MANUSIA HUBUNGANNYA DENGAN
TUHAN
DAN HARI AKHIRAT
A. Pendahuluan
Hubungan manusia dengan Tuhan dan
hari Akhirat adalah suatu kenyataan bahwa manusia di dalam hidupnya didunia ini
selalu menginginkan suatu sandaran hidup yang baik, kuat dan abadi, sebab fakta
membuktikan bahwa semua sandaran kebahagiaan dan kesenangan hidup manusia di
dunia ini seperti kenyataan harta, pangkat, kecantikan semuanya mengalami
kerusakan, keterbatasan dan tidak tetap.
Jadi manusia itu, sendiri dapat mati.
Justru itu disini pemakalah akan mencoba untuk menguraikan dan menjelaskan
persoalan yang sebanarnya tentang gagasan serta kebutuhan manusia yang dicari
itu.
B. Manusia Harus Menyakini
Hidup Setelah Mati
Sigmond Freud berkata, dan akhirnya
ada suatu teka-teki penuh dengan rasa kesaksian yaitu teka-teki mati. Teka-teki
itu tidak ada obatnya pada waktu ini, dan kiranya tidak akan ada obatnya
kemudian hari.
Memang banyaklah manusia yang merasa
skeptis (ragu-ragu) dan tidak percaya terhadap adanya kehidupan setelah mati terutama
orang-orang yang berpaham materialis, atheis, sekularis dan lain-lain.
Manurut paham kaum materialis, nyawa
itu tidak ada kalu seorang manusia mati, bukanlah dia mati, melainkan berubah
sifat dan bentuknya. Pada kata mereka adalah kekal dalam perubahan dan berubah
dalam kekekalan. Apa yang dinamai nyawa, jiwa, pikiran, akal dan hidup adalah
bekas benda belaka.
Oleh karena itu kita sekarang ini
hidup dalam dunia ilmu pengetahuan modern, multi teknologi, dan semua kejadian
dikaji secara empiris pula. Hal ini adalah untuk lebih menyakinkan kita
terhadap adanya sesudah mati.
Agama Islam agama yang terakhir
diperuntukkan kepada semua manusia dan yang mempunyai kibat suci al-Qur’an
sebagai sumber hukum dan petunjuk bagi manusia telah banyak membuktikan kepada
kita tentang adanya kehidupan setelah mati. Dalam hal ini al-Qur’an mengajak
semua manusia supaya senantiasa membuka akal serta pikiranya untuk menyelidiki
dan sekaligus mengimani ajaran yang tercantum di dalamnya, al-Qur’an
menyuguhkan beberapa pernyataan kepada manusia dan juga memberikan jawaban
pasti terhadap adanya kehidupan setelah matinya manusia.[1]
Dalam al-Qur’an surah al-Hajj ayat 7,
Allah berfirman :
¨br&ur sptã$¡¡9$# ×puÏ?#uä w |=÷u $pkÏù cr&ur ©!$# ß]yèö7t `tB Îû Íqç7à)ø9$# ÇÐÈ
Artinya: Dan Sesungguhnya hari kiamat itu Pastilah
datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua
orang di dalam kubur.
¨bÎ) sptã$¡¡9$# îpuÏ?#uä ß%x.r& $pkÏÿ÷zé& 3tôfçGÏ9 @ä. ¤§øÿtR $yJÎ/ 4Ótëó¡n@ ÇÊÎÈ
Artinya: Segungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku
merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang
ia usahakan.[2]
Melalui
ayat diatas Allah mencoba untuk menyakinkan manusia tentang adanya hidup
sesudah mati. Allah menyuruh manusia supaya memikirkan dan merenungkan
dalam-dalam tentang kejadian, perkembangan dan kesudahannya, yang berasal dari
Turab. Tuhan memberikan perumpamaan bagi manusia tentang kekuasaan-Nya
menghidupkan orang-orang yang mati, bagaikan tanah yang tandus kering kemudian
disirami air hujan dari langit, maka tanah itu pun berubah menjadi tanah yang
subur penuh dengan berbagai macam tumbuh-tumbuhan, dan rerumputan yang
menghijau indah dipandang mata. Begitulah Allah membangkitkan manusia dari
dalam kuburnya masing-masing menuju Mahkamah Ilahi untuk menghitung dan
membahas segala amalan manusia selama hidup di dunia.
Bila
tibangan amalan manusia banyak menunjukkan perbuatan dosa seperti: syiri’,
berzina, membunuh, merampok, menipu, korupsi, memakan harta anak yatim ataupun
membiarkannya hidup dengan penderitaan dan kelaparan, maka ditempatkan manusia
pada neraka selam-lamanya sedang bila timbangan alannya menunjukkan perbuatan
amalan yang baik, maka berbahagialah manusia, karena tempat kebalinya adalah
surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, serta penuh kenikmatan dan
kebahagiaan yang tidak pernah dirasakannya selama hidup didunia. Mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya.
Memang
sangatlah logis dan masuk akal akan adanya hidup sesudah mati, sebagai
kelanjutan dari hidup sekarang. Sebab kalau memang hidup ini hanya ada di dunia
fana ini alangkah tidak adilnya dan bijaksananya Allah mencipatakan dunia dan
manusia ini. Karena manusia pembunuh, penzina, penjahat, perampok, intimidator,
koruptor, akan senang dan gembira. Bahkan perbuatan yang sangat terkutuk dan
tidak disenangi manusia itupun akan terus dan bertambah merajalela. Sebaliknya
manusia yang shaleh, berbakti kepada Allah dan berbuat segala kebaikan dan
kemuliaan manusia, hilang lenyap begitu saja, tanpa mempunyai pengaruh dan
manfaat terhadap kehidupannya, bahkan tidak jarang orang yang menegakkan
keadilan dan kebenaran serta kemaslahatan umum mati terbunuh begitu saja tanpa
ada perhitungan apa-apa.
Melihat
kenyataan ini, nyatalah bagi manusia betapa besar manfaat dan arti kepercayaan
terhadap adanya kehidupan sesudah mati. Dia menumbuhkan suatu perasan tangung
wajab (sense of responsiility) pada
diri pribadi dan kepada masyarakat, walaupun dia tidak diawasi oleh pimpinan
atau atasan, tapi batin dan suara hati nuraninya sendiri berbisik, serta yakin
dan percaya bahwa Allah yang Maha Kuasa, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui
tetap melihat dan mengintai dalam mengawasi segala gerak-gerik jiwa dan
raganya, rohani dan jasmaninya, dimana dan kapan saja dia berada dan berbuat.[3]
Disamping
itu kepercayaan ini juga menimbulkan suatu sifat kejujuran, ketaatan, keihlasan
serta kasih sayang yang mendalam antara sesama manusia,
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# wur (#qà)ù=è? ö/ä3Ï÷r'Î/ n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ
Artinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan
Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.
C.
Manusia Harus Menyembah
Tuhan
Manusia
yang menyembah kepada Tuhan adalah manusia yang mempercayai adanya hidup
sesudah mati, sebab dalam kepercayaan itu telah terkandung ajaran-ajaran hidup
yang lebih mulia dan kekal dari pada kehidupan sekarang ini.
Sudah
barang tentu cara maupun sistem penyembahan itu pada setiap kaum, masa dan
agama mempunyai beberapa perbedaan, yang kadang-kadang membawa perbedaan besar
dan essential. Kemudian bila kita meninjau sejarah penyembahan pada Tuhan oleh
manusia tidak dapat lepas dari asal-usul sesuatu agama maupun kepercayaan.
Kitap
suci al-Qur’an, telah mencanangkan bahwa manusia haruslah menyembah “hanya”
pada Tuhan yang Esa, Agung, Mulia, Kudus, Maha Pengasih dan Penyayang. Tuhan
itu bukan banyak dan berbilang.
Hal
ini dapatlah kita lihat dalam suroh ar-rum ayat 30 sebagai berikut:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Berdasarkan
ayat suci ini benarlah bahwa manusia itu tidak dapat lepas dari fitrahnya untuk
beragama, karena manusia itu sendiri diciptakan Allah adalah benar-benar sesuai
dengan fitrahnya yaitu beragama.
D.
Manusia Dapat
Berhubungan Dengan Tuhan
Adapun
hubungan yang dimaksud disini, janganlah kita bayangkan seperti hubungan dua
subjek yang mempunyai alat penghubung atau hubungan face ti face, ataupun hubungan surat menyurat, sebab di dalam hal
hubungan dengan Tuhan terdapat suatu daerah suci dan luhur, lepas sama sekali
dai sifat pihak yang lain, yaitu manusia.
Demikian
juga hubungan manusia dengan Tuhan bukan di dasarkan atas timbal balik antara
hak dan kewajiban. Seumpama bila seorang buruh bekerja pada seorang majikan,
maka buruhnya itu berhak mendapatkan gaji, dan majikannya itu berkewajiban
untuk memberinya. Karena itulah Allah menyatakan dalam kitab suci al-Qur’an
bahwa jin dan manusia hanyalah semata-mata untuk mengabdi kepada-Nya Allah
berfirman:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Manusia
diciptakan Allah bukanlah dengan sia-sia tanpa mempunyai tendensi (tujuan)
apa-apa. Akan tetapi manusia diciptakan-Nya untuk menjadi pemimpin dan
mengangkat derajat manusia pada derajat yang tinggi, supaya mereka dapat hidup
di dunia dengan aman sejahtera, bahagia lahir dan batin. Karena segala
larangan-Nya, secara jujur dan disiplin. Bila manusia di beri Allah nikmat,
rahmat, rezeki, berkah, dan petunjuk itu bukanlah merupakan kewajiban bagi
Allah dan bukan pula merupakan hak bagi manusia, tapi itu adalah anugerah dan
kasih saying Allah kepada Manusia.
Allah
berfirman:
óOs9r& ts? cr& ©!$# tAtRr& ÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ßxÎ6óÁçFsù ÞÚöF{$# ¸o§ÒøèC 3 cÎ) ©!$# ì#ÏÜs9 ×Î7yz ÇÏÌÈ
Artinya: Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah
menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau? Sesungguhnya Allah
Maha halus lagi Maha Mengetahui.[4]
Jelaslah
bagi kita bahwa hubungan manusia dengan Allah adalah melalui kasih sayang,
rahmat, nikmat, rezeki, dan tidak berdasarkan kausalita, sebagaimana yang
berlaku pada manusia. Itulah yang dimaksud dengan daerah suci sebagai
pengantara antara manusia dengan Allah, tanpa di pengaruhi dan terkait kepada
balasan dan harapan, untung rugi, bayak atau sedikit. Bahkan dalam al-Qur’an
disebutkan siapa yang menyukari nikmat Allah, Allah akan menambahnya lagi.
E.
Kesimpulan
Allah
menyuruh manusia mempercayai dan meyakini bahwa adanya kehidupan setelah mati.
Dan adanya pembalasan dari semua perbuatan yang telah kita lakukan selam di
dunia.
Kitab
suci al-Qur’an telah mencanangkan bahwa manusia haruslah menyembah hanya pada
Tuhan yang Esa, Agung, Mulia, Kudus, maha Pengasih dan Penyayang.
Manusia
itu tidak dapat lepas dari fitrahnya untuk beragama, karena manusia itu sendiri
diciptakan Allah adalah benar-benar sesuai dengan fitrahnya yaitu beragama.
Hubungan
manusia dengan Allah adalah melalui kasih saying, rahmat, nikmat, rezeki dan
tidak berdasarkan kausalita, sebagai yang berlaku pada manusia
[1] Syahid Mu’ammar Pulungan,
Manusia Dalam Al-Qur’an, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984), 91-94
[2] Tim Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung:
Diponegoro, 2008), hal.
[3] Syahid Mu’ammar Pulungan, Op-Cit, hlm. 96-97
[4] Tim Penyelenggara
Penterjemah Al-Qur’an, Op-Cit, hlm