POLIGAMI
A. Pendahuluan
Nikah merupakan sunnah Nabi yang
harus kita ikuti, siapa yang tidak mengikuti sunnah ku bukan dari golonganku
kata Rasul. Akad perkawinan merupakan ikatan yang suci yang terkait dengan
keyakinan dan keimanan kepada Allah. Untuk itu perkawinan harus di pelihara
dengan baik sehingga bisa abadi, namun sering kali kita dapati masalah-masalah
seperti poligami.
Poligami ini adalah beristri lebih
dari satu banyak pendapat tentanghal ini karena itu dalam makalah ini akan
dibahas mengenai poligami dan dasar hukum yang membolehkan poligami.
B. Pengertian Poligami
Poligami adalah beristri lebih dari
satu jika kita dapat atau bisa berlaku adil kita boleh-boleh saja beristri dua,
tiga atau empat. Tapi jika kita takut atau tidak bisa berlaku adil maka
kawinilah satu saja.
Allah SWT berfirman bahwa “Jika kamu
takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim perempuan yang berada di
bawah perwalianmu/yang ingin kamu mengawininya maka carilah wanita lain untuk
menjadi istrimu, dua, tiga, empat sesuka hatimu, namun terhadap istri-istri
yang lebih dari satu itu kamu takuti dapat berlaku adil dalam perlakuan
terhadap mereka mengenai pelayanan, pakaian, tempat giliran bermalam dan
lain-lain maka hendaklah kamu beristri satu orang saja”.[1]
C. Hukum Poligami Islam
Menurut imam Syafi’I berdasarkan
sunnah Rasulullah tidaklah diperbolehkan seorang beristri lebih dari empat.
Pendapat ini telah menjadi ijma’ (disepakati bulat oleh para ulama, terkecuali
segolongan ulama syi’ah yang berpendapat bahwa seorang boleh beristri lebih
dari empat orang sampai sembilan, bahkan ada yang tidak membatasi dengan suatu
bilangan).
Hadis Rasulullah yang menunjukkan
seorang muslim boleh beristrikan lebih dari satu sampai empat, diriwayatkan
oleh imam Ahmad dari Ibnu Syihab bahwa Ghailah bin Salam beristrikan sepuluh
orang tatkala ia masuk Islam. Oleh Rasulullah disuruh memilih empat dari
sepuluh istri itu menurut Albalnaqi bahwa dengan hadis ghailan itu Rasulullah
jelas-jelas melarang orang mempunyai istri lebih dari empat.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu
Majah dari Alharits bin Qais bahwa Umairah Al-Asadi bercerita: “Tatkala aku
masuk Islam aku mempunyai delapan orang istri ketika aku beritahukan hal itu
kepada Rasul SAW. Bersabda beliau kepaku memerintahkan:
Artinya: “Pilihan empat orang di
antara mereka”
Diriwayatkan oleh Imam Syafi’I bahwa
Naufal bin Mu’awiyah berkata, “Tatkala aku masuk Islam dengan beristerikan lima orang, bersabda
Rasulullah SAW. Memerintahkan kepada ku”:
Artinya: “Pilihlah empat diantara
mereka itu, mana yang engkau sukai dan ceraikanlah yang lain”. Maka aku
ceraikanlah istriku yang tertua dan mandul yang telah menjadi istriku selama
enam puluh tahun.[2]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim
dari ayahnya bahwa Ghalan bin Salaman masuk Islam selama ia memiliki sepuluh
istri maka Rasulullah SAW bersabda pada zaman Umor, maka Ghailan menceraikan
istri-istrinya dan membagikan hartanya di antara anak-anaknya, saya menduga
bahwa syetan mencuri pembicaraan, setan mendorong ihwal kepadamu kemudian
merasukinya kepadamu, boleh jadi kamu tidak akan hudup kecuali sebentar demi
Allah rujukilah kembali isteri-istrimu atau saya akan mewarisi mereka darimu
dan menyuruh orang-orang mendatangi kuburmu kemudian melempari seperti
dilemparinya kuburan Abu Raqhal.[3]
Dari pendapat-pendapat diatas maka
dapat kita pahami bahwa beristri lebih dari sari, dua sampai empat boleh-boleh
saja asalkan kita bisa berlaku adil, dalam memberi nafkah pakaian, tempat
tinggal dan giliran bermalam dan jika kita kawatir akan tidak dapat adil
diantara mereka sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Sekalai kamu tidak dapat berlaku
adil di antara istri-istrimu walaupun kamu begitu menginginkan berbuat adil
maka kita kawin dengan 1 orang istri saja”
D. Dasar Hukum Poligami
Sebagaimana firman Allah dalam suroh an-nisa’ ayat 3
yang berbunyi:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Menurut
Asy-Syafi’y, agar keluarga yang menjadi tanggungan kalian tidak banyak. Hal ini
menunjukkan bahwa keluarga yang sedikit dekat kepada tidak aniaya.
Ada yang berpendapat, pendapat
Asy-Syafi’y ini bertentangan dengan jumhur mufasirin dari kalangan salaf dan
khalaf. Menurut pendapat mareka, makna ayat ini: yang demikian itu lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya dan tidak pilih kasih. Apabila dikatakan, “Aala ar-rajulu ya’uulu ‘aulan”, artinya jika orang itu pilih kasil
dan aniaya serupa dengan bentuk ini jika dikatakan “Aul
al-faraa ‘idh”, curang dalam pembagian warisan, karena bagian yang diterima
lebih banyak. Jika dikatakan “aala ya ‘iilu ‘ailaan”, artinya
membutuhkan dan miskin. Firman Allah,
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz \'s#øtã t$öq|¡sù ãNä3ÏZøóã ª!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù bÎ) uä!$x© 4 cÎ) ©!$# íOÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇËÑÈ
Artinya:
“Dan, jika kalian khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan
kekayaan kepada kalian dari karunia-Nya.” (At-Taubah: 28).
Seorang
penyair berkata:
Si fakir
tahu kapan datang kekayaan
Kekayaan pun
tak tahu kapan ia membutuhkan
Jadi
kalaupun maknanya banyak keluarga yang ditanggung, bukan termasuk makna ini,
tapi dari bentuk af’ala, yaitu
apabila dikatakan, “A’aala ar-rajulu ya’iilu”, jika
keluarganya banyak, seperti bentuk albana
dan atmara, jika ada laban (susu) dan tamr (buah korma). Begitulah pendapat kalian pilih kasih dan
berbuat aniaya. Makna ini juga berasal dari seluruh ahli tafsir dan bahasa.
Menurut al-Qahidy di dalam basith-nya, makna ta’uuluuialah kalian pilih kasih dan berbuat aniaya. Makna ini juga
berasal dari seluruh ahli tafsir dan bahasa. Makna ini juga diriwayatkan secara
marfu’. Aisyah Radhiyallahu Anha meriwayatkan dari Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam: an ta’uuluu artinya janganlah kalian berbuat aniaya. Ada pula riwayat yang
menyebutkan: agar kalian tidak pilih kasih. Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas,
Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi’, As-Saddy, Ibnu Malik, Ikrimah, Al-Farra’,
Az-Zajjaj, Ibnu Qutaibah dan Ibnu Al-Anbary.[4]
Ayat
diatas menggunakan kata ( ) tuqsithu dan ( ) ta’dilu yang keduanya diterjemahkan “adil”.
Ada ulma yang
mempersamakan maknanya, ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa taqsithu adalah berlaku adil antara dua
orang atau lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang. Sedangkan ta’dilu adalah berlaku adil, baik
terhadap orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu bisa saja tidak
menyenangkan salah satu pihak.
Firman-Nya
maka kawinilah apa yang kamu senangi siapa yang kamu senangi, bukan dimaksudkan
seperti tulis al-biqa’i untuk mengisyaratkan bahwa wanita kurang berakal dengan
alasan pertanyaan yang dimulai dengan apa adalah bagi sesuatu yang tidak
berakal dan siapa untuk yang berakal. Sekali lagi nukan itu tujuannya, tetapi
agaknya ia disebabkan karena kata itu bermaksud menekankan tentang sifat wanita
tertentu, namanya, dan anak siapa dia.sedang bila anda bertanya dengan
menggunakan kata apa, maka jawaban yang ada nantikan adalah sifat dari yang
ditanyakan itu, misalnya janda atau gadis, cantik atau tidak, dan sebagainya.[5]
Hikmah
poligami ini (rahasianya) ornag laki-laki pada masa Nabi sedikit bilangannya
dari orang perempuan disebabkan banyak yang mati dalam peperangan, oleh sebab
itu laki-laki di bolehkan beristri lebih dari satu orang supaya janda yang
kematian suami ini dapat abantuan dari suaminya yang kedua istri Nabi Cuma 1
yang gadis yang lain janda.[6]
Perlu
digaris bawahi bahwa ayat ini tidak membuat peraturan tentang poligami, karena
poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syari’at agama
serta adat istiadat masyarakat sebelum turunya ayat ini. Sebagaimana ayat ini
tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang
bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui
oleh yang membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Dengan
demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan al-Qur’an hendaknya tidak
ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari
sudut pandang penetapan hukum aneka kondisi yang mungkin terjadi.
Adalah
wajar bagi perundang-undangan, apalagi agama yang bersifat universal dan
berlaku untuk setiap waktu dan tempat, untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang
boleh jadi terjadi pada satu ketika, walaupun kejadian itu baru merupakan
kemungkinan.bukankah kenyataan menunjukkan bahwa jumlah lelaki bahkan jantan
binatang lebih sedikit dari jumlah wanita atau betina? Perhatikanlah sekeliling
anda. Bukankah rata-rata usia wanita lebih panjang dari usia lelaki, sedangkan
potensi membuahi lelaki lebih lama dari potensi wanita, bukan saja karena wanita
mengalami masa haid, tetapi juga karena wanita mengalami manopouse sedang pria
tidak mengalami keduanya.
Bukankah
peperangan yang hingga kini tidak kunjung dapat dicegah, lebih banyak merenggut
nyawa lelaki dari pada perempuan? Bukankah kenyataan ini yang mengundang
beberapa tahun yang lalu, sekian banyak wanita di Jerman Barat menghimbau agar
poligami dapat dibenarkan walau untuk beberapa tahun. Sayang pemerintah dan
gereja tidak merestuinya sehingga prostitusi dalam berbagai bentuknya semakin
merajalela.
Selanjutnya,
bukankah kemandulan atau penyakit parah merupakan satu kemungkinan yang tidak
aneh dan dapat terjadi di mana-mana? Apakah jalan keluar yang dapat diusulkan
kepada suami yang menghadapi kasus demikian? Bagaimanakah seharusnya ia
menyalurkan kebutuhan biologisnya atau memperoleh dambaannya pada keturunan?
Poligami ketika itu adalah jalan keluar yang paling tepat. Namun sekali lagi,
perlu diingat bahwa ini bukan berarti anjuran, apalagi berarti kewajiban.[7]
E.
Kesimpulan
Dari
uraian singkat diatas maka saya sebagai pemakalah dapat menyimpulkan,
bahwasanya poligami dalam hukum Islam dibolehkan sebagai mana pendapat Imam
Syafi’i berdasarkan sunnah Rasulullah tidaklah
diperbolehkan seorang beristri lebih dari empat. Pendapat ini telah menjadi
ijma’ (disepakati bulat oleh para ulama, terkecuali segolongan ulama syi’ah
yang berpendapat bahwa seorang boleh beristri lebih dari empat orang sampai
sembilan, bahkan ada yang tidak membatasi dengan suatu bilangan).
Dalam berpoligami dibolehkan,
apabilah seseorang telah memnuhi syarat-syarat dalam berpoligami, seperti dia
mampu memberi nafkah baik lahir maupun batin kepada istri-istri yang
diperistrikannya, akan tetapi tidak diperbolehkan untuk beristri lebih dari
empat. Sesuai dengan sunnah Rasululah dalam surat annisa’ yang artinya:
Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
[1] Ibnu Katsier, Tafsir
Al-qur’an, (Kuala Lumpur,Victoriagenci,1988), hlm 304
[2] Ibid
[3] Ibnu Katsir jilid I, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm 650
[4] Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-ayat
Pilihan, (Jakarta:
Timur, 2000), hlm 204-255
[5] M. Qurash Shihab, Tafsir
Al-misbah, (Jakarta:
Ciputat Lentera Hati, 2000), hlm 232
[6] M. Yunus, Tafsir Al-Qur’an,
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), hlm 105
[7] Op-Cit