BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu waris merupakan ilmu yang mempelajari tentang
orang-orang yang hendak mendapat bagian masing-masing ahli waris akan tetapi
yang dinamakan ilmu mawaris dalam fiqih mawaris adalah harta yang ditinggalkan
oleh orang yang meninggal dunia. Dan ada
juga disebut dengan ilmu fara’id yaitu yang didalamnya ilmu yang membicarakan
bagian-bagian besar atau kecil bagian masing-masing ahli waris.
Ketika kita bisa menyelesaikan pewarisan haruslah memenuhi
rukun dan syarat apabila tidak memenuhi rukun dan syaratnya maka itu tidak
dinamakan ilmu waris karena didalam hal kedua ini merupakan hal yang paling
utama diperhatikan contohnya kepada warisan, yaitu haruslah ada yang dinamakan
orang yang mewariskan, ahli waris harta yang diwariskan, apabila salah satu
rukun ini tidak ada maka tidak akan terlaksana pewarisan maka kami perlu
mencantumkan bahwa rukun dan syarat merupakan suatu hal yang harus
diperhatikan, maka dari itu kami pemakalah berusaha untuk memaparkan tentang
rukun dan syarat-syarat mawaris.
BAB II
PEMBAHASAN
RUKUN DAN SYARAT MAWARIS
ISLAM
A. Pengertian Mawaris
Kata waris berasal dari bahasa Arab miras,
bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang meninggal
yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.
Ilmu yang mempelajari warisan di
sebut ilmu mawaris atau lebih dikenal dengan istilah fara’id, kata fara’id
merupakan bentuk jamak dari faridah, yang diartikan oleh para ulama faradiyun
semakna dengan kata maprudah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya.[1]
Ilmu mawaris disebut pula dengan ( ) bentuk jamak dari artinya bagian tertentu atau
ketentuan.
Disebut dengan ilmu waris karena
dalam ilmu ini dibicarakan tentang hal yang berkenaan dengan harta yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (wafat), dan dinamakan ilmu
fara’id karena dalam ilmu ini dibicarakan tentang bagian-bagian tertentu yang
telah duitetapkan bagiannya masing-masing ahli waris akan tetatpi kedua istilah
tersebut mempunyai prinsip yang sama yitu ilmu yang membicarakan tentang segala
sesuatu yang berkenaan tirkah (harta peninggalan) orang yang meninggal dunia.[2]
Secara syar’i antara ilmu waris
dengan ilmu fara’id dapat dipadukan dalam satu konsep yang menyeluruh.
Perbedaan tersebut sebagaimana telah dikemukakan oleh ulma fiqih sebagai
bertikut:
Artinya : “Ilmu waris (ilmu fara’id)
adalah ilmu yang dipergunakan untuk mengetahui orang-orang yang berhak menerima
warisan dan orang-orang yang tidak
berhak mendapat warisan, bagian masing-masing ahli waris, serta cara
melaksanakan pembagiannya.”[3]
Allah berfirman dalam suroh annisa’ ayat 7
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR
$£JÏiB
x8ts?
Èb#t$Î!ºuqø9$#
tbqç/tø%F{$#ur
Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur
Ò=ÅÁtR
$£JÏiB
x8ts?
Èb#t$Î!ºuqø9$#
cqç/tø%F{$#ur
$£JÏB
¨@s%
çm÷ZÏB
÷rr&
uèYx.
4 $Y7ÅÁtR
$ZÊrãøÿ¨B
ÇÐÈ
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang Telah ditetapkan.[4]
Dari pengertian diatas kami pemakalah
dapat mengambil kesimpulan bahwa ilmu waris (ilmu fara’id) adalah ilmu yang
mempelajari al ihwal yang berkaitan dengan pembagian warisan baik yang berhubungan dengan
ketentuan harta warisan yaitu:
-
Klasifikasi ahliwaris
-
Sebab-sebab seseorang memperoleh
warisan
-
Halangan memperoleh harta
warisan
-
Cara pembagian harta warisan
-
Dan sampai kepada hikmah
pembagian warisan.
B. Syarat dan Rukun Pewarisan
- Syarat-syarat pewarisan
Syarat-syarat mewaris ada tiga macam, yaitu:
a.
Meninggalnya orang yang
mewariskan, baik meninggal menurut hakikat maupun menurut hukum.
Harta peninggalan seseorang tidak
mungkin dibagikan kepada ahli warisnya sebelum diketahui jenis bahwa pewaris
itu benar-benar telah meninggal atau telah diputuskan oleh hakim tentang
kematian seseorang yang hilang.[5]
Dengan demikian, jelas bahwa syarat
mewarisi yang pertama adalah meninggalnya mawaris secara hakikat atau dianggap
telah mati berdasarkan hakim, hal ini, karena selama manusia masih hidup, ia
mampu mengelola hartanya dan harta miliknya tidak berpindah kepada orang lain
maka orang lain tidak boleh menggantikannya di dalam pengelolaan hartanya, akan
tetapi, apabila saudah meninggal, ia sama sekali tidak dapat mengelola
hartanya. Oleh karena itu, hanya dipindahkan kepada ahli warinsnya,
b.
Ahli wari betul-betul masih
hidup, ketika orang yang mewariskan meninggal dunia.
Ketentuan ini merupakan syarat mutlak
agar seseorang berhak menerima warisan, sebab orang yang meninggal dunia tidak
mampu lagi membelanjakannya hartanya, baik yang diperoleh karena pewarisan
maupun sebab-sebab lainnya.
Hidupnya ahli waris ini berlaku
meskipun hidupnya itu secara hukum, misalnya kandungan. Secara hukum kandungan itu dianggap hidup, karna
mungkin tubuhnya belum ditiupkan. Apabila tidak diketahui bahwa ahli warisnya
itu hidup sesudah orang yang mewariskan mati, seperti karna tenggelam,
terbakar, atau tertimbun secara bersama-sama antara orang yang dapat saling
mewarisi, maka diantara mereka tidak ada wari mewarisi, dan salah seorang dari
mereka tidak ada yang berhak mewarisi dari yang lain. Adapun harta
masing-masing dari mereka tidak di bagikan kepada ahli waris yang masih hidup.
c.
Diketahui jihatnya dalam
mewarisi atau posisi penerima warisan diketahui dengan jelas.
Posisi dari masing-masing ahli waris
harus di ketahui dengan pasti, sehingga bagian-bagian yang diperoleh sesuai
dengan ketentuan fara’id.
Dengan diketahuinya jihat kewarisan,
seperti perkawinan, kekerabatan, dan keberadaannya dalam derajat
kekerabatannya, mudah. Hukum waris itu berbeda-beda disebabkan oleh perbedaan
derajat kekerabatan, tidak cukup kita hanya mengatakan “sianu saudaranya
pewaris”. Tanpa mengetahui jihat keberadaannya. Dalam hukum pewaris harus
dijelaskan apakah ia saudara seayah seibu, seayah atau seibu. Para ahli waris mempunyai hukum pewaris, tersendiri.
Diantara mereka ada yang mempunyai hak mewaris dengan bagian tetap, mewarisi
dengan sistem asobah, bahkan ada yang terhalang. Oleh karena itu, posisi dari
masing-masing ahli waris diketahui dengan jelas dan pasti.
- Rukun-rukun pewarisan
Rukun-rukun mewarisi juga ada tiga masing-masing adalah:
a.
Adanya orang yang mewariskan ( ) yaitu sipewaris itu
sendiri, baik nyata maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti orang hilang
dan dinyatakan mati sehingga orang lain berhak mendapatkan warisan darinya apa
saja yang ditinggalkan sesudah matinya.
b.
Ada pewaris ( ) yaitu orang yang mempunyai
hubungan penyebab kewarisan dengan sipewaris, sehingga dia memperoleh warisan,
misalnya hubungan kekerabatan, pernasabur, perkawinan dan sebaginya.
c.
Ada harta yang
diwariskan ( ) yang
disebut juga peninggalan atau tirkah, yaitu harta atau hak yang dipindahkan
dari yang mewariskan kepada pewaris.[6]
Mawaris ini disebut juga dengan irsun
( )
turasun ( ) irasun ( )
yang semua adalah sebutan bagi sesuatu yang ditinggalkan orang yang meninggal
untuk ahli warisnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kita ketahui bahwa syarat dan rukun
merupakan hal yang paling utama, ketika syarat dan rukun tidak terpenuhi maka
pelaksanaan pewarisan itu tidak bisa dilaksanakan.
Dan maka syaratnya adalah:
-
Meninggalnya orang yang
mewariskan baik meninggal menurut hakikat maupun menurut hukum.
-
Ahli waris betul-betul masih
hidup, ketika orang yang mewariskan meninggal dunia.
-
Diketahui jahatnya dalam
mewarisi atau posisi penerima warisan diketahui dengan jelas.
Dan rukunya adalah:
-
Ada orang yang
mewariskian ( )
yaitu di pewaris itu sendiri.
-
Ada pewaris ( ) yaitu orang yang mempunyai
hubungan penyebab kewarisan dengan sipewaris.
-
Ada harta yang
diwariskan ( ) yang disebut
juga peninggalan atau tirkah.
B. Saran-saran
Dalam penulisan makalah ini penyusun
menyadari masih ada terdapat kesalahan dan kekurangan, disini penyusun
mengharapkan kritik dan saran agar kedepannya penyusun bisa lebih baik dalam
menyusun makalah atas kritik dan sarannya penyusun mengucapkan terimakasih.