Makalah Tentang Perwalian Dalam Akad Nikah



PERWALIAN DALAM AKAD NIKAH


A.    Pendahuluan
Dalam pernikahan seorang perempuan tidak boleh sekehendaknya untuk melangsungkan pernikahan tanpa sepengetahuan wali. Wali merupakan saksi atas pernikahan antara seorang perempuan dengan laki-laki.
Untuk lebih jelasnya pada kesempatan ini pemakalah mecoba membahas tentang pengertian wali, syarat-syarat menjadi wali dan yang bisa menjadi wali dalam pernikahan, dengan tujuan sebagai penambah khazanah Islam dalam kehidupan sehari-hari sekaligus memperdalam pengetahuan kita tentang sahnya sebuah pernikahan.
Jika ada nanti yang salah dalam perbuatan makalah ini penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun demi kebaikan isi makalah ini untuk kedepannya.

B.     Pengertian Wali
Ulama sepakat mengartikan wali dalam pernikahan merupakan salah satu syarat dan juga rukun. Perkawinan sah jika ada wali ketika aqad nikah dilaksanakan. Wali dalam pernikahan adalah hanya pihak calon mempelai laki-laki. Sebagai syarat dan rukun, maka tentu wali dalam pernikahan harus memenuhi syarat-syarat tertentu.[1]

C.    Syarat-syarat Wali
Seorang wali yang akan menikahkan harus memiliki syarat sebagai berikut:
  1. wali tersebut memiliki hak perwalian yang sempurna.
  2. Antara wali dan orang yang berada dalam perwaliannya sama-sama Islam.
  3. Laki-lak
  4. Adil
  5. Cakap (cerdas), dalam pengertian dapat memahami kemaslahatan.
  6. Merdeka
  7. Berakal
Yaitu tidak sah orang gila menjadi walinya perempuan, baik gilanya terus menerus atau berkumat-kumat.
Dasar hukum keharusan adanya wali dalam perkawinan adalah sabda Rasulullah SAW yang bernunyi:

artinya tidak sah pernikahan tanpa adanya wali.[2]

Macam-macam wali yang mengaqadkan nikah dibagi pada:
  1. Wali nisab
Yaitu wali yang hak pernikahannya didasarkan karena adanya hubungan darah. Bisa orang tuanya dan bisa pula wali pula wali aqrab dan wali ab’adnya.
  1. Wali hakim
Yaitu wali yang perwaliannya timbul karena orang tua mempelai perempuan menolak (adal) atau tidak ada, itu karena sebab lain.[3]
  1. Wali mujbir
Wali yang diberi hak nikah anaknya yang masih perawan (bikir) tanpa meminta izin sebelumnya, dengan orang yang dianggap baik yaitu ayah dan kakek.
  1. Wali anak kecil
Ialah tidak sah menjadi wali.
D.    Kedudukan Wakil Dalam Pernikahan
Secara umum dalam mengadakan ‘aqad boleh diwakilkan, karena hal ini dibutuhkan oleh manusia dalam bidang hubungan masyarakat.
Para ahli fiqih sependapat bahwa setiap ‘aqad yang boleh dilakukan oleh orangnya sendiri, berarti boleh pula diwakilkan kepada orang lain seperti: ‘aqad jual beli, sewa menyewa, penuntutan hak dan perkara perkawinan, cerai dan ‘aqad lain yang memang boleh diwakilkan. Dahulu Nabi SAW. Dapat menjadi atau berpendapat sebagai wakil dalam ‘aqad perkawinan sebagian sahabatnya. Abu Daud meriwayatkan dari Uqbah bin Amir:








Artinya: Nabi SAW, bersabda kepada salah seorang sahabatnya: “Maukah aku nikahkan engkau dengan perempuan anu?” jawabnya: “ya”. Dan Nabi bersabda pula kepada seorang perempuan: “Maukah kamu aku nikahkan, dengan laki-laki anu?”. Jawab “ya” lalu Nabi nikahkan perempuan tadi dengan laki-laki tersebut. Kemudian digaulinya, padahal maharnya belum dipenuhi dan blum diberi sesuatu. Laki-laki ini salah seorang pejuang Hudaibiyah, dan siapa yang ikut dalam perang Hudaibiyah ia mendapat pembagian tanah di Khaibar. Dan ketika laki-laki ini dating ajalnya maka ia berkata: “Rasulullah sesungguhnya telah mengawinkan aku dengan perempuan anu. Tetapi maharnya belum saya bayarkan dan bahwa aku berikan kepadanya sebagai mahar, bagian dari tanahku di Khaibar itu”.
Kemudian perempuan tadi mengambil sebagian dari tanahnya dan menjualnya seharga 100.000,-(seratus ribu).
Dalam hadits ini menerangkan tentang sahnya wakil yang bertindak atas nama kedua belah pihak.


Artinya: Dari Ummu Habibah salah seorang yang ikut hijrah ke Habsyi, ia dikawinkan oleh Raja Negus dengan Rasulullah, Padahal pada waktu itu perempuannya berada di negeri Raja.

Dan pernah pula Umar bin Ummayah Adh-Dhomari bertindak sebagai wakil Rasulullah, dalam suatu perkawinan Rasulullah adapun raga Negus yang bertindak sebagai wali dalam pernikahan Rasulullah itu, beliau sendirilah yang memberi mahar kepada perempuan tersebu (Ummu Habibah).”

E.     Yang Boleh Mengangkat Wakil
Pengangkatan wakil diangap sah terhadap laki-laki yang sehat akalnya, dewasa dan merdeka. Ini karena ia dianggap sempurna kesangupannya. Setiap orang yang sempurna kesanggupannya ia berkuasa mengawinkan dirinya sendiri dengan orang lain. Dan setiap orang yang dapat berbuat demikian, maka ia dianggap sah mengangkat orang lain bertindak mewakili dirinya. Adapun jika seseorang hilang atau kurang kesanggupannya untuk itu, maka ia tak berhak mengangkat orang lain bertindak mewakili dirinya sendiri seperti orang gila, anak-anak, budak dan orang yang kurang akal. Sebab golongan ini tidak dapat bertindak untuk mengawinkan dirinya sendiri.
Para ahli fiqh saling berbeda pendapat tentang sah tidaknya perempuan yang telah dewasa mengangkat wakilnya untuk mengawinkan dirinya. Perbedaan pendapat mengenai ‘aqad perkawinan yang dilakukan oleh wakil yang diangkat oleh perempuan yang telah dewasa dan berakal sehat, adalah sebagai keberikut:
Abu Hanifah: sah sebagaimana halnya dengan laki-laki. Karena perempuan berhak mengadakan ‘aqadnya sendiri. Dan selama ia berhak mengadakan ‘aqad, maka adalah menjadi hak pula baginya untuk mengangkat ornag lain bertindak mewakili dirinya.
Jumhur Ulama: hanya bagi walinya, yang berhak untuk melakukan ‘aqad atas namanya, tanpa melalui penunjukan sebagai wakilnya, sekalipun sudah tentu dengan mengingat adanya kerighaan perempuan seperti penjelasan yang lampau. Tetapi sebagian ulama syafi’iyah membedakan antara ayah dan datuk di satu pihak dan wali-wali lainyya di pihak yang lain. Sebagai wakilnya. Adapun wali-wali lainnya sudah tentu harus melalui pengangkatannya sendiri untuk menjadi wakilnya.

F.     Pengangkatan Wali Secara Mutlak Dan Terbatas
Mengangkat wakil boleh dengan kekuasaan mutlak atau terbatas. Yang mutlak umpamanya: seorang mengangkat orang lain sebagai wakilnya untuk mengawinkannya dengan perempuan siapa saja, atau tanpa menyebutkan batas maharnya atau jumlah mahar tertentu. Yang terbatas umpamnya: seorang mengangkat orang lain sebagai wakilnya untuk mengawinkannya, dengan catatan perempuan tertentu atau dari keluarga tertentu atau dengan jumlah mahar tertentu.
Hukum memberi kekuasaan secara mutlak kepada wakil, berarti wakilnya, menurut Abu Hanifah tidak terikat oleh batasan-batasan apa saja. Jika wakilnya mengawinkannya dengan perempuan cacat atau tidak sepadan atau dengan mahar yang lebih tinggi dari mahal mitsl, hukumnya boleh, dan ‘aqadnya sah lagi berlaku. Karena hal ini akibat adanya kekuasaan yang mutlak tersebut. Tetapi Abu Yusuf dan Muhammad berkata: “Sudah tentu kemutlakannya itu harus terikat kepada perempua yang sehat dan sepadan disamping mahar mitsl, dan bilamana melebihi dari batas itu, juga dibolehkan yaitu dalam hal-hal yang ringan dan menurut kebiasaan umum tidak dirasakan sebagai suatu keberatan. Alasan kedua, orang ini telah mengangkat orang lain sebagai wakil, maksudnya hanya agar dapat memberikan pertolongan kepadanya untuk dapat memelihara yang lebih baik baginya. Dan kalau tidak disebutkan batasan-batasan hukum, tidak berarti boleh memberikan kepadanya sembarang perempuan. Karena sudah dimaklumi bahwa hendaknya ia dipilihkan perempuan yang sepadan dengan maharnya. Kejadian seperti ini harus diperhatikan serta diindahkan, sebab sesuatu yang sudah dianggap menjadi biasa, kedudukannya adalah sama dengan persyaratan. Demikianlah pendapat yang seyogyanya tak usah dipersoalkan berlarut-larut.
Hukum memberi kekuasaan kepada wakil secara terbatas, dan ia tidak boleh menyalahi wewenangnya kecuali apabila telah menghasilkan hal yang lebih baik, umpamanya isteri yang dipilih oleh wakilnya itu lebih cantik dan lebih bagus dari perempuan semula, atau maharnya kurang dari mahar yang disyaratkan. Dan bila ia menyalahi wewenang yang telah disyaratkan dan menimbulkan kerugian, hukum ‘aqadnya sah tapi tidak mengikat jawabannya sebagai wakil. Jadi pengangkatannya dalam hal ini boleh menerima atau menolak.
Golongan syafi’I berpendapat, bila perempuan sebagai pengangkat wakil, adakalanya ia mewakilkannya dalam hal-hal tertentu atau tidak terbatas. Dalam hal pertama ‘aqad nikah atas namanya dihukum tidak berlaku, bila tak sesuai dengan setiap ketentuan yang telah ia perintahkan kepada wakilnya. baik tentang ketentuan laki-laki atau maharnya.
Jika dalam hal kedua, ialah jika perempuan minta dikawinkan tanpa memberikan batas-batas tertentu, misalnya ia berkata begini: “saya angkat saudara menjadi wakil untuk menikahkan saya dengan seorang laki-laki. Lalu wakilnya itu menikahkannya dengan dirinya sendiri, atau dengan ayat atau anaknya.
Perkawinan yang dilakukan oleh wakil ini tidak mengikat dirinya (perempuan) karena adanya rasa kecurigaan. Jadi untuk berlakunya hukum ‘aqad nikah seperti ini tergantung kepada persetujuan perempuannya. Tapi wakilnya menjadikan perempuan tersebut dengan laki-laki lain, yaitu laki-laki yang asing, jika sepadan dan dengan mahar mitsl, maka aqad nikahnya meningkat, wakil serta dirinya tidak dapat membatalkannya.[4]
Adapun susunan wali dalam perkawinan secara berurutan adalah sebagai berikut:
1.      Ayah kandung
2.      Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya keatasa sampai garis laki-laki
3.      Saudara laki-laki sekandung
4.      Saudara laki-laki seayah
5.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
7.      Saudara bapak yang laki-laki (paman).
8.      Anak laki-laki paman
9.      Hakim, apabila wali-wali tersebut diatas tidak ada, maka hak perwalian pindah kepada Negara (sulthan) yang bisa disebut dengan istilah wali hakim.[5]
Didalam pasal 23 kompilasi hukum Islam ditegaskan mengenai wali hakim, yaitu:
  1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nisab tidak ada atau tidak mungkin menghindarkannya atau tidak mengetahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal (engan).
  2. Dalam hal wali adlal atau enggan amaka wali hakim baru dapt bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.
Dalam perkawinan dikenal pula istilah wali mujbir dan wali adlal.  Wali mujbir adalah seorang laki-laki. Yang termasuk dalam kategori wali mujibir ini adalah ayah kandung dan kakek (dari pihak ayah).
Sementara wali adlal  adalah wali yang enggan menikahkan seoranga perempuan yang telah baligh dan berakal (yang berada dalam perwaliannya) dnegan lelaki pilihannya sementara keduanya saling mencintai dan ingin dinikahkan dengan pilihannya tersebut. [6]

G.    Sifat-Sifat Seorang Wali
Mengenai sifat-sifat positif dan sifat-sifat negatif bagi seorang wali. Maka fuqaha telah sepakat bahwa sifat-sifat seorang wali adalah harus Islam, dewasa, dan laki-laki.
Akan tetapi berbeda pendapat dalam hal wali hamba sahaya, orang fasik, dan orang yang bodoh. Mengenai kecerdikan menurut mazhab Maliki tidak termasuk syarat dalam perwalian. Pendapat senada juga dikemukakan oleh imam Abu Hanifah. Akan tetapi imam Syafi’I berpendapat bahwa kecerdikan menjadi syarat dalam perwalian. Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh kemiripan kekuasaan dalam menikahkan dengan kekuasaan (perwalian) dalam urusan harta benda, dengan demikian orang yang bodoh tidak sah menjadi wali.
Dengan demikian dalam hal ini terdapat dua hal yaitu bahwa kecerdikan dalam urusan harta berlainan dengan kecerdikan dalam memilih calon suami yang patut untuk perempuan.
Dalam masalah keadilan ulama juga berbeda pendapat dalam kaitannya dengan kekuasaan untuk menjadi wali, apabila tidak terdapat keadilan maka tidak dapat dijamin bahwa wali tidak akan memilihkan calon istri yang seimbang bagi perempuan dibawah perwaliannya.[7]

H.    Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijabarkan diatas maka saya sebagai penyusun makalah dapat mengambil kesimpulan bahwasanya dalam setiap pernikahan pasti adanya perwalian diakibatkan karena hubungan kemasyarakatan.
Para ahli fiqih sependapat bahwa setiap ‘aqad yang boleh dilakukan oleh orangnya sendiri, berarti boleh pula diwakilkan kepada orang lain seperti: ‘aqad jual beli, sewa menyewa, penuntutan hak dan perkara perkawinan, cerai dan ‘aqad lain yang memang boleh diwakilkan.
Dalam perwalian akadnikah harus memenuhi persyaratan sebagai wali agar dapat dilaksanakannya perwalian tersebut, adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang wali yaitu: wali tersebut memiliki hak perwalian yang sempurna, Antara wali dan orang yang berada dalam perwaliannya sama-sama Islam, Laki-lak,  Adil, Cakap (cerdas), dalam pengertian dapat memahami kemaslahatan, Merdeka, serta memiliki akal sehat.



[1] Slamer Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahant, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm 98
[2] Moh. Rifai, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT: Karya Toha Putra, 1979), hlm 460
[3] Ikhwanuddin, Diktad Fiqih Munakahat I,(Padangsidimpuan: STAIN, 2003), hlm. 52
[4] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1994), hlm 31-34
[5] Mohd Idris Ramolyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1974), hlm 218
[6] Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid,(Semarang: CV. Asy-Syifa’, 19990), hlm 372
[7] Slamet Abidin dan Aminuddin, Op-Cit,hlm 98