PENDEKATAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
I. PENDAHULUAN
Rumusan
tujuan pendidikan nasional dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Salah
salah satu ciri manusia berkualitas dalam rumusan UU No. 20 Tahun 2003 di atas
adalah mereka yang tangguh iman dan takwanya serta memiliki akhlak mulia.
Dengan demikian salah satu ciri kompetensi keluaran pendidikan nasional adalah
ketangguhan dalam iman dan takwa serta memiliki akhlak mulia.
Menurut
Tafsir, [1]
bagi umat Islam, dan khususnya dalam pendidikan Islam, kompetensi iman dan
takwa serta memiliki akhlak mulia tersebut sudah lama disadari kepentingannya,
dan sudah diimplementasikan dalam lembaga pendidikan Islam. Dalam pandangan
Islam, kompetensi iman dan takwa (imtak) serta ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek), juga akhlak mulia diperlukan oleh manusia dalam melaksanakan tugasnya
sebagai khalifah di muka bumi. Jadi, dalam pandangan Islam, peran kekhalifahan
manusia dapat direalisasikan melalui tiga hal, yaitu:
A.
A. Landasan yang kuat berupa iman dan takwa
B.
B. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
C.
C.
Akhlak mulia(read more klik judul)
Dengan
demikian, menurut Wahid [2],
dalam Islam tidak dikenal dikotomi antara imtak dan iptek, namun justru
sebaliknya perlu keterpaduan antara keduanya, karena Alquran dan Assunah
sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu agama Islam dengan ilmu-ilmu umum.
Yang ada dalam Alquran adalah ilmu. Pembagian adanya ilmu agama Islam dan ilmu
umum merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan
sumber objek kajiannya.
Ilmu-ilmu
tersebut pada hakikatnya berasal dari Allah SWT, karena sumber ilmu tersebut
berupa wahyu, alam jagat raya, manusia dengan perilakunya, alam pikiran, dan
intusi batin seluruhnya ciptaan Allah yang diberikan kepada manusia. Dengan
demikian para ilmuwan dalam berbagai bidang keahlian tersebut sebenarnya
bukanlah pencipta ilmu, tapi penemu ilmu, penciptanya adalah Tuhan. Atas dasar
paradigma tersebut, seluruh ilmu hanya dapat dibedakan dalam nama dan
istilahnya, sedangkan hakikat dan substansi ilmu tersebut sebenarnya satu dan
berasal dari Tuhan. Atas dasar pandangan ini, maka tidak ada dikotomi yang
mengistimewakan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya.
Dikotomi
antara ilmu agama Islam dengan ilmu umum pun terjadi dalam dunia pendidikan.
Pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah dianggap sebagai representasi ilmu
agama Islam, sedangkan pelajaran-pelajaran lainnya dianggap sebagai ilmu-ilmu
umum. Akibat dari itu semua adalah adanya beban yang sangat berat bagi guru
yang mengajar pelajaran pendidikan agama Islam, yaitu seolah-olah sebagai penanggung
jawab ketika terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan doktrin agama.
Berkaitan
dengan pengembangan imtak dan akhlak mulia maka yang perlu dikaji lebih lanjut
ialah peran pendidikan agama, sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 20 Tahun 2003
bahwa pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan merupakan salah satu
bahan kajian dalam semua kurikulum pada semua jenjang pendidikan, mulai dari TK
sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan Agama merupakan salah satu mata pelajaran
yang wajib diikuti oleh peserta didik bersama dengan Pendidikan Kewarganegaraan
dan yang lainnya.
Tantangan
yang dihadapi dalam Pendidikan Agama, khususnya Pendidikan Agama Islam sebagai
sebuah mata pelajaran adalah bagaimana mengimplementasikan pendidikan agama
Islam bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana
mengarahkan peserta didik agar memiliki kualitas iman, taqwa dan akhlak mulia.
Dengan demikian materi pendidikan agama bukan hanya mengajarkan pengetahuan
tentang agama akan tetapi bagaimana membentuk kepribadian siswa agar memiliki
keimanan dan ketakwaan yang kuat dan kehidupannya senantiasa dihiasi dengan akhlak
yang mulia dimanapun mereka berada, dan dalam posisi
apapun mereka bekerja. Maka
saat ini yang mendesak adalah bagaimana usaha-usaha yang harus dilakukan oleh
para guru Pendidikan Agama Islam untuk mengembangkan pendekatan dan
metode-metode pembelajaran yang dapat memperluas pemahaman peserta didik
mengenai ajaran-ajaran agamanya, mendorong mereka untuk mengamalkannya dan
sekaligus dapat membentuk akhlak dan kepribadiannya.
II. PENGERTIAN
PENDEKATAN
Pendekatan atau Approach dalam bahasa Inggris diartikan
sebagai “came near (menghampiri), go to (jalan ke) dan way path dengan (arti
jalan). Dalam pengertian ini dapat dikatakan bahwa approach adalah cara
menghampiri atau mendatangi sesuatu. Berdasarkan Word Web
– kata approach dalam bentuk noun (kata benda), berarti Ideas or actions
intended to deal with a problem or situation, misalnya kata "his approach
to every problem is to draw up a list of pros and cons" atau ia juga
berarti The act of drawing spatially closer to something seperti kalimat
"the hunter's approach scattered the geese".
Dalam bentuk verb, approach berarti Come near or verge
on, resemble, come nearer in quality, or character seperti arti kalimat
"His playing approaches that of Horowitz". Terkadang approach juga
berarti make advances to someone, usually with a proposal or suggestion seperti
kalimat "I was approached by the President to serve as his adviser in
foreign matters"[3]
H.M Habib Thaha mendefiniskan pendekatan adalah cara
pemrosesan subyek atas obyek untuk mencapai tujuan. Pendekatan ini juga berarti
cara pandang terhadap sebuah obyek permasalahan, dimana cara pandang tersebut
adalah cara pandang yang luas. Sedangkan
Prof. Dr. Oteng Sutisna, M.Sc lebih praktis dalam memahami pengertian
”pendekatan”. Pendekatan adalah apa yang hendak ia kerjakan dan bagaimana ia
akan mengerjakan sesuatu. Yang pertama disebut dengan pendekatan pengertian
”tugas” dan yang kedua adalah pendekatan dalam pengertian ”proses”[4]
Penggunaan istilah ”pendekatan” memiliki arti yang
berbeda-beda tergantung kepada obyek apa yang akan menjadi tema sentral
perencanaan kerja dan kajian pemikiran yang akan dikembangkan. Dalam konstek
belajar, approach dipahami sebagai segala cara atau strategi yang digunakan
peserta didik untuk menunjang efesiensi dan efektifitas dalam proses
pembelajaran tertentu. Dengan demikian sesungguhnya approach adalah seperangkat
langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa, untuk memecahkan masalah
atau untuk mencapai tujuan belajar tertentu.
Sudah barang tentu approach dalam pengertian tersebut
membutuhkan pandangan falsafi (mendasar) terhadap subyek matter yang diajarkan,
selanjutnya akan melahirkan metode mengajar yang dijabarkan dalam bentuk tehnik
penyajian pembelajaran.
Dalam pemikiran pendidikan terdapat beberapa istilah
yang selalu berkait yaitu pendidikan, pengajaran dan pembelajaran. Penjelasan
yang terkairt dengan pendidikan menjadi focus pengembangan kajian, sedangkan
pengertian pengajaran dan pembelajaran akan dijelaskan secara ringkas untuk
menjadi bahan perbandingan saja.
Pengajaran
- guru yang mengajar dengan cara menyampaikan pelajaran semata-mata. Guru
biasanya berdiri di depan kelas, mengahadapi siswa dan menjelaskan materi
pelajaran. Siswa duduk dengan rapi, mendengarkan dan mencatat uraian guru,
dihafalkan agar kelak dapat menjawab pertanyaan dengan baik jika diadakan ulangan.
Sistem pengajaran tersebut bersifat pasif (tidak ada dinamika pemikiran) dan
verbalistic (disampaikan dengan lisan). Secara sederhana situasi pengajaran
demikian digambarkan dengan "DUDUK, DENGAR, CATAT DAN HAPALKAN".
Pembelajaran –
guru yang mengajar dengan menciptakan situasi dan kondisi belajar yang
memungkinkan siswa dapat memperoleh pengalaman belajar sesuai dengan tujuan
artinya ia tidak hanya mengetahui meteri pelajaran tetapi ia juga mampu
memahami, menerapkan suatu konsep atau memiliki ketrampilan tertentu yang
disesuaikan dengan tujuan pembelajaran.
Guru dalam kelompok pembelajaran bertindak sebagai
fasilitator, pemberi motivasi dan rangsangan, pembimbing dan konsultan terhadap
kesulitan yang dihadapi siswa serta mengarahkan proses pada tujuan yang telah
ditetapkan. Siswa menjadi lebih aktif dengan melakukan diskusi, latihan,
eksperimen atau proses discoveri keilmuan.
Pembelajaran bebas
– guru berperan sebagai pembimbing siswa dalam pem-belajaran. Siswa
memilih materi pembelajaran apa yang akan dipelajari sesuai dengan
minat dan pilihannya serta bagaimana cara mempelajarinya [5].
Secara umum bahwa Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi
dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya dan masyarakat [6].
Beberapa pakar pendidikan memberikan pengertian yang
berbeda-beda sesuai dengan tinjauan yang mereka kembangkan dan dengan demikian
maka terjadi variasi dan polarisasi pengembangan pemikiran pendidikan. Berikut
ini akan dijelaskan pengertian pendidikan baik secara terminologis maupun
etimologis sebagai berikut :
A. Kamus Bahasa
Indonesia, 1991:232, Pendidikan berasal dari kata "didik", Lalu kata
ini mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik"
artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan
diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran [7].
B. Menurut bahasa
Yunani : pendidikan berasal dari kata "Pedagogi" yaitu kata
"paid" artinya "anak" sedangkan "agogos" yang
artinya membimbing "sehingga " pedagogi" dapat di artikan
sebagai "ilmu dan seni mengajar anak".
C. Menurut UU No. 20
tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara [8].
D. Wikipedia,
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya dan masyarakat [9].
E. Dalam pengertian yang sempit pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan
untuk memperoleh pengetahuan ( McLeod, 1989 ).
F. Pendidikan ialah segala pengalaman belajar yang
berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup serta pendidikan dapat
diartikan sebagai pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal ( Mudyahardjo, 2001:6 )
G. Dalam pengertian yang agak luas pendidikan diartikan
sebagai sebuah proses dngan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh
pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan (
Muhibinsyah, 2003:10)
H. Pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat
kelembagaan (sekolah/madrasah) yang dipergunakan untuk menyempurnakan
perkembangan individu dalam mengua-sai pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan
sebagainya ( Dictionary of
Psychology,1972)
I. Menurut John
Dewey pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental, baik menyangkut daya pikir atau daya intelektual, maupun daya
emosional atau perasaan yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada
sesamanya.
III. PENDEKATAN DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching Learning-CTL)
Salah satu unsur terpenting dalam penerapan pendekatan
kontekstual adalah pemahaman guru untuk menerapkan strategi pembelajaran
kontekstual di dalam kelas. Akan tetapi, fenomena yang ada menunjukkan
sedikitnya pemahaman guru-guru PAI mengenai strategi ini. Oleh karena itu
diperlukan suatu model pengajaran dengan menggu-nakan pembelajaran kontekstual
yang mudah dipahami dan diterapkan oleh para guru Pendidikan Agama Islam di
dalam kelas secara sederhana.
Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil
penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan
baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan
dengan kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi di sekelilingnya. Pembelajaran
ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer ilmu pengetahuan, mengumpulkan
dan menganalisis data, memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara individu
maupun kelompok[10].
Jawahir[11]
mengemukakan bahwa guru PAI dapat menggunakan strategi pembe-lajaran
kontekstual dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut, yaitu:
1. memberikan
kegiatan yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa;
2. lebih
mengaktifkan siswa dan guru;
3. mendorong
berkembangnya kemampuan baru;
4. menimbulkan
jalinan kegiatan belajar di sekolah,
rumah dan lingkungan masyarakat.
Melalui pembelajaran ini, siswa menjadi lebih responsif
dalam menggunakan pengetahuan dan ketrampilan di
kehidupan nyata sehingga memiliki motivasi tinggi untuk belajar. Beberapa hal
yang harus diperhatikan para guru Pendidikan Agama Islam dalam mengimplementasikan
pendekatan kontestual, adalah[12]
:
1. Pembelajaran
Berbasis
Masalah Langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah
mengobservasi suatu fenomena, misalnya : a) menyuruh siswa untuk menonton VCD
tentang kejadian manusia, rahasia Ilahi, Takdir Ilahi, tentang Alam Akhirat,
azab Ilahi , dan sebagainya; b) menyuruh siswa untuk melaksanakan shaum pada
hari senin dan kamis, membayar zakat ke BAZ, mengikuti sholat berjamaah di
masjid, mengikuti ibadah qurban, menyantuni fakir miskin.
Langkah kedua yang dilakukan oleh guru adalah
memerintahkan siswa untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul,
misalnya: mengamati, mencatat, mengungkap permasalahan-permasalahan yang
muncul, mengungkapkan perasaannya kemudian mendiskusikan dengan teman
sekelasnya.
Langkah ketiga tugas guru Pendidikan Agama Islam adalah
merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan permasalahan yang ada.
Langkah keempat guru diharapkan mampu untuk memotivasi siswa agar mereka berani bertanya,
membuktikan asumsi dan mendengarkan pendapat yang berbeda dengan mereka.
2. Memanfaatkan
Lingkungan Siswa untuk Memperoleh Pengalaman Belajar
Guru memberikan penugasan kepada siswa untuk melakukan
kegiatan yang berhubungan dengan konteks lingkungan siswa, antara lain di
sekolah, keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
penugasan kepada siswa di luar kelas. Misalnya mengikuti sholat berjamaah,
mengikuti sholat jum`at, mengikuti kegiatan ibadah qurban dan berkunjung ke
pesantren untuk mewawancarai santri atau ustadz yang berada di pesantren
tersebut. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung dari kegiatan
yang mereka lakukan. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus
dilaku-kan siswa dalam rangka penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar
dan materi pembelajaran.
3. Memberikan
Aktivitas Kelompok
Di dalam kelas guru PAI diharapkan dapat melakukan
proses pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok belajar. Siswa di bagi
kedalam beberapa kelompok yang heterogen. Aktivitas pembelajaran kelompok dapat
memperluas perspektif dan dapat membangun kecakapan interpersonal untuk
berhubungan dengan orang lain. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh guru dalam
mempraktekan metode ini adalah: 1) Mendatangkan ahli ke kelas, misalnya Tokoh
Agama, Santri atau Ulama dari pesantren, 2) Bekerja dengan kelas sederajat, 3)
Bekerja dengan kelas yang ada di atasnya.
4. Membuat
Aktivitas Belajar Mandiri
Melalui aktivitas ini, peserta didik mampu mencari,
menganalisis dan mengguna-kan informasi sendiri dengan sedikit bantuan atau
bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih
memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi
pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh.
Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu;
menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa
meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri
(independent learning).
5.
Menyusun Refleksi
Dalam melakukan refleksi, misalnya
ketika pelajaran berakhir siswa merenungkan kembali pengalaman yang baru mereka
peroleh dari pelajaran tentang sholat berjama`ah, puasa senin- kamis, membayar
zakat, menyantuni fakir miskin, dan seterusnya. Melalui perenungan ini, siswa dapat lebih
menemukan kesadaran dalam dirinya sendiri tentang makna ibadah yang mereka
lakukan dalam hubungan mereka sebagai hamba Allah dan dalam hubungan mereka
sebagai makhluk sosial.
B.
Pendekatan Sains
Pendekatan sains yaitu suatu pengkajian pendidikan untuk
menelaah dan dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan
disiplin ilmu tertentu sebagai dasarnya. Cara kerja pendekatan sains dalam
pendidikan yaitu dengan menggunakan prinsip-prinsip dan metode kerja ilmiah
yang ketat, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif sehingga ilmu
pendidikan dapat diiris-iris menjadi bagian-bagian yang lebih detail dan
mendalam.
Melalui pendekatan sains ini kemudian dihasilkan sains pendidikan
atau ilmu pendidikan,
dengan berbagai cabangnya, seperti:
1. sosiologi
pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sosiologi dalam
pendidikan untuk mengkaji faktor-faktor sosial dalam pendidikan;
2. psikologi
pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi untuk
mengkaji perilaku dan perkembangan individu dalam belajar;
3. administrasi
atau manajemen pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari
ilmu manajemen untuk mengkaji tentang upaya memanfaatkan berbagai sumber daya
agar tujuan-tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien;
4. teknologi
pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sains dan
teknologi untuk mengkaji aspek metodologi dan teknik belajar yang efektif dan
efisien;
5. evaluasi
pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi
pendidikan dan statistika untuk menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa;
6. bimbingan
dan konseling, suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari beberapa
disiplin ilmu, seperti: sosiologi, teknologi dan terutama psikologi. Tentunya
masih banyak cabang-cabang ilmu pendidikan lainnya yang terus semakin
berkembang yang dihasilkan melalui berbagai kajian ilmiah.
C.
Pendekatan filosofis
Pendekatan filosofi yaitu suatu pendekatan untuk
menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan metode
filsafat. Pendidikan membutuh-kan filsafat karena masalah pendidikan tidak
hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya terbatas pada
pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah-masalah yang lebih luas,
kompleks dan lebih mendalam, yang tidak terbatas oleh pengala-man inderawi
maupun fakta-fakta faktual, yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh sains.
Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah tujuan pendidikan yang bersumber
dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan hidup. Nilai dan tujuan
hidup memang merupakan fakta, namun pembahasannya tidak bisa dengan menggunakan
cara-cara yang dilakukan oleh sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang
lebih mendalam.
Cara kerja pendekatan filsafat dalam pendidikan
dilakukan melalui metode berfikir yang radikal, sistematis dan menyeluruh
tentang pendidikan, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga model:
1. model
filsafat spekulatif adalah cara berfikir sistematis tentang segala yang ada,
merenungkan secara rasional-spekulatif seluruh persoalan manusia dengan segala
yang ada di jagat raya ini dengan asumsi manusia memliki kekuatan intelektual
yang sangat tinggi dan berusaha mencari dan menemukan hubungan dalam
keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan pengalaman
2. model
filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standar)
penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia, penilaian
tentang seni, menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus
dan jelek. Nilai suatu benda pada dasarnya inherent dalam dirinya, atau hanya
merupakan gambaran dari fikiran kita. Dalam konteks pendidikan, filsafat
preskriptif memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang
bermanfaat; dan
3. model
filsafat analitik memusatkan pemikirannya pada kata-kata, istilah-istilah, dan
pengertian-pengertian dalam bahasa, menguji suatu ide atau gagasan untuk
menjernihkan dan menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan secara hati dan
cenderung untuk tidak membangun suatu mazhab dalam sistem berfikir.[13]
Terdapat beberapa aliran dalam filsafat, diantaranya:
idealisme, materialisme, realisme dan pragmatisme.[14]
Aplikasi aliran-aliran filsafat tersebut dalam pendidikan kemudian menghasilkan
filsafat pendidikan,
yang selaras dengan aliran-aliran filsafat tersebut. Filsafat pendidikan akan
berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya dengan
konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita dalam merumuskan tujuan dan
kebijakan pendidikan.
Dari kajian tentang filsafat pendidikan selanjutnya
dihasilkan berbagai teori pendidikan, diantaranya:
1. Perenialisme;
lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada
warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting
dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham
ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat
pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
2. Esensialisme;
menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan
keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang
berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai
dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama
halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu
3. Progresivisme;
menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta
didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan
bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
4. Rekonstruktivisme
merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekon-struktivisme,
peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping mene-kankan tentang
perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh
menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran
ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan
melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada
proses
5. Eksistensialisme
menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna.
Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini
mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
D.
Pendekatan Religius
Pendekatan religi yaitu suatu pendekatan untuk menyusun
teori-teori pendidikan dengan bersumber dan berlandaskan pada ajaran agama. Di
dalamnya berisikan keyakinan dan nilai-nilai tentang kehidupan yang dapat
dijadikan sebagai sumber untuk menentukan tujuan, metode bahkan sampai dengan
jenis-jenis pendidikan.
Cara kerja pendekatan religi berbeda dengan pendekatan
sains maupun filsafat dimana cara kerjanya bertumpukan sepenuhnya kepada akal
atau ratio, dalam pendekatan religi, titik tolaknya adalah keimanan. Pendekatan
religi menuntut orang meyakini dulu terhadap segala sesuatu yang diajarkan
dalam agama, baru kemudian mengerti, bukan sebaliknya.
Terkait dengan teori pendidikan
Islam, Ahmad Tafsir[15]
mengemukakan dasar ilmu pendidikan Islam yaitu Al-Quran, Hadis dan Akal.
Al-Quran diletakkan sebagai dasar pertama dan Hadis Rasulullah SAW sebagai
dasar kedua. Sementara akal digunakan untuk membuat aturan dan teknis yang
tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utamanya (Al-Qur’an dan Hadis),
yang memang telah terjamin kebenarannya. Dengan demikian, teori pendidikan
Islam tidak merujuk pada aliran-aliran filsafat buatan manusia, yang tidak
terjamin tingkat kebenaran-nya.
Mengingat kompleksitas dan luasnya lingkup pendidikan,
maka untuk menghasilkan teori pendidikan yang lengkap dan menyeluruh kiranya
tidak bisa hanya dengan menggu-nakan satu pendekatan saja. Oleh karena itu,
diperlukan pendekatan holistik dengan memadukan ketiga pendekatan di atas yang
terintegrasi dan memliki hubungan komple-menter, saling melengkapi antara satu
dengan yang lainnya. Pendekatan semacam ini biasa disebut pendekatan
multidisipliner
Dalam proses perencanaan pembelajaran terkandung juga
kegiatan pendekatan yang akan dilakukan oleh seorang guru terhadap peserta
didik, karena pendekatan sangat menentukan interaksi antara guru dan siswa.
Pendekatan yang dapat digunakan secara garis besar adalah[16]
:
A. Pendekatan imposisi atau ekspositoris yaitu pendekatan dengan ciri guru menyam-paikan
materi pembelajaran dengan penuturan atau dengan melontarkan (ekspositoris)
materi pembelajaran. Metode ini berkembang dari fakta empiris yang menyatakan
bahwa manusia pada mulanya tidak memiliki ide atau pengetahuan apa-apa
sebagaimana yang dikembangkan oleh John Locke dengan filosofi "Tabula
Rasa" – lalu guru bertindak sebagai supliyer ilmu kepada siswa.
B. Pendekatan Teknologis yaitu pembelajaran dengan menggunakan perangkat (wares),
baik berupa perangkat benda atau perangkat keras (hardware), misalnya Radio,
Televisi, atau komputer dan perangkat program (software).
C. Pendekatan Personalisasi yaitu pembelajaran dengan meengarahkan pada siswa untuk
menentukan apa yang ingin dipelajari, sehingga yang bersangkutan mempertahankan
keunggulan yang semula sudan dimiliki dan mengembangkannya sesuai dengan
dasar-dasar yang sudah dimiliki. Dalam proses pembelajaran, siswa diarahkan
pada prinsip saling membutuhkan, aktif dan jiwa kemandirian. Proses
pembelajaran dengan pendekatan personalisasi didasarkan pada filosofi
progresifistis yang berpandangan bahwa manusia pada asalnya adalah baik dan
aktif.
D. Pendekatan Interaksional yaitu proses pembelajaran dengan pola terjadinya
interaksi yang seimbang antara guru dan siswa. Guru aktif dalam memberi
rangsangan maupun jawaban, demikian juga siswa. Guru senantiasa melemparkan
permasalahan yang terformat dalam media pembelajaran, sehingga siswa terlatih
kemampuannya untuk memecahkan masalah melalui penggunaan argumentasi verbal.
E. Pendekatan konstruktivis yaitu proses pembelajaran dimana siswa melakukan
preposisi yang sederhana dengan mengkonstruk pengertian terhadap dunia
tempatnya hidup. Manusia membangun pengetahuan melalui interaksi dengan obyek,
fenomena, pengalaman dan lingkungannya.
Untuk melakukan pendekatan konstruktivis, seseorang harus
memahami prinsip-prinsip kontruktifitas yaitu
1. masalah yang sesuai dengan kehidupannya,
2. ppenataan belajar pada konsep primer/utama,
3. menjajaki dan menghargai pendapat siswa,
4. kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan siswa, dan
5. menilai belajar siswa dalam konsteksi mengajar.
Jika kita menggunakan metode konstruktivis, maka
sesungguhnya kita telah melakukan kegiatan :
1. mengaktifkan kembali pengetahuan yang sudah ada
(activiting knowlidge),
2. memperoleh pengetahuan baru (acquiring knowlidge),
3. pemahaman pengetahuan (understanding konwlidge),
4. mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman (applying
konwlidge), dan
5. melakukan refleksi pengetahuan (reflecting konwlidge).
F. Pendekatan Inquiri adalah pemberian mateeri pembelajaran pada siswa untuk
menangani permasalaha yang mereka hadapi ketika berhadapan dengan dunia nyata
melalui proses penelitian. Siswa sebagai peneliti, maka ia harus melakukan
prosedur mengenali permasalahan, menjawab pertanyaan, melakukan research dan
investigasi dan menyiapkan kerangka berfikir, hipotesis, dan penjelasan kompatibel
dengan pengalaman pada dunia nyata.
G. Pendekatan Pemecahan Masalah – yaitu pembelajaran dengan titik tekan untuk
mengembangkan higher order thinking skills (kerangka ketrampilan berfikir
tingkat tinggi) melaui proses solving atau pemecahan masalah. Pendekatan
Pemecahan Masalah akan merangsang siswa mampu menjadi :
1. Eksplorer (mencari penemuan baru)
2. Inventor (mengembankan gagasan/ide dan pengujian baru
yang inovatif
3. Desainer (mengkreasi rencana dan model baru)
4. Desicion maker (pengambil keputusan-melatih menetapkan
pilihan yang bijaksana).
5. Komunikator (mengembangkan metode-teknik bertukar
pemikiran dan berinteraksi)
Dalam perspektif pembelajaran Qur'ani – ditemukan
beberapa pola atau model pendekatan yang biasa dilakukan dalam proses
pembelajaran pendidikan agama Islam adalah :
A. Pendekatan Pengalaman – yaitu pemberian pengalaman keagamaan kepada peserta
didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan baik secara individual
maupun kelompok. Pengalaman adalah suatu hal yang sangat berharga dalam
kehidupan manusia – Syaiful Bachri Djamrah menjelaskan bahwa pengalaman adalah
guru tanpa jiwa, namun selalu dicari oleh siapapun juga[17].
Al Qur’an memberikan contoh yang sangat jelas bagaimana
pendekatan pengalaman dipakai dalam memberikan pelajaran dan peringatan kepada
semua manusia agar mereka tidak terjerumus dalam situasi dan perbuatan yang
sama –misalnya bagaimana Allah menjadikan jasad Fir’aun sebagai sumber
pelajaran dengan pola pendekatan pengalaman. Firman Allah dalam Al Qur’an Surat
Yunus ayat 92[18]
Artinya :” Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu[704] supaya kamu
dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan Sesungguhnya
kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami”.
Sedemikian pentingnya pendekatan pengalaman dalam pembelajaran
pendidikan Islam, sehingga Allah berkali-kali memerintahkan umat Islam atau
manusia pada umumnya untuk mencari pengalaman dengan mengkaji riwayat
bangsa-bangsa terdahulu dan terus menerus melakukan kajian terhadap bekas
tempat tinggal dan kehidupan mereka, juga dengan berbagai peristiwa alam yang
terjadi dalam kehidupan kita – sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surat
Yunus ayat 39 dan 73[19]
Artinya :”bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum
mengetahuinya dengan sempurna Padahal belum datang kepada mereka penjelasannya.
Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka
perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu”.
Artinya :”lalu mereka mendustakan Nuh, Maka Kami selamatkan Dia dan
orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu
pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan orang-orang yang diberi
peringatan itu”.
Metode mengajar yang dapat dipakai dalam pendekatan
pengalaman, diantaranya adalah metode eksperimen (percobaan), metode
drill (latihan), metode sosiodrama dan bermain peran, dan metode pemberian
tugas belajar dan resitasi dan lain sebagainya.
B. Pendekatan Pembiasaan – pembiasaan adalah suatu tingkah laku tertentu yang
sifatnya otomatis tanpa direncanakan terlebih dahulu dan berlaku begitu saja
tanpa dipikirkan lagi. Pembiasaan pendidikan memberikan kesempatan kepada
peserta didik terbiasa mengamalkan ajaran agamanya, baik secara individu maupun
secara berkelompok dalam kehidupan sehari-hari[20].
C. Pendekatan Emosional – yaitu usaha untuk mengubah perasaan dan emosi peserta
didik dalam meyakini ajaran Islam serta dapat merasakan mana yang baik dan yang
buruk. Emosi adalah gejala kejiwaan yang ada dalam diri manusia – emosi erat
kaitannya dengan perasaan manusia. Seseorang yang mempunyai perasaan pasti
dapat merasakan sesuatu; baik perasaan jasmaniah, maupun perasaan rokhaniyah. Di dalam perasaan rokhaniyah tercakup perasaan
intelektual, perasaan estetis dan perasaan etis, perasaan sosial dan perasaan
harga diri. Peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka akan menjadi bangunan
emosi atau perasaan mereka.
D. Pendekatan Rasional – adalah suatu pendekatan mempergunakan rasio (akal)
dalam memahami dan menerima kebesaran dan kekuasaan Allah. Ajaran agama Islam
sebagian harus diyakini tanpa ada interpretasi karena memang ajaran tersebut
”ghairu ma’qul”, tetapi dalam konteks yang lain terdapat ajaran yang harus
dicerna dengan pendekatan rasio.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia,
penciptaan alam semesta, kekayaan dan keragaman hayati dan aspek-aspek lain
dari keindahan tata ruang angkasa – membutuhkan kecermelangan rasio untuk
memahaminya. Out put pemahaman dengan pendekatan rasio terhadap keajaiban
alam menjadikan manusia bertambah keimanannya – mereka yang mampu menggunakan
rasio alam memahami kekuasaan dan kebesaran Allah tersebut dikenal dengan ”Ulul
Albab” sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surat Ali Imron ayat 190-191[21].
Artinya :”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal”, ”(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.
Perintah menggunakan akal sebagai alat eksplorasi
keilmuan dan keimanan menjadi begitu penting karena akal adalah pintu utama
masuknya ilmu pengetahuan dan dengan akal pula manusia mampu memikirkan
kebesar-an dan kekuasaan Allah, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surat
Rum ayat 8[22].
Artinya :”dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri
mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara
keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan
Sesungguhnya keba-nyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan Pertemuan
dengan Tuhannya”.
E. Pendekatan Fungsional – adalah usaha memberikan materi agama dengan menekankan
pada segi kemanfaatan bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari sesuai
dengan tingkat perkembangannya. Pendekatan fungsional dilakukan di sekolah
karena dinilai dapat menjadikan agama lebih hidup dan dinamis. Metode yang
dapat digunakan dalam pendekatan ini adalah metode latihan, ceramah, tanya
jawab, pemberian tugas dan demonstrasi.
F. Pendekatan Keteladanan – adalah memperlihatkan keteladanan, baik yang langsung
melalui penciptaan kondisi, pergaulan yang akrab antara personal sekolah,
perilaku pendidikan dan tenaga pendidikan lain yang mencermin-kan akhlaq
terpuji, maupun yang tidak langsung melalui suguhan ilustrasi berupa
kisah-kisah keteladanan[23].
Secara natural, seorang anak dibekali kemampuan untuk
mengidentifikasi, meng-asosiasi dan bahkan meniru apa yang pernah dilihat atau
dijumpainya. Oleh sebab itu diperlukan public figur yang baik (berakhlaqul
karimah) karena anak tersebut akan men-jadikannya sebagai bahan rujukan untuk
memerankan dirinya dalam kehidupan sehari-hari.
Keteladanan yang paling baik adalah meneladani perilaku
dari Rasulullah artinya bagaimana Rasulullah mendidik, bergaul, memimpin umat
Islam dan beribadah kepada Allah sebagai wujud syukurnya atas karunia Allah
kepadanya. Tidak ada keteladanan yang lebih baik dari pada keteladanan yang
dicontohkan oleh Rasulullah sebagaimana firman Allah dal Al Qur’an Surat al
Akhzab ayat 21[24]
Artinya :”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
G. Pendekatan Terpadu – adalah pendekatan yang dilakukan dalam proses
pembelajaran dengan memadukan secara serentak beberapa pendekatan, yaitu
pendekatan keimanan (akidah), pengalaman (experient), pembiasaan, rasional
(akliah), emosional (gejolak kejiwaan), fungsional (nilai kegunaan) dan
keteladanan (uswah).
IV. KESIMPULAN
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa keberhasilan
penyampaian materi (pesan-message) sangat tergantung bagaiaman si penyampai
menggunakan pendekatan atau bahkan metode yang cocok. Dalam konteks
pendidikan dikenal banyak pendekatan yang kemudian menginspirasi lahirnya
berbagai strategi dan metode pembelajaran.
Contextual teaching learning merupakan salah satu dari
sekian banyak pendekatan dalam pembelajaran. CTL dalam pembelajaran PAI
didasarkan pertimbangan bahwan PAI merupakan salah satu mata pelajaran pokok
dari sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa, yang bertujuan
untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik serta memiliki akhlak
mulia dalam kehidupannya sehari-hari, melalui pendekatan kontekstual diharapkan
siswa dibawa ke dalam nuansa pembelajaran yang di dalamnya dapat memberi
pengalaman yang berarti melalui proses pembelajaran yang berbasis masalah,
penemuan (inquiri), independent learning, learning community, proses refleksi ,
pemodelan sehingga dari proses tersebut diharapkan mereka dapat memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya, dan PAI sesuai dengan tuntutan
kurikulum 2006 harus memenuhi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan
psikomotor.
Pendekatan lain yang harus diperhatikan adalah aspek
sains, filosofis dan religious. Kesemuanya dipadu dengan pendekatan spesifik
dalam proses pembelajaran PAI menurut dasar-dasar keislaman yaitu pendekatan
pembiasaan, emosional, rasional, fungsional, pengalaman dan keteladanan.
DAFTAR
PUSTAKA
Badruzaman, Ahmad. Strategi dan
Pendekatan dalam Pembelajaran. Ar Ruuz, Yogyakarta,
2006
Bachri Djamarah, Drs. Syaiful dan Aswan Zain, “Strategi
Belajar Mengajar”, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1997
Humaidi, M.K. Model-Model
Pembelajaran Kreatif. Rosdakarya, Bandung.
2006.
Ismaun. Filsafat
Ilmu I.
(Diktat Kuliah). Bandung:
UPI Bandung. 2001
Jawahir, Mochamad. Teknik dan
Strategi Pembelajaran. Cendekia Press, Bandung.
2005.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa
Psikologi dan Pendidikan. Jakarta:
Pustaka Al-Husna1986.
Ramayulis, “Pengantar Ilmu Pendidikan Islam”, Jakarta,
Kalam Mulia, 1994,
Saifullah, HA. Ali. Antara Filsafat dan Pendidikan:
Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya:
usaha Nasional1983.
Sadullah, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media
Iptek1994.
Sutisna, Prof. Dr. Oteng, M.Sc, Administrasi
Pendidikan Dasar Teoristis untuk Praktek Profesional, Bandung, Angkasa,
1983,
Sumiati, Dra. dan Asra,
M.Ed, Metode Pembelajaran, Bandung,
CV. Wacana Prima, 2008,
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta,
2005
Tafsir, Ahmad Dr. Ilmu Pendidikan dalam Persfektif
Islam. Bandung:
Rosda Karya, 2002
Wahid, Abdul. Pengajaran Terpadu PAI dengan Pelajaran
Umum. Pikiran Rakyat 1 Mei 2007 kolom Forum Guru.
[2]Abdul
Wahid, Pengajaran Terpadu PAI dengan Pelajaran Umum, Pikiran Rakyat 1
Mei 2007, Kolom Forum Guru.
[4] Prof. Dr. Oteng Sutisna, M.Sc, Administrasi Pendidikan Dasar Teoristis
untuk Praktek Profesional, Bandung, Angkasa, 1983, 35-36
[17] Syaiful Bachri Djamrah dan Aswan Zain,
“Strategi Belajar Mengajar”, Jakarta,
PT. Rineka Cipta, 1997, hal. 70
Posisi Pendidikan Agama (Islam)
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Tahun 2003
Masalah pendidikan, menurut Malik Fajar, adalah masalah yang tidak
pernah tuntas untuk dibicarakan, karena itu menyangkut persoalan manusia dalam
rangka memberi makna dan arah normal kepada eksistensi fitrinya.[1]
Persoalan-persoalan yang dihadapi dunia pendidikan tersebut digambarkan oleh
John Vaisey sebagaimana dikutip oleh Muis Sad Iman, dengan menyatakan bahwa,
setiap orang yang pernah menghadiri konferensi Internasional di tahun-tahun
terakhir ini pasti merasa terkejut akan banyaknya persoalan pendidikan yang
memenuhi agenda. Makin lama makin jelas bahwa organisasi-organisasi
internasional itu mencerminkan apa yang terjadi di semua Negara di dunia.
Hampir tidak ada satu Negara pun dewasa ini dimana pendidikan tidak merupakan
topik utama yang diperdebatkan.[2]
Bagaimana dengan pendidikan Islam di Indonesia? Pendidikan Islam di
Indonesia, sama nasibnya. dan secara khusus pendidikan Islam menghadapi
berbagai persoalan dan kesenjangan dalam berbagai aspek yang lebih kompleks,
yaitu: berupa persoalan dikotomi pendidikan, kurikulum, tujuan, sumber daya,
serta manajemen pendidikan Islam. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara
mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Usaha pembaharuan dan peningkatan
pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan
menyeluruh serta sebagian besar sistem dan lembaga pendidikan Islam belum
dikelola secara professional.[3]
Usaha pemerintah untuk memperbaiki pendidikan Islam di Indonesia
dapat kita lihat komitmen mereka dalam penyusunan UU Sisdiknas 2003, walaupun
ada sebagian Pasalnya, pemerintah belum merealisasikan secara konsisten,
contohnya Pasal 49 ayat 1 tentang anggaran pendidikan[4], oleh
karena itu makalah ini akan membahas posisi pendidikan agama (Islam) dalam UU
Sisdiknas 2003.
A. Pengertian Pendidikan, Pendidikan
Nasional, dan Pendidikan Islam
1.
Pendidikan menurut UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat (1) adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
2.
Pendidikan Nasional menurut UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat (2) adalah:
pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar
pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.
3. Pendidikan Islam
a. Pendidikan Islam adalah kegiatan yang dilaksanakan secara terencana dan
sistematis untuk mengembangkan potensi anak didik berdasarkan pada kaidah-kaidah
agama Islam.
b. SEMINAR PEND. ISLAM CIPAYUNG
(7-11 MEI 1960):
Pendidikan Islam adalah
bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani berdasar ajaran Islam dengan hikmah
mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua
ajaran Islam.
c. MUHAMMAD FADHIL AL-DJAMALY
(1967):
Pendidikan Islam adalah proses
yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat
kehidupannya, sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajar
(pengaruh dari luar) yang dimiliki dan diterimanya.
d. OMAR MOHAMMAD AL-TOUMY
AL-SYAEBANY (1979)
Pendidikan
Islam adalah suatu usaha untuk mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan
pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya
melalui proses kependidikan yang dilandasi nilai-nilai Islami.
e. RECOMMENDATIONS
OF THE INTERNATIONAL SEMINAR ON ISLAMIC EDUCATION CONCEPTS & CURRICULA ISLAMABAD (15-20 MARET
1980)
Pendidikan
Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan
pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal
pikiran, kecerdasan, perasaan
serta panca indera yang dimilikinya.[5]
f. Zakiah Daradjat
Pendidikan Islam adalah pembentukan
kepribadian muslim. Atau perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan
petunjuk ajaran Islam.[6]
g. Muhammad Quthb
Pendidikan Islam adalah usaha melakukan pendekatan
yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik dari segi jasmani maupun ruhani,
baik dari kehidupan fisik maupun mentalnya, dalam kegiatan di bumi ini.[7]
. Laporan Hasil Wordl Conference on Muslim
Education yang pertama di Mekkah tanggal 31 Maret sampai 8 April 1977,
disebutkan:
“Education should aim at balanced
growth of the total personality of man through the training of mans spirit,
intellect, the rational self, feelings, and bodily senses. Education should
therefore cater for the growth of man in all its aspects, linguistic both
individually and collectively and motivate all these aspects towards goodness
and the attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim education lies in the
realization of complete submission to Allah on the level of individual, the
community and humanity at large.[8]
(Pendidikan
seharusnya bertujuan menimbulkan pertumbuhan kepribadian total manusia secara
seimbang, melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan, dan
kepekaan tubuh manusia. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya menyediakan
jalan bagi pertumbuhan manusia dalam aspeknya: spiritual, intelektual,
imajinasi, fisik, ilmiah, linguistic baik secara individual maupun secara
kolektif, dan memotivasi semua aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan
kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Muslim terletak pada realitas kepasrahan
mutlak kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusian
pada umumnya).
Dari definisi-definisi di
atas, baik yang dikemukakan UU Sisdiknas 2003 maupun para tokoh pendidikan,
dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah pembentukkan
tingkah laku islami (akhlak mulia) dan kepasrahan (keimanan) kepada
Allah berdasarkan pada petunjuk ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadis).
B. Posisi Pendidikan
Agama dalam UU Sisdiknas 2003
1. Pasal 1 ayat (1), pendidikan adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
2. Pasal 1 ayat (2), pendidikan nasional
adalah:
Pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar
pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.
Dalam
hal ini agama sebagai tujuan pendidikan (agar peserta didik memiliki
kekuatan spiritual keagamaan) dan sumber nilai dalam proses pendidikan
nasional.
3.
Pasal 4 ayat (1)
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukkan bangsa.
4.
Pasal 12 ayat (1) Setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Peserta didik berhak mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agamanya masing-masing dan diajarkan oleh
guru/pendidik yang seagama. Tiap sekolah wajib memberikan ruang bagi siswa yang
mempunyai agama yang berbeda-beda dan tidak ada perlakuan yang diskriminatif.
5.
Pasal 15
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan,
akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
6.
Pasal 17 ayat (2)
Pendidikan dasar terbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah
ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah
menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain
yang sederajat.
7.
Pasal 18 ayat (3)
Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas
(SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan
madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
8.
Pasal 28 ayat (3)
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau
bentuk lain yang sederajat.
Salah satu jenis pendidikan nasional
adalah pendidikan agama. Setingkat taman kanak-kanak (TK) dinamakan raudatul
athfal (RA), sekolah dasar (SD) dinamakan madrasah ibtidaiyah (MI),
sekolah menengah pertama (SMP) dinamakan madrasah tsanawiyah (MTs),
sekolah menengah atas (SMA) dinamakan madrasah aliyah (MA), dan sekolah
menengah kejuruan (SMK) dinamakan madrasah aliyah kejuruan (MAK).[9]
9.
Pasal 30
tentang pendidikan keagamaan
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok
masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan
formal, nonformal, dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman,
pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Dalam
hal ini pendidikan agama merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Di
samping sekolah/madrasah formal yang didirikan oleh pemerintah seperti MIN,
MTsN, maupun MAN, masyarakat dapat juga menyelenggarakan pendidikan agama, baik
formal (pesantren, madrasah), nonformal (taman pendidikan Al-Qur’an (TPA),
majlis taklim) maupun informal (madrasah diniyah).
10. Pasal 36 ayat (3)
Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a.
Peningkatan iman
dan takwa;
b.
Peningkatan akhlak
mulia; dan seterusnya…
11. Pasal 37
(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama
b. pendidikan kewarganegaraan; dan seterusnya…
(2) Kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.
kurikulum pada setiap jenjang
pendidikan baik mulai jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, wajib
hukumnya memuat pendidikan agama (menurut agama yang dianut oleh peserta
didik).
12. Pasal 55 ayat (1) mengenai Pendidikan Berbasis Masyarakat
Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan
berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan
agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
Dalam hal ini, masyarakat boleh
mendirikan lembaga pendidikan berbasis masyarakat sesuai dengan kekhasan agama
masing-masing, seperti madrasah diniyah muhammadiyah (MDM), al-Ma’arif, dan
lain-lain.
walaupun secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia bukan
Negara agama[10]
dan bukan pula Negara sekuler[11], tetapi
Negara Pancasila.[12] Dengan
status Negara yang demikian, maka wajar kalau kemudian Pemerintah Indonesia tetap
memandang bahwa agama menduduki posisi penting di negeri ini sebagai sumber
nilai yang berlaku.[13]
Hal ini dapat
kita lihat bagaimana posisi agama (pendidikan agama) dalam UU Sisdiknas 2003.
dari pelbagai Pasal di atas menerangkan bahwa pendidikan agama sebagai sumber
nilai dan bagian dari pendidikan nasional. Pendidikan agama mempunyai peran
penting dalam mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, akhlak mulia dan kepribadian muslim (khusus agama Islam).
Abdur Rahman
Assegaf, dkk mengutip pendapat M. Arifin, bahwa pendidikan agama setelah
diwajibkan di sekolah-sekolah, meskipun masih perlu disempurnakan terus,
menunjukkan bahwa pengaruhnya dalam perubahan tingkah laku remaja adalah
relatif lebih baik disbanding dengan kondisi sebelum pendidikan agama tersebut
diwajibkan. Sekurang-kurangnya pengaruh pendidikan agama tersebut secara
minimal dapat menanamkan benih keimanan yang dapat menjadi daya preventif
terhadap perbuatan negative remaja atau bahkan mendorong mereka untuk
bertingkah laku susila dan sesuai dengan norma agamanya.[14]
Daftar Pustaka
Assegaf, Abdur Rahman, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Suka Press, 2007
Azra, Azyumardi, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milennium Baru, (Jakarta: Logo
Wacana Ilmu, 1999)
Arifin, M Kapita selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta:
Bumi Aksara, 1995)
Bahtiar Effendi, Masyarakat, Agama, dan Pluralisme
Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press, 2002
Baidlowi, Miftah, Kontribusi Keluarga, Sekolah, dan
Masyarakat Terhadap Pengamalan Nilai Agama Islam Siswa SMU Negeri di Kabupaten
Sleman, (Yogyakarta: Tesis, 2000
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
2000)
Idi, Abdullah Idi dan Suharto, Toto, Revitalisasi
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006)
Iman, Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004)
Jabali, Fuad Jabali dan Jamhari (peny.) IAIN Modernisasi
Islam di Indonesia. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002)
Kaelan, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 1996
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1988) cetakan II
Muhammad Ali, Indonesia Negara Sekuler?, Jakarta: Kompas, 2 Agustus 2002.
Syam, Yunus Hasyim, Mendidik Anak ala Muhammad, (Yogyakarta: Penerbit Sketsa, 2005)
Sanaky, Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press)
Supriyoko, Ki, Kuliah Politik Pendidikan Nasional
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sessi ke-12
UU Sisdiknas 2003
Quthb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, alih bahasa
Salman Harun, (Bandung: Al-Ma’arif, 1984), cetakan 1
[1] Yunus Hasyim Syam. 2005. Mendidik Anak ala Muhammad.
Yogyakarta: Penerbit Sketsa., hal. x
[2] Muis Sad Iman. 2004. Pendidikan Partisipatif. Yogyakarta:
Safiria Insania Press., hal. 2
[3] Kutipan Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Safiria Insania Press), hal.9 atau dalam bukunya Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milennium Baru, (Jakarta: Logo Wacana
Ilmu, 1999), hal 59.
[4] Pasal
49 ayat (1) berbunyi: Dana Pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimanl 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
[5] Ki Supriyoko, Kuliah Politik Pendidikan Nasional Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, sessi ke-12
[6] Zakiah daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2000), hal. 28
[7] Kutipan Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 47-48 atau bukunya Muhammad
Quthb, Sistem Pendidikan Islam, alih bahasa Salman Harun, (Bandung:
Al-Ma’arif, 1984), cetakan 1, hal. 27.
[8] Dikutip dari Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1988), cetakan II, hal. 308 atau Abdullah Idi dan Toto
Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, op.cit, hal. 49.
[9] Masuk dalam madrasah ini (madrasah aliyah kejuruan) adalah madrasah
aliyah keagamaan (MAK)/atau madrasah kejuruan pada ilmu-ilmu agama. MAKN merupakan
perubahan dari madrasah aliyah program khusus (MAPK) sejak tahun 1997.
Contohnya MAKN Surakarta (karena penulis termasuk peserta didik didalamnya).
[10] Negara agama atau Negara theokrasi pada hakikatnya adalah suatu
Negara yang berdasarkan pada suatu ajaran agama tertentu. Negara secara
keseluruhan dibentuk berdasarkan suatu ajaran agama tertentu, baik menyangkut
bentuk Negara, kekuasaan Negara, tujuan Negara, demokrasi, dan sebagainya.
Lihat Kaelan, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 1996., hal. 102.
[11] Menurut Donald Eugene Smith, the secular state is state that
guarantees individual and corporate freedom of religion, deals with the
individual as a citizen irrespective of his religion, is not constitutionally
connected to a particular religion, nor seeks either to promote or interfere
with religion. Lihat: Muhammad Ali, Indonesia Negara Sekuler?, Jakarta: Kompas,
2 Agustus 2002.
[12] Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia.
(Yogyakarta: Suka Press, 2007), hal.143.
Menurut Bahtiar Effendi –sebagaimana dikutip oleh Abdur Rahman Assegaf,
dkk- sebagai Negara Pancasila, dapat dikatakan bahwa Indonesi mengambil jalan
tengah (middle path) antara Negara agama dan Negara sekuler. Rumusan
sila perta Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 Ayat (1) memberikan sifat yang khas
pada Negara Indonesia, bukan Negara sekuler yang memisahkan agama dan Negara,
dan bukan Negara agama yang berdasarkan pada agama tertentu. Negara Pancasila
menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk beragama dan wajib memelihara
budi pekerti luhur berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Lihat Bahtiar Effendi, Masyarakat,
Agama, dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press, 2002., hal. 19
[13] Fuad Jabali dan Jamhari (peny.) IAIN Modernisasi Islam di
Indonesia. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002)., hal. 62. atau Abdur Rahman
Assegaf, dkk Pendidikan Islam di Indonesia. Op.cit., hal. 145.
[14] Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia,
op.cit., hal. 146 atau baca M. Arifin, Kapita selekta Pendidikan (Islam
dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 217. Kemudian hasil
penelitian yang dilakukan oleh Miftah Baidlowi di sekolah-sekolah di Kabupaten
Sleman antara lain menunjukkan bahwa pendidikan agama di sekolah meberikan
kontribusi yang cukup signifikan terhadap pengamalan nilai-nilai keagamaan
siswa. (Miftah Baidlowi, Kontribusi Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat
Terhadap Pengamalan Nilai Agama Islam Siswa SMU Negeri di Kabupaten Sleman, (Yogyakarta:
Tesis, 2000), hal. 79
Menurut
Tafsir, [1]
bagi umat Islam, dan khususnya dalam pendidikan Islam, kompetensi iman dan
takwa serta memiliki akhlak mulia tersebut sudah lama disadari kepentingannya,
dan sudah diimplementasikan dalam lembaga pendidikan Islam. Dalam pandangan
Islam, kompetensi iman dan takwa (imtak) serta ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek), juga akhlak mulia diperlukan oleh manusia dalam melaksanakan tugasnya
sebagai khalifah di muka bumi. Jadi, dalam pandangan Islam, peran kekhalifahan
manusia dapat direalisasikan melalui tiga hal, yaitu:
A.
A. Landasan yang kuat berupa iman dan takwa
B.
B. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
C.
C.
Akhlak mulia(read more klik judul)
Dengan
demikian, menurut Wahid [2],
dalam Islam tidak dikenal dikotomi antara imtak dan iptek, namun justru
sebaliknya perlu keterpaduan antara keduanya, karena Alquran dan Assunah
sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu agama Islam dengan ilmu-ilmu umum.
Yang ada dalam Alquran adalah ilmu. Pembagian adanya ilmu agama Islam dan ilmu
umum merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan
sumber objek kajiannya.
Ilmu-ilmu
tersebut pada hakikatnya berasal dari Allah SWT, karena sumber ilmu tersebut
berupa wahyu, alam jagat raya, manusia dengan perilakunya, alam pikiran, dan
intusi batin seluruhnya ciptaan Allah yang diberikan kepada manusia. Dengan
demikian para ilmuwan dalam berbagai bidang keahlian tersebut sebenarnya
bukanlah pencipta ilmu, tapi penemu ilmu, penciptanya adalah Tuhan. Atas dasar
paradigma tersebut, seluruh ilmu hanya dapat dibedakan dalam nama dan
istilahnya, sedangkan hakikat dan substansi ilmu tersebut sebenarnya satu dan
berasal dari Tuhan. Atas dasar pandangan ini, maka tidak ada dikotomi yang
mengistimewakan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya.
Dikotomi
antara ilmu agama Islam dengan ilmu umum pun terjadi dalam dunia pendidikan.
Pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah dianggap sebagai representasi ilmu
agama Islam, sedangkan pelajaran-pelajaran lainnya dianggap sebagai ilmu-ilmu
umum. Akibat dari itu semua adalah adanya beban yang sangat berat bagi guru
yang mengajar pelajaran pendidikan agama Islam, yaitu seolah-olah sebagai penanggung
jawab ketika terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan doktrin agama.
Berkaitan
dengan pengembangan imtak dan akhlak mulia maka yang perlu dikaji lebih lanjut
ialah peran pendidikan agama, sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 20 Tahun 2003
bahwa pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan merupakan salah satu
bahan kajian dalam semua kurikulum pada semua jenjang pendidikan, mulai dari TK
sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan Agama merupakan salah satu mata pelajaran
yang wajib diikuti oleh peserta didik bersama dengan Pendidikan Kewarganegaraan
dan yang lainnya.
Tantangan
yang dihadapi dalam Pendidikan Agama, khususnya Pendidikan Agama Islam sebagai
sebuah mata pelajaran adalah bagaimana mengimplementasikan pendidikan agama
Islam bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana
mengarahkan peserta didik agar memiliki kualitas iman, taqwa dan akhlak mulia.
Dengan demikian materi pendidikan agama bukan hanya mengajarkan pengetahuan
tentang agama akan tetapi bagaimana membentuk kepribadian siswa agar memiliki
keimanan dan ketakwaan yang kuat dan kehidupannya senantiasa dihiasi dengan akhlak
yang mulia dimanapun mereka berada, dan dalam posisi
apapun mereka bekerja. Maka
saat ini yang mendesak adalah bagaimana usaha-usaha yang harus dilakukan oleh
para guru Pendidikan Agama Islam untuk mengembangkan pendekatan dan
metode-metode pembelajaran yang dapat memperluas pemahaman peserta didik
mengenai ajaran-ajaran agamanya, mendorong mereka untuk mengamalkannya dan
sekaligus dapat membentuk akhlak dan kepribadiannya.
II. PENGERTIAN
PENDEKATAN
Pendekatan atau Approach dalam bahasa Inggris diartikan
sebagai “came near (menghampiri), go to (jalan ke) dan way path dengan (arti
jalan). Dalam pengertian ini dapat dikatakan bahwa approach adalah cara
menghampiri atau mendatangi sesuatu. Berdasarkan Word Web
– kata approach dalam bentuk noun (kata benda), berarti Ideas or actions
intended to deal with a problem or situation, misalnya kata "his approach
to every problem is to draw up a list of pros and cons" atau ia juga
berarti The act of drawing spatially closer to something seperti kalimat
"the hunter's approach scattered the geese".
Dalam bentuk verb, approach berarti Come near or verge
on, resemble, come nearer in quality, or character seperti arti kalimat
"His playing approaches that of Horowitz". Terkadang approach juga
berarti make advances to someone, usually with a proposal or suggestion seperti
kalimat "I was approached by the President to serve as his adviser in
foreign matters"[3]
H.M Habib Thaha mendefiniskan pendekatan adalah cara
pemrosesan subyek atas obyek untuk mencapai tujuan. Pendekatan ini juga berarti
cara pandang terhadap sebuah obyek permasalahan, dimana cara pandang tersebut
adalah cara pandang yang luas. Sedangkan
Prof. Dr. Oteng Sutisna, M.Sc lebih praktis dalam memahami pengertian
”pendekatan”. Pendekatan adalah apa yang hendak ia kerjakan dan bagaimana ia
akan mengerjakan sesuatu. Yang pertama disebut dengan pendekatan pengertian
”tugas” dan yang kedua adalah pendekatan dalam pengertian ”proses”[4]
Penggunaan istilah ”pendekatan” memiliki arti yang
berbeda-beda tergantung kepada obyek apa yang akan menjadi tema sentral
perencanaan kerja dan kajian pemikiran yang akan dikembangkan. Dalam konstek
belajar, approach dipahami sebagai segala cara atau strategi yang digunakan
peserta didik untuk menunjang efesiensi dan efektifitas dalam proses
pembelajaran tertentu. Dengan demikian sesungguhnya approach adalah seperangkat
langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa, untuk memecahkan masalah
atau untuk mencapai tujuan belajar tertentu.
Sudah barang tentu approach dalam pengertian tersebut
membutuhkan pandangan falsafi (mendasar) terhadap subyek matter yang diajarkan,
selanjutnya akan melahirkan metode mengajar yang dijabarkan dalam bentuk tehnik
penyajian pembelajaran.
Dalam pemikiran pendidikan terdapat beberapa istilah
yang selalu berkait yaitu pendidikan, pengajaran dan pembelajaran. Penjelasan
yang terkairt dengan pendidikan menjadi focus pengembangan kajian, sedangkan
pengertian pengajaran dan pembelajaran akan dijelaskan secara ringkas untuk
menjadi bahan perbandingan saja.
Pengajaran
- guru yang mengajar dengan cara menyampaikan pelajaran semata-mata. Guru
biasanya berdiri di depan kelas, mengahadapi siswa dan menjelaskan materi
pelajaran. Siswa duduk dengan rapi, mendengarkan dan mencatat uraian guru,
dihafalkan agar kelak dapat menjawab pertanyaan dengan baik jika diadakan ulangan.
Sistem pengajaran tersebut bersifat pasif (tidak ada dinamika pemikiran) dan
verbalistic (disampaikan dengan lisan). Secara sederhana situasi pengajaran
demikian digambarkan dengan "DUDUK, DENGAR, CATAT DAN HAPALKAN".
Pembelajaran –
guru yang mengajar dengan menciptakan situasi dan kondisi belajar yang
memungkinkan siswa dapat memperoleh pengalaman belajar sesuai dengan tujuan
artinya ia tidak hanya mengetahui meteri pelajaran tetapi ia juga mampu
memahami, menerapkan suatu konsep atau memiliki ketrampilan tertentu yang
disesuaikan dengan tujuan pembelajaran.
Guru dalam kelompok pembelajaran bertindak sebagai
fasilitator, pemberi motivasi dan rangsangan, pembimbing dan konsultan terhadap
kesulitan yang dihadapi siswa serta mengarahkan proses pada tujuan yang telah
ditetapkan. Siswa menjadi lebih aktif dengan melakukan diskusi, latihan,
eksperimen atau proses discoveri keilmuan.
Pembelajaran bebas
– guru berperan sebagai pembimbing siswa dalam pem-belajaran. Siswa
memilih materi pembelajaran apa yang akan dipelajari sesuai dengan
minat dan pilihannya serta bagaimana cara mempelajarinya [5].
Secara umum bahwa Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi
dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya dan masyarakat [6].
Beberapa pakar pendidikan memberikan pengertian yang
berbeda-beda sesuai dengan tinjauan yang mereka kembangkan dan dengan demikian
maka terjadi variasi dan polarisasi pengembangan pemikiran pendidikan. Berikut
ini akan dijelaskan pengertian pendidikan baik secara terminologis maupun
etimologis sebagai berikut :
A. Kamus Bahasa
Indonesia, 1991:232, Pendidikan berasal dari kata "didik", Lalu kata
ini mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik"
artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan
diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran [7].
B. Menurut bahasa
Yunani : pendidikan berasal dari kata "Pedagogi" yaitu kata
"paid" artinya "anak" sedangkan "agogos" yang
artinya membimbing "sehingga " pedagogi" dapat di artikan
sebagai "ilmu dan seni mengajar anak".
C. Menurut UU No. 20
tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara [8].
D. Wikipedia,
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya dan masyarakat [9].
E. Dalam pengertian yang sempit pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan
untuk memperoleh pengetahuan ( McLeod, 1989 ).
F. Pendidikan ialah segala pengalaman belajar yang
berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup serta pendidikan dapat
diartikan sebagai pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal ( Mudyahardjo, 2001:6 )
G. Dalam pengertian yang agak luas pendidikan diartikan
sebagai sebuah proses dngan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh
pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan (
Muhibinsyah, 2003:10)
H. Pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat
kelembagaan (sekolah/madrasah) yang dipergunakan untuk menyempurnakan
perkembangan individu dalam mengua-sai pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan
sebagainya ( Dictionary of
Psychology,1972)
I. Menurut John
Dewey pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental, baik menyangkut daya pikir atau daya intelektual, maupun daya
emosional atau perasaan yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada
sesamanya.
III. PENDEKATAN DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching Learning-CTL)
Salah satu unsur terpenting dalam penerapan pendekatan
kontekstual adalah pemahaman guru untuk menerapkan strategi pembelajaran
kontekstual di dalam kelas. Akan tetapi, fenomena yang ada menunjukkan
sedikitnya pemahaman guru-guru PAI mengenai strategi ini. Oleh karena itu
diperlukan suatu model pengajaran dengan menggu-nakan pembelajaran kontekstual
yang mudah dipahami dan diterapkan oleh para guru Pendidikan Agama Islam di
dalam kelas secara sederhana.
Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil
penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan
baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan
dengan kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi di sekelilingnya. Pembelajaran
ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer ilmu pengetahuan, mengumpulkan
dan menganalisis data, memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara individu
maupun kelompok[10].
Jawahir[11]
mengemukakan bahwa guru PAI dapat menggunakan strategi pembe-lajaran
kontekstual dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut, yaitu:
1. memberikan
kegiatan yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa;
2. lebih
mengaktifkan siswa dan guru;
3. mendorong
berkembangnya kemampuan baru;
4. menimbulkan
jalinan kegiatan belajar di sekolah,
rumah dan lingkungan masyarakat.
Melalui pembelajaran ini, siswa menjadi lebih responsif
dalam menggunakan pengetahuan dan ketrampilan di
kehidupan nyata sehingga memiliki motivasi tinggi untuk belajar. Beberapa hal
yang harus diperhatikan para guru Pendidikan Agama Islam dalam mengimplementasikan
pendekatan kontestual, adalah[12]
:
1. Pembelajaran
Berbasis
Masalah Langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah
mengobservasi suatu fenomena, misalnya : a) menyuruh siswa untuk menonton VCD
tentang kejadian manusia, rahasia Ilahi, Takdir Ilahi, tentang Alam Akhirat,
azab Ilahi , dan sebagainya; b) menyuruh siswa untuk melaksanakan shaum pada
hari senin dan kamis, membayar zakat ke BAZ, mengikuti sholat berjamaah di
masjid, mengikuti ibadah qurban, menyantuni fakir miskin.
Langkah kedua yang dilakukan oleh guru adalah
memerintahkan siswa untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul,
misalnya: mengamati, mencatat, mengungkap permasalahan-permasalahan yang
muncul, mengungkapkan perasaannya kemudian mendiskusikan dengan teman
sekelasnya.
Langkah ketiga tugas guru Pendidikan Agama Islam adalah
merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan permasalahan yang ada.
Langkah keempat guru diharapkan mampu untuk memotivasi siswa agar mereka berani bertanya,
membuktikan asumsi dan mendengarkan pendapat yang berbeda dengan mereka.
2. Memanfaatkan
Lingkungan Siswa untuk Memperoleh Pengalaman Belajar
Guru memberikan penugasan kepada siswa untuk melakukan
kegiatan yang berhubungan dengan konteks lingkungan siswa, antara lain di
sekolah, keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
penugasan kepada siswa di luar kelas. Misalnya mengikuti sholat berjamaah,
mengikuti sholat jum`at, mengikuti kegiatan ibadah qurban dan berkunjung ke
pesantren untuk mewawancarai santri atau ustadz yang berada di pesantren
tersebut. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung dari kegiatan
yang mereka lakukan. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus
dilaku-kan siswa dalam rangka penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar
dan materi pembelajaran.
3. Memberikan
Aktivitas Kelompok
Di dalam kelas guru PAI diharapkan dapat melakukan
proses pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok belajar. Siswa di bagi
kedalam beberapa kelompok yang heterogen. Aktivitas pembelajaran kelompok dapat
memperluas perspektif dan dapat membangun kecakapan interpersonal untuk
berhubungan dengan orang lain. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh guru dalam
mempraktekan metode ini adalah: 1) Mendatangkan ahli ke kelas, misalnya Tokoh
Agama, Santri atau Ulama dari pesantren, 2) Bekerja dengan kelas sederajat, 3)
Bekerja dengan kelas yang ada di atasnya.
4. Membuat
Aktivitas Belajar Mandiri
Melalui aktivitas ini, peserta didik mampu mencari,
menganalisis dan mengguna-kan informasi sendiri dengan sedikit bantuan atau
bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih
memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi
pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh.
Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu;
menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa
meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri
(independent learning).
5.
Menyusun Refleksi
Dalam melakukan refleksi, misalnya
ketika pelajaran berakhir siswa merenungkan kembali pengalaman yang baru mereka
peroleh dari pelajaran tentang sholat berjama`ah, puasa senin- kamis, membayar
zakat, menyantuni fakir miskin, dan seterusnya. Melalui perenungan ini, siswa dapat lebih
menemukan kesadaran dalam dirinya sendiri tentang makna ibadah yang mereka
lakukan dalam hubungan mereka sebagai hamba Allah dan dalam hubungan mereka
sebagai makhluk sosial.
B.
Pendekatan Sains
Pendekatan sains yaitu suatu pengkajian pendidikan untuk
menelaah dan dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan
disiplin ilmu tertentu sebagai dasarnya. Cara kerja pendekatan sains dalam
pendidikan yaitu dengan menggunakan prinsip-prinsip dan metode kerja ilmiah
yang ketat, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif sehingga ilmu
pendidikan dapat diiris-iris menjadi bagian-bagian yang lebih detail dan
mendalam.
Melalui pendekatan sains ini kemudian dihasilkan sains pendidikan
atau ilmu pendidikan,
dengan berbagai cabangnya, seperti:
1. sosiologi
pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sosiologi dalam
pendidikan untuk mengkaji faktor-faktor sosial dalam pendidikan;
2. psikologi
pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi untuk
mengkaji perilaku dan perkembangan individu dalam belajar;
3. administrasi
atau manajemen pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari
ilmu manajemen untuk mengkaji tentang upaya memanfaatkan berbagai sumber daya
agar tujuan-tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien;
4. teknologi
pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sains dan
teknologi untuk mengkaji aspek metodologi dan teknik belajar yang efektif dan
efisien;
5. evaluasi
pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi
pendidikan dan statistika untuk menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa;
6. bimbingan
dan konseling, suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari beberapa
disiplin ilmu, seperti: sosiologi, teknologi dan terutama psikologi. Tentunya
masih banyak cabang-cabang ilmu pendidikan lainnya yang terus semakin
berkembang yang dihasilkan melalui berbagai kajian ilmiah.
C.
Pendekatan filosofis
Pendekatan filosofi yaitu suatu pendekatan untuk
menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan metode
filsafat. Pendidikan membutuh-kan filsafat karena masalah pendidikan tidak
hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya terbatas pada
pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah-masalah yang lebih luas,
kompleks dan lebih mendalam, yang tidak terbatas oleh pengala-man inderawi
maupun fakta-fakta faktual, yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh sains.
Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah tujuan pendidikan yang bersumber
dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan hidup. Nilai dan tujuan
hidup memang merupakan fakta, namun pembahasannya tidak bisa dengan menggunakan
cara-cara yang dilakukan oleh sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang
lebih mendalam.
Cara kerja pendekatan filsafat dalam pendidikan
dilakukan melalui metode berfikir yang radikal, sistematis dan menyeluruh
tentang pendidikan, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga model:
1. model
filsafat spekulatif adalah cara berfikir sistematis tentang segala yang ada,
merenungkan secara rasional-spekulatif seluruh persoalan manusia dengan segala
yang ada di jagat raya ini dengan asumsi manusia memliki kekuatan intelektual
yang sangat tinggi dan berusaha mencari dan menemukan hubungan dalam
keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan pengalaman
2. model
filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standar)
penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia, penilaian
tentang seni, menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus
dan jelek. Nilai suatu benda pada dasarnya inherent dalam dirinya, atau hanya
merupakan gambaran dari fikiran kita. Dalam konteks pendidikan, filsafat
preskriptif memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang
bermanfaat; dan
3. model
filsafat analitik memusatkan pemikirannya pada kata-kata, istilah-istilah, dan
pengertian-pengertian dalam bahasa, menguji suatu ide atau gagasan untuk
menjernihkan dan menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan secara hati dan
cenderung untuk tidak membangun suatu mazhab dalam sistem berfikir.[13]
Terdapat beberapa aliran dalam filsafat, diantaranya:
idealisme, materialisme, realisme dan pragmatisme.[14]
Aplikasi aliran-aliran filsafat tersebut dalam pendidikan kemudian menghasilkan
filsafat pendidikan,
yang selaras dengan aliran-aliran filsafat tersebut. Filsafat pendidikan akan
berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya dengan
konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita dalam merumuskan tujuan dan
kebijakan pendidikan.
Dari kajian tentang filsafat pendidikan selanjutnya
dihasilkan berbagai teori pendidikan, diantaranya:
1. Perenialisme;
lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada
warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting
dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham
ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat
pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
2. Esensialisme;
menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan
keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang
berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai
dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama
halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu
3. Progresivisme;
menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta
didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan
bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
4. Rekonstruktivisme
merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekon-struktivisme,
peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping mene-kankan tentang
perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh
menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran
ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan
melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada
proses
5. Eksistensialisme
menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna.
Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini
mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
D.
Pendekatan Religius
Pendekatan religi yaitu suatu pendekatan untuk menyusun
teori-teori pendidikan dengan bersumber dan berlandaskan pada ajaran agama. Di
dalamnya berisikan keyakinan dan nilai-nilai tentang kehidupan yang dapat
dijadikan sebagai sumber untuk menentukan tujuan, metode bahkan sampai dengan
jenis-jenis pendidikan.
Cara kerja pendekatan religi berbeda dengan pendekatan
sains maupun filsafat dimana cara kerjanya bertumpukan sepenuhnya kepada akal
atau ratio, dalam pendekatan religi, titik tolaknya adalah keimanan. Pendekatan
religi menuntut orang meyakini dulu terhadap segala sesuatu yang diajarkan
dalam agama, baru kemudian mengerti, bukan sebaliknya.
Terkait dengan teori pendidikan
Islam, Ahmad Tafsir[15]
mengemukakan dasar ilmu pendidikan Islam yaitu Al-Quran, Hadis dan Akal.
Al-Quran diletakkan sebagai dasar pertama dan Hadis Rasulullah SAW sebagai
dasar kedua. Sementara akal digunakan untuk membuat aturan dan teknis yang
tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utamanya (Al-Qur’an dan Hadis),
yang memang telah terjamin kebenarannya. Dengan demikian, teori pendidikan
Islam tidak merujuk pada aliran-aliran filsafat buatan manusia, yang tidak
terjamin tingkat kebenaran-nya.
Mengingat kompleksitas dan luasnya lingkup pendidikan,
maka untuk menghasilkan teori pendidikan yang lengkap dan menyeluruh kiranya
tidak bisa hanya dengan menggu-nakan satu pendekatan saja. Oleh karena itu,
diperlukan pendekatan holistik dengan memadukan ketiga pendekatan di atas yang
terintegrasi dan memliki hubungan komple-menter, saling melengkapi antara satu
dengan yang lainnya. Pendekatan semacam ini biasa disebut pendekatan
multidisipliner
Dalam proses perencanaan pembelajaran terkandung juga
kegiatan pendekatan yang akan dilakukan oleh seorang guru terhadap peserta
didik, karena pendekatan sangat menentukan interaksi antara guru dan siswa.
Pendekatan yang dapat digunakan secara garis besar adalah[16]
:
A. Pendekatan imposisi atau ekspositoris yaitu pendekatan dengan ciri guru menyam-paikan
materi pembelajaran dengan penuturan atau dengan melontarkan (ekspositoris)
materi pembelajaran. Metode ini berkembang dari fakta empiris yang menyatakan
bahwa manusia pada mulanya tidak memiliki ide atau pengetahuan apa-apa
sebagaimana yang dikembangkan oleh John Locke dengan filosofi "Tabula
Rasa" – lalu guru bertindak sebagai supliyer ilmu kepada siswa.
B. Pendekatan Teknologis yaitu pembelajaran dengan menggunakan perangkat (wares),
baik berupa perangkat benda atau perangkat keras (hardware), misalnya Radio,
Televisi, atau komputer dan perangkat program (software).
C. Pendekatan Personalisasi yaitu pembelajaran dengan meengarahkan pada siswa untuk
menentukan apa yang ingin dipelajari, sehingga yang bersangkutan mempertahankan
keunggulan yang semula sudan dimiliki dan mengembangkannya sesuai dengan
dasar-dasar yang sudah dimiliki. Dalam proses pembelajaran, siswa diarahkan
pada prinsip saling membutuhkan, aktif dan jiwa kemandirian. Proses
pembelajaran dengan pendekatan personalisasi didasarkan pada filosofi
progresifistis yang berpandangan bahwa manusia pada asalnya adalah baik dan
aktif.
D. Pendekatan Interaksional yaitu proses pembelajaran dengan pola terjadinya
interaksi yang seimbang antara guru dan siswa. Guru aktif dalam memberi
rangsangan maupun jawaban, demikian juga siswa. Guru senantiasa melemparkan
permasalahan yang terformat dalam media pembelajaran, sehingga siswa terlatih
kemampuannya untuk memecahkan masalah melalui penggunaan argumentasi verbal.
E. Pendekatan konstruktivis yaitu proses pembelajaran dimana siswa melakukan
preposisi yang sederhana dengan mengkonstruk pengertian terhadap dunia
tempatnya hidup. Manusia membangun pengetahuan melalui interaksi dengan obyek,
fenomena, pengalaman dan lingkungannya.
Untuk melakukan pendekatan konstruktivis, seseorang harus
memahami prinsip-prinsip kontruktifitas yaitu
1. masalah yang sesuai dengan kehidupannya,
2. ppenataan belajar pada konsep primer/utama,
3. menjajaki dan menghargai pendapat siswa,
4. kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan siswa, dan
5. menilai belajar siswa dalam konsteksi mengajar.
Jika kita menggunakan metode konstruktivis, maka
sesungguhnya kita telah melakukan kegiatan :
1. mengaktifkan kembali pengetahuan yang sudah ada
(activiting knowlidge),
2. memperoleh pengetahuan baru (acquiring knowlidge),
3. pemahaman pengetahuan (understanding konwlidge),
4. mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman (applying
konwlidge), dan
5. melakukan refleksi pengetahuan (reflecting konwlidge).
F. Pendekatan Inquiri adalah pemberian mateeri pembelajaran pada siswa untuk
menangani permasalaha yang mereka hadapi ketika berhadapan dengan dunia nyata
melalui proses penelitian. Siswa sebagai peneliti, maka ia harus melakukan
prosedur mengenali permasalahan, menjawab pertanyaan, melakukan research dan
investigasi dan menyiapkan kerangka berfikir, hipotesis, dan penjelasan kompatibel
dengan pengalaman pada dunia nyata.
G. Pendekatan Pemecahan Masalah – yaitu pembelajaran dengan titik tekan untuk
mengembangkan higher order thinking skills (kerangka ketrampilan berfikir
tingkat tinggi) melaui proses solving atau pemecahan masalah. Pendekatan
Pemecahan Masalah akan merangsang siswa mampu menjadi :
1. Eksplorer (mencari penemuan baru)
2. Inventor (mengembankan gagasan/ide dan pengujian baru
yang inovatif
3. Desainer (mengkreasi rencana dan model baru)
4. Desicion maker (pengambil keputusan-melatih menetapkan
pilihan yang bijaksana).
5. Komunikator (mengembangkan metode-teknik bertukar
pemikiran dan berinteraksi)
Dalam perspektif pembelajaran Qur'ani – ditemukan
beberapa pola atau model pendekatan yang biasa dilakukan dalam proses
pembelajaran pendidikan agama Islam adalah :
A. Pendekatan Pengalaman – yaitu pemberian pengalaman keagamaan kepada peserta
didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan baik secara individual
maupun kelompok. Pengalaman adalah suatu hal yang sangat berharga dalam
kehidupan manusia – Syaiful Bachri Djamrah menjelaskan bahwa pengalaman adalah
guru tanpa jiwa, namun selalu dicari oleh siapapun juga[17].
Al Qur’an memberikan contoh yang sangat jelas bagaimana
pendekatan pengalaman dipakai dalam memberikan pelajaran dan peringatan kepada
semua manusia agar mereka tidak terjerumus dalam situasi dan perbuatan yang
sama –misalnya bagaimana Allah menjadikan jasad Fir’aun sebagai sumber
pelajaran dengan pola pendekatan pengalaman. Firman Allah dalam Al Qur’an Surat
Yunus ayat 92[18]
Artinya :” Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu[704] supaya kamu
dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan Sesungguhnya
kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami”.
Sedemikian pentingnya pendekatan pengalaman dalam pembelajaran
pendidikan Islam, sehingga Allah berkali-kali memerintahkan umat Islam atau
manusia pada umumnya untuk mencari pengalaman dengan mengkaji riwayat
bangsa-bangsa terdahulu dan terus menerus melakukan kajian terhadap bekas
tempat tinggal dan kehidupan mereka, juga dengan berbagai peristiwa alam yang
terjadi dalam kehidupan kita – sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surat
Yunus ayat 39 dan 73[19]
Artinya :”bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum
mengetahuinya dengan sempurna Padahal belum datang kepada mereka penjelasannya.
Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka
perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu”.
Artinya :”lalu mereka mendustakan Nuh, Maka Kami selamatkan Dia dan
orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu
pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan orang-orang yang diberi
peringatan itu”.
Metode mengajar yang dapat dipakai dalam pendekatan
pengalaman, diantaranya adalah metode eksperimen (percobaan), metode
drill (latihan), metode sosiodrama dan bermain peran, dan metode pemberian
tugas belajar dan resitasi dan lain sebagainya.
B. Pendekatan Pembiasaan – pembiasaan adalah suatu tingkah laku tertentu yang
sifatnya otomatis tanpa direncanakan terlebih dahulu dan berlaku begitu saja
tanpa dipikirkan lagi. Pembiasaan pendidikan memberikan kesempatan kepada
peserta didik terbiasa mengamalkan ajaran agamanya, baik secara individu maupun
secara berkelompok dalam kehidupan sehari-hari[20].
C. Pendekatan Emosional – yaitu usaha untuk mengubah perasaan dan emosi peserta
didik dalam meyakini ajaran Islam serta dapat merasakan mana yang baik dan yang
buruk. Emosi adalah gejala kejiwaan yang ada dalam diri manusia – emosi erat
kaitannya dengan perasaan manusia. Seseorang yang mempunyai perasaan pasti
dapat merasakan sesuatu; baik perasaan jasmaniah, maupun perasaan rokhaniyah. Di dalam perasaan rokhaniyah tercakup perasaan
intelektual, perasaan estetis dan perasaan etis, perasaan sosial dan perasaan
harga diri. Peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka akan menjadi bangunan
emosi atau perasaan mereka.
D. Pendekatan Rasional – adalah suatu pendekatan mempergunakan rasio (akal)
dalam memahami dan menerima kebesaran dan kekuasaan Allah. Ajaran agama Islam
sebagian harus diyakini tanpa ada interpretasi karena memang ajaran tersebut
”ghairu ma’qul”, tetapi dalam konteks yang lain terdapat ajaran yang harus
dicerna dengan pendekatan rasio.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia,
penciptaan alam semesta, kekayaan dan keragaman hayati dan aspek-aspek lain
dari keindahan tata ruang angkasa – membutuhkan kecermelangan rasio untuk
memahaminya. Out put pemahaman dengan pendekatan rasio terhadap keajaiban
alam menjadikan manusia bertambah keimanannya – mereka yang mampu menggunakan
rasio alam memahami kekuasaan dan kebesaran Allah tersebut dikenal dengan ”Ulul
Albab” sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surat Ali Imron ayat 190-191[21].
Artinya :”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal”, ”(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.
Perintah menggunakan akal sebagai alat eksplorasi
keilmuan dan keimanan menjadi begitu penting karena akal adalah pintu utama
masuknya ilmu pengetahuan dan dengan akal pula manusia mampu memikirkan
kebesar-an dan kekuasaan Allah, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surat
Rum ayat 8[22].
Artinya :”dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri
mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara
keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan
Sesungguhnya keba-nyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan Pertemuan
dengan Tuhannya”.
E. Pendekatan Fungsional – adalah usaha memberikan materi agama dengan menekankan
pada segi kemanfaatan bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari sesuai
dengan tingkat perkembangannya. Pendekatan fungsional dilakukan di sekolah
karena dinilai dapat menjadikan agama lebih hidup dan dinamis. Metode yang
dapat digunakan dalam pendekatan ini adalah metode latihan, ceramah, tanya
jawab, pemberian tugas dan demonstrasi.
F. Pendekatan Keteladanan – adalah memperlihatkan keteladanan, baik yang langsung
melalui penciptaan kondisi, pergaulan yang akrab antara personal sekolah,
perilaku pendidikan dan tenaga pendidikan lain yang mencermin-kan akhlaq
terpuji, maupun yang tidak langsung melalui suguhan ilustrasi berupa
kisah-kisah keteladanan[23].
Secara natural, seorang anak dibekali kemampuan untuk
mengidentifikasi, meng-asosiasi dan bahkan meniru apa yang pernah dilihat atau
dijumpainya. Oleh sebab itu diperlukan public figur yang baik (berakhlaqul
karimah) karena anak tersebut akan men-jadikannya sebagai bahan rujukan untuk
memerankan dirinya dalam kehidupan sehari-hari.
Keteladanan yang paling baik adalah meneladani perilaku
dari Rasulullah artinya bagaimana Rasulullah mendidik, bergaul, memimpin umat
Islam dan beribadah kepada Allah sebagai wujud syukurnya atas karunia Allah
kepadanya. Tidak ada keteladanan yang lebih baik dari pada keteladanan yang
dicontohkan oleh Rasulullah sebagaimana firman Allah dal Al Qur’an Surat al
Akhzab ayat 21[24]
Artinya :”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
G. Pendekatan Terpadu – adalah pendekatan yang dilakukan dalam proses
pembelajaran dengan memadukan secara serentak beberapa pendekatan, yaitu
pendekatan keimanan (akidah), pengalaman (experient), pembiasaan, rasional
(akliah), emosional (gejolak kejiwaan), fungsional (nilai kegunaan) dan
keteladanan (uswah).
IV. KESIMPULAN
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa keberhasilan
penyampaian materi (pesan-message) sangat tergantung bagaiaman si penyampai
menggunakan pendekatan atau bahkan metode yang cocok. Dalam konteks
pendidikan dikenal banyak pendekatan yang kemudian menginspirasi lahirnya
berbagai strategi dan metode pembelajaran.
Contextual teaching learning merupakan salah satu dari
sekian banyak pendekatan dalam pembelajaran. CTL dalam pembelajaran PAI
didasarkan pertimbangan bahwan PAI merupakan salah satu mata pelajaran pokok
dari sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa, yang bertujuan
untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik serta memiliki akhlak
mulia dalam kehidupannya sehari-hari, melalui pendekatan kontekstual diharapkan
siswa dibawa ke dalam nuansa pembelajaran yang di dalamnya dapat memberi
pengalaman yang berarti melalui proses pembelajaran yang berbasis masalah,
penemuan (inquiri), independent learning, learning community, proses refleksi ,
pemodelan sehingga dari proses tersebut diharapkan mereka dapat memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya, dan PAI sesuai dengan tuntutan
kurikulum 2006 harus memenuhi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan
psikomotor.
Pendekatan lain yang harus diperhatikan adalah aspek
sains, filosofis dan religious. Kesemuanya dipadu dengan pendekatan spesifik
dalam proses pembelajaran PAI menurut dasar-dasar keislaman yaitu pendekatan
pembiasaan, emosional, rasional, fungsional, pengalaman dan keteladanan.
DAFTAR
PUSTAKA
Badruzaman, Ahmad. Strategi dan
Pendekatan dalam Pembelajaran. Ar Ruuz, Yogyakarta,
2006
Bachri Djamarah, Drs. Syaiful dan Aswan Zain, “Strategi
Belajar Mengajar”, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1997
Humaidi, M.K. Model-Model
Pembelajaran Kreatif. Rosdakarya, Bandung.
2006.
Ismaun. Filsafat
Ilmu I.
(Diktat Kuliah). Bandung:
UPI Bandung. 2001
Jawahir, Mochamad. Teknik dan
Strategi Pembelajaran. Cendekia Press, Bandung.
2005.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa
Psikologi dan Pendidikan. Jakarta:
Pustaka Al-Husna1986.
Ramayulis, “Pengantar Ilmu Pendidikan Islam”, Jakarta,
Kalam Mulia, 1994,
Saifullah, HA. Ali. Antara Filsafat dan Pendidikan:
Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya:
usaha Nasional1983.
Sadullah, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media
Iptek1994.
Sutisna, Prof. Dr. Oteng, M.Sc, Administrasi
Pendidikan Dasar Teoristis untuk Praktek Profesional, Bandung, Angkasa,
1983,
Sumiati, Dra. dan Asra,
M.Ed, Metode Pembelajaran, Bandung,
CV. Wacana Prima, 2008,
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta,
2005
Tafsir, Ahmad Dr. Ilmu Pendidikan dalam Persfektif
Islam. Bandung:
Rosda Karya, 2002
Wahid, Abdul. Pengajaran Terpadu PAI dengan Pelajaran
Umum. Pikiran Rakyat 1 Mei 2007 kolom Forum Guru.
[2]Abdul
Wahid, Pengajaran Terpadu PAI dengan Pelajaran Umum, Pikiran Rakyat 1
Mei 2007, Kolom Forum Guru.
[4] Prof. Dr. Oteng Sutisna, M.Sc, Administrasi Pendidikan Dasar Teoristis
untuk Praktek Profesional, Bandung, Angkasa, 1983, 35-36
[17] Syaiful Bachri Djamrah dan Aswan Zain,
“Strategi Belajar Mengajar”, Jakarta,
PT. Rineka Cipta, 1997, hal. 70
Posisi Pendidikan Agama (Islam)
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Tahun 2003
Masalah pendidikan, menurut Malik Fajar, adalah masalah yang tidak
pernah tuntas untuk dibicarakan, karena itu menyangkut persoalan manusia dalam
rangka memberi makna dan arah normal kepada eksistensi fitrinya.[1]
Persoalan-persoalan yang dihadapi dunia pendidikan tersebut digambarkan oleh
John Vaisey sebagaimana dikutip oleh Muis Sad Iman, dengan menyatakan bahwa,
setiap orang yang pernah menghadiri konferensi Internasional di tahun-tahun
terakhir ini pasti merasa terkejut akan banyaknya persoalan pendidikan yang
memenuhi agenda. Makin lama makin jelas bahwa organisasi-organisasi
internasional itu mencerminkan apa yang terjadi di semua Negara di dunia.
Hampir tidak ada satu Negara pun dewasa ini dimana pendidikan tidak merupakan
topik utama yang diperdebatkan.[2]
Bagaimana dengan pendidikan Islam di Indonesia? Pendidikan Islam di
Indonesia, sama nasibnya. dan secara khusus pendidikan Islam menghadapi
berbagai persoalan dan kesenjangan dalam berbagai aspek yang lebih kompleks,
yaitu: berupa persoalan dikotomi pendidikan, kurikulum, tujuan, sumber daya,
serta manajemen pendidikan Islam. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara
mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Usaha pembaharuan dan peningkatan
pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan
menyeluruh serta sebagian besar sistem dan lembaga pendidikan Islam belum
dikelola secara professional.[3]
Usaha pemerintah untuk memperbaiki pendidikan Islam di Indonesia
dapat kita lihat komitmen mereka dalam penyusunan UU Sisdiknas 2003, walaupun
ada sebagian Pasalnya, pemerintah belum merealisasikan secara konsisten,
contohnya Pasal 49 ayat 1 tentang anggaran pendidikan[4], oleh
karena itu makalah ini akan membahas posisi pendidikan agama (Islam) dalam UU
Sisdiknas 2003.
A. Pengertian Pendidikan, Pendidikan
Nasional, dan Pendidikan Islam
1.
Pendidikan menurut UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat (1) adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
2.
Pendidikan Nasional menurut UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat (2) adalah:
pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar
pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.
3. Pendidikan Islam
a. Pendidikan Islam adalah kegiatan yang dilaksanakan secara terencana dan
sistematis untuk mengembangkan potensi anak didik berdasarkan pada kaidah-kaidah
agama Islam.
b. SEMINAR PEND. ISLAM CIPAYUNG
(7-11 MEI 1960):
Pendidikan Islam adalah
bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani berdasar ajaran Islam dengan hikmah
mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua
ajaran Islam.
c. MUHAMMAD FADHIL AL-DJAMALY
(1967):
Pendidikan Islam adalah proses
yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat
kehidupannya, sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajar
(pengaruh dari luar) yang dimiliki dan diterimanya.
d. OMAR MOHAMMAD AL-TOUMY
AL-SYAEBANY (1979)
Pendidikan
Islam adalah suatu usaha untuk mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan
pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya
melalui proses kependidikan yang dilandasi nilai-nilai Islami.
e. RECOMMENDATIONS
OF THE INTERNATIONAL SEMINAR ON ISLAMIC EDUCATION CONCEPTS & CURRICULA ISLAMABAD (15-20 MARET
1980)
Pendidikan
Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan
pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal
pikiran, kecerdasan, perasaan
serta panca indera yang dimilikinya.[5]
f. Zakiah Daradjat
Pendidikan Islam adalah pembentukan
kepribadian muslim. Atau perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan
petunjuk ajaran Islam.[6]
g. Muhammad Quthb
Pendidikan Islam adalah usaha melakukan pendekatan
yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik dari segi jasmani maupun ruhani,
baik dari kehidupan fisik maupun mentalnya, dalam kegiatan di bumi ini.[7]
. Laporan Hasil Wordl Conference on Muslim
Education yang pertama di Mekkah tanggal 31 Maret sampai 8 April 1977,
disebutkan:
“Education should aim at balanced
growth of the total personality of man through the training of mans spirit,
intellect, the rational self, feelings, and bodily senses. Education should
therefore cater for the growth of man in all its aspects, linguistic both
individually and collectively and motivate all these aspects towards goodness
and the attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim education lies in the
realization of complete submission to Allah on the level of individual, the
community and humanity at large.[8]
(Pendidikan
seharusnya bertujuan menimbulkan pertumbuhan kepribadian total manusia secara
seimbang, melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan, dan
kepekaan tubuh manusia. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya menyediakan
jalan bagi pertumbuhan manusia dalam aspeknya: spiritual, intelektual,
imajinasi, fisik, ilmiah, linguistic baik secara individual maupun secara
kolektif, dan memotivasi semua aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan
kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Muslim terletak pada realitas kepasrahan
mutlak kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusian
pada umumnya).
Dari definisi-definisi di
atas, baik yang dikemukakan UU Sisdiknas 2003 maupun para tokoh pendidikan,
dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah pembentukkan
tingkah laku islami (akhlak mulia) dan kepasrahan (keimanan) kepada
Allah berdasarkan pada petunjuk ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadis).
B. Posisi Pendidikan
Agama dalam UU Sisdiknas 2003
1. Pasal 1 ayat (1), pendidikan adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
2. Pasal 1 ayat (2), pendidikan nasional
adalah:
Pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar
pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.
Dalam
hal ini agama sebagai tujuan pendidikan (agar peserta didik memiliki
kekuatan spiritual keagamaan) dan sumber nilai dalam proses pendidikan
nasional.
3.
Pasal 4 ayat (1)
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukkan bangsa.
4.
Pasal 12 ayat (1) Setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Peserta didik berhak mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agamanya masing-masing dan diajarkan oleh
guru/pendidik yang seagama. Tiap sekolah wajib memberikan ruang bagi siswa yang
mempunyai agama yang berbeda-beda dan tidak ada perlakuan yang diskriminatif.
5.
Pasal 15
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan,
akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
6.
Pasal 17 ayat (2)
Pendidikan dasar terbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah
ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah
menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain
yang sederajat.
7.
Pasal 18 ayat (3)
Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas
(SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan
madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
8.
Pasal 28 ayat (3)
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau
bentuk lain yang sederajat.
Salah satu jenis pendidikan nasional
adalah pendidikan agama. Setingkat taman kanak-kanak (TK) dinamakan raudatul
athfal (RA), sekolah dasar (SD) dinamakan madrasah ibtidaiyah (MI),
sekolah menengah pertama (SMP) dinamakan madrasah tsanawiyah (MTs),
sekolah menengah atas (SMA) dinamakan madrasah aliyah (MA), dan sekolah
menengah kejuruan (SMK) dinamakan madrasah aliyah kejuruan (MAK).[9]
9.
Pasal 30
tentang pendidikan keagamaan
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok
masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan
formal, nonformal, dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman,
pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Dalam
hal ini pendidikan agama merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Di
samping sekolah/madrasah formal yang didirikan oleh pemerintah seperti MIN,
MTsN, maupun MAN, masyarakat dapat juga menyelenggarakan pendidikan agama, baik
formal (pesantren, madrasah), nonformal (taman pendidikan Al-Qur’an (TPA),
majlis taklim) maupun informal (madrasah diniyah).
10. Pasal 36 ayat (3)
Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a.
Peningkatan iman
dan takwa;
b.
Peningkatan akhlak
mulia; dan seterusnya…
11. Pasal 37
(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama
b. pendidikan kewarganegaraan; dan seterusnya…
(2) Kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.
kurikulum pada setiap jenjang
pendidikan baik mulai jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, wajib
hukumnya memuat pendidikan agama (menurut agama yang dianut oleh peserta
didik).
12. Pasal 55 ayat (1) mengenai Pendidikan Berbasis Masyarakat
Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan
berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan
agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
Dalam hal ini, masyarakat boleh
mendirikan lembaga pendidikan berbasis masyarakat sesuai dengan kekhasan agama
masing-masing, seperti madrasah diniyah muhammadiyah (MDM), al-Ma’arif, dan
lain-lain.
walaupun secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia bukan
Negara agama[10]
dan bukan pula Negara sekuler[11], tetapi
Negara Pancasila.[12] Dengan
status Negara yang demikian, maka wajar kalau kemudian Pemerintah Indonesia tetap
memandang bahwa agama menduduki posisi penting di negeri ini sebagai sumber
nilai yang berlaku.[13]
Hal ini dapat
kita lihat bagaimana posisi agama (pendidikan agama) dalam UU Sisdiknas 2003.
dari pelbagai Pasal di atas menerangkan bahwa pendidikan agama sebagai sumber
nilai dan bagian dari pendidikan nasional. Pendidikan agama mempunyai peran
penting dalam mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, akhlak mulia dan kepribadian muslim (khusus agama Islam).
Abdur Rahman
Assegaf, dkk mengutip pendapat M. Arifin, bahwa pendidikan agama setelah
diwajibkan di sekolah-sekolah, meskipun masih perlu disempurnakan terus,
menunjukkan bahwa pengaruhnya dalam perubahan tingkah laku remaja adalah
relatif lebih baik disbanding dengan kondisi sebelum pendidikan agama tersebut
diwajibkan. Sekurang-kurangnya pengaruh pendidikan agama tersebut secara
minimal dapat menanamkan benih keimanan yang dapat menjadi daya preventif
terhadap perbuatan negative remaja atau bahkan mendorong mereka untuk
bertingkah laku susila dan sesuai dengan norma agamanya.[14]
Daftar Pustaka
Assegaf, Abdur Rahman, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Suka Press, 2007
Azra, Azyumardi, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milennium Baru, (Jakarta: Logo
Wacana Ilmu, 1999)
Arifin, M Kapita selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta:
Bumi Aksara, 1995)
Bahtiar Effendi, Masyarakat, Agama, dan Pluralisme
Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press, 2002
Baidlowi, Miftah, Kontribusi Keluarga, Sekolah, dan
Masyarakat Terhadap Pengamalan Nilai Agama Islam Siswa SMU Negeri di Kabupaten
Sleman, (Yogyakarta: Tesis, 2000
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
2000)
Idi, Abdullah Idi dan Suharto, Toto, Revitalisasi
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006)
Iman, Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004)
Jabali, Fuad Jabali dan Jamhari (peny.) IAIN Modernisasi
Islam di Indonesia. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002)
Kaelan, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 1996
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1988) cetakan II
Muhammad Ali, Indonesia Negara Sekuler?, Jakarta: Kompas, 2 Agustus 2002.
Syam, Yunus Hasyim, Mendidik Anak ala Muhammad, (Yogyakarta: Penerbit Sketsa, 2005)
Sanaky, Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press)
Supriyoko, Ki, Kuliah Politik Pendidikan Nasional
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sessi ke-12
UU Sisdiknas 2003
Quthb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, alih bahasa
Salman Harun, (Bandung: Al-Ma’arif, 1984), cetakan 1
[1] Yunus Hasyim Syam. 2005. Mendidik Anak ala Muhammad.
Yogyakarta: Penerbit Sketsa., hal. x
[2] Muis Sad Iman. 2004. Pendidikan Partisipatif. Yogyakarta:
Safiria Insania Press., hal. 2
[3] Kutipan Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Safiria Insania Press), hal.9 atau dalam bukunya Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milennium Baru, (Jakarta: Logo Wacana
Ilmu, 1999), hal 59.
[4] Pasal
49 ayat (1) berbunyi: Dana Pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimanl 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
[5] Ki Supriyoko, Kuliah Politik Pendidikan Nasional Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, sessi ke-12
[6] Zakiah daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2000), hal. 28
[7] Kutipan Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 47-48 atau bukunya Muhammad
Quthb, Sistem Pendidikan Islam, alih bahasa Salman Harun, (Bandung:
Al-Ma’arif, 1984), cetakan 1, hal. 27.
[8] Dikutip dari Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1988), cetakan II, hal. 308 atau Abdullah Idi dan Toto
Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, op.cit, hal. 49.
[9] Masuk dalam madrasah ini (madrasah aliyah kejuruan) adalah madrasah
aliyah keagamaan (MAK)/atau madrasah kejuruan pada ilmu-ilmu agama. MAKN merupakan
perubahan dari madrasah aliyah program khusus (MAPK) sejak tahun 1997.
Contohnya MAKN Surakarta (karena penulis termasuk peserta didik didalamnya).
[10] Negara agama atau Negara theokrasi pada hakikatnya adalah suatu
Negara yang berdasarkan pada suatu ajaran agama tertentu. Negara secara
keseluruhan dibentuk berdasarkan suatu ajaran agama tertentu, baik menyangkut
bentuk Negara, kekuasaan Negara, tujuan Negara, demokrasi, dan sebagainya.
Lihat Kaelan, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 1996., hal. 102.
[11] Menurut Donald Eugene Smith, the secular state is state that
guarantees individual and corporate freedom of religion, deals with the
individual as a citizen irrespective of his religion, is not constitutionally
connected to a particular religion, nor seeks either to promote or interfere
with religion. Lihat: Muhammad Ali, Indonesia Negara Sekuler?, Jakarta: Kompas,
2 Agustus 2002.
[12] Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia.
(Yogyakarta: Suka Press, 2007), hal.143.
Menurut Bahtiar Effendi –sebagaimana dikutip oleh Abdur Rahman Assegaf,
dkk- sebagai Negara Pancasila, dapat dikatakan bahwa Indonesi mengambil jalan
tengah (middle path) antara Negara agama dan Negara sekuler. Rumusan
sila perta Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 Ayat (1) memberikan sifat yang khas
pada Negara Indonesia, bukan Negara sekuler yang memisahkan agama dan Negara,
dan bukan Negara agama yang berdasarkan pada agama tertentu. Negara Pancasila
menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk beragama dan wajib memelihara
budi pekerti luhur berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Lihat Bahtiar Effendi, Masyarakat,
Agama, dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press, 2002., hal. 19
[13] Fuad Jabali dan Jamhari (peny.) IAIN Modernisasi Islam di
Indonesia. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002)., hal. 62. atau Abdur Rahman
Assegaf, dkk Pendidikan Islam di Indonesia. Op.cit., hal. 145.
[14] Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia,
op.cit., hal. 146 atau baca M. Arifin, Kapita selekta Pendidikan (Islam
dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 217. Kemudian hasil
penelitian yang dilakukan oleh Miftah Baidlowi di sekolah-sekolah di Kabupaten
Sleman antara lain menunjukkan bahwa pendidikan agama di sekolah meberikan
kontribusi yang cukup signifikan terhadap pengamalan nilai-nilai keagamaan
siswa. (Miftah Baidlowi, Kontribusi Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat
Terhadap Pengamalan Nilai Agama Islam Siswa SMU Negeri di Kabupaten Sleman, (Yogyakarta:
Tesis, 2000), hal. 79