POLIGAMI DAN MONOGAMI
A. PENDAHULUAN
Poligami merupakan salah satu tema
penting yang mendapat perhatian khusus dari Allah Swt. Sehingga tidak
mengherankan kalau Dia meletakkannya pada awal surah an-Nisa’ dalam kitab-Nya
yang mulia.
Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa
asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hal ini dapat dipahami dari Surah
an-Nisa’ ayat 3 yang menyatakan bahwa
kendati Allah memberi peluang untuk beristri sampai empat orang, tetapi peluang
itu dibarengi oleh kelanjutan ayat, yakni kemampuan berlaku adil sesama
istri-istri dan anak-anaknya. Jika seorang suami cemas atau takut tidak dapat
berlaku adil, maka baginya cukup satu orang saja.
Akhir-akhir ini berbagai wacana
muncul kepermukaan mengenai status poligami dalam Islam. Ada yang pro dan begitu pula sebaliknya ada
juga yang merasa keberatan jika poligami merupakan suatu tindakan yang layak.
Apalagi jika hal tersebut sudah langsung dipraktekkan oleh orang-orang yang
dianggap pribadinya sebagai panutan masyarakat. Sehingga tidak mengherankan
jika repotasi mereka menjadi korban dari kesalahpahaman itu.
Beranjak dari situ, disini penyaji
makalah yang saat ini diberi amanah untuk membahas tentang bagaimana sebenarnya
konsep poligami dan monogami dalam Islam, membahas apa-apa saja yang menjadi
persyaratan sehingga seorang suami boleh berpogami. Benarkah poligami merupakan
bentuk diskriminasi tehadap kaum perempuan? Tentunya makalah ini akan dibahas dari segi
syri’at, sosial, dan biologinya.
Dengan
mengharap ridho dari Allah, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Atas segala
kesalahan baik dari segi penulisan mauapun stuktur bahasanya penulis mohon
kiranya dimaafkan dan menjadi kritikan positif selanjutnya. Dan tidak lupa pula
ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing Muhammad Mahmud Nasution L.C yang
telah memberikan pengarahan dan dan bimbinagn demi selesainya makalah ini.
B.
PEMBAHASAN
- Pengertian Poligami
Kata ”poligami” berasal dari bahas Yunani ”polos” yang berati banyak, dan kata gomos
yang berati pernikahan[1].
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia poligami adalah sistem pernikahan yang salah
satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang
bersamaan. Sistem tersebut bisa berarti seorang laki-laki mempunyai istri satu
orang pada saat yang sama, atau dapat diartikan seorang perempuan mempunyai
suami lebih dari satu orang pada saat yang sama pula Berpoligami berarti
menjalankan atau melakukan poligami.[2]Poligami
dalam pengertian yang kedua dikenal dengan istilah poligini (Yunani: polus = banyak; gune = perempuan). Istilah
poligami dalam bahasa Arab disebut ” ta’addud
az-zujat”, berasal dari kata ”
ta’addud” yang berarti berbilang atau banyak, dan kata ”zaujah” yang berarti istri atau jodoh. Poligami dalam pengertian yang pertama dikenal dengan istilah
poliandri (Yunani: polus = banyak, andros = laki-laki). Ta’ddud az-zauzat berarti banyak memilki
istri. Oleh karena itu, poligami yang dimaksudkan disini adalah seorang lelaki
yang memilki istri lebih dari satu orang.
- Pegertian Monogami
Monogami
berasal dari kata mono = satu, gami/gomos = pernikahan. Monogami
berarti perkawinan yang mempunyai satu
pasang. Istilah monogami ditujukan pada seorang suami yang mempunyai satu orang
istri sebagai pasangan hidupnya dalam
perkawinan. Dengan demikian, monogami berarti sistem yang membolehkan seorang
hanaya boleh satu dalam jangka waktu tertentu. Dalam pengertian ini terdapat
kata ” dalam jangka waktu tertentu”, yang berarti selama seorang suami
beristrikan seorang istri, maka selama itu pula suami tersebut tidak
beristrikan perempuan yang lain.
Pada
dasarnya dapat dikatakan bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hal
ini dapat dipahami dari Surah an-Nisa’
ayat 3 yang menyatakan bahwa kendati Allah memberi peluang untuk
beristri sampai empat orang, tetapi peluang itu dibarengi oleh kelanjutan ayat,
yakni kemampuan berlaku adil sesama istri-istri dan anak-anaknya. Jika seorang
suami cemas atau takut tidak dapat berlaku adil, maka baginya cukup satu orang
saja.
Jika
diperhatikan tidaklah perlu pembahasan panjang yang perlu dikaji dalam bab
monogami karena hal ini merupakan prinsip umum yang semestinya dijalankan. Maka
sebaliknya poliogami nantinya akan lebih difokouskan lagi karena telah keluar
dari prinsip umum tersebut sekalipun telah ada jalur untuk memeperbolekannya.
Namun dibalik pembolehan itu masih ada hal-hal lain yang yang perlu
diperhatikan.
3.
Hukum Poligami
Ibnu Rusyd
dalam Bidayatul al-Mujtahid jilid 2
mengatakan bahwa umat Islam sependapat membolehkan poligami dalam arti poligami
tebatas, yaitu seorang laki-laki denagn istri lebih dari satu orang, seperti
yang dilakukan kebanyakan bangsa-bangsa dimuka bumi ini. Sebaliknya hukum tidak
membolehkan seorang wanita bersuami lebih dari satu orang atau poliandri
(Q.S.4:25).[3]
Kebebasan
melakukan polgami dalam agama Islam bersumber dari kandungan ayat
Al-qur’an An-Nisa’: 3:
![]() |
|||
![]() |
Artinya : ” Wahai manusia,
bertaqwalah kamu kepada Tuhanmu , yang tetelah menciptakan kamu dari satu jiwa
, dan menciptakan istrinya yang sejenis dengan dia, dan menjadikan dari mereke berdua berkembang
biak anak cucunya yang banyak, laki-laki dan wanita; dan bertaqwalah kamu
kepada Allah, yang selalu kamu sebut nama-Nya dalam permintaan kamu; dan
bertaqwalah kamu kepada Allah dalam urusan yang berhubungan dengan urusan
keturunan, sunggih Allah mwngawasi kamu. Dan berikanlah harta-harta anak-anak
yatim itu kepada mereka. Dan janganlah kamu menukar hartanya yang baik kepada
yang buruk, dan janganlah kamu campurkan harta mereka yang kamu campurkan
dengan harta kamu; sesungguhnya itu adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak ) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka ( kawinilah ) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S
An-nisa’: 3)
Jika kita
perhatikan, Allah mengawalai surat an-Nisa’ debngan seruan kepada manusia agar
bertakwa kepada Allah yang merupakan tema penutup dari surat ali-Imran
sebelumnya, serta seruan untuk menyambung tali silaturahim dengan berpangkal
pada pandangan kemanusiaan universal, buka pandangan kelompok atau kesukuan
yang sempit.
Kemudian Allah
mengalihkannya tentang anak-anak yatim. Dalam konteks ini, Allah memerintahkan
kepada mnusia agar memberikan harta benda anak-anak yatim dan tidak memakannya.
Selanjutnya, Allah menindaklanjuti pembahasan tentang anak-anak yatim dengan
perintah kepada manusia untuk menikahi perempuan-peremouan yang disenangi, dua,
tiga, empat, yang dibatasi denagn satu jika kondisi yaitu takut tidak dapat
berlaku adil kepada anak-anak yatim.
Jadi,
kesemuanya memperkuat bahwa pokok bahasan pada ayat diatas adalah berkisar
tentang anak-anak yatim yang kehilangan ayahnya, sementara ibu mereka masih
hidup menjanda. Bagaimana halnya dengan anak yang kehilangan kedua orang
tuanya? Dengan kematian kedua orang tuanya, maka gugurlah masalah poligami.[4]
Ayat
tersebut setelah Perang Uhud selesai (4 H/626 M). Ketika iut banyak ummat Islam
berguguran dimedean perang dan dibebani oleh banyak anak yatim, janda, dan
tawanan perang. Untuk memelihara mereka dari perbuatan yang tidak diinginkan,
Allah SWT membolehkan untuk mengawini mereka. Tapi jika takut menelantarkan
mereka dan tidak tidak sanggup memelihara anak yatim tersebut, maka Allah
,membolehkan mencari perempuan lain untuk dikawini sampai empat orang.[5]
Ahmad
al-Wahidi an-Naisaburi menjelaskan tentang Asbabunnuzul ayat tersebut bahwa
pada waktu itu ada seorang laki-laki yang punya anak yatim dan dia langsung
sebagai walinya. Anak yatim itu punya beberapa harta dan kecantiakan. Harta dan
kecantikan itu membuat walinya ingin menikahinya. Namun ia tidak mau memberikan
mas kawin yang sama dengan yang diberikan kepada perempuan lain. Karena itu,
dilarang mengawini wanita kecuali mau berlaku adil, jika mereka tidak mampu
maka mereka menikah dengan wanita lain yang baik dan mereka senangi.[6]
4. Poligami dan Masalah Pembatasan Kebebasan
Wanita
a. Pendapat dari golongan anti poligami
Pada masa
sekarang ini, mungkin pendapat yang pertama sekali menarik perhatian kita
adalah pendapat dari golongan anti poligami, yang mengatakan bahwa melarang
poligami adalah suatu keharusan untuk menerapkan kebebasan wanita. Mereka
menilai bahwa poligami adalah sistem masyarakat primitif, yang kemudian
meningkat dan menurun sejalan dengan
meningkat dan menurunnya keadaan wanita. Membebaskan wanita dari poligami
adalah suatu langkah untuk memajukan wanita itu, karena poligami itu sudah
tidak sesuai lagi denagn zaman moderen, dimana wanita sudah memperoleh
hak-haknya dengan sempurnah tanpa adanya suatu kekurangan. Sedang poligami itu
adalah suatu sistem perkawinan yang menitik beratkan kesejahteraan laki-laki
dengan mengorbankan kedudukan dan kemuliaan wanita. [7]
Memperbolehkan
poligami adalah suatu tindakan yang berarti meletakkan suatu hambatan dihadapan
wanita, ditengah-tengah perjalannya menuju kemajuan masyarakat. Sebaliknya,
melarang poligami berarti menghilangkan sebagian dari rintangan-rintangan yang memperlambat
pergerakan wanita, dan merampas hak-haknya serta merendahkan kedudukannya.
b. Pendapat yang membolehkan poligami
Pendukung
poligami tidak melihat adanya hubungan antara poligami itu primitif atau
modrennya masyarakat; karena kehidupan seorang laki-laki bersama-sama dengan
bebepara orang wanita, itu adalah kenyataan yang ada dikalangan masyarkat dalam
semua negara dan sepanjang masa, baij denga nama poligami ataupun dengna nama
teman-teman. Dan adalah suatu kesalahan, kalau poligami itu dihubungkan dengan
masyarakat primitif disaat-saat banyaknya teman wanita dari seorang laki-laki
merupakan suatu kenyataan didalam masyarakat yang modren. Poligami adalah suatu
usaha untuk membimbing wanita untuk meningkat dari suasana kehidupan yang
diliputi kegelisahan, kehinaan dan terlantar, menuju kehidupan berkeluarga yang
mulia, dan keibuan yang mulia, dimana wanita merasakan kebahaiaan kesucian dan
kemuliaan dibawah naungannya. Poligami merupakan salah satu penerapan dari kebebasan
wanita, dan terlaksanaya apa yang dikehendakinya, kerana sebenarnaya laki-laki
itu tidak berpolgami itu tanpa kemauan wanita.[8]
5. Polgami dan persamaan hak antara pria dan wanita.
Kalau kita
tidak berpegang dengan perasaan, dan berusaha untuk mengenyampingkan perasaan
yang berlain-lainan dan perlombaan dintara manusia yang sejenis, dalam membahas
masalah poligami itu, maka tidaklah berarti bahwa kita membuangkan masalah
kebebasan wanita itu dari perhitungan pembahasan ini, karena masalah kebebasan wanita
ini, sebahagian unsurnya ada yang tidak meruipakan masalah perasaan dan perlu
dipelajari, diteliti, dan dibahas.
Dalam
batas-batas pembahasan ilmiah yang tidak disertai oleh keinginan dan tujuan
tertentu, kita memprhatikan bahwa persamaan antara pria dan wanita dalam
masalah perkawinan, tidaklah mesti merupakan persamaan yang mutlak. Kalau kita
terjun melihat kenyataan, maka kita akan menemukan sunnatullah dialam ini,
menetapkan bahwa peraturan perkawinan satu suami dan satu istri itu baik bagi
masing-masing pria dan wanita, hanya saja ketentuan ilahi itu memperbedakan
antara pria dan wanita. Wanita dijadikan tidak baik untuk peraturan banyak
suami, tetapi pria itu baik untuk menerima peraturan banyak suami.hal ini
jelas, karena rahim wanita berbekas dengan masuknya benih laki-laki kedalamnya
terjadi secara perbuatan yang biasa, sedangkan laki-laki tidak mempunyai
anggota yang seperti rahim itu, semenjak adanya makhluk dan tidak akan pernah
ada anggota seperti itu. Sebagai
konsekwensinya , tabiat wanita bertentangan dengan sistem poligami, karena
dikhawatirkan bahwa janin terjadi dari janin yang bermacam—macam sehingga tidak dapat penentuan tentang siapa
yang bertanggungjawab, menurut masyarakat dan perundang-undangan dengan dasar
kenyataan dan kebenarann; sedangkan tabiat laki-laki memungkinkan untuk
mendatangi beberapa istri yang tidak mempunyai suami selain dia sendiri, janin
yang akan terjadi berasal dari dirinya sendiri dan dia sendirilah yang akan
bertanggungjawab terhadap pemeliharaan
anaknya nanti, baik menurut
keadaan masyarakat, ataupun
undang-undang dan jutga dibidang agama. Malahan lebih dari itu, bahwa tabiat
wanita itu memang tidak sesuai dengan poligami sampai dengan wanita yang
menikah beberapa kali dengan perkawinan yang sah, akan menyebabkan penyakit
infekksi pada rahim, sedang wanita pelacur mudah kena penyakit syipilis.
6. Beristri Lebih Dari Empat
Menurut
Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fikih Sunnah bab
6 mengatakan seorang laki-laki haram memadu lebih dari empat orang perempuan,
sebab empat itu sudah cukup, dan melebihi dari empat ini berarti mengingkari
kebaikan dan yang disyariatkan oleh Allah bagi kemaslahat hidup manusia.[9]
Syafi’i
berkata: telah ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah sebagai penjelasan dari
firman Allah, bahwa selain Rasulullah tidak ada seorang pun yang dibenarkan
kawin lebih dari empat. Pendapat Syafi’i ini merupakan ijma’ para ulama kecuali
yang diriwayatkan dari golongan Syi’ah yang membolehkan kawin dengan lebih dari
empat orang istri, bahkan ada diantara mereka ini berpegang pada praktek
Rasulullah saw, yentang memadu lebih banyak dari empat istri sampai sembilan
istri seperti.
Imam
Qurthubi menolak pendapat ini, menurutnya disebutnya bilangan dua, tiga, empat,
bukan menunjukkan dihalalkannya kawin dengan sembilan istri. Kata penghubung ”
Wawu” (dan) disitu artinya menunjukkan jumlah, dan dengan memperkuat alasannya
bahwa Nabi kawin dengan sembilan istri dalam satu masa.
7. Sebab-Sebab Timbulnya Poligami
Bagi
golongan anti poligami mereka mengatakan tidak ada motif poligami, karena
poligami hanya menuruti hawa nafsu saja dan merupakan cerminan budi pekerti
yang tidak baik. Bagi pengikut poligami mengemukakan sebab-sebab yang banyak,
diantaranya:
a. Kelemahan istri yang tidak sanggup
memenuhi kebutuhan hidup suami-istri, karena ia mandul, padahal tujuan
pernikahan adalah mendapatkan keturunan. Atau perempuan itu mempunyai cacat
jasmaniyah dan kadang-kadang kelemahannya timbul akibat penyakit kronis.
b. Suami jatuh cinta pada lelaki lain. Kita
melihat kebanyakan kaum pria lebih banyak beraktivitas diluar rumah bersama
teman kerja wanita bahkan lebih sampai 6 jam setiap harinya terus menerus, padahal dia tidak sampai selama itu
berada disamping istrinya kecuali pada saat tidur.
c. Suami benci kepada istrinya, kebencian
laki-laki kepada istrinya mungkin timbul karena tindak-tanduk yang tidak baik
dari istrinya itu, dan justru tindak-tanduk istrinya itu yang menyebabkan
suaminya menikah lagi, bukan karena semata-mata benci.
d. Istri yang telah diceraikan ingin kembali
e. Hubugan kekeluargaan. Kadang-kadang
wilayah poligami itu lebih luas lagi, suami ingin menikah lagi denga istri yang
baru dengan maksud untuk memperkuat hubungan kekeluargaan. Suami menikah dengan
seorang wanita yang masih familinya dengan suasana yang menampakka kebutuhan familinya
itu untuk menikah dengan laki-laki yang masih famili.[10]
8. Syarat-Syarat Poligami
Menurut UU
No 1 Tahun 1974, tentang perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di
Indonesi pada padal 56 menentukan bahwa syarat bagi suami yang hendak melakukan
poligami haruslah mendapat izin dari Pengadilan Agama. Poligami tanpa izin pengadilan tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum. Pengadilan dapat memberi izin, apabila terdapat
syarat alternatif:
a. Sang istri tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakkt
yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan[11]
Selain itu,
untuk melakukan poligami diperlukan syarat-syarat kumulatif yaitu:
a. Adanya persetujuan dari istri, kecuali
apabila istri atau istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian
atau tidak ada kabar sekurang-kurangnya 2 tahun atau sekurang-kurangnya atau
sebab lain yang perlu mendapat penilaian dari hakim
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
menjamin keperluan hidup istri-istri
dan anak-anak mereka.
9. Hikmah Poligami
a. merupakan karunia Allah dan Rahmatnya
kepada manusia
b. Karena Oislam sebagai agama kemanusiaan
yang luhur mewajibkan kepada kaum mislimin untuk melaksanakan pembangunan dan
menyamp[aikannya kepada seluruh manusia. Mereka tidak akan sanggup mengikuti
tigas risalah pembangunan ini kecuali jika mereka mempunyai negara yang kuat
yang semprnha segala peralaatnnya, berwibawa titahnya dan besar kekuasaannya. Hal-hal seperti ini tidaklah terlaksana
dengan baik bila penduduk negeri tidak banyak. Dimana untuk tiap-tiap bidang
kegiatan hidup manusia terdapat jumlah yang cukup bersar ahli-ahli yang
menanganinya. Oleh karena itu dibituhkan sebuah keluarga yang besar, sedangkan
jalan untuk mendapatkan jumlah yang besar tersebut hanyalah dengan adanya
perkawinan yang elatif muda dan segilain dilakukkan poligami.
c. Bahwa kesanggupan laki-laki untuk
berketurunan lebih besar daripada perempuan, sebab laki-laki telah memilki
persiapan kerja seksual sejak balig sampai tua, sedangkan perempuan dalam masa haid tidak memilikinya, dimana masa
haid ini datang setiap bulan yang temponya terkadang sampai 10 hari, dan begitu
pula selama masa nifas yang temponya terkadang sampai 40 hari ditambah lagi
dengan masa hamil dan menyusui. Kesanggupan perempuan untuk beranak berakhir
sekitar umur 45-50 tahun sedangkan dipihak laki-laki masih subur sampai dengan
lebih dari 60 tahun.
d. Ada kalanya karena istri mandul atau
menderita sakit yang tak ada harapan sembuhnya, padahal masih tetap
berkeinginan untuk melanjutkan hidup suami istri, pada suami ingin mempunyai
anak-anak sehat lagi pintar dan seorang istri yang dapat mengurus
keperluan-keperluan rumah tangganya.
e. Ada segolongan laki-laki yang mempunyai
dorongan seksual besar yang merasa tidak puas dengan seorang istri saja,
terutama sekali orang-orang daerah tropis. Karena itu, dari pada orang-orang
ini hidup dengan perempuan yang rusak akhlaknya lebih baik diberikan jalan yang
halal untuk memuskan tuntunan nafsunya.
f. Dengan adanya sistem pologami dan
melaksanakan ketentuan poligamoi ini dalam Islam merupakan suatu karunia besar
bagi kelestariannya, yang jauh dari perbuatan-perbuatan sosial yang kotor yang
rendah dalam masyarakat yang mengakui poligami.
Dalam
masyarakat-masyarakat ytang melarang poligami dapat dilihat hal-hal sebagi
berikut:
a. Tersebarnya kejahatan dan pelacuran
sehinnga jumlah pelacur lebih banyak dari perempuan yang bersuami.
b. Banyaknya anak-anak haram jadah
c. Hubungan yang busuk ini mengakibatkan
macam-macam penyakit badan, kegoncangan mental dan gangguan saraf
d. Mengakibatkan kelemahan dan kelumpuhan
mental
e. Merusak hubungan yang sehat antara suami
dan istrinya, menggangu kehidupan rimah tangga dan memutuskan tali ikatan
kekeluargaan sehingga tidak lagi segala sesuatunya tidak lagi berharga dalam
kehidupan suami istri.
f. Meragukan sahnya keturunan, sehingga suami
tidak yakin bahwa anak-anak yang diasuh dan dididik adalah darah dagingnya.[12]
C.
Penutup
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan pada hakitkaynya menganut
prinsip monogami yaitu sistem perkawinan antara satu orang istri dengan seorang
suami saja.
Namun pada
kindisi lain seorang suamu beleh melakukan polgami karena ada hal-hal tertetu. Adapun
syarat-syarat suami boleh berpoligami diatur dalam KHI Pasal 56 dan UU No 1
Tahun 1974 yaitu:
- Mendapat izin dari pengadilan.
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
- Isteri terdapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
- Istri tidak dapat melairkan keturunan. Demikian pula seorang suami hendaklah berlaku adil terhadap istrinya baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Jika ia tidak dapat berlaku adil maka hendak lah menikahi seorang perempuan saja (Q.S.4:3)
DAFTAR PUSTAKA
al-Atthar, Abdul Nasir Taufiq, Pogami
Ditinjau Dari segi Sosial dan Perundang-undanag, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Dahlan, Ahmad. Ensiklopedi Hukum
Islam, Jakarta: PT. Bachtiar Baru Van Hoave, 1998
Departemen Agama, Kompilasi Hukum
Islam, Jakarta: 2000.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga , Jakarta: Balai Pustaka, 2001
Ruysd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Semarang:
CV. Asy-sifa’,1990.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, Bandung: PT Al-ma’arif, 1980.
Sahrul, Muhammad. Metodologi Islam
Kontenporer, Jakarta: El saq Press, 2004
[1] Ahmad Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , (Jakarta : PT. Bachtiar Baru Van Hoave,
1998 ), hlm, 83
[2] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga , (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm, 885
[3] Ibnu Ruysd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: CV. Asy-sifa’,1990), hlm,
[5] Ahmad Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoave,
1998), hlm, 1187
[7] Abdul Nasir Taufiq al-Atthar, Pogami
Ditinjau Dari segi Sosial dan Perundang-undanag, (Jakarta: Bulan Bintang,
1976), hlm,11
[8] Ibid, hlm, 12
[9] Sayyid Sbiq, Fikih Sunnah,(Bandung:
PT Al-ma’arif, 1980), hlm, 164
[10] Abdul Nasir, Op Cit, hlm, 25-35
[11] Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: 2000), hlm33
[12] Sayyid Sabiq, Op Cit, hlm, 179-187