A.
PENDAHULUAN
Manusia lahir ke dunia tanpa dibekali ilmu
pengetahuan, baik untuk kepentingan dirinya maupun pihak lain di luar dirinya,
seperti masyarakat dan alam sekitarnya. Al quran
merupakan kalamullah yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat
Jibril, dan Nabi Muhammad SAW menyampaikannya kepada ummatnya. Para sahabat
yang hidup bersama Nabi tidak kesulitan dalam memahami Al quran. Disamping
karena Al quran menggunakan bahasa mereka, juga karena mereka sering mendapatkan
pengajaran dan penjelasan dari Nabi.
Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam Al quran, antara satu dengan yang lainnya sangat
variatif dalam memahami isi dan kandungan Al quran. Sebagai orang yang paling
mengetahui makna Al quran, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada
sahabatnya.
Metode penafsiran Al quran pada masa Nabi adalah penjelasan secara langsung
oleh beliau sendiri, sebab orang yang paling memahami Al quran adalah
Rasulullah, ketika para sahabat menanyakan tentang suatu makna dari suatu ayat
tertentu, maka Rasullulah yang langsung memberikan penjelasan kepada para sahabat.
Keadaan ini terus berlangsung sampai Nabi wafat Sebagaimana firman Allah:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ -٤٤إِلَيْهِمْ
Artinya: ” ...Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka supaya mereka memikirkan”.
B. PENGERTIAN TAFSIR
Menurut bahasa, kata tafsir ber- wazan dari kata dasar al-fasr yang berarti menjelaskan atau
menyingkap makna yang abstrak. Kata tafsir juga dapat diambil dari at-tafsir, yaitu suatu ilmu yang
digunakan dokter untuk mengetahui penyakit. Abu
hayan medefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas tentang cara
pengungkapan kata- kata Al quran baik petunjuk – petunjuknya, hukum – hukumnya
secara tunggal atau tarkib, maupun
mengungkapkan beberapa makna ( kandungan ) yang termuat dalam tarkib dan yang menjadi kesempurnaanya.
Defenisi ini menekankan pada tata cara pengungkapan lafal Al quran yang dibahas
dalam ilmu qiraat. Al- jurjani dalam kitab at-ta’rif
mendefenisikan tafsir adalah menjelaskan makna ayat, baik bentuknya, kisahnya
atau sebab diturunkannya Al quran dengan lafal tersebut yang menunjukkan pada dalaah zahir.
Dari arti secara bahasa dan defenisi di atas dapat
diambil suatu pengertian bahwa tafsir adalah suatu ilmu yang digunakan untuk
mengungkap kandungan dan rahasia Al quran baik yang terkandung dalam zahir lafaz atau kalimat dengan
menggunakan beberapa ilmu yang terkait dengan ilmu – ilmu Al quran.[1]
C.
TAFSIR BIL MA’TSUR
Tafsir bil ma’tsur secara bahasa adalah berasal dari kata atsara
artinya bekas. Dan tafsir bil mat’sur disebut juga tafsir bir riwayah
karena berdasarkan riwayat-riwayat yaitu Al quran dan Hadits dan
selainnya. Tafsir bil ma’tsur disebut
juga tafsir bi naqli, karena riwayatnya berdasarkan pemindahan dari satu
orang ke orang lain atau sesuatu yang
ditranferkan.[2]
Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikan tafsir bil matsur
diantaranya, menurut Manna’ Al-Qaththan, tafsir bil matsur adalah tafsir yang
berdasarkan kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al quran dengan Al
quran, Al quran dengan Hadits Nabi yang berfungsi untuk menjelaskan Kitab
Allah, dan juga dengan perkataan sahabat karena mereka lah yang lebih mengetahui Kitab Allah atau dengan apa
yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerimanya
dari para sahabat.[3]
Menurut Muhammad Al-Zarqani,
tafsir bil matsur adalah penafsiran ayat Al quran dengan ayat Al quran,
Al quran dengan Sunnah Nabi, dan para sahabat.
Sedangkan menurut Muhammad Husein Adz-Dzahabi, tafsir bil matsur adalah
penafsiran yang bersumber ayat Al quran dengan ayat Al quran, dengan Hadits
nabi, perkataan sahabat dan juga tabi’in, tabi’in termasuk dalam kerangka tafsir riwayat
meskipun mereka tidak secara langsung menerima tafsir dari Rasullullah SAW.
Berdasarkan definisi tersebut penulis menyimpulkan bahwa tafsir bil ma’tsur adalah penafsirannya
terfokus pada riwayat-riwayat yaitu dengan menggunakan penafsiran Al quran
dengan Al quran, penafsiran Al quran dengan sunnah, penafsiran Al quran dengan
perkataan para sahabat dan lain sebagainya. Dalam tradisi studi Al quran
klasik, riwayat merupakan sumber penting di dalam pemahaman teks Al quran.
Sebab Nabi Muhammad SAW adalah sebagai
mufassir pertama terhadap Al quran. Dalam konteks ini muncul istilah metode
tafsir riwayat. Karena pada masa Rasullulah, sahabat menerima riwayat-riwayat
atau penjelasan Al quran dari Nabi Muhammad SAW. Lalu sahabat tersebut
menyampaikan riwayat tersebut kepada sahabat yang lainnya begitu juga
seterusnya. Di antara kitab tafsir bil ma’tsur adalah kitab: Jami’ al-Bayan Fi Tafsir Al quran, karangan Imam Ibn Jarir al-Thabary.
1.
Sejarah
Perkembangan Tafsir Bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur
telah ada sejak zaman sahabat, dan ada beberapa sahabat yang terkemuka
dalam bidang ilmu tafsir yaitu Abu
Bakar Ash Shiddiq, Umar
al Faruq, Utsman Dzun Nurain
(Utsman bin Affan), Ali
bin Abi Thalib, Abdullah
bin Mas’ud, Abdullah
bin ‘Abbas, Ubay
bin Ka’ab, Zaid
bin Tsabit, Abu
musa al Asy’ary dan Abdullah
bin Zubair. Pada
zaman ini tafsir bil ma’tsur dilakukan
dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau dari sahabat oleh
sahabat,serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas
periwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah itu
ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang
telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini di masukkan dalam kitab-
kitab hadis, namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka
ditulis dan terbitlah buku – buku yang memuat khusus tafsir bil ma’tsur lengkap
dengan jalur sanad kepada nabi muhammad Saw, para sahabat, dan tabi’in . Semua kitab
tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur kecuali kitab yang
dikarang ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan menganalisannya serta mengambil
istinbath yang mungkin ditarik dari ayat Al
quran.[4]
Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang
mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan
sanadnya dan hanya mengemukakan pendapat
– pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatn yang shahih atau tidak.
Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi – studi kritis yang
berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufasir
dapat berhati – hati.
2.
Karakteristik dan
Ciri Tafsir bil Ma’tsur Beserta Contoh
a.
Tafsir
Al-Quran dengan Al-Qur’an
Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
adalah satu ayat, kata atau huruf dalam Al-Qur’an ditafsirkan dengan ayat yang
lainnya. Contoh seperti dalam Surah Al-Maidah ayat 1 telah ditafsirkan oleh
Surah Al-Maidah ayat 3
أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ
الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ
“Hewan ternak
dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu”
ayat ini ditafsirkan oleh ayat 3 dalam surah yang
sama.
...حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
“Diharamkan bagimu(memakan)
bangkai, darah, daging babi...”
Contoh lainnya adalah Firman Allah:
فَتَلَقَّى آَدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“kemudian Adam
menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” (Q.S.
Al-Baqarah: 37). Kalimat yang diterima Adam ditafsirkan dengan ayat
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“keduanya berkata (Adam dan Hawa), “wahai Tuhan kami, kemi telah menganiaya
diri kami, andai kata Kamu tidak memaafkan dan mengasihi kami, niscaya kami
termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S Al-A’raf: 23).
b.
Tafsir Al quran
dengan Hadits Nabi SAW
Tafsir Al quran dengan Hadits Nabi SAW adalah
satu ayat, kata atau huruf dalam Al quran
ditafsirkan dengan hadits Nabi. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Muslim
dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas
mimbar membaca Firman Allah
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم
مِّن قُوَّةٍ
Artinya:“Dan
persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan
yang kamu miliki...”
kemudian Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة
الرمي
“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Contoh lainnya
yaitu penafsiran pada Nabi SAW. Diriwayatkan oleh Syaikhani dan selain dari
keduanya. Dari Ibnu Mas’ud r.a berkata: ketika turunnya ayat ini
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ
إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
Artinya:”Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang
mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk”.
Yang demikian
itu sulit bagi manusia dan sahabat
berkata:” wahai Rasulullah siapakah dari kita yang tidak mendhalimi dirinya
sendiri?” Berkata Rasul:” tidak masalah, hal tersebut tidak seperti yang kamu
sangka, apakah kamu tidak mendengar apa yang dikatakan oleh hamba yang baik
(Luqmanul Hakim).(Q.S.Luqman:13)
إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Artinya:”sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar.” Rasulullah
saw menafsiran kata بِظُلْمٍ dalam ayat tersebut dengan الشِّرْكَ . penafsiran ini selaras dengan
penegasan Allah dalam Q.S. Luqman:13.
c.
Tafsir Al quran
dengan Perkataan Sahabat
Tafsir Al quran dengan
perkataan sahabat adalah suatu ayat, kata atau huruf dalam Al quran ditafsirkan dengan perkataan sahabat. Karena para
sahabatlah yang dekat dan bersama atau berkumpul dengan Nabi SAW. Dan mereka
mengambil dari sumbernya yang asli dan telah menyaksilan turunnya Al quran, serta
mengetahui asbabaun nuzul.[5]
Contohnya dalam penggunaan “aqwalush shahabah” dalam menafsirkan Al quran atau berkata Ibnu Abbas atau sahabat yang
lainnya. Untuk melihat contohnya dapat diamati tafsir Ibn Jarir Ath-Thabari
atau kitab tafsir yang lainnya yang menggunakan tafsirnya dengan perkataan sahabat.
Contoh penafsiran ini tidak banyak ditemukan. Tafsir pada masa sahabat yang
terkenal ibnu abbas sedangkan pada masa tabiin 3 sekolah atau 3 tempat.
d.
Tafsir bil
Matsur juga dengan Menggunakan Riwayat Israiliyat
Riwayat israiliyat adalah
riwayat-riwayat yang berasal dari Ahli Kitab yaitu Nasrani daan Yahudi yang
menjelaskan ayat Al quran. Ketika
Ahli kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagaamaan mereka
berupa cerita-cerita dan kisah-kisah keagaamaan
Saat mereka membaca kisah-kisah
dalam Al quran terkadang
mereka paparkan rincian kisah tersebut yang terdapat dalam kitab-kitab mereka.
Ketika mereka membaca ayat Al quran dan
ketika ayat Al quran itu menyinggung kisah yang
sama, mereka pun memberikan komentar berdasarkan apa yang pernah mereka baca
dari kitab-kitab mereka sebelumnya.
Dalam kitab tafsir Ath-Thabari banyak mengutip dari orang-orang Ahli
Kitab yang menerima ajaran islam yaitu yang telah memeluk agama islam seperti
Abdullah bin Salam dan Ka’ab al-Ahbar. Para sahabat seperti Abu Hurairah dan
Ibnu Abbas pernah bertanya kepada orang-orang Ahli kitab tersebut tentang
beberapa peristiwa masa lalu, akan tetapi tidak berhubungan dengan aqidah.
D.
TAFSIR
BIL RA’YI
Kata al-Ra’yi berarti
pemikiran, pendapat dan ijtihad. Tafsir bi al-Ra’yi
disebut juga tafsir bi al-Dirayah. Sebagaimana
didefinisikan Husen Adz-Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil
berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir yang telah mengetahui bahasa Arab
dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti
asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, dan sebagainya.
Al-Farmawi mendefinisikan tafsir bi al-Ra’yi sebagai penafsiran Al quran dengan ijtihad setelah mufassir yang bersangkutan
mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan ia pun
mengetahui kosakata Arab beserta muatan artinya.
Yang dimaksud
ijtihad di sini, bukan hanya semata-mata ijtihad, atau karena hobi, akan tetapi
mempergunakan akal dalam mufassir tersebut sudah dapat mengetahui
ungkapan-ungkapan bahasa Arab dari berbagai aspeknya, seperti
kebiasaan-kebiasaan orang-orang Arab mengungkapkannya, atau pemakaian kata
tersebut, mengetahui asbab an-nuzul, mengetahui nasikh-mansukh dari ayat-ayat Al quran.[6]
Dari pengertian diatas dapat kami simpulkan bahwa tafsir bi al- ra’yi
adalah tafsir yang dalam menjelaskan
maknanya, mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri. Dan penyimpulan yang
didasarkan pada ra’yu semata. . Di antara kitab tafsir bi al-ra’yi adalah kitab:
Madarik at-Tanzil Wa Haqaiq al-Ta’wil, karangan al-Ustadz Mahmud al-Nasafy.
1.
Perkembangan Tafsir
bil Ra’yi
Tafsir bil
ra’yi
ada setelah berakhir masa salaf sekitar abad 3 H dan peradaban islam semakin
maju dan berkambang, sehingga
berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan umat islam. Masing – masing golongan berusaha menyakinkan umat
islam dalam rangka mengembangkan paham mereka. Didukung dengan banyaknya para ahli tafsir yang telah menguasai berbagai disiplin ilmu, maka
pada proses penafsiran mereka cenderung memasukkan hasil pemikiran serta
pembahasan tersendiri yang berbeda dengan penafsir lain. Contohnya ada yang
cenderung pada ilmu balagh (imam al Zamakhsyari), pembahasan aspek hukum syariah (imam al-
Qurtuby) karena individulisme seperti inilah banyak penafsir yang sampai
mengesampingkan tafsir yang sesungguhnya karena sibuk memasukkan ide nya masing - masing. Dalam perkembangannya
tafsir bir-ra’yi mengalami perkembangan yang pesat, namun dalam penerimaannya
dimata para ulama ada dua tanggapan yakni memperbolehkan dan melarang.[7]
2.
Syarat-Syarat Tafsir bi Al-Ra’yi
Para ulama menegaskan bahwa tafsir bi al-ra’yi ada yang
diterima dan ada yang
ditolak. Suatu penafsiran bi al-ra’yi dapat dilihat dari kualitas penafsirannya. Apabila ia memenuhi sejumlah persyaratan yang dikemukakan para ulama tafsir, maka diterimalah
penafsirannya. Kewajiban yang harus ditaati oleh seorang mufassir yang berupaya
mengomentari teks Al quran, harus berhati - hati benar dalam menempuh manhaj,
sebelum menggunakan ra’yu atau ijtihad, yang wajib ditaati adalah :
Pertama Hendaknya ia mencari makna Al quran dari redaksi Al quran itu sendiri. Jika
ia tidak menemukannya di dalam sunnah Rasulullah SAW, karena sunnah adalah
pensyarah Al quran. Jika ia tidak menemukannya di dalam di dalam sunnah, maka
hendaknya ia mencari dari pendapat - pendapat para shahabat. Karena ia lebih
mengetahui situasi dan kondisi turunnya ayat Al quran.
Kedua
Apabila cara-cara di atas tidak dapat menafsirkan Al
quran dengan jelas atau tidak sesuai dengan konteks masa kini, maka mufassir
hendaknya menempuh tahapan berikut :
a.
Mula-mula
memperhatikan makna-makna lafadz yang tunggal, lalu ditinjaunya lafadz ini dari
segi bahasa, sharaf, istiqaq dengan memperhatikan makna yang dipakai di masa Al
quran diturunkan.
b.
Memperhatikan
susunan-susunan kalimat dari segi i’raf dan balaghah dan meresapi
keindahannya dengan kekuatan ilmu bayan.
c.
Mendahulukan makna haqiqi
atas makna majazy. Janganlah menggunakan makna majazy,
kecuali tidak menggunakan tidak ditemukan makna hakikinya.
d.
Memperhatikan asbab
al-nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qiro’at dan kebiasaan budaya orang
sekeliling Nabi, dan sejauh mana tingkat intelektualnya dalam memahami Al
quran.
e.
Memperhatikan
tradisi historis, yang berisi bagaimana tingkat intelektualnya dalam memahami
Al quran.
f.
Memperhatikan
korelasi antar ayat.
g.
Memperhatikan apa
yang dimaksudkan dari siyaqul kalam.
h.
Menyesuaikan tafsir
dengan ilmu-ilmu yang telah positif benarnya, sementara ini ilmu-ilmu kimia,
ilmu fisika, biologi dan kosmologi.
i.
Merenungkan makna
yang dimaksud dan hukum-hukum yang diistimbatkan dalam batas-batas
undang-undang bahasa, undang-undang syari’at, undang-undang logika dan umum
j.
Memelihara
undang-undang tarjih diwaktu memerlukan tarjih.[8]
3.
Pembagian Tafsir bi
al-Ra’yi
a.
Tafsir bi
al-Ra’yi al-Mahmudah
Tafsir bil Ra’yi al-Mahmudah ialah tafsir Al quran yang
didasarkan dari ijtihad yang jauh dari kebodohan dan penyimpangan. Tafsir ini
sesuai dengan peraturan bahasa Arab. Karena tafsir ini tergantung kepada
metodologi yang tepat dalam memahami ayat-ayat Al quran. Barangsiapa yang menafsirkan Al quran berdasarkan
pikirannya, dengan memenuhi persyaratan dan bersandarkan kepada makna-makna Al quran,
penafsiran seperti ini dibolehkan dan dapat diterima. Tafsir semacam ini
selayaknya disebut tafsir yang terpuji atau tafsir yang sah. Tafsir bi
al-Ra’yi al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan
beberapa syarat di antaranya :
1)
Ijtihad yang dilakukan tidak keluar
dari nilai-nilai Al quran dan As-Sunnah, Tidak
berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bi al-Ma’tsur.
2)
Seorang mufassir harus menguasai
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya. Beberapa
contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini di antaranya: Tafsir
Al-Qurthuby, Tafsir Al-Jalalain, Tafsir Al-Baidhawy.
b.
Tafsir bi
al-Ra’yi al-Mazmumah
Tafsir bil Ra’yi al-Mazmumah (penafsiran dengan
akal yang dicela/dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan
pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pengambilan hukum) hanya menggunakan akal atau logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para bid’ah yang sengaja
menafsirkan ayat Al quran sesuai
dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak
dilakukan oleh ahli tafsir periode sekarang ini. Di antara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode
ini adalah Tafsir Zamakhsyary, Tafsir Syiah Itsna Asyariah, Tafsir As-Sufiyah
dan Al-Bathiniyyah. Di antara contoh digunakannya akal fikiran dan pendapat
bagi penafsiran al-Qur’an yaitu:
1)
Golongan Mu’tazilah berkenaan dengan maksud kalimat Maqaman mahmudan. dijelaskan dalam Q.S. al-Isra’/17: 79. Terjemahnya: “Dan pada sebahagian malam
hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu;
Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat
yang Terpuji”. Sementara ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan maqaman mahmudan (tempat yang terpuji) ialah tempat di mana Allah swt
akan mendudukkan Muhammad saw di atas arsy sebagai ganjaran atas ketahajjudannya.
Sedang ahli tafsir yang menggunakan pendapat (akal) menafsirkan maqaman
mahmudan sebagai martabat syafa’at (kedudukan yang memiliki wewenang untuk
memberi pertolongan pada hari kiamat). Alasan mereka bersandar pada ucapan
at-Thabari yang mengatakan bahwa duduk di atas arsy adalah mustahil.
2)
Penafsiran sebagian mufassir
terhadap Q.S. An-Nahl/16: 68. Terjemahnya: Dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit di
pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.” Mereka berpendapat bahwa di antara lebah itu, ada yang
diangkat sebagai Nabi yang diberi wahyu Allah, dan mereka mengemukakan cerita
bohong tentang kenabian lebah. Sementara itu, sebagian berpendapat, bahwa ada
tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah untuk
dijadikan sarang-sarang dan madu.
3)
Penafsiran sebagian orang terhadap
Q.S. Ar-Rahman/55: 33. Terjemahnya: “Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup
menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat
menembusnya kecuali dengan kekuatan.” Mereka menduga bahwa ayat di atas mengisyaratkan
kemungkinan para ilmuwan mendarat di bulan dan planet-planet lain, sedangkan
konteks ayat sebelum dan sesudahnya tidak memungkinkan ayat itu mengandung
pengertian demikian.
4)
Penafsiran sebagin mufassir terhadap
Q.S. Al-Humazah 104: 6-7. Terjemahnya: (6) “yaitu api yang sediakan Allah yang
dinyalakan, (7) yang membakar sampai
ke hati.” Mereka
berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan macam-macam sinar yang berhasil
ditemukan pada abad XX dan mampu mendeteksi bagian dalam tubuh manusia. Mereka
memaknai ayat di atas dengan sesuatu yang tidak mungkin jika di hubungkan
dengan ayat sebelum dan sesudahnya.[9]
E.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Tafsir bil Ma’tsur dan Tafsir Bir-ra’yi merupakan
metode tafsir yang bertolak belakang, karena tafsir bil Ma’tsur disandarkan
atau di rujuk pada Al quran serta Hadits nabi
yang sahih dan jelas sanadnya sedangkan
tafsir Bil ra’yi
metode tafsir yang hasil tafsirannya agak diragukan karena banyak yang
termasuki oleh kepentongan madzhab dan golongan, namun masih ada yang
diperbolehkan karena memiliki rujukan yang shahih dan tidak mengandung
kepentingan golongan.
Tafsir bil Ma’tsur sudah ada sejak zaman
sahabat yang pada masa digunakan untuk
memperkuat penafsiran dengan mengutip hadis dari rasulullah atau sesama sahabat. Tafsir Bil ra’yi ada dan berkembang saat para
penafsir juga menguasai ilmu di bidang lain serta memasuki golongan – golongan
seperti mu’tazilah, Syiah, Khawarij
dan lain-lain. Buku – buku Tafsir
dengan metode tafsir bil Ma’tsur sering dijadikan rujukan sedang tafsir
bir-ra’yi perlu dipilih – pilih dulu.
2.
Kritik dan Saran
Dalam pembuatan makalah ini apabila ada kekurangan
dan kelemahan itu wajar maka dari itu pembuat makalah masih membutuhkan banyak
kritik serta saran. Dan insya Allah akan lebih baik lagi pada makalah – makalah
berikutnya.