BANK AIR SUSU IBU (ASI) DAN
BANK SPERMA
A.
Pendahuluan
Air susu ibu (ASI) adalah makanan
yang terbaik bagi bayi, karena pengolahannya telah berjalan secara alami dalam
tubuh si ibu. Sebelum anak lahir, makananya telah dipersiapkan lebih dahulu.
Begitu anak lahir, air susu ibu telah dapat dimanfaatkan. Pada akhir-akhir ini,
pemerintah selalu menghimbau kepada kaum ibu, supaya persediaan makanan yang
ada pada diri si ibu itu, jangan disia-siakan kemudian menggantikannya dengan
makanan yang lain.
Untuk lebih jelasnya dalam makalah
sederhana ini penulis mencoba membahas sedikit tentang ASI dan sperma, dimana
yang akan dibahas mengenai hikmah pemberian ASI dan hukum bank ASI tersebut,
serta membahas seputar tentang bank sperma.
B.
Bank Air Susu Ibu (ASI)
Lembaga yang menghimpun susu murni
dari pada ibu untuk memenuhi kebutuhan air susu ibu bagi bayi yang tidak
memperoleh ASI dari ibunya sendiri. Lembaga pertama kali muncul di dunia Barat
dan berkembang sampai ke Asia, diantaranya
Singapura. Hingga akhir 1995, di Indonesia lembaga seperti ini belum ada bagi
non-muslim, permasalahan ASI bukanlah persoalan yang menyangkut hukum agama.
Oleh sebab itu, kehadiran bank ASI dapat mereka terima, bahkan keberadaannya
sangat membantu dalam memperlancar aktivitas mereka.
Dalam Islam, persoalan menyusukan
anak kepada wanita lain juga merupakan sesuatu yang dibolehkan, seperti yang
dilakukan Aminah Binti Wahab, Ibunda Rasulullah, ketika ia meminta Halimah as
Sa’diyah untuk menyusui Muhammad.[1]
Kehilangan air susu ibu, tidak ada
yang merugikannya, baik air susu ibu si bayi, maupun air susu wanita orang
lain. Seorang bayi boleh saja menyusu kepada wanita lain, bila air susunya
tidak memadai atau karena suatu hal, ibu kandung si bayi tidak dapat
menyusuinya. Status ibu yang menyusukan seorang bayi, sama dengan ibu kandung
ibu sendiri, tidak boleh kawin dengan wanita selain dan anak-anaknya yang dalam
hukum Islam disebut dengan saudara sepersusuan.[2]
Ada akibat menyusukan anak kepada wanita lain, seperti yang dinyatakan
Allah SWT dalam surat
An-Nisa ayat 23, yakni anak yang disusukan tidak boleh kawin dengan ibu
sesusuan dengan keturunan ibu susu, dengan saudara-saudara sepersusuan serta
keturunan dan orang tua mereka.
Hal ini sejalan dengan Hadis
Rasulullah SAW yang mengatakan: “diharamkan (seseorang) mengawini wanita yang
menyusukan dengan sesama keturunannya” (HR, Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal)
Dari penjelasan ayat dan hadis di
atas, juga permasalahan air susu ibu dalam Islam mempunyai akibat hukum yang
sangat luas misalnya apabila seseorang pria menikah seorang wanita dan kemudian
diketahui bahwa mereka saudara sesusuan, maka pernikahan tersebut langsung
fasakh (batal) lafal talaq maupun keputusan peradilan.
Untuk meyakinkan bahwa anak-anak
benar harus diberi makan, pakaian dan dipelihara sepatutnya al-Qur’an telah
menetapkan tentang menyusui. Peraturan ini ditujukan untuk melindungi
kepentingan anak-anak baik dari keluarga yang utuh maupun kedua orang keduanya
bercerai, maka mereka harus mengadakan persetujuannya yang bercerai. Jika kesepakatan,
karena menyusui merupakan tanggung jawab kedua orang tuanya, jika diabaikan
mereka harus bertanggung jawab kepada Allah pada hari peradilan.
Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233 telah dijelaskan
tentang masa menyusui yaitu:
- Masa menyusui yang normal dua tahun
- Tanggung jawab memberi nafkah pada istri atau istri yang terdahulu serta mengatur penyusuan bagi anak dibebankan atas laki-laki.
- Wanita yang menyusukan tidak boleh diperlakukan semena-mena oleh suami.
- Menyapih anak harus dilakukan dengan kesepakatan antara ibu dan ayah.
- Jika laki-laki meninggal maka harta peninggalannya dipergunakan untuk menafkahi istrinya dan anak yang ditinggalkannya.
- Bila siibu tidak dapat menyusui anaknya sendiri dia dan suaminya memutuskan untuk menyerahkan kepada ibu asuh, hal ini tidaklah membahayakan, akan tetapi si ibu harus tetap diberi nafkah.
- Setiap muslim harus memahami apa yang dilakukannya. Allah senantiasa melihatnya sepanjang waktu oleh karena itu dia tidak boleh memperlakukan istri atau istri terdahulu dan anaknya secara teraniaya.[3]
C.
Hukum Bank ASI
Menyusukan anak kepada wanita lain
yang dibolehkan dalam ayat atau hadis apabila penyusuan dilakukan secara
langsung. Adapun hukum menyusukan anak kepada seorang wanita yang susunya telah
dikeluarkan dan ditempatkan dalam suatu wadah disepakati oleh para ulama.
Pendapat pertama dikemukakan oleh
sumber ahli fiqh yang terdiri ulama
mazhab, Syafi’i az-Zahin, Maliki dan Zaidiah. Menurut mereka wanita
pemilik air susu itu boleh menjualnya yang telah dikeluarkan dan ditempatkan
pada suatu wadah. Alasan yang dikemukakannya diantaranya adalah firman Allah
dalam surat
al-Baqarah ayat 275 yang artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dengan
mengharamkan riba”.
Jumhur ulama mengatakan bahwa tidak
ada perbedaan antara susu manusia (wanita) dan susu hewan yang dagingnya
dimakan. Apabila susu hewan bisa dikonsumsi maka susu manusiapun demikian,
sama-sama bermanfaat bagi bayi. Oleh sebab itu apabila susu hewan boleh dijual
untuk dimanfaatkan bagi bayi karena susu manusia itu termasuk harta yang
bernilai. Dengan demikian mengambil upah dari menyusukan anak dibenarkan oleh
syara’.
Pendapat kedua, dikemukakan oleh imam
Ahmad bin Hambal (imam Hambali), ia menyatakan bahwa memperjual belikan air
susu seorang wanita hukumnya makruh. Tetapi ia tidak menjelaskan kepada hal
tersebut makruh. Sedangkan ibnu Qudamah (ahli fiqh mazhab Hanafi) menyatakan
bahwa ada alasan tersebut sebuah Hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah
ditanyakan dengan persoalan memperjualbelikan air susu seorang wanita.
Rasulullah SAW ketika itu menjawab “saya membencinya” (HR Ahmad bin Hambal).
Pendapat ketiga dikemukakan oleh imam
Yusuf (tokoh fiqh mazhab Hanafi). Ia menyatakan bahwa kebolehan
memperjualbelikan susu tersebut hanya berlaku bagi susu hamba sahaya, tidak
boleh pada wanita merdeka. Sedangkan menurut Abdussalam Abdur Rahman as-Sakari
(ahli fikih mesir), sependapat Abu Yusuf ini mendapat tantangan dari kalangan
para ulama lain dengan mengatakan nilai harta dalam budak tersebut adalah
kehidupan budak itu sendiri, sehingga ia dapat melayani tuannya, karena susu
tidak termasuk dalam perbudakan. Sehingga menurutnya tidak ada perbedaan antara
wanita yang statusnya budak dan wanita yang merdeka.
Pendapat keempat yang dikemukakan
oleh imam Hanafi, Muhammad bin Hambal asy-Syaibani, imam al-Mawardi (ahli fiqh
Syafi’i). sebagai ulama mazhab Hambali, Maliki. Menurut mereka tidak
memperjualbelikan susu manusia yang telah terpisah dari tubuh karena sudah
merupakan barang dagangan alasannya:
- Susu manusia bagian yang tidak terpisahkan dari manusia itu sendiri dan Allah telah memelihara manusia dengan seluruh bagiannya. Oleh sebab itu memperjualbelikan air susu manusia merupakan tindakan yang melecehkan kehormatan yang diberikan Allah SWT kepada manusia.
- Susu manusia bukanlah harta yang bisa dikenakan ganti rugi apabila dirusak atau dikurangi, karena susu manusia merupakan sesuatu yang tidak bisa kurang dari asalnya.
- Jika dikatakan susu itu merupakan minuman yang amat bermanfaat bagi bayi, bukan berarti hal tersebut menunjukkan bolehnya air susu diperjualbelikan.
- Status susu manusia sama dengan status manfaat dari suatu benda.
Jika keempat pendapat tersebut
dikatakan dengan persoalan bank ASI yang berkembang saat ini, menurut Abu
Salam, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa susu yang boleh
diperjualbelikan oleh ulama yang memperbolehkannya jelas alasannya dengan tidak
tercampur dengan susu orang lain ketika diperjualbelikan. Oleh sebab itu,
menentukan haram saling menikahi antara ibu susu serta keturunannya dan laki-laki
susuannya dapat dilacak dengan jelas, sehingga larangan Allah SWT terhadap
orang yang sesusuan untuk saling mengawini bisa ditentukan apabila bank ASI
yang berkembang pada saat ini melakukan pengontrolan yang ketat terhadap
identitas susu yang dikumpulkan (tanpa mencampurkan susu yang berawal dari
berbagai wanita). Maka upaya ini bisa berjalan dengan pendapat-pendapat jumhur
ulama tersebut. Akan tetapi menurut Abdus Salam, kenyataan menunjukkan bahkan
mencampur seluruh susu yang berhASIl diminta atau dibeli dari donor. Oleh sebab
itu jika bank ASI seperti ini dibolehkan maka akan banyak muncul pelanggaran
terhadap batasan-batasan.
Allah SWT tentang hubungan perkawinan
berupa munculnya pasangan-pasangan sesusuan yang diharamkan menikah. Dengan
demikian juga, ditinjau dari aspek manfaat dan mudarat bank ASI lebih besar.
Dalam keadaan seperti ini kaidah fiqh menyatakan: dar al-mafasir miqaddamun
‘ala jaib al-masalih (menolak kerusakan atau bahaya) lebih didahulukan dari
mengambil manfaat (kemaslahatan).
Disamping itu, menurut Abdus Salam
dalam bank ASI sulit untuk menjamin susu terbebas dari berbagai penyakit yang
terbawa dari wanita donor. Oleh sebab itu aspek bahaya lebih besar dibanding
aspek manfaatnya. Hal ini mengakibatkan bank ASI yang berkembang di dunia saat
ini dapat dilegalisasi syari’at Islam Saddaz-Zari’ah (menghindari jalan
yang akan membawa pada kerusakan).[4]
Satu-satunya fatwa lain mengenai
masalah yang sama adalah dari NU pada tahun 1971 yang tidak membuat keputusan
yang jelas kecuali sekedar mengulap sikap Syafi’i dengan mengutip teks-teks
fiqh standar. Dalam hal ini, Danah al-Thalibin tentang hubungan keluarga. Tapi
fatwa tersebut menekankan bahwa identitas wanita yang menyusui harus diketahui
untuk menimbulkan adanya hubungan tersebut. Dan jika pendonor tidak dapat
diketahui identitasnya maka tidak dapat menimbulkan adanya hubungan keluarga.[5]
D.
Hikmah Pemberian ASI
Kepada Bayi dan Hukumnya Menurut Islam
Kalau para ahli kesehatan dan gizi
baru-baru ini agar menganjurkan agar anak diberi ASI terdapat gizi yang sangat
diperlukan atau dibutuhkan oleh anak dalam masa pertumbuhannya. Islam sudah 14
abad yang lampau menganjurkan hal tersebut hanya saja, karena anjuran Islam
disampaikan melalui kitab suci, maka selama ini umat Islam hanya menerima apa adanya
dan melaksanakannya atas dasar keimanan. Dalam al-Qur’an surat surat al-Baqarah
ayat 233 telah dijelaskan bahwa para ibu wajib menyusui anaknya dengan ASI
dengan pemberian batasan waktu yang ideal 2 tahun, oleh sebab itu berdosalah
para ibu yang mengabaikan masalah penyusuan dengan ASI bila ia mampu
melakukannya.
Jadi hikmah dibalik pemberian ASI
adalah:
- ASI merupakan makanan bayi yang kaya akan protein. ASI mulai tetes pertama sampai dengan yang terakhir yang dapat diproduksi oleh ibu ternyata mengandung semua zat untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.
- Pemberian ASI bukan hanya menguntungkan bagi anak yang disusui, melainkan juga bagi ibu yang menyusukan rahim ibu lebih cepat pulih seperti sebelum hamil.
- Dalam proses penyusuan banyak hal yang bermanfaat bagi diri ibu maupun bagi pertumbuhan bayi.
- Dengan penyusuan ASI terjadi keterkaitan antara ibu dan bayi.[6]
Dan dalam al-Qur’an juga dijelaskan
bahwa adanya keterkaitan antara ibu dan bayi jika si ibu memberikan ASI pada
bayinya. Seperti kisah Nabi Musa yang terdapat dalam surat al-Qashash ayat 12 yang berbunyi:
$oYøB§ymur Ïmøn=tã yìÅÊ#tyJø9$# `ÏB ã@ö6s% ôMs9$s)sù ö@yd ö/ä39ßr& #n?tã È@÷dr& ;Møt/ ¼çmtRqè=àÿõ3t öNà6s9 öNèdur ¼çms9 cqßsÅÁ»tR ÇÊËÈ
Artinya: “Dan Kami
jadikan Musa enggan menyusu kepada perempuan-perempuan yang akan menyusukannya;
(Melihatkan halnya itu), kakaknya berkata: "Mahukah, Aku tunjukkan kamu
kepada penduduk sebuah Rumah yang akan memeliharanya untuk kamu, serta mereka
tulus ikhlas kepadanya?"
Ayat di atas menunjukkan tentang
kekuasaan Allah, karena umumnya bayi tidak tahu apa-apa. Namun apa yang terjadi
pada diri Musa ia mampu membedakan kehangatan kasih sayang penyusuan antara ibu
sendiri denga wanita lain. Ia enggan untuk mengisapnya. Disamping itu memang
Allah sudah berjanji akan mempertemukan Musa dengan ibunya kembali tanpa
diketahui Fir’aun. Hal ini terdapat pula dalam surat al-Qashash ayat 7 yang berbunyi:
!$uZøym÷rr&ur #n<Î) ÏdQé& #ÓyqãB ÷br& ÏmÏèÅÊör& (
#sÎ*sù ÏMøÿÅz Ïmøn=tã ÏmÉ)ø9r'sù Îû ÉdOuø9$# wur Îû$srB wur þÎTtøtrB (
$¯RÎ) çnr!#u Å7øs9Î) çnqè=Ïæ%y`ur ÆÏB úüÎ=yößJø9$# ÇÐÈ
Artinya: “Dan Kami
ilhamkan kepada ibu Musa: "Susukanlah dia; jika Engkau takutkan sesuatu
bahaya mengenainya (dari angkara Firaun), maka (letakkanlah Dia di Dalam peti
dan) hanyutkanlah dia ke sungai Nil; dan janganlah Engkau merasa bimbang dan
jangan pula berdukacita; Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadaMu, dan
Kami akan melantiknya menjadi salah seorang dari Rasul-rasul kami.”
Kesan yang dapat diambil dari ayat di
atas yaitu:
- Adanya hubungan yang tidak akan terputus karena Allah SWT telah memberikan kenikmatan kepada Musa dan ibunya dalam proses penyusuan tersebut.
- Allah maha mengetahui bahwa ibu menyusui yang telah disediakan keluarga Fir’aun barang kali yang tidak baik sehingga dengan demikian seandainya Musa disusukan kepada wanita jelek baik dari jasmani maupun rohani hal ini akan mempengaruhi pribadi Musa sendiri.
E.
Bank Sperma
Bank sperma didirikan untuk memenuhi
keperluan orang yang menginginkan anak, tetapi dengan berbagai sebab, sperma
suami tidak mungkin dibuahkan dengan sel telur (ovum) si istri. Donor sperma
ini kita ketahui masih dirahASIakan dan tidak boleh diketahui oleh siapapun.
Dengan demikian, anak hasil inseminasi yang diperoleh dari bank sperma lebih
kabur statusnya dari pada anak zina. Sebab, sejelek-jelek anak zina masih mungkin
diketahui bapaknya (yang tidak sah menurut Islam), paling kurang dapat
diketahui oleh ibu anak zina itu.
Jika dikaitkan dengan perwalian dalam
perkawinan bagi anak wanita dan warisan (anak pria dan anak wanita), maka
statusnya sama dengan anak zina, yaitu harus dengan wali hakim dan anak itu
hanya waris mewarisi dengan ibunya saja. Jadi pemanfaatan sperma dari bank
sperma, haram hukumnya dalam pandangan Islam.
Terdapat banyak pendekatan yang
berbeda terhadap masalah bank sperma ini dikalangan para ulama. Apabila Islam
di Indonesia yang masalahnya terlalu dalam inseminasi buatan dan perwalian,
walaupun jawaban para ulama pada akhirnya sama.
- Majelis Ulama Indonesia
Dalam hal bank sperma MUI membagi
dalam empat, bagian pertama: penciptaan anak dengan menggunakan sperma sel
telur dari suami istri yang sah tidak dilarang dan dibolehkan atau mubah.
Dengan kata lain cara itu merupakan sebuah pilihan sebagai masalah prinsip
agama. Kedua, penanaman sperma kedalam
rahim wanita lain dilarang dilahirkan oleh ibu yang menyediakan sel
telur dan ibu yang mengandung melahirkan anak. Ketiga, penggunaan sperma dari
orang tua laki-laki yang meninggal dilarang. Keempat, penciptaan anak dari
sperma dan sel telur yang diambil dari orang yang bukan suami istri dirang,
sama dengan anak zina.
- Muhammadiyah
Muhammadiyah tidak menggunakan sad
al-Dzuru’i dalam masalah sperma meskipun dalam masalah lain menggunakannya.
Sebaliknya setelah menyatukan pemutasi yang mungkin penggunaan sperma dan sel
telur dari suami istri yang sah yang hukumnya mubah kemudian sperma donor, sel
telur dan kombinasi yang hukumnya haram. Muhammadiyah langsung mengutip
al-Qur’an diantaranya dalam: surat an-Nahl ayat
72, surat ar-Rad ayat 11, surat Ali Imran 14.
- Nahdatul Ulama (NU)
Ada dua fatwa dari
NU. Pertama tahun 1981 membolehkan inseminASI buatan dari sperma dan sel telur
dan pasangan yang kawin secara sah tetapi melarang yang sebaliknya. Pengambilan
sperma dan sel telur harus dilakukan dengan cara yang benar-benar tidak
mengiring pada kesalahan, yakni proses itu harus dilakukan dengan menggunakan
kedokteran yang tepat. Kedua melarang pemutasi karena masalah yang keturunan,
perwalian, warisan dan pengasuhan anak tidak jelas. Masalah lain adalah ketidak
mungkinan untuk mengetahui siapa yang sebenarnya pendonor yakni pemilik pertama
atau wanita yang mempunyai rahim.[7]
F.
Penutup
Air susu ibu (ASI) adalah makanan
yang terbaik bagi bayi, karena pengolahannya telah berjalan secara alami dalam
tubuh si ibu. Sebelum anak lahir, makanannya telah dipersiapkan lebih dahulu.
Begitu anak itu lahir, air susu ibu telah dapat dimanfaatkan. Pada akhir-akhir
ini, pemerintah selalu menghimbau kepada kaum ibu, supaya persediaan makanan
yang ada pada diri siibu itu, jangan disia-siakan kemudian menggantikannya
dengan makanan yang lain.
Lembaga yang menghimpun air susu
murni dari pada ibu salah satunya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air susu
ibu bagi bayi yang tidak memperoleh ASI dari ibunya sendiri, hal ini mempunyai
efek yang negatif dimana nantinya akan terjadi perkawinan yang mempunyai
hubungan persaudaraan yaitu saudara sepersusuan.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul
Aziz, Ensiklopedi Islam, Jakarta:
Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1995.
Hasan, M. Ali, Masail
Fiqiyah al-Haditsah, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996.
Pyanggo,
Khuzaimah, Fikih Perempuan Kontemporer, Jakarta: AL-Mawardi Prima, 2001.
Rahman, A. Penjelasan
Lengkap Hukum-Hukum Allah, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002.
Sihab, Quraish, Islam
Mazhab di Indonesia, Jakarta:
Teraju, 2002.
[1]Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 1995), hlm. 61.
[2]M. Ali Hasan, Masail Fiqiyah al-Haditsah, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm. 162.
[3]A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), hlm. 274-275.
[5]Quraish Sihab, Islam Mazhab di Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 256.
[6]Khuzaimah Pyanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: AL-Mawardi Prima,
2001), hlm. 165-170.
[7]Quraish Shihab, Ibid., hlm. 256-258.