakinkan umat islam dalam rangka mengembangkan paham mereka. Didukung dengan banyaknya  para ahli tafsir yang  telah menguasai berbagai disiplin ilmu, maka pada proses penafsiran mereka cenderung memasukkan hasil pemikiran serta pembahasan tersendiri yang berbeda dengan penafsir lain. Contohnya ada yang cenderung pada ilmu balagh (imam al Zamakhsyari), pembahasan aspek hukum syariah (imam al- Qurtuby) karena individulisme seperti inilah banyak penafsir yang sampai mengesampingkan tafsir yang sesungguhnya karena sibuk memasukkan ide nya masing - masing. Dalam perkembangannya tafsir bir-ra’yi mengalami perkembangan yang pesat, namun dalam penerimaannya dimata para ulama ada dua tanggapan yakni memperbolehkan dan melarang.[7]
2.      Syarat-Syarat Tafsir bi Al-Ra’yi
Para ulama menegaskan bahwa tafsir bi al-ra’yi ada yang diterima dan ada yang ditolak. Suatu penafsiran bi al-ra’yi dapat dilihat dari kualitas penafsirannya. Apabila ia memenuhi sejumlah persyaratan yang dikemukakan para ulama tafsir, maka diterimalah penafsirannya. Kewajiban yang harus ditaati oleh seorang mufassir yang berupaya mengomentari teks Al quran, harus berhati - hati benar dalam menempuh manhaj, sebelum menggunakan ra’yu atau ijtihad, yang wajib ditaati adalah :
Pertama Hendaknya ia mencari makna Al quran dari redaksi Al quran itu sendiri. Jika ia tidak menemukannya di dalam sunnah Rasulullah SAW, karena sunnah adalah pensyarah Al quran. Jika ia tidak menemukannya di dalam di dalam sunnah, maka hendaknya ia mencari dari pendapat - pendapat para shahabat. Karena ia lebih mengetahui situasi dan kondisi turunnya ayat Al quran.
Kedua Apabila cara-cara di atas tidak dapat menafsirkan Al quran dengan jelas atau tidak sesuai dengan konteks masa kini, maka mufassir hendaknya menempuh tahapan berikut :
a.       Mula-mula memperhatikan makna-makna lafadz yang tunggal, lalu ditinjaunya lafadz ini dari segi bahasa, sharaf, istiqaq dengan memperhatikan makna yang dipakai di masa Al quran diturunkan.
b.      Memperhatikan susunan-susunan kalimat dari segi i’raf dan balaghah dan meresapi keindahannya dengan kekuatan ilmu bayan.
c.       Mendahulukan makna haqiqi atas makna majazy. Janganlah menggunakan makna majazy, kecuali tidak menggunakan tidak ditemukan makna hakikinya.
d.      Memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qiro’at dan kebiasaan budaya orang sekeliling Nabi, dan sejauh mana tingkat intelektualnya dalam memahami Al quran.
e.       Memperhatikan tradisi historis, yang berisi bagaimana tingkat intelektualnya dalam memahami Al quran.
f.       Memperhatikan korelasi antar ayat.
g.      Memperhatikan apa yang dimaksudkan dari siyaqul kalam.
h.      Menyesuaikan tafsir dengan ilmu-ilmu yang telah positif benarnya, sementara ini ilmu-ilmu kimia, ilmu fisika, biologi dan kosmologi.
i.        Merenungkan makna yang dimaksud dan hukum-hukum yang diistimbatkan dalam batas-batas undang-undang bahasa, undang-undang syari’at, undang-undang logika dan umum
j.        Memelihara undang-undang tarjih diwaktu memerlukan tarjih.[8]
3.      Pembagian Tafsir bi al-Ra’yi
a.       Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmudah 
Tafsir bil Ra’yi al-Mahmudah ialah tafsir Al quran yang didasarkan dari ijtihad yang jauh dari kebodohan dan penyimpangan. Tafsir ini sesuai dengan peraturan bahasa Arab. Karena tafsir ini tergantung kepada metodologi yang tepat dalam memahami ayat-ayat Al quran. Barangsiapa yang menafsirkan Al quran berdasarkan pikirannya, dengan memenuhi persyaratan dan bersandarkan kepada makna-makna Al quran, penafsiran seperti ini dibolehkan dan dapat diterima. Tafsir semacam ini selayaknya disebut tafsir yang terpuji atau tafsir yang sah. Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat di antaranya : 
1)      Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai Al quran dan As-Sunnah, Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bi al-Ma’tsur.
2)      Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini di antaranya: Tafsir Al-Qurthuby, Tafsir Al-Jalalain, Tafsir Al-Baidhawy.
b.      Tafsir bi al-Ra’yi al-Mazmumah 
Tafsir bil Ra’yi al-Mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela/dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pengambilan hukum) hanya menggunakan akal atau logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat Al quran sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir periode sekarang ini.  Di antara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah Tafsir Zamakhsyary, Tafsir Syiah Itsna Asyariah, Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah. Di antara contoh digunakannya akal fikiran dan pendapat bagi penafsiran al-Qur’an yaitu:
1)      Golongan Mu’tazilah berkenaan dengan maksud kalimat Maqaman mahmudan. dijelaskan dalam Q.S. al-Isra’/17: 79. Terjemahnya:Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji”. Sementara ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan maqaman mahmudan (tempat yang terpuji) ialah tempat di mana Allah swt akan mendudukkan Muhammad saw di atas arsy sebagai ganjaran atas ketahajjudannya. Sedang ahli tafsir yang menggunakan pendapat (akal) menafsirkan maqaman mahmudan sebagai martabat syafa’at (kedudukan yang memiliki wewenang untuk memberi pertolongan pada hari kiamat). Alasan mereka bersandar pada ucapan at-Thabari yang mengatakan bahwa duduk di atas arsy adalah mustahil.
2)      Penafsiran sebagian mufassir terhadap Q.S. An-Nahl/16: 68. Terjemahnya: Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.” Mereka berpendapat bahwa di antara lebah itu, ada yang diangkat sebagai Nabi yang diberi wahyu Allah, dan mereka mengemukakan cerita bohong tentang kenabian lebah. Sementara itu, sebagian berpendapat, bahwa ada tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah untuk dijadikan sarang-sarang dan madu.
3)      Penafsiran sebagian orang terhadap Q.S. Ar-Rahman/55: 33. Terjemahnya: Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan. Mereka menduga bahwa ayat di atas mengisyaratkan kemungkinan para ilmuwan mendarat di bulan dan planet-planet lain, sedangkan konteks ayat sebelum dan sesudahnya tidak memungkinkan ayat itu mengandung pengertian demikian.
4)      Penafsiran sebagin mufassir terhadap Q.S. Al-Humazah 104: 6-7. Terjemahnya: (6) yaitu api yang sediakan Allah yang dinyalakan, (7) yang membakar sampai ke hati. Mereka berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan macam-macam sinar yang berhasil ditemukan pada abad XX dan mampu mendeteksi bagian dalam tubuh manusia. Mereka memaknai ayat di atas dengan sesuatu yang tidak mungkin jika di hubungkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya.[9] 

E.     PENUTUP
1.      Kesimpulan
Tafsir bil Ma’tsur dan Tafsir Bir-ra’yi merupakan metode tafsir yang bertolak belakang, karena tafsir bil Ma’tsur disandarkan atau di rujuk pada   Al quran serta Hadits nabi yang sahih dan jelas sanadnya sedangkan  tafsir Bil ra’yi metode tafsir yang hasil tafsirannya agak diragukan karena banyak yang termasuki oleh kepentongan madzhab dan golongan, namun masih ada yang diperbolehkan karena memiliki rujukan yang shahih dan tidak mengandung kepentingan golongan.
Tafsir bil Ma’tsur sudah ada sejak zaman sahabat  yang pada masa digunakan untuk memperkuat penafsiran dengan mengutip hadis dari rasulullah atau sesama sahabat. Tafsir Bil ra’yi ada dan berkembang saat para penafsir juga menguasai ilmu di bidang lain serta memasuki golongan – golongan seperti mu’tazilah, Syiah, Khawarij dan lain-lain. Buku – buku Tafsir dengan metode tafsir bil Ma’tsur sering dijadikan rujukan sedang tafsir bir-ra’yi perlu dipilih – pilih dulu.
2.      Kritik dan Saran
Dalam pembuatan makalah ini apabila ada kekurangan dan kelemahan itu wajar maka dari itu pembuat makalah masih membutuhkan banyak kritik serta saran. Dan insya Allah akan lebih baik lagi pada makalah – makalah berikutnya.


[1] Ma’ruf amari dan nurhadi, Tafsir, Solo: Pt.wangsa jatra lestari, 2012. Hlm.101
[2] Ibid,hlm.104
[3] Manna’ Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.terjemah Muzakkir AS (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), hlm.482-483

[4] ibid,hlm503-513
[5] Nashruddin baidan,metode penafsiranAl quran ( yogjakarta : pustaka pelajar,2002), hlm.40-45  
[6] Ibid, hlm 46-48
[7] Ahmad syurbasyi, study tentang sejarah perkembangan tafsir ( jakarta: radar jaya offset,1999)
[8] Anhar ansyory, pengantar ulumul quran (yogyakarta: lembaga pengembangan studi islam universitas ahmad dahlan yoyakarta,2012), hlm, 92
[9] Ibid, hlm.93-94