Pendahuluan
Do’a ialah memohon kepada
Allah dengan cara-cara tertentu dan dengan kerendahan diri. Sedangkan dzikir artinya
adalah ingat, yakni ingat kepada Allah dengan membaca kalimat-kalimat thayibah,
dengan berzikir terus menerus kita akan memperoleh ketenangan jiwa yang
sempurna.
Sebagaimana firman Allah :
#sÎ)ur
y7s9r'y
Ï$t6Ïã
ÓÍh_tã
ÎoTÎ*sù
ë=Ìs% ( Ü=Å_é& nouqôãy
Æí#¤$!$#
#sÎ) Èb$tãy
Artinya:
jiwa seseorang hambamu bertanya kepadamu tentang diriku, maka katakanlah aku
dekat dan menerima do’a orang yang berdo’a, (Q.S. Al-baqoroh: 186).
Keutamaan berzikir telah jelas
didalam Al-qur’an:
ãø.Ï%s!ur «!$#
çt9ò2r& 3
ÇÍÎÈ
Artinya: zikir (ingat) kepada Allah itulah yang terbesar
(pahala). (Q.S. Al-Ankabut: 45).
Selanjutnya akan dipaparkan
tentang do’a dan zikir secara mendalam.
A.
Pengertian Do’a dan Zikir
1.
Pengertian
do’a
Do’a
berasal dari bahasa Arab, sebagai isim mashdar dari kata kerja: da’aa-yad’uu,
yang artinya meminta, memohon, memanggil dan lain-lain. Walhasil, artinya
do’a menurut istilah adalah memohon kepada Allah dengan cara-cara tertentu.[1]
Do’a
dapat diartikan sebagai pembicaraan akrab, atau munajat, antara manusia dan
Tuhan, sebagai bertukar kata cinta yang menghibur hati duka, meskipun tidak
langsung dijawab. Ia adalah ”bahasa kerinduan akan kekasih”. (Q.S. 121).
Para
sufi mengetahui bahwa do’a dalam arti permohonan adalah hal khusus manusia.
Firman Allah:
tA$s%ur
ãNà6/u
þÎTqãã÷$# ó=ÉftGór& ö/ä3s9 4 ÇÏÉÈ
Artinya: "Berdoalah kamu kepada-Ku niscaya Aku
mengabulkan do’amu itu. (Q.S. Al-Mukmin: 60).[2]
Do’a yang dimaksud disini adalah menyeru, memohon,
mengharapkan sesuatu dan Allah yang maha pencipta, dengan kata lain berdo’a
adalah berusaha mengharapkan dan kerendahan hati.
2.
Pengertian zikir
Zikir adalah ingat, yakni kepada Allah dengan membaca
kalimat-kalimat thoyibah, disamping dibacanya dengan khusuk, mengerti artinya,
serta berharap bahwa Tuhan akan meridhoi apa yang dikerjakannya itu.
Para sufi memberikan definisi tentang zikir ialah
mengingat atau mengenang Tuhan yang dapat dilakukan diam-diam atau bersuara.
Zikir merupakan tiang yang kuat dijalan menuju Allah, bahkan ia adalah tiang
yang paling penting, sebab orang takdapat mencapai dia tanpa mengingat-Nya
terus menerus.
Zikir dapat membawa kepada keadaan jiwa yang sempurna,
dan ”barang siapa senantiasa ingat kepada Tuhan ia adalah pendamping Tuhan yang
sejati, sebab Tuhan telah berjanji dalam suatu hadits qudsi: ana jalisu man
dhakarani,” aku adalah pendaping siapapun yang ingat akan daku.
Dzikir adalah langkah pertama dijalan cinta: sebab kalau
kita mencintai seseorang kita suka menyebur namanya dan selalu ingat kepadanya.
Oleh sebab itu, siapapun yang dalam hatinya telah tertanam cinta seseorang akan
Tuhan, disitulah tempat kediaman zikir yang terus menerus.[3]
B.
Pembagian Zikir
Zikir terbagi atas tiga tingtakan:
1.
Zikir lisan: laa ilaha illallah
Setelah terasa meresap pada diri, terasa panasnya zikir
itu ketiap-tiap helai bulu roma di badan, zikir itu mulanya pelan-pelan makin
lama makin cepat.
2.
Zikir qalbu atau hati: Allah, Allah.
Mula-mulanya mulut berzikit diikuti hati, kemudian dari
hati kemulut, lalu lidah berzikit sendiri, dengan zikir tanpa sadar, akal
pikiran tidak jalan lagi, melainkan terjadi secara ilham yang tiba-tiba Nur
Ilahi dalam hati memberi tahukan: Innany Anal Laahu, yang naik kemulut
mengucapkan: Allah, Allah.
3.
Zikir
sir atau rahasia: ”Hu”
Biasanya sebelum sampai ketingkat zikir ini orang sudah:
“Fanna”.
Dalam keadaan seperti ini, perasaan antara diri dengan
dia menjadi satu. Man Lam Yazuk lam ya’rif barang siapa belum merasai, belumlah ia
mengetahui. Dalam hal ini tak sanggup lidah menguraikannya, jauh diatas ukuran
kata-kata, tetapi tiap orang akan mengerti sendiri bilama telah mengalaminya.
Untuk mengalami keadaan seperti apa yang diuraikan diatas,
dengan tharekat atau zonder tharekat.
Bukanlah soal atau bukanlah prinsip yang penting adalah ”suluk”,
berjuang/berusaha melepaskan diri dari belenggu hawa nafsu dengan melalui
beberapa phase seperti diuraikan diatas.[4]
C.
Metode Zikir
Sesudah mengetahui betapa pentingnya zikir sebagai mana
ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits, dibawah ini akan dijelaskan beberapa
metode zikir yang diuraikan oleh para syeikh sufi agung. Kaum sufi telah
menggunakan zikir jadi ”zikir keras”, dan dzikir khafi atau ”zikir diam”. Para
syaikh ini adalah pemuka dalam berbagai silsilah atau thariqah (tarekat dan
jalan sufi).[5]
1.
Tarekat Qadiriyyah
Pemuka sekaligus pendiri tarekat ini adalah Muhammad
Muhyyaddin ’Abdul-Qadir Jilani, yang wafat pada tahun 1266 M diusia sembilan
puluh tahun.
Dalam tharekat ini, dzikir dilakukan dengan keras (yakni
bersuara) tetapi tidak terlalu keras sehingga bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Musa Asy’ari.
Wahai manusia! Janganlah kalian menyusahkan diri dengan
suara keras (maksudnya, ucapkanlah dengan perlahan). Kalian tidak sedang
menyeru Tuhan yang buta atau tuli. Kalian menyeru Tuhan yang mendengar kalian,
melihat, dan yang bersama kalian. Tuhan yang kalian seru jauh lebih dekat
kepadamu dari leher untamu.
Zikir utama dalam tarekat ini adalah la ilaha illallah
dan cara melakukannya ialah sebagai berikut:
Sang dzikir (seorang yang melantunkan zikir) mestilah
duduk seperti dalam salat sambil menghadap kiblat, dan harus menutup matanya.
Iala mesti mengucapkan kata ”la” sembari menarik bunyi seperti dari
pusar, mengangkatnya kebahunya, dan kemudian mengucapkan ”ilaha” sembari
menarik bunyi itu dari otaknya. Sesudah itu, ia mestilah mengetukkannya, yakni
mendamkan kata-kata illa Allah sejalah wujud hati dan tujuan hakiki
dalam kehidupan.
Nama zat, yakni Allah juga diucapkan dengan keras dengan
salah satu cara berikut ini:[6]
a.
Zikir dengan satu dharb (atau ketukan)
Sang dzikir mestilah mengucapkan nama maha pengasih Allah dengan kekuatan
hati dan tenggorokan dengan cara yang tegar, jelas, keras, serta
memanjangkannya.
b.
Dzikir dengan dua dharb
Sang dzikir duduk dalam posisi salat, menghadap kiblat, dan mengucapkan
nama Allah, sambil menoleh kekiri sekali dan kedua kalinya mencamkannya pada
hati. Iala mesti terus menerus mengulanginya tanpa henti. Ketukan mestilah
dilakukan sekuat-kuatnya agar hati terkena pengaruhnya dan kemudian menjadi
tenang serta agar bisikan-bisikan jahat bisa dihilangkan.
c.
Dzikir tiga dharb
Sang dzikir mesti duduk bersila. Ia mengenakan ketukan ini sekali pada
lutut kaki kanannya, lalu pada lutut kaki kirinya dan terakhir pada hati
ketukan ini mesti lebih kuat dan keras.
d.
Dzikir dengan empat dharb
Sang dzikir mesti duduk bersila. Ia mengenakan ketukan pertama pada lutut
kanannya, kemudian pada lutut kirinya, lalu pada hatinya terakhir pada yang ada
didepannya, dharb yang terakhir ini mesti dilakukan dengan suara kuat dan
dipanjangkan.
2.
Tarekat Naqsyabandiyyah
Imam tarekat ini adalah khwaja Bahauddin Naqyaband dari
Bukhari. Ia wafat pada 1390 M. Tarekat ini tersebar di India dari dua jalur dan
melalui dua orang wali, yakni Khwaja Baqi-Billah dan Amir ’Abdul-Ali sementara
itu, Maulana Khawaja berperan dalam menyebarkan tarekat di Transoxus atau
kwasan Mawara An-Nahar. Menurut tulisan-tulisan para sufi dalam tarekat ini
berikut berbagai praktik mereka cabang yang paling terkenal adalah ”cabang
jami’ah”. Bersumber dari ajaran-ajaran Khwaja Baqi-Billah, tarekat ini terbagi
menjadi beberapa cabang. Dua diantaranya yang terkenal adalah:
a.
Cabang Syaikh Muhammad Ma’shum
b.
Cabang syaikh Adam Bijnuri.
Dalam tarekat ini, diyakini bahwa waktu luang seseorang
itu sangatlah berharga dan bernilai serta tidak boleh di biarkan berlalu
sia-sia begitu saja. Aliha-a’isi, waktu hilang ini mestilah digunakan
untuk melantunkan zikir la Ilaha Illallah.[7]
Zikir yang dilakukan oleh para sufi dalam tarekat
Naqsyabandiyyah disebut zikir al-Masyiy al-Aqdam, yakni ”mengingat Allah sambil
berjalan kaki”. Menurut zikir ini, jika seorang hamba berjalan dengan langkah
ugahari atau sederhana ia mesti mengucapkan kalimat ”Allah”, ”Allah” pada
setiap langkah. Jika ia berjalan cepat ia mesti mengucapkan illallah. Jika
langkahnya pelan, ia mesti mengucapkan ”la” disaat melangkah kaki kanannya.
Dan ketika melangkahkan kaki kirinya, ia mestilah mengucapkan ”ilaha”, lagi
illa ketika melangkahkan kaki kanannya, dan Allah ketika melangkahkan kaki
kirinya. Sebagian berpandangan bahwa lebih baik kalau ia hanya mengucapakan
Allah, Allah setiap saat agar ia terbiasa hanya dengan satu dzikir saja dan
pikirannya tidak akan kacau dan binggung.[8]
3.
Tarekat Chisytiyyah
Imam tarekat Chisytiyyah adalah Khwaja Mu’inuddin Hasan
Sanjari Chisyti. Terkadang, ia dikenal dengan julukan-julukan Nabi al-Hind
(Nabi India), Gharib Nawas (penyantun orang-orang miskin), khawaja-i-khawajangan
(imam segala imam), khawaja-i-buzuq (imam agung), atha ar-Rasul (pemberian
Nabi), dan khwaja-i-ajmeri (wali dari ajmer). Ia lahir pada 1142 H atau
menurut sebagian ahli, pada 1136 M. Tempat kelahirannya adalah Sanjar, sebuah
kota di Sistan, daerah pinggiran khurasan.[9]
Para syaikh dalam tarekat ini mengatakan bahwa penghulu
para wali Syyidina Ali, bertanya kepada Rasulullah demikian:
Ya.....Rasulullah! tunjukkan kepadaku jalan mana yang
paling dekat menuju Allah dan paling utama dalam pandangan Allah juga, serta
yang paling muda bagi segenab hamba-Nya ”Nabi menjawab”, terus-menerus
melantunkan zikir secara diam-diam ”Ali bertanya” bagaimana aku mesti
melakukannya? Nabi menjawab, ”Tutuplah matamu dan dengarkan aku tiga kali” lalu
beliau mengulang kalimat la Ilaha Illallah tiga kali dan Ali
mendengarkannya. Kelak, ”Ali mengajarkan kepada Hasan Al-Bashri” begirullah
zikir itu akhirnya sampai kepada kita.
D.
Fungsi dan Manfaat Do’a
1.
Fungsi Do’a[10]
Beberapa fungsi do’a sebagai berikut:
a.
Senjata mu’min
b.
Otak ibadah
c.
Pembuka pintu rahmat
d.
Penangkal tipu daya musuh
e.
Penghalang godaan setan
f.
Penentram batin
g.
Pengobat berbagai macam penyakit
h.
Penghantar kebahagiaan dunia dan akhirat
2.
Manfaat do’a
Berdo’a adalah merupakan kebutuhan rohaniah yang
diperlukan manusia dalam kehidupannya. Karena itu banyak manfaat yang diperoleh
bagi orang yang selalu berdo’a kepada Allah.manfaat itu diantaranya adalah :
a.
Dapat menjadi obat bagi penyakit rohaniah (Q.S. Ar-Radu:
28).
b.
Dapat mendekatkan diri kepada Allah (Q.S. Al-Baqarah:
186).
c.
Dapat menghapuskan dan meleburkan dosa (Q.S. Ali Imran:
135).
d.
Dapat mempermudah/memperlancar datangnya rahmat, nikmat
dan rizki.
e.
Dapat mendekatkan kepintu surga dan menjauhkan diri dari
siksa api neraka. (Q.S. Ali-Imran: 15-17).
E.
Syarat-syarat/Adab Berdo’a
Beberapa syarat yang harus dipenuhi agar do’a itu
dikabulkan/diterima oleh Allah. Menurut Imam Ghazali adab berdo’a adalah
sebagai berikut:[11]
1.
Dilakukan pada waktu yang mulia, seperti hari ’Arofah,
bulan Rohamdhan waktu zhur, dan pada hari jum’at.
2.
Dilakukan dalam keadaan yang khidmat, seperti waktu
sujud, ketika hati sedang/dalam keadaan tenang dan bersih hati dari gangguan
syetan.
3.
Menghadab kiblat dan mengangkat tangan.
4.
Merendahkan suara.
5.
Memakai bahasa yang sederhana yang menunjukkan kerendahan
hati.
6.
Menyakini do’anya pasti dikabulkan oleh Allah.
F.
Adab Berzikir
Dalam melakukan zikir ada beberapa tingkatan yang dilakukan:[12]
1.
Berniat
2.
Beduduk tarekat
3.
Rabithatu musyid
4.
Bertaubat
5.
Membaca do’a fatiha
6.
Renungan
Sehingga adab dalam zikir, dilakukan dalam 4 tingkatan yaitu:
- Mata dipejamkan, kepala ditundukkan
- Satu kali membaca: Laa Ilaha Illalah, tiga kali membaca dalam hati, Allah, Allah, Allah.
- Adab membaca: Laa Ilaha Illallah dengan hati ikhlas dengan harkatnya yang baik.
- Berniat dengan bai.
Kesimpulan
Doa ialah meminta atau memohon, memanggil secara istilah do’a ialah memohon
kepada Allah Swt dengan cara-cara tertentu
Doa’ juga dapat diartikan sebagai pembicaraan akrab, atau munajat, antara
manusia dan Tuhan sebagai bertukar kata cinta yang menghibur hati duka,
meskipun tidak langsung dijawab. Ia adalah ”bahasa kerinduan akan kekasih”.
Sedangkan zikir ialah ingat, yakni ingat kepada Allah dengan membaca
kalimat-kalimat thoybah. Disamping dibaca seara husyuk, mengerti artinya, serta
berharaf bahwa Tuhan akan meridhoi apa yang dikerjakan itu.
Pembagian zikir
terbagi atas 3 yaitu:
1.
Dzikir lisan
2.
Dzikir qalbu
3.
Dzikir sir
Metode zikir dapat dibagi menjadi:
1.
Tarekat Naqsyabandiyyah
2.
Tarekat Qadiriyyah
3.
Tarekat Chisytiyyah
DAFTAR PUSTAKA
Damono Djoko Supardi dkk,
Dimensi Mistik Dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986.
Fadwli, Muhammad, H.r,
Ihya Sunnatullah Warasulih, Al-Ikhlas, Surabaya,1989.
Mansyur Miftabar,
Samudra Shalawat dan Do’a, Bintang Indonesia, Jakarta, 2001.
Simuh, Tasawuf dan
Perkembangannya Dalam Islam, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1997.
Valiuddin Mir, Zikir dan
Kontemplasi Dalam Tasauf, Pustaka Hidayah, Bandung, 1997.
Zahri Mustafa, Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf, PT. Bina Ilmu
Surabaya, 1998.
[1]
Miftah Al-Mansyur. Samudra Shalawat dan Do’a, (Jakarta: Bintang
Indonesia, 1989), hlm. 126
[2] Q.S. Al-Mukmin: 60
[3] Sapardi Djoko Damono, Dimensi Mestik
Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 171-172
[4] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu
Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1998), hlm. 65-66
[5] Mir Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi
dalam Tasawuf ,(Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 121.
[6] Ibid., hlm. 123-124.
[10] Miftah Al-Mansyur, Op.Cit, hlm.
127-135.
[11] Ibid., hlm. 137.
[12] Mustafa Zahri, Op.Cit, hlm. 92-93.