Makalah Tentang Islam di Minangkabau



ISLAM DI MINANGKABAU


A.    Pendahuluan
Menurut pendapat sebagian ahli sejarah bahwa agama Islam masuk Minangkabau kira-kira pada tahun 1250 M. dan pada waktu itu pula pendidikan Islam diterapkan di Minangkabau yang membawa Islam termasyhus adalah Syeh Burhannuddin yang dilahirkan di Sintuk Pariaman pada tahun 1066 H dan wafatnya pada tahun 1111 H. dan sebagai ahli sejarah pula mengatakan bahwa kerajaan Islam berdiri Di Minangkabau tahun 1500 M. atau tahun 1650 M.
Ini tidak berarti bahwa Agama Islam masuk di Minangkabau pada tahun 1500 M. melainkan kerajaan Islam yang berdiri.
Dari uraian diatas maka dalam makalah ini akan kami uraikan beberapa masalah di Minangkabau.

B.     Islam Masuk Keminang Kabau
Islam masuk ke Minangkabau sejak abad kenam belas. Pada mulanya orang-orang Minangkabau pergi Merantau ke Malaka dan dari Minangkabau bagian Pesisir Barat banyak yang berlayar ke sebelah utara, ke Natal, Singkil, Tapaktua, dan Aceh. Karena pada masa itu Islam sangat maju disana, maka orang-orang Minangkabau yang merantau kesana memeluk Islam, sebagian mereka menetap dan membuka negeri sembilan, dan sebagai mereka pulang ke Minangkabau, lalu membawa agama Islam kenegerinya.[1]
Karena pengajaran agama Islam itu amat baik, maka banyak orang minangkabau yang berlajar agama kesana. Pada mulanya banyak penghulu-penghulu dan orang-orang yang beradat tidak menyukainya. Sebab raja hanya berfungsi sebagai lambang, dan kekuasaan sesungguhnya berada di tangan para penghulu adat. Tetapi dengan kesabaran hati dan kemauan yang keras alim ulama itu melaksanakan ke wajibannya dengan cara kebijaksanaan.
Dengan usaha keras akhirnya Islam makin maju, hingga banyak orang Minangkabau yang memeluk agama Islam. Di antara ulama besar termashur di Minangkabau ialah Syekh Binhanuddin, dan Mendirikan Surau di Ulakan Pariaman. Maka dari uraian itu menerangkan Islam masuk ke Minangkabau melalui dua jurusan.
  1. Dari Malaka, melalui Sungai Siak dan Sungai Kampar, lalu terus ke pusat Minangkabau.
  2. Dari Aceh. Melalui persisir barat.[2]
Karena Islam masuk dari dua jurusan, maka terdapat perbedaan pengaruhnya. Pada bagian pesisir pengaruh syarak lebih kuat dari pengaruh adat, sedangkan bagian barat pengaruh adat lebih kuat dari pengaruh sayarak.
Dengan tersebarnya Islam Diminangkabau, peraturan syariatpun mulai berkembang secara berangsur-angsur dan adat-adat yang bertentangan dengan agamapun mulai ditingalkan, yang pada akhirnya berdirilah kerajaan Islam di Minangkabau pada tahun 1650 dengan pusat Kekuasaan pagaruyung, dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam negeri dimana hukum adat sedangkan peraturan-peraturan secara Islam dinamai Hukum Syarak. Maka alim ulama serta cerdik pandai dan penghulu-penghulu berkompromi antara adat dan agama yang tidak bertentangan dengan Islam: ada pepatah mengatakan:[3]
Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah
Seiring dengan menyebarnya Islam dan terjadinya kompromi tersebut maka tiap-tiap negri dan desa diangkat tempat bertanyakan tentang hukum adat yang disebut sebagai qadli atau pendeta yaitu “cermin yang tiada kabut, pelita yang tiada padam”, kemudian diangkat juga seorang kabin, pelita yang tiada padam-padam kemudian diangkat juga seorang malim yang menetapkan hukum syarak yang dimana “suluh nan terang”, yang pada akhirnya terkadilah di Minangkabau, orang-orang yang dinamai empat jenis dalam tiap-tiap suku yaitu:
  1. Penghulu, (Sebagai raja dalam sukunya).
  2. Manti, (menteri).
  3. Dubalang, (Sebagai polisi dalam sukunya).
  4. Malim (Alim), (Kepala agama).
Dan sebagai puncak pimpinan dalam Minangkabau, selain raja pagaruyung diangkat juga:
  1. Raja adat di BUD
  2. Raja ibadat di Sumpukudus.
  3. Qadli di Pandangganting
  4. Titah di Sungai-tarab.
  5. Andomo Di Saruwaso.
  6. Makhudim di Sumanik[4]

C.    Penyiaran dan Pendidikan Islam di Minangkabau
Pada mulanya seorang syeh dari ulama Pariaman suku gusi, pergi ke tanah Aceh untuk menuntut ilmu syariat dan belajar pada tuan syeh Abdur Rauf, setelah tamat belajar ia pulang ke ulakan untuk mengajarkan ilmunya, setelah itu banyaklah orang datang kepadanya untuk menuntut ilmu syariat. Salah seorang murid beliau yang mashur ialah Tuanku Nan Tuo yang datang diparijauan. Selain itu ada juga Tuanku di tanah Rao yang datang dari Mekkah membawa ilmu mantik dan ma’dni, lalu diturunkan kepada tuanku Nan Kacink di negeri Koto Gedang. Dan ada lagi di Sumanik, seorang Tuanku datang dari Aceh yang menghapal hadits, tafsir dan ilmu faraid, dan ada pula Tuanku di Talang yang menguasai ilmu Nahu.
Pada akhirnya abad ke-18 ada seorang alim bergelar Pakih Sagir yang mengarang cerita ini, dinegeri Koto Laweh. Ia menuntut ilmu pada Tuanku Nan Tuo Mandiang paninjauan dan pada Tuanku Nan Kacik Koto Gedang dan juga Tuanku Disumanik selain dari pada itu ada lagi ulama yang sangat mashur namanya, yaitu Tuanku nan Tuo, dalam negeri empat angkat di Koto Tuo. Beliau belajar ilmu agama pada Tuanku di Kamang, tuanku di Sumanik, Tuanku Nan Kacik di Koto Gadang, dan Tuanku Mansiang Dikoto paninjauan, maka berhimpunlah ilmu mantik, ma’ani, serta tafsir, ilmu syariat dalam beberapa kitab yang benar pada Tuan Syeh Tuanku Nan Tuo Dikoto Tuo empat angkat.
Dengan kemashuran nama beliau maka berduyun-duyunlah orang untuk menuntut ilmu kepada Tuanku Nan Tuo Dikoto Tuo Minang Kabau Bahkan Samapi ketanah Rao.
Beberapa tahun lamanya beliau menunaikan tugasnya memberikan pendidikan dan pengajaran Islam, dan teranglah bahwa pendidikan di Minangkabau telah bayak menganut agam Islam sebelum lahirnya syeh Burhanuddin bahwa sudah ada diantara mereka itu yang pergi keluar pulau sumatra untuk menyiarkan agama Islam.[5]
1.      Pendidikan Islam di Minangkabau
Pada masa kerajaan Islam tegak dan kuat. Dengan lahirnya ulama maka pendidikan dan pengajaran Islampun tegak dan kuat. Hal itu dapat di buktikan dengan lahirnya ulama-ulama besar di minangkabau. Seperti syekh Burhanuddin ulakan. Tuanku Imam Bonjol dan kawan-kawannya sebagai pembahari dan penyempurnaan pendidikan dan pengajaran Islam.
Setelah kerajaan Islam jatuh dan kaum padri dipatahkan oleh penjajah Belanda. Maka mulailah pendidikan dan pengajaran Islam Mundur. Tetapi meskipun begitu pendidikan Islam disurau-surau dan dimasjid-masjid tetap tegak dan berdiri dan tidak perna mati walaupun pemerintah penjajah telah mendirikan beberapa sekolah sebagai saingan surau-surau itu.
Kita mengetahui mana yang pasti. Bagaimana keadaan pendidikan dan pengajaran Islam sejak mulai penjajahan Belanda dan tahun 1937 itu. Hanya dapat kita katakan. Bahwa pendidikan dan pengajaran Islam ketika itu dalam tingkat kemundurannya sebagai akibat dari penjajahan belanda. Yang dapat kita kehui dengan pasti ia cara dan sistem pendidikan dan pengajaran Islam dalam masa beberapa tahun sebelum tahun 21900 M.
Bahkan dalam masa tahun 1900 dan kemundurannya masih berjalan juga sistem itu pada beberapa negeri di minangkabau. Sistem pendidikan Islam sebelum tahun 1900 itu bisa dinamakan sistem lama.
2.      Pendidikan Islam Menurut Sistem Lama
Pada tiap-tiap negeri (dasar) kaum muslimin mendirikan sebuah mesjid untuk tempat mengerjakan sembahyang jum’at dan ada tiap-tiap kampung mereka dirikan surau/langgar untuk tempat mengaji al-Qur’an dan tempat mengerjakan sembayang 5 waktu. Menurut adat kebiadaan kaum muslimin, anak yang telah berumur 7 tahun harus diceraikan dari ibunya. Anak-anak itu bermalam disurau sambil belajar mengaji al-Qur’an pada guru agama.
3.      Pengajian Al-Qur’an Sebagai Pendidikan Islam Pertama
Sebagaimana diterangkan diatas tempat mengaji al-Qur’an itu ialah di surau/langgar. Anak-anak belajar dengan duduk bersila dan belum memakai bangku dan meja. Gurupun duduk pula mereka belajar pada guru seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti sekarang. Pelajaran yang mula-mula ialah belajar hurup al-Qur’an atau huruf hijaiah. Setelah pandai membaca huruf hijaiah itu. Baru belajar membaca al-Qur’an.
Dalam waktu itu diajarkan pula cara mengenai ibadah seperti berwudhu. Sembahyang dan sebagainya. Lain dari hal itu diajarkan juga pelajaran keimanan yang dinamai mengaji. Sifat 20 serta hukum akal yang tiga seperti wajib. Mustahil dan zaiz.
Adapun ahlaq diajarkan dengan cerita-ceritanya seperti cerita Nabi-nabi dan orang-orang shaheh serta contoh yang di tiru dan suri tauladan yang diperlihatkan oleh guru agama tiap-tiap hari kepada murid-muridnya.[6]
Dalam pengajian Qur’an itu dipentingkan pula latihan mengerjakan sembahyang magrib. Sya dan shubuh harus berjamaah dengan guru.
Oleh sebab itu besar sekali pengaruh pengajian Qur’an itu dalam jiwa anak-anak. Sehingga tak dapat halang selama hidupnya. Suatu kekurangan besar dalam pengajian Qur’an itu ia tidak diajarkan menulis huruf Qur’an hanya semata-mata membaca saja. Padahal menurut metode baru belajar membaca, artinya sesudah belajar membaca harus diadakan pelajaran menulis. Dengan demikian anak-anak dapat mengenal huruf dengan baik dan mudah.
Pengajian Qur’an itu dua macam:
a.       Tingkatan rentak seperti diterangkan diatas dan diadakan pada tiap-tiap kampung dan anak-anak hanya belajar malam saja dan pagi hari sesudah sembahyang subuh.
b.      Tingkat atas, pelajarannya selain tersebut diatas ditambah lagi dengan pelajaran lagi Qur’an lagu kasidah, berjanji, tajwid, serta mengaji perukunan. Pengajian Qur’an tingkat atas, hanya pada suatu negeri yang disana ada seornag guru al-Qur’an yang termashur, dinamai Qari. Disurau beliau itu beratus-ratus murid belajar al-Qur’an dengan tajwid dan lagunya. Serta mata pelajaran yang lain, terutama kitab perukunan.
Bukan anak-anak yang berasal dari negeri itu saja, melainkan banyak juga anak-anak yang datang dari negeri yang lain. Umumnya murid-murid belajar siang dan malam.
Pada mula-mulainya bacaan huruf al-Qur’an itu tidak betul dan tidak tepat, terutama huruf-huruf seperti Dlad dan sebagainya. Umunya mereka membunyikan huruf Dlad dengan Zha. Sama saja bunyinya.[7]
4.      Kebaikan dan Kekurangan Sistem Lama-lama Mengajarkan Huruf Hijaiah.
Kebaikan sistem lama itu, ialah karena pelajaran itu diulang-ulang oleh anak-anak dengan lagu. Lagunya itulah satu-satunya yang menarik hati anak-anak, meskipun mereka tidak mengerti apa yang dilagukannya. Bahkan kadang-kadang pelajaran itu mengkaji jadikan sajak, sebagai suatu kesenian. Didalamnya terlukis kekecewaan dan kurang senang hati anak-anak terhadap gurunya. Apa lagi kalau guru itu cakap kali mempergunakan rotan waktu mengajar.

D.    Perlawanan Terhadap Penjajahan Belanda
  1. Perang Padri di Minangkabau
Pusat kekuasaan Minangkabau adalah Pagaruyung. Tetapi raka hanya berfungsi sebagai lambang. Kekuasaan sesungguhnya berada ditangan penghulu adat. Walaupun Islam sudah masuk sejak abad ke-16. tetapi proses sinkretisme berlangsung lama. Pemurnian Islam dimulai oleh Tuanku Koto Tuo dengan pendekatan damai. Tetapi pendekatan itu tidak diterima oleh murid-muridnya yang lebih radikal, terutama tuanku Nan Renceh, seorang yang amat berpengaruh dan memiliki banyak murid di daerah Luhak agam.
Kelompok radikal ini mendapat kekuatan baru tahun 1903 ketika tiga ulama. Haji miskin dari pandai sikat. Haji Sumanik dari VIII kota, dan haji Tiobang dari 50 kota Pulang dari mekkah. Mereka melihat bahwa penduduk Minangkabau baru masuk Islam secara formal dan belum mengajarkan agama secara murni.
Sesampai di kampung masing-masing, mereka mulai mengeluarkan patwa-patwa. Haji miskin dengan radikal menyebarkan pendiriannya, sehingga ia dikejar-kejar penduduk yang tidak menerima. Akhirnya, ia pergi kekota lawas dan mendapat perlindungan dari tuanku Mensiagan. Ulama ini bahkan bersedia dan bertekat membantunya. Setelah itu, ia pergi Kekamang. Disini ia bertemu dengan Tuanku Nan Renceh. Atas usaha Tuanku Nan Renceh haji miskin mendapat teman Padang Lawas. Tuanku Padang Luar, tuanku Galung, Tuanku Kubu Ambalu, tuanku Lubuk Aur, dan tuanku Bansa, mereka membentuk semacam dewan revormasi yang dikenal dengan nama “Harimau nan Salapan” (delapan harimau yang berani menentang kemaksiatan) tuanku Mensiangan diangkat Imam perang.
Disetiap yang dapat mereka taklukkan diangkat tuanku Qodhi untuk menjaga perjalanan hukum syara’ dan tuanku imam untuk memimpin peribadatan sembahyang dan bukan puasa. Jadi, menyabung ayam, diperkenankan maka sirih dan keluar rumah tanpa menutupi aurat.[8]
Setelah mereka sampai di Minangkabau maka kedapatanlah bahwa orang-orang di Minangkabau berlainan sekali menjalankan agama Silam dengan orang-orang di Makkah, lalu mereka berkata bahwa orang-orang di Minangkabau sangat jahil maka ketika tuan ini menjalankan ajaran agama sebagaimana di pelajarinya di makkah itu.
Adapun haji orang pandai singkat digelari orang haji miskin. Mula-mula beliau tinggal di batu Tegal disambut oleh baik-baik dengan tuan-tuan alim ulama disitu. Mereka bersama-sama melarang orang menyabung, berjudi, mengisab candu, meminum tuak, merampok, dan membunuh lan kejahatan terlarang menurut sarak, mereka menguatkan mendirikan sembahyang lima waktu, puasa, berzakat fitrah dan mendirikan jum’at 40 ornag pada tiap-tiap negeri.[9]
E.     Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Minangkabau sejak abad ke-16 melalui dua jalur yaitu Aceh dan Malaka meskipun kerajaan Islam sudah berdiri di Minangkabau akan tetapi raja Hanya sebagai lambang kekuasaan sesungguhnya di pegang oleh penghulu adat.
Ada beberapa pucuk pemimpin di Minangkabau yang pertama pemimpin suku yaitu:
  1. Penghulu, (Sebagai raja dalam sukunya).
  2. Manti, (menteri).
  3. Dubalang, (Sebagai polisi dalam sukunya).
  4. Malim (Alim), (Kepala agama).
Dan sebagai puncak pimpinan dalam Minangkabau, selain raja pagaruyung diangkat juga:
  1. Raja adat di BUD
  2. Raja ibadat di Sumpukudus.
  3. Qadli di Pandangganting
  4. Titah di Sungai-tarab.
  5. Andomo Di Saruwaso.
  6. Makhudim di Sumanik



[1] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1996), hlm. 20 
[2] R. Z. Leirisah, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 180
[3] Ibid, hlm.  23
[4] Ibid, hlm. 24
[5] Ibid, hlm. 25
[6] Ibid, hlm. 34
[7] Ibid, hlm. 36
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islami II,(Jakarta: Raja Grafindo, 2006), hlm. 242           
[9] Ibid, hlm. 28